“Eh kok tau kalau saya di sini?”Andhira menatap Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini, sedangkan Arsenio tersenyum manis dan bergumam.“Papih kamu yang ngasih tau ke saya, Andhira,” jawab Arsenio, diangguki oleh Andhira.“Saya baru aja mau nelfon Reno buat minta tolong nganterin ke rumah mas Arsen, biar dia main sama Amanda,” ucap Andhira, diakhiri dengan terkekeh.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa harus Reno? Saya kan bilang ke kamu, kamu dilarang pergi tanpa pamit, dan tanpa ijin dari saya. Kamu tidak lupa sama perjanjian, kan?”Andhira menatap Arsenio dengan senyum gemas, “Di dalam surat perjanjian, saya boleh berinteraksi dengan Reno. Kalaupun saya minta ijin sama mas Arsenio, alasan apa yang membuat mas Arsenio gak mengijinkan?”“Saya papihnya Amanda, jadi yang berkaitan dengan Amanda, harus ijin dari saya. Lagian, saya juga bebas dong mengijinkan kamu atau tidak?”Andhira berdecak, lalu bersidekap dada, “Semakin lama, semakin menyebalkan ya, Mas. Rasanya mau aku
“ANDHIRA AWAS!”Reno menarik Andhira, membuatnya terjatuh karena dorongan dari Andhira. Kini, posisinya Andhira menindih Reno yang mengerjapkan kedua matanya, dan hanya menatap satu sama lain. Hingga akhirnya, sebuah tarikan membuat Andhira berdiri.“Kamu mau ngapain sama Reno?” tanya Arsenio saat Andhira menatapnya dengan wajah terkejut. Sedangkan Reno segera bangkit, tidak lupa membersihkan kemejanya yang terkena debu.“Andhira hampir mau ketabrak motor, Pak. Jadinya saya tarik, terus saya gak seimbang. Ini salah saya, jangan marahin Andhira,” jelas Reno dengan sopan, dirinya mengetahui, bahkan menyadari Dosen PAnya ini sedang cemburu.“Bukan salah Reno, Pak. Ini salah saya, karena gak hati-hati pas mau nyebrang tadi,” timpal Andhira, bertolak dengan pernyataann yang diberikan oleh Reno.Arsenio menatapp Reno dan Andhira silih berganti, dua pernyataan yang berbeda, membuatnya bingung harus percaya dengan siapa. Beberapa detik kemudian, atensinya hanya terfokus kepada Andhira.“Ka
“Bisa ikut saya? Ada yang mau saya kasih ke kamu.”Andhira yang baru keluar dari ruangan pun menoleh dengan wajah terkejut, kehadiran Arsenio membuatnya harus banyak-banyak bersabar dan sering ke dokter untuk mengecek jantungnya, sehat atau tidak.“Pak, bisa gak sih kalau nongol itu yang lembut? Jangan tiba-tiba hadir kaya gini dong, berasa ditagih hutang kalau bikin jantungan.”Arsenio bergumam, lalu menautkan jemarinya dengan Andhira. Dia menarik lembut Andhira untuk menjauh. Sedangkan Darwis yang melihatnya hanya menaikkan sebelah alis, dan mengendikkan kedua bahunya.“Mau kemana sih, Pak? Jangan bikin saya menyumpah serapah pak Arsen yaa, karena tiba-tiba nyulik saya,” tanya Andhira dengan menggebu-gebu.Arsenio hanya bergeming, dan membuka pintu mobil penumpang untuk Andhira. Andhira hanya bergeming menatap Arsenio yang memberikan kode kepada Andhira untuk segera masuk, tetapi ditolak oleh Andhira.“Masuk, Andhira. Kita tidak punya waktu banyak,” ujar Arsenio dengan penuh penekan
“Andhira, kalau saya bilang, saya sayang sama kamu, saya cinta sama kamu, apa kamu bakal nerima saya?”Andhira tersedak, lalu menyimpan gelas di meja cukup kencang. Dia menatap Arsenio dengan mendelik, terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Arsenio.“Mas Arsen nyiapin ini semua, buat saya berarti?” tanya Andhira dengan penuh penekanan, diangguki oleh Arsenio.Arsenio menegakkan tubuhnya, menatap serius Andhira, dan berdeham, “Saya serius, Maheswari Andhira Swastika.”Andhira menatap Arsenio yang memang menampilkan wajah serius, “Saya harus jawab gimana? Panjang kali lebar kali tinggi gak? Atau cukup satu kata aja?”“Lengkap,” jawab Arsenio, membuat Andhira terkekeh dan mengangguk mengerti.“Saya bingung sih sebenernya mau nanggepin kaya gimana, tapi saya jawab ya, semoga sesuai dengan apa yang mas Arsen inginkan. Ini beneran?”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu nganggep ini bercanda?” tanyanya dengan dingin, membuat Andhira mengerjapkan kedua matanya, dan mengulum bibir.“Oke.
“Mas Arsen udah sarapan, kan?”Tanya Andhira kepada Arsenio yang hari ini menjemputnya sebagai kekasih. Arsenio menoleh, menatap Andhira yang sedang menatapnya.“Belum. Tadi bangun kesiangan. Amanda saja diantar sama mbak Maya,” jawab Arsenio, membuat Andhira bergumam.Andhira mengedarkan pandangannya, dan menemukan pedagang nasi kuning di pinggir jalan. Dia menepuk lengan Arsenio, “Depan sana berhenti dulu ya, Mas.”“Kamu mau?”Andhira menggeleng, “Bukan buat aku, tapi buat mas Arsenio.”Arsenio hanya menurut, dirinya menepikan kendaraan roda empatnya sedikit menjauh dari lapak penjual nasi kuning itu. Menahan tangan Andhira, lalu menatapnya, “Perlu saya temenin?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.“Gak perlu. Saya bisa sendiri, Mas. Tunggu bentar yaa,” ucap Andhira, setelahnya keluar dari dalam mobil. Sedangkan Arsenio hanya memperhatikan dari spion kirinya.Andhira tersenyum kepada penjual nasi kuning, “Masih ada, Bu?” tanyanya, diangguki oleh ibu penjual nasi kuning. Andh
“Andhira, bisa kita bicara sebentar?”Andhira yang sedang merapihkan bukunya, menatap Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini, “Boleh. Mau bicara dimana, Mas?” tanyanya dengan sopan.Darwis tersenyum dan menunduk, lalu melenggang pergi meninggalkan Arsenio dan Andhira. Arsenio menatap dalam-dalam kekasihnya yang sedang menatapnya.“Udah tidak ada kelas lagi, kan?” tanya Arsenio, diangguki oleh Andhira. Arsenio bergumam, “Hari ini aku tiba-tiba harus ke luar kota, boleh titip Amanda? Suaminya mbak Maya sedang sakit, jadi tidak bisa menemani Amanda.”Andhira tersenyum, “Boleh. Kebetulan malam ini jadwalnya sama Papih. Jadinya, Amanda biar tidur di rumah Papih.”“Tadi aku juga udah bilang ke pak Ginan, katanya gapapa, tapi katanya harus nanya ke kamu dulu.”Andhira terkekeh, “Terus abis ini langsung berangkat ke luar kota?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.“Ke rumah dulu dong, ngambil baju ganti.”Andhira mengangguk, dirinya dan Arsenio melangkah beriringan. Selayaknya mahasi
“Ini anaknya pak Arsenio?”Andhira mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh Papih. Amanda tersenyum dan menyalimi Papih yang baru saja pulang kerja. Papih mengusap puncak kepala Amanda, dan tersenyum.“Papih gak pernah ketemu emangnya?” tanya Andhira menatap Papih, dijawab dengan gelengan kepala dari Papih.“Papih cuma tau pak Arsenio punya anak aja, tapi gak pernah dibawa kalau lagi ada acara,” jelas Papih, diangguki oleh Andhira.“Aku males, Om. Padahl sering diajak sama Papih, gimana ya, Om? Aku itu kaum rebahan, jadi kalau gak penting buat aku, gak mau ikut,” timpal Amanda, Papih menyamakann tinggi badannya dengan Amanda.“Gapapa. Anak om juga gak pernah mau kalau om ajak buat dateng ke acara perusahaan,” ucap Papih, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.Andhira hanya bergeming, tidak mengelak, karena papihnya itu memang mengatakan yang sebenernya. Dirinya hanya memperhatikan interaksi antara Amanda dengan papihnya, bersyukur karena Amanda diterima baik o
“Tante, aku mau nanya. Tapi jangan marah atau kesinggung yaa.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap Amanda yang tidur di sisi kirinya. Sedangkan Amanda menatapnya dengan tatapan polos.“Apa?”“Tante pernah dikenalin sama banyak perempuan gak? Kaya papih aku gitu,” tanya Amanda tanpa ragu, Andhira menggeleng dengan cepat.“Gak. Papih aku itu masih sayang sama mamih aku. Jadi, papih aku kalau dideketin banyak perempuan, gak mau. Bener-bener ngejaga jarak, jadinya aku masih sering ketemu mamih aku,” jawab Andhira, dirinya tidak bermaksud untuk menyinggung.Amanda bergumam, “Enak yaa masih bisa ketemu mamihnya tante.”“Gak enak. Aku selalu berantem sama mamih aku, bahkan aku sering banget kesel sama papih aku. Papih aku ini masuknya bucin banget sama mamih aku, jadi dia ngebiarin mamih aku ngejar apa yang dia mau kejar, nanti kalau udah cape, dan mau balik lagi, pasti diteriima.”Amanda menatap Andhira yang tersenyum manis, “Kalau kaya gitu, kenapa papih sama mamihnya tante itu pis