“Mas Arsen udah sarapan, kan?”Tanya Andhira kepada Arsenio yang hari ini menjemputnya sebagai kekasih. Arsenio menoleh, menatap Andhira yang sedang menatapnya.“Belum. Tadi bangun kesiangan. Amanda saja diantar sama mbak Maya,” jawab Arsenio, membuat Andhira bergumam.Andhira mengedarkan pandangannya, dan menemukan pedagang nasi kuning di pinggir jalan. Dia menepuk lengan Arsenio, “Depan sana berhenti dulu ya, Mas.”“Kamu mau?”Andhira menggeleng, “Bukan buat aku, tapi buat mas Arsenio.”Arsenio hanya menurut, dirinya menepikan kendaraan roda empatnya sedikit menjauh dari lapak penjual nasi kuning itu. Menahan tangan Andhira, lalu menatapnya, “Perlu saya temenin?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.“Gak perlu. Saya bisa sendiri, Mas. Tunggu bentar yaa,” ucap Andhira, setelahnya keluar dari dalam mobil. Sedangkan Arsenio hanya memperhatikan dari spion kirinya.Andhira tersenyum kepada penjual nasi kuning, “Masih ada, Bu?” tanyanya, diangguki oleh ibu penjual nasi kuning. Andh
“Andhira, bisa kita bicara sebentar?”Andhira yang sedang merapihkan bukunya, menatap Arsenio yang berdiri dihadapannya saat ini, “Boleh. Mau bicara dimana, Mas?” tanyanya dengan sopan.Darwis tersenyum dan menunduk, lalu melenggang pergi meninggalkan Arsenio dan Andhira. Arsenio menatap dalam-dalam kekasihnya yang sedang menatapnya.“Udah tidak ada kelas lagi, kan?” tanya Arsenio, diangguki oleh Andhira. Arsenio bergumam, “Hari ini aku tiba-tiba harus ke luar kota, boleh titip Amanda? Suaminya mbak Maya sedang sakit, jadi tidak bisa menemani Amanda.”Andhira tersenyum, “Boleh. Kebetulan malam ini jadwalnya sama Papih. Jadinya, Amanda biar tidur di rumah Papih.”“Tadi aku juga udah bilang ke pak Ginan, katanya gapapa, tapi katanya harus nanya ke kamu dulu.”Andhira terkekeh, “Terus abis ini langsung berangkat ke luar kota?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala.“Ke rumah dulu dong, ngambil baju ganti.”Andhira mengangguk, dirinya dan Arsenio melangkah beriringan. Selayaknya mahasi
“Ini anaknya pak Arsenio?”Andhira mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan oleh Papih. Amanda tersenyum dan menyalimi Papih yang baru saja pulang kerja. Papih mengusap puncak kepala Amanda, dan tersenyum.“Papih gak pernah ketemu emangnya?” tanya Andhira menatap Papih, dijawab dengan gelengan kepala dari Papih.“Papih cuma tau pak Arsenio punya anak aja, tapi gak pernah dibawa kalau lagi ada acara,” jelas Papih, diangguki oleh Andhira.“Aku males, Om. Padahl sering diajak sama Papih, gimana ya, Om? Aku itu kaum rebahan, jadi kalau gak penting buat aku, gak mau ikut,” timpal Amanda, Papih menyamakann tinggi badannya dengan Amanda.“Gapapa. Anak om juga gak pernah mau kalau om ajak buat dateng ke acara perusahaan,” ucap Papih, membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya.Andhira hanya bergeming, tidak mengelak, karena papihnya itu memang mengatakan yang sebenernya. Dirinya hanya memperhatikan interaksi antara Amanda dengan papihnya, bersyukur karena Amanda diterima baik o
“Tante, aku mau nanya. Tapi jangan marah atau kesinggung yaa.”Andhira menaikkan sebelah alisnya, menatap Amanda yang tidur di sisi kirinya. Sedangkan Amanda menatapnya dengan tatapan polos.“Apa?”“Tante pernah dikenalin sama banyak perempuan gak? Kaya papih aku gitu,” tanya Amanda tanpa ragu, Andhira menggeleng dengan cepat.“Gak. Papih aku itu masih sayang sama mamih aku. Jadi, papih aku kalau dideketin banyak perempuan, gak mau. Bener-bener ngejaga jarak, jadinya aku masih sering ketemu mamih aku,” jawab Andhira, dirinya tidak bermaksud untuk menyinggung.Amanda bergumam, “Enak yaa masih bisa ketemu mamihnya tante.”“Gak enak. Aku selalu berantem sama mamih aku, bahkan aku sering banget kesel sama papih aku. Papih aku ini masuknya bucin banget sama mamih aku, jadi dia ngebiarin mamih aku ngejar apa yang dia mau kejar, nanti kalau udah cape, dan mau balik lagi, pasti diteriima.”Amanda menatap Andhira yang tersenyum manis, “Kalau kaya gitu, kenapa papih sama mamihnya tante itu pis
“Tumben banget udah dateng, biasanya juga setengah jam sebelum kelas dimulai baru dateng.”Andhira menoleh, dan menatap Darwis yang baru saja menempati kursi kosong di sisi kanannya. Sedangkan Darwis meneliti Andhira yang bergumam.“Sekalian nganter Amanda, jadinya kalau aku balik, bakalan buang-buang waktu, yaudah deh langsung aja ke sini,” jelas Andhira. Darwis menaikkan sebelah alisnya, menatap dalam-dalam Andhira, dan menyentuh kening sahabatnya.“Kamu seriusan nganter Amanda? Emangnya Amanda gak bareng sama Papih kamu?”Andhira menggeleng, “Gak. Papih aku aja udah telat tadi, kalau Amanda bareng sama Papih, bakalan lebih telat. Beda sama aku yang ada waktu luang. Tadinya Papih emang nawarin sih, langsung aku tolak.”Darwis mengangguk mengerti, “Terus, papihnya Amanda kapan balik?”“Lusa sih seharusnya, tapi gak tau deh ya. Kalaupun mundur, aku dikasih kunci rumahnya kok.”“Oh iya? Kamu gak kesepian?” tanya Darwis dengan senyum menggoda, tetapi dirinya mendapatkan lirikan dari And
“MAMIH.”Andhira menoleh, dan mendapati Amanda yang berlari menghampirinya yang sedang duduk di kursi taman sekolah Amanda. Andhira tersenyum manis, dan merentangkan kedua tangannya. Keduanya saling berpelukan, tidak luput dari beberapa pasang mata.“Loh ini kakak kamu? Tapi kok manggilnya Mamih?” tanya seorang laki-laki seusia dengan Amanda. Pertanyaannya membuat Andhira dan Amanda merenggangkan pelukan.Andhira bangkit, dan memberi salam sopan kepada ibu dari anak. Dirinya mengulurkan tangan, “Saya Andhira, Bu. Mamih dari Amanda.”Wanita setengah baya itu menerima uluran tangan Andhira, “Mamahnya Angga. Saya baru tau, kalau mamihnya Amanda itu masih muda.”Andhira mengangguk dan tersenyum kepada Ibu Angga, “Duluan ya, Bu,” pamitnya, dirinya tersenyum kepada Angga yang memperhatikan Amanda.“Kamu ngapain sih ngeliatin aku?” tanya Amanda, dirinya menggenggam tangan Andhira erat. Ibu Angga terkekeh memperhatikan putranya, lalu pamit, tetapi Angga memberontak dan menoleh.“AMANDA, KAMU
“Kamu abis ribut sama geng motor?”Papih terkejut saat mendengar cerita dari Amanda, bayangkan saja, putrinya ini hampir menjadi korban. Sedangkan Andhira mendesis, menatap Amanda yang menaikkan sebelah alisnya. Amanda yang membuat Papih ikut cemas.“Aku gak ribut. Jadi gini ceritanya yaa, papih harus percaya sama aku. Aku itu tadi mau beli ice cream, terus aku kan peka ya orangnya, jadi dari kejauhan itu aku liat dua orang ini, cuma mereka, bukan geng motor dong,” ujar Andhira, sedangkan Papih dan Amanda hanya mendengar.“Aku ngeliat mereka ini bawa senjata tajam, aku dalam bahaya dong, makanya aku suruh Amanda buat masuk ke dalam, terus aku tendang aja motor mereka sampe mereka jatuh,” lanjut Andhira dengan santai, dan mendapati Papih yang berdecak lidah.“Kamu itu perempuan yaa, Andhira. Gak perlu ngajuin nyawa ke mereka,” ucap Papih dengan kesal, dirinya menatap tajam putrinya.Amanda mengangguk, “Padahal yaa, tadi itu bisa pergi aja, beli ice cream di tempat lain.”Andhira menat
“Eh ada mamihnya Amanda, gak kerja, Jeng?”Andhira yang sedang fokus membalas pesan dari Arsenio pun menoleh, dan segera bangkit. Dirinya menunduk, dan tersenyum manis, “Eh iya, Bu.”Ibu Angga mempersilahkan Andhira untuk kembali duduk, dan dirinya mengisi kekosongan di sisi kanan Andhira. Dia menatap Andhira, “Mbak Maya kemana, Jeng? Biasanya kan mbak Maya yang ngungguin Amanda.”“Oh itu, suaminya lagi sakit, Bu. Jadi, mbak Maya ngerawat suaminya, dan saya yang menggantikan perannya.”Ibu Angga mengangguk mengerti, “Papihnya Amanda juga kemana ya, Jeng? Ke luar kota?” tanyanya, diangguki oleh Andhira.“Iya, Bu. Nanti sore baru pulang,” jawab Andhira sopan, dan tersenyum kepada Ibu Angga. Ini pertama kalinya berkomunikasi dengan Ibu-ibu. Biasanya, dia berkomunikasi dengan Bapak-bapak, rekan kerja dari Papih.“Ohh. Maaf nih yaa, kamu ini umurnya berapa?” tanya Ibu Angga, membuat Andhira bergeming.Andhira memikirkan jawaban apa yang harus dia berikan, jika mengatakan dirinya berusia 2