“Jangan takut, Manuel udah ditahan sama polisi, jadi gak bakal ada yang ganggu kamu lagi.”Arsenio mendekap erat Andhira, mencoba untuk membuat kekasihnya sedikit lebih tenang setelah terjadi insiden beberapa menit yang lalu. Andhira lemas, fikirannya kosong, antara hidup dan mati.“Aku masih bernafas, kan?” tanya Andhira dengan suara pelan, menatap Arsenio yang tersenyum kepadanya.“Iyaa.”Andhira kembali menangis, “Aku belum tulis surat wasiat kalau tadi beneran mati konyol,” ocehnya disela-sela terisaknya.Arsenio mendesis, dia tidak ingin Andhira kembali mengingat kejadian saat Manuel menarik paksa Andhira dan berdiri di pembatas, jika maju satu langkah sudah dipastikan akan berbeda cerita.“Minum dulu, Dhir,” titah Garaga memberikan satu botol air mineral yang baru dia beli di kantin, dirinya menjadi salah satu saksi betapa gilanya Manuel.Darwis bersidekap dada, mata elangnya teduh saat menatap Andhira yang kini berada dalam pelukan Arsenio. Dia tidak akan membiarkan Manuel men
“Andhira, masih marah sama aku?”Garaga mencoba untuk mengajak Andhira bicara dengannya, sedangkan Andhira mengabaikan keberadaannya yang tepat berada di sisi kanan. Andhira kesal dengan Garaga karena laki-laki itu mengulang kembali kalimat kramat yang dikatakan oleh Manuel.“Pak Arsen ayok tukeran tempat duduk, samping saya ini kaya ada hantunya. Merinding banget,” ucap Andhira, menatap Arsenio yang sedang memakan bakso. Sedangkan Garaga berdecak, kesabarannnya tidak banyak.Garaga menarik surai panjang milik Andhira, dan membuat gadis itu memekik. Tangan Andhira otomatis memukul bahu Garaga cukup keras, sedangkan Garaga mendesis.“Aku bilangin papih kalau Garaga nakal, gak usah diterima kalau ke rumah,” ucap Andhira, menatap tajam Garaga yang menatapnya dengan mata menyipit.“Kamu ini yaa, padahal yang bilang kaya gitu bukan aku doang. Reno, Zavian sama Kalvin kan ikut-ikutan,” balas Garaga, tidak i
“Ini mas Arsen yang nyiapin?”Andhira menatap Arsenio yang duduk di kursi sebrangnya, diangguki oleh Arsenio. Kekasihnya itu tersenyum manis, menggenggam erat kedua tangannya.“Kamu suka?” tanya Arsenio lembut, diangguki oleh Andhira. Jawaban dari Andhira sudah cukup membuatnya senang, berarti usahanya tidak sia-sia untuk membuat kekasihnya itu bahagia.“Kedua kalinya mas Arsen bikin kaya gini. Oh aku tau, jangan-jangan ada hal yang mau mas Arsen bicarakan?” tanya Andhira, menatap curiga Arsenio.Arsenio hanya tersenyum manis, “Sesuai janji aku, Sayang. Kamu kok curigaan gitu sih sama aku?”Andhira menggeleng, “Bukan gitu maksud aku. Mas Arsen itu tipe yang cuek, jadi kalau lagi kaya gini aku itu curiga. Contohnya pas mas Arsen menyatakan cinta ke aku, itu kan mas Arsen mempersiapkan segalanya menjadi romantis.”Arsenio yang mendengarnya tertawa, hal itu membuat Andhira mengerucutka
“Mas Arsen, ini tuh mau kemana sih? Masih jauh gak?”Andhira melangkah kakinya sesuai dengan intruksi yang diberikan oleh Arsenio, karena dia tidak bisa melihat apapun selain kegelapan. Ya, kedua matanya ditutup oleh kain dari basement apartement.Arsenio memencet angka 12 pada lift, artinya dia dan Andhira akan ke lantai 12, tempat Andhira tinggal pada saat ini. Arsenio menampilkan wajah datar, walaupun di dalam lift hanya ada dirinya dan Andhira.“Sabar, Sayang. Aku gak bakal nyulik kamu kok,” ucap Arsenio saat melihat Andhira bersidekap dada dan bibir yang bergerak tanpa suara.“Takut kalau ketiduran nanti, terus mas Arsen gak bisa gendong aku karena aku berat,” balas Andhira, hanya mendapatkan respon gumamam dari Arsenio.TINGG!“Pelan-pelan, nanti kamu jatuh, Andhira,” bisik Arsenio karena Andhira melangkah dengan langkah kaki yang besar.Andhira berdecak, rasanya ingin menarik paks
“Kamu hari ini pulang ke rumah mamih kamu, kan?”Arsenio menatap Andhira yang duduk di kursi penumpang, dia melihat Andhira yang mengangguk sebagai jawabannya. Arsenio kembali menatap jalan lurus di depan sana, fokus menyetir agar tidak terjadi yang tidak diinginkan.“Kenapa, Mas?” tanya Andhira penasaran, sedangkan Arsenio menggeleng. Hal itu membuat Andhira menaikkan sebelah alisnya karena tidak mendapatkan jawaban yang dia inginkan. “Ada apa? Gak mau ngasih tau aku nih?”“Gak ada apa-apa, Sayang. Kamu ini ya, selalu curiga sama aku,” ucap Arsenio, menatap Andhira, lalu menggeleng tidak percaya.Andhira bergumam, “Bukan curiga, tapi aku mau memastikan kamu ini gak ada salah kalau lagi berhadapan sama mamih.”“Kamu tau gak sih? Kalau kamu kaya gini, malah nunjukin kalau mamih kamu itu galak banget-banget sampai gak boleh salah sedikitpun,” ucap Arsenio, memperhatikan And
“Terus mantan istrinya mas Arsen itu udah ketemu?”Andhira menatap Arsenio yang sedang fokus menyetir, dia melihat kekasihnya itu menggelengkan kepala, menandakan bahwa ‘Belum’, dan Andhira hanya menghela nafas perlahan.“Liliana ini koneksinya banyak, dia kan wanita karir jadi teman-temannya pasti pada bantuin buat tempat persembunyian,” ujar Arsenio, menoleh singkat dan kembali fokus menyetir. Andhira menatap jalan di depan sana, dan terdiam.Andhira memikirkan hidupnya akan menjadi seperti apa, kalau Liliana belum ditemukan, otomatis mantan istri dari Arsenio tersebut masih bisa mencelakai dirinya. Andhira menggeleng, menghilang bayangan buruk yang tiba-tiba melintas difikirannya.“Aku rasanya mau pergi ke luar negri deh, ambil cuti kuliah. Aku masih mau hidup damai, aman, tenang, tanpa dibayangi oleh Liliana dan Manuel,” ucap Andhira, mengulum bibirnya, tidak berani menoleh ke sisi kanan.Ar
“Masuk dulu yuk, ketemu sama papih. Katanya ada yang mau diobrolin sama mas Arsen, makanya aku disuruh pulang.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dia tidak mengerti. Menatap kedua bola mata Andhira, lalu bertanya, “Hubungannya sama kamu itu apa? Kan aku sama papih kamu itu bisa janjian di luar kalau emang ada diobrolin, kamu gak perlu disuruh pulang.”Andhira mengendikkan bahunya, “Gak tau, papih kirim pesan kalau aku harus pulang, terus nanya dianter sama mas arsen atau gak, kalau dianter sama mas Arsen, disuruh mampir, gituuu.”Arsenio bergumam, melirik pintu rumah milik Papih dari kekasihnya itu, tertutup rapat, tetapi mobil milik Papih terlihat di carport bukan di garasi. Lalu dia menatap Andhira yang sedang menatapnya.“Papih kamu baru pulang?” tanya Arsenio, membuat Andhira melirik carport, terlihat mobil sport berwarna putih milik Papih terparkir rapih.Andhira mengangguk, “Sekarang udah jam delapan, kalau emang gak ada rapat atau keperluan lainnya jam tujuh udah di rumah. Kal
“Papih, ceritain ke aku, kenapa bisa sampai kaya gini?”Andhira menuntut Papih yang baru saja siuman untuk menjelaskan kepadanya kronologi yang dialami oleh Papih, dia ingin tahu pelaku dari penikaman yang terjadi pada Papih.Papih tersenyum, tangannya mengusap punggung tangan Andhira yang berada dalam genggamannya. Hanya itu yang dilakukan untuk menurunkan kecemasan atau kekhawatiran yang putrinya rasakan saat ini.“Papih baik-baik aja, Andhira. Maaf yaa udah bikin kamu khawatir, kamu pasti belum tidur yaa?”Andhira mengulum bibirnya, menatap Papih yang sedang tersenyum kepadanya, lalu beralih menatap lengan kiri Papih yang dibalut oleh perban. Dadanya sesak, tetapi di sisi lain dirinya tidak akan membiarkan pelakunya lolos begitu saja.“Liliana? Atau Manuel?” tanya Andhira, hanya ada dua nama tersebut yang terlintas dipikirannya dan memang hanya mereka yang terlibat konflik dengannya.Papih tidak menjawabnya, melirik Mamih yang tertidur di sofa, lalu kembali menatap Andhira, “Mamih