“Terus mantan istrinya mas Arsen itu udah ketemu?”
Andhira menatap Arsenio yang sedang fokus menyetir, dia melihat kekasihnya itu menggelengkan kepala, menandakan bahwa ‘Belum’, dan Andhira hanya menghela nafas perlahan.
“Liliana ini koneksinya banyak, dia kan wanita karir jadi teman-temannya pasti pada bantuin buat tempat persembunyian,” ujar Arsenio, menoleh singkat dan kembali fokus menyetir. Andhira menatap jalan di depan sana, dan terdiam.
Andhira memikirkan hidupnya akan menjadi seperti apa, kalau Liliana belum ditemukan, otomatis mantan istri dari Arsenio tersebut masih bisa mencelakai dirinya. Andhira menggeleng, menghilang bayangan buruk yang tiba-tiba melintas difikirannya.
“Aku rasanya mau pergi ke luar negri deh, ambil cuti kuliah. Aku masih mau hidup damai, aman, tenang, tanpa dibayangi oleh Liliana dan Manuel,” ucap Andhira, mengulum bibirnya, tidak berani menoleh ke sisi kanan.
Ar
“Masuk dulu yuk, ketemu sama papih. Katanya ada yang mau diobrolin sama mas Arsen, makanya aku disuruh pulang.”Arsenio menaikkan sebelah alisnya, dia tidak mengerti. Menatap kedua bola mata Andhira, lalu bertanya, “Hubungannya sama kamu itu apa? Kan aku sama papih kamu itu bisa janjian di luar kalau emang ada diobrolin, kamu gak perlu disuruh pulang.”Andhira mengendikkan bahunya, “Gak tau, papih kirim pesan kalau aku harus pulang, terus nanya dianter sama mas arsen atau gak, kalau dianter sama mas Arsen, disuruh mampir, gituuu.”Arsenio bergumam, melirik pintu rumah milik Papih dari kekasihnya itu, tertutup rapat, tetapi mobil milik Papih terlihat di carport bukan di garasi. Lalu dia menatap Andhira yang sedang menatapnya.“Papih kamu baru pulang?” tanya Arsenio, membuat Andhira melirik carport, terlihat mobil sport berwarna putih milik Papih terparkir rapih.Andhira mengangguk, “Sekarang udah jam delapan, kalau emang gak ada rapat atau keperluan lainnya jam tujuh udah di rumah. Kal
“Papih, ceritain ke aku, kenapa bisa sampai kaya gini?”Andhira menuntut Papih yang baru saja siuman untuk menjelaskan kepadanya kronologi yang dialami oleh Papih, dia ingin tahu pelaku dari penikaman yang terjadi pada Papih.Papih tersenyum, tangannya mengusap punggung tangan Andhira yang berada dalam genggamannya. Hanya itu yang dilakukan untuk menurunkan kecemasan atau kekhawatiran yang putrinya rasakan saat ini.“Papih baik-baik aja, Andhira. Maaf yaa udah bikin kamu khawatir, kamu pasti belum tidur yaa?”Andhira mengulum bibirnya, menatap Papih yang sedang tersenyum kepadanya, lalu beralih menatap lengan kiri Papih yang dibalut oleh perban. Dadanya sesak, tetapi di sisi lain dirinya tidak akan membiarkan pelakunya lolos begitu saja.“Liliana? Atau Manuel?” tanya Andhira, hanya ada dua nama tersebut yang terlintas dipikirannya dan memang hanya mereka yang terlibat konflik dengannya.Papih tidak menjawabnya, melirik Mamih yang tertidur di sofa, lalu kembali menatap Andhira, “Mamih
“Loh kok udah di sini? Katanya sibuk hari ini, jadwalnya padat. Bohong yaa?”Andhira berkacak pinggang dan menatap Arsenio dihadapannya saat ini dengan kedua matanya yang menyipit. Sedangkan Arsenio menggeleng dengan cepat, dia tidak berbohong kepada Andhira, hanya saja ternyata jadwalnya bisa ‘reschedule’ dan lupa menggabari kekasihnya.“Gak, Sayang. Tadi itu aku mau ngasih tau kamu kalau bisa datang ke sini, karena keburu kangen sama kamu jadinya langsung gas ke sini,” ucap Arsenio, tersenyum manis.Andhira mendelik, dia tidak mudah luluh dengan kata-kata manis atau bujuk rayu dari Arsenio. Dirinya bergumam, mengendus aroma parfum yang menempel pada pakaian kekasihnya itu, memastikan tidak ada parfum wanita yang menempel.Arsenio menaikkan sebelah alisnya, “Kamu ngapain? Gak percaya sama apa yang aku bilang?” tanyanya, tidak dijawab oleh Andhira. Kekasihnya itu hanya terdiam menatapnya dengan intens, seolah sedang menjadi tersangka dalam kasus perselingkuhan.“Kangenn,” rengek Andhi
“Mas Arsen bilang apa? Ke luar kota selama dua hari?”Arsenio mengangguk, dirinya menatap Andhira yang duduk di sisi kanannya dan menggenggam tangan erat kekasihnya itu. Dia harus memberitahukan kepada Andhira bahwa dirinya akan ke luar kota selama dua hari.“Cuma dua hari aja, Sayang. Kamu kok kaya kaget gitu?” ucap Arsenio, memperhatikan Andhira yang menatapnya penuh curiga, seolah-olah kekasihnya itu mengtahui rencananya.“Mas Arsen ke luar kota itu buat apa? Kerjaan atau buat ketemu sama tante Liliana?”Duar!Arsenio hanya terdiam, lalu berdeham, dan menggeleng. Jelas saja dirinya mengelak, tidak mungkin mengatakan yang sejujurnya kepada Andhira, bisa bertengkar dirinya dan Andhira.“Gak dong. Aku ke luar kota buat ngecek perusahaan cabang di sana, terus juga liat progress café sudah berapa persen dan akan siapa opening kapan. Kamu kenapa curigaan sama aku sih?”Andhira mengge
“Ciee ada yang ditinggal sama mas pacar buat ketemu sama mantan istrinya mas pacar.”BUGH!Andhira spontan memukul Garaga yang duduk di bangku kosong dihadapannya, kedua matanya menatap tajam Gagara yang sedang mengusap lengan. Hari ini merupakan hari pertama tidak bertemu dengan Arsenio dikarenakan kekasihnya itu sudah pergi ke luar kota.“Mendingan kamu pergi deh, aku lagi gak mau disenggol. Awas aja,” ucap Andhira dengan tidak santai, membuat Garaga menjauh dan mengangkat kedua lengan.“Santai … santai, ini masih pagi, Andhira. Mau beli apa? Aku beliin biar mood kamu gak berantakan, bisa ditembak jauh dari jauh sama pacarmu,” ucap Garaga, berusaha untuk membujuk Andhira agar tidak kesal.Andhira menyipitkan kedua matanya, lalu berkata, “Martabak manis toping coklat kacang. Cari sampe dapet.”Garaga melebarkan kedua matanya, “Jangan gila, ini masih pagi, mana ada martabak yang buka pagi ini?” tanyanya, menahan diri agar tidak terlihat frustasi dihadapan Andhira. Sedangkan Andhira ha
“Enak kan martabaknya? Mau lagi? Tapi pake uang sendiri yaa.”Andhira mendelik kepada Garaga, mulutnya penuh dan menguyah martabak yang memang datang beberapa menit yang lalu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Garaga.“Beliin lagi, duitnya minta sama papih aku,” balas Andhira saat mulutnya sudah kosong, menatap Garaga yang menyentil keningnya.“Gak ada. Kamu udah makan banyak, besok, besok, besok lagi,” tolak Garaga, membuat Andhira mengerucutkan bibir.“Kenapa? Aku ini makan banyak juga gak gemuk, jadi selow aja,” tanya Andhira, mulutnya kembali mengunyah dann menatap Garaga yang duduk di bangku depan.Keduanya sedang berada di kantin outdoor, bersama dengan Darwis, Reno, Zavian dan Kalvin. Keempat lelaki itu hanya terdiam dan melahap makanan yang mereka pesan di kantin, membiarkan Garaga dan Andhira beradu pendapat.“Nanti aku yang diomelin sama pak Arsen, karena bikin kamu makan ma
“Kamu yakin mau pulang? Gak mau ke rumah aku? Oh … aku temenin deh yaa di apartement.”Andhira menggeleng, menolak penawaran dari Caca. Andhira tersenyum kepada Caca yang saat ini mengkhawatirkan kondisinya yang mungkin akan sedikit berbahaya jika hanya sendirian, tetapa dirinya yakin tidak akan ada apa-apa.“Gapapa, Ca. Aku bakalan kunci pintu, jendela, semuanya. Biar gak ada yang bisa masuk,” ucap Andhira, tersenyum kepada Caca, mencoba untuk menangkan temannya, sekaligu pacar dari Darwis.Darwis yang berdiri di sisi kanan Caca itu menatap sahabatnya, “Ada kunci cadangan?” tanyanya, membuat Andhira, Caca, dan Reno menoleh.Andhira menaikkan sebelah alisnya, “Ada, tapi aku tinggal di apartement. Kenapa emangnya?” tanyanya, meminta kepastian dari Darwis.Reno dan Caca memfokuskan atensi hanya kepada Darwis, menunggu jawaban dari Darwis.“Biar aku bisa masuk kalau aku dateng, terus gak ada respon dari kamu,” jawab Darwis, membuat Reno dan Caca bernafas lega. Sedangkan Andhira menganggu
“Kamu pesen paket?”Andhira menggeleng, menatap Reno yang sedang menatapnya. Pada saat mereka tiba di depan pintu unit apartement yang disinggahi oleh Andhira, terdapat satu box berwarna biru muda, dan berhasil membuat Andhira kebingungan.“Kamu bawa aja deh, aku trauma,” ucap Andhira, melirik box dibawah sana. Dia kembali mengingat saat mendapatkan kotak box dari orang yang tidak dikenal, dan isi di dalam box tersebut membuatnya pingsan.Reno berjongkok, mengambil box tersebut dan menggoyangkannya. Tidak ada bunyi sama sekali. Matanya tertuju pada tulisan tinta printer di bagiann atas box, sebelah alisnya terangkat saat melihat sih pengirim.“Manuel?” tanya Reno, melirik ke sisi kanannya dan mendapati gelengan kepala dari Andhira.“Kamu bawa aja, aku gak mau terima apapun itu dari orang lain. Kecuali, papih, mamih, Darwis, mas Arsen, dan keluarga besar aku,” tolak Andhira, jelas saja dirinya tidak akan menerimanya, walaupun itu dari Manuel.Reno melirik pintu apartement milik Andhira