“Papih dapet kabar tentang Manuel atau gak? Dia udah balik ke luar negri atau masih tetap di sini?”Andhira menatap Papih yang sedang fokus menatap layar laptop, dirinya sudah balik lagi ke rumah Papih, diantar oleh Darwis karena Arsenio tiba-tiba harus menghadiri rapat penting untuk membahas konsep iklan.Papih menggeleng, “Gak. Tapi polisi udah bergerak buat nyari bukti lainnya, kan?” tanyanya menatap Andhira, diangguki oleh putrinya.“Katanya gitu sih, Pih. Tapi aku gak tau juga sih. Aku cuma mau dia menghilang dari hidup aku dan gak ada bikin ulah lain-lain,” ucap Andhira, mengutarakan keinginannya yang mungkin tidak terjadi dalam waktu singkat.“Kamu salah berharap kaya gitu,” ucap Papih, membuat Andhira bingung.“Maksudnya?”Papih tersenyum, “Papih punya perasaan yang aneh, dan papih udah pesan tiket buat kamu ke rumah kakek. Di sana kamu lebih aman.”“Pihh, gak usah bercanda. Aku baru aja baikan sama mas Arsen, terus harus pisah lagi?” oceh Andhira dengan tidak santai, dirinya
“Hari ini pak Arsen gak ada di kampus, kan? Soalnya aku gak buka pesan dia dari semalem.”Andhira menatap Reno yang duduk dihadapannnya saat ini, diangguki oleh Reno. Jawaban dari Reno sudah cukup membuat Andhira sedikit bernafas lega, karena tidak perlu harus menghindar dari Arsenio.“Kamu lagi gak mau ketemu sama pak Arsen? Masih belum baikan?” tanya Reno dengan serius, Andhira bergumam.“Iya.”Reno memicingkan mata, setahu dirinya hubungan Andhira dan Arsenio sudah membaik, terlihat pada saat di rumah Caca kemarin. Memang Arsenio pulang duluan karena ada meeting, jadi Andhira diantar pulang oleh Darwis.Reno menarik kursinya agar lebih mendekat kepada Andhira yang sedang membaca sebuah buku novel. Dia memperhatikan Andhira, “Bukan karena pak Arsen pulang duluan, kan?” tanyanya, dijawab dengan gelengan kepala dari Andhira.“Ada sesuatu, sampai sesuatu itu selesai, baru kami baikan.”Reno bingung, sangat terlihat pada wajahnya. Keterdiamannya membuat Andhira menoleh dengan sebelah
“Loh mas Arsen?”Andhira menatap Arsenio yang duduk di gazebo yang tersedia di halaman belakang rumah Darwis, dirinya mengalihkan atensi menatap Darwis yang tersenyum dan mendapatkan tepukan pelan di puncak kepalanya.“Udah hampir tiga hari kamu gak ketemu sama pak Arsenio, kan? Jadi, malam ini kalian manfaatkan buat mengobrol berdua, aku ke atas yaa. Kalau ada apa-apa, bisa langsung teriak aja.”Andhira hanya bergumam, sedangkan Darwis tersenyum kepada Arsenio yang berdiri dihadapannya dan menunduk sebagai salam pamit. Kini tersisa Arsenio dan Andhira, terlihat canggung diantara keduanya.Arsenio menggenggam tangan Andhira lembut, lalu menariknya ke gazebo. Dirinya langsung mendekap kekasihnya cukup erat, tidak menutupi rasa rindunya terhadap Andhira. Bayangkan saja, biasanya setiap hari bertemu, kini harus jarang sekali bertemu, itupun harus secara bersembunyi.“Gak kaya gini, gak enak nanti kalau diliat sama orangtuanya Darwis,” bisik Andhira, merenggangkan pelukannya. Dia tersenyu
“Selamat pagi, pak Arsen. Semoga hari-harinya menyenangkan.”Andhira tersenyum kepada Arsenio saat berpapasan dengan Dosen PA, sekaligus kekasihnya itu. Arsenio menahan diri agar dirinya tidak kelepasan untuk memperlakukan Andhira seperti sepasang kekasih, dia ingat apa yang dikatakan oleh Andhira kemarin pada saat di rumah Darwis.“Semoga saja kamu tidak membuat kegaduhan ya.”Andhira bergumam, mengendikkan kedua bahunya, “Gak tau ya, Pak. Tapi saya niatnya buat keributann sih, karena tadi abis ketemu sama nenek lampir.”“Kamu diapain sama ….” Arsenio segera berdeham, memasang wajahnya serius, menatap tajam Andhira yang terkekeh. Dia kembali berkata, “Saya tidak ingin ada keributan apapun hari ini, baik kamu pelakunya atau Tesya. Mengerti?”Andhira mengulum bibirnya, lalu menggeleng, “Saya gak janji, Pak. Saya permisi,” pamitnya, menundukkan kepala dan melenggang pergi. Sedangkan Arsenio memperhatikan punggung Andhira yang mulai mengecil.Dari posisinya saat ini, Arsenio dapat meliha
“Reno … Reno … Kenapa selalu ada kamu yang gangguin rencana aku buat dapetin Andhira?”Reno bergumam, mundur satu langkah, begitu juga dengan Garaga. Hal itu berhasil membuat Andhira dihimpit empat laki-laki. Mereka semakin memperketat untuk menyembunyikan Andhira saat bodyguard yang dibawa oleh Manuel berpencar.“Aku yang seharusnya nanya, kenapa kamu gak nyerah aja? Harga diri kamu udah hilang, mendingan hilang sekalian.”Manuel menggeram, tetapi dirinya masih bisa mengendalikan diri dengan tersenyum miring dan maju satu langkah. Dia kesal dengan apa yang dikatakann oleh Reno, memang benar yang dikatakan oleh Reno itu sesuai fakta.“Aku lebih dulu kenal sama Andhira dibandingkan kamu,” balas Manuel dengan percaya diri, berhasil membuat Reno menaikkan sebelah alisnya.“Tapi dia gak mau tuh ketemu sama kamu, dia lebih pilih sama aku. Aku cuma mau ngingetin aja sih ….” Reno menjeda ucapannya, memperhatikan penampilan Manuel dari bawah hingga atas, lalu terkekeh.“Lebih baik kamu pergi
“Kalian memang seniat itu ya untuk menghancurkan hubungan saya dan Andhira?”Arsenio melangkah maju, menghampiri Manuel dan Liliana yang berada di tengah rooftop. Liliana melempar sembarang pisau yang sedang dipegang, sedangkan Manuel menodongkan pistol yang dia keluarkan dari saku celana.“Dareen Arsenio, mantan suami dari Liliana, papih dari Amanda Anandita, dan kekasih dari Maheswari Andhira Swastika, senang bertemu dengan anda,” ujar Manuel dengan smirk smile yang ia miiki.Liliana berdeham, menghampiri Arsenio dan mencoba untuk mengamit lengan Arseni tetapi segera ditepis olehh mantan suaminya itu. Penolakan yang sangat jelas diterima oleh Liliana, membuatnya menggeram kesal.“Apa yang kamu lihat dari bocah umur dua puluh tahun seperti Andhira?” tanya Liliana, ditanggapi oleh Arsenio dengan sebelah alis yang naik.“Andhira menerima Amanda, sedangkan kamu? Buruk, sangat buruk. Bahkan, saya harus katakan ke kamu, kalau kamu itu yang bocah,” balas Arsenio penuh penekanan, melirik ti
“Jangan takut, Manuel udah ditahan sama polisi, jadi gak bakal ada yang ganggu kamu lagi.”Arsenio mendekap erat Andhira, mencoba untuk membuat kekasihnya sedikit lebih tenang setelah terjadi insiden beberapa menit yang lalu. Andhira lemas, fikirannya kosong, antara hidup dan mati.“Aku masih bernafas, kan?” tanya Andhira dengan suara pelan, menatap Arsenio yang tersenyum kepadanya.“Iyaa.”Andhira kembali menangis, “Aku belum tulis surat wasiat kalau tadi beneran mati konyol,” ocehnya disela-sela terisaknya.Arsenio mendesis, dia tidak ingin Andhira kembali mengingat kejadian saat Manuel menarik paksa Andhira dan berdiri di pembatas, jika maju satu langkah sudah dipastikan akan berbeda cerita.“Minum dulu, Dhir,” titah Garaga memberikan satu botol air mineral yang baru dia beli di kantin, dirinya menjadi salah satu saksi betapa gilanya Manuel.Darwis bersidekap dada, mata elangnya teduh saat menatap Andhira yang kini berada dalam pelukan Arsenio. Dia tidak akan membiarkan Manuel men
“Andhira, masih marah sama aku?”Garaga mencoba untuk mengajak Andhira bicara dengannya, sedangkan Andhira mengabaikan keberadaannya yang tepat berada di sisi kanan. Andhira kesal dengan Garaga karena laki-laki itu mengulang kembali kalimat kramat yang dikatakan oleh Manuel.“Pak Arsen ayok tukeran tempat duduk, samping saya ini kaya ada hantunya. Merinding banget,” ucap Andhira, menatap Arsenio yang sedang memakan bakso. Sedangkan Garaga berdecak, kesabarannnya tidak banyak.Garaga menarik surai panjang milik Andhira, dan membuat gadis itu memekik. Tangan Andhira otomatis memukul bahu Garaga cukup keras, sedangkan Garaga mendesis.“Aku bilangin papih kalau Garaga nakal, gak usah diterima kalau ke rumah,” ucap Andhira, menatap tajam Garaga yang menatapnya dengan mata menyipit.“Kamu ini yaa, padahal yang bilang kaya gitu bukan aku doang. Reno, Zavian sama Kalvin kan ikut-ikutan,” balas Garaga, tidak i