Ada apa nih? Yang DM minta updatenya banyak-banyak, nanti malam lagi ya...
Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Sulit kumengerti mengapa kuputuskan hal ini? Jika ada yang mengatakan aku gila, mungkin itu benar. Aku keluar rumah saat dini hari. Bukan menuju ke bandara untuk melakukan perjalanan mendesak, melainkan ke tempat orang dugem. Lebih aneh lagi, aku menjemput pria sing yang sama sekali tidak memiliki hubungan denganku. Keterpaksaan ini kulakukan dengan alasan kemanusiaan.Beberapa kali kaki ini ragu untuk melangkah. Bukan hanya di sini, melainkan sejak dari rumah. Setelah kubangunkan Tita dan menjelaskan apa yang kudengar, gadis itu akhirnya pindah tidur ke kamarku. Jangan sampai Agam ketakutan karena tidak melihatku di sampingnya.Kutarik napas perlahan turun dari taksi online yang kutumpangi. Kembali kuhubungi nomor Riswan berharap ada yang menjawab. Seumur hidup, aku tidak pernah masuk ke tempat orang-orang berjoget diiringi musik keras. Apalagi ke tempat yang menyajikan minuman haram memabukkan.Di depan pintu masuk ada dua pria bertubuh tinggi bes
Dua jam setelah aku tiba di apartemen ini, Wira datang dan langsung berlari kecil menghampiri Riswan. Pria berkacamata itu memeriksa lengan bagian lipatan siku. Kemudian ia beralih ke pupil mata sambil memeriksa denyut nadinya.Helaan lega pengacara itu turut membuatku tenang. Dia menjelaskan ketakutannya jangan sampai di sana ada yang menawari Riswan suntikan. "Dia muntahin kamu?"Aku tidak menjawab dan hanya beranjak meraih tas selempang kecilku. Separuh pakaianku basah, bukankah sudah jelas? Di baskom dekat sofa pun masih ada bekasnya walau yang keluar hanya air. Kulihat dia mengedarkan pandangan memperhatikan sekitarnya sambil meringis dan meminta maaf karena sudah merepotkanku. Aku hanya mengangguk dan pamit karena sudah memesan taksi online ketika dia datang tadi."Saya harap kamu tidak menjauhinya setelah melihatnya sekacau ini. Saya juga sama terkejutnya, karena di antara kami berenam," ucapnya menoleh ke arah foto besar yang tampak enam punggung pria yang saling rangkul. Dia
Pria yang katanya ingin mampir mengambil dompetnya itu duduk di teras rumah. Dia tidak membawa kendaraannya. Ah, tentu tidak, karena SIM dan kartu identitasnya ada di dompet.Agam tidak sabar turun dari motor. Langkah kecilnya berlari menerjang Riswan yang bersiap menangkapnya. Untuk kesekian kali, kulihat putraku tertawa lepas bersama pria kaya itu."Terpesona ya, Mbak? Wajar sih, orangnya baik, ganteng, tajir, murah senyum, penyayang sama anak kecil juga. Kurang apa lagi coba?" bisik Tita. Aku hampir lupa, gadis cerewet yang satu ini, sekutu barunya Riswan.Memutar bola mata jengah, aku berlalu saja masuk ke rumah. Kubiarkan mereka bertiga sibuk sendiri ingin membuat ayunan. Agam kalau sudah dijanji, benar-benar mirip penagih utang. Dia akan mengingatnya terus sampai hal itu terpenuhi. Kalau dipikir-pikir, itu ajaran dan kebiasaan dari Kemal yang suka menjanjikan sesuatu padanya.Saat aku keluar membawa teh dan camilan, mereka juga sudah selesai membuat ayunan. Di bawah pohon mangga
Aku lega setelah menyelesaikan perpanjangan kontrak selama enam bulan. Kini aku sedang mengantre membelikan roti daging kesukaan Agam dan roti keju kesukaan Tita yang mereka pesan tadi. Tak lama, pesananku sudah dikemas.Berjalan menuju eskalator, aku menoleh ke kanan. Terpaksa aku harus meraup kecewa. Tadinya aku ingin ke toko pakaian anak, tetapi toko yang pernah kukunjungi sedang tutup. Sementara toko lain tidak menarik minat dan tidak bersahabat dengan isi dompetku.Dering ponsel membuatku berhenti sejenak. Seorang wanita ingin memesan 200 porsi nasi ayam fillet untuk acara ulang tahun anaknya. Kuterima pesanan tiga hari kedepan itu dengan senang hati. Rupiah-rupiah itu akan masuk ke rekeningku."Risa!" panggil seseorang yang suaranya masih kuhapal betul. Aku belum lupa siapa pemilik suara itu. "Risa! Tunggu!" Teriakan untuk kedua kalinya dari orang yang sama. Aku tidak menoleh dan berlari secepat yang kubisa. Bagaimana bisa dia ada di sini?Berlari memasuki lift yang sebentar lag
"Walau Agam lebih mirip denganmu, tapi mata sipit mereka sama." Aku terdiam dan juga mengakui hal itu. Ibu Umairah, Kemal dan kerabat Aditya juga mengatakan hal yang sama."Saya tidak ingin dia punya kesempatan mendapatkan kalian kembali. Ini mungkin terdengar egois, tapi saya tidak akan menyerah sampai kamu luluh. Saya juga bisa menyayangi Agam seperti seorang ayah menyayangi anaknya. Semua itu tergantung keputusan kamu. Sejak awal, saya sudah beritahu perasaan saya yang sebenarnya," tuturnya lugas dan tenang. Ilmu apa yang dia punya sehingga dengan mudahnya bicara dan mengatakan isi hati dan pikirannya? Aku yang mendengarnya terkejut namun masih bisa tenang. Anehnya, aku malah memikirkan perasaannya.Aku takut mengatakan sesuatu yang mungkin akan menyakitinya. Mendengar tutur panjangnya membuatku sadar jika dia tidak main-main. Begitu juga yang dilakukannya barusan. Hanya orang bodoh yang akan memberikan akses masuk ke rumahnya, kecuali dengan tujuan tertentu. Dia peduli padaku dan
Tadinya kupikir setelah meninggalkan pasar malam, maka Riswan akan mengajak kami pulang. Ternyata, pria itu malah membelokkan mobilnya ke salah satu hotel dengan belasan lantai. Terlihat masih baru dan aku tidak tahu berapa kisaran sewa menginap di sini untuk semalam."Kita mau ketemu siapa di sini?" tanyaku pura-pura bodoh. "Kita akan menginap di sini malam ini. Hotel ini punya adik ipar sahabatku. Tidur di sini gratis karena Agam punya tiket khusus," jelas Riswan mengusap kepala Agam yang mulai mengantuk. Seharian putraku bergerak aktif seakan tidak ada lelahnya. "Hadiah dali Om Polisi. Wah … hotelnya bagus sekali.""Agam memang punya tiketnya?" Tita membungkuk ke arah jok depan yang diduduki Agam."Om Polisi yang ketemu Agam di acala ulang tahunnya kakak kembal bilang, di hotel yang ada ail mancul gede di depannya, Agam punya tiket gelatis tidul di kamal bagus. Foto tiketnya dikilim ke hapenya Om Liswan. Tiketnya walna bilu kuning," tutur Agam begitu yakin.Riswan memejamkan mata
Aku hampir saja menyembur tawa. Gadis yang tadinya sudah berbaring memunggungiku kini terlonjak sampai turun dari tempat tidur. Reaksinya seperti sama takutnya denganku saat bertemu Aditya."Terus?!" Tita masih membelalak memeluk gulingnya.Kusandarkan tubuh lelah ini di sandaran kasur. Kutepuk sisi kosong di sebelahku dan ia kembali naik. Bukan berbaring seperti tadi melainkan duduk bersila di hadapanku."Dia mengenali mbak, Tita. Dia kejar mbak sampai ke depan lift. Untung saja di dalam lift itu ada Riswan dan menjawab Aditya kalau yang dia cari sudah keluar lift. Aslinya, mbak malah mojok. Mbak jongkok di belakang dia ditutupi pakai jaketnya," jelasku mulai menceritakan apa yang kualami.Seperti saran Riswan, tak ada yang kusembunyikan dari Tita. Begitu juga saat aku sadar sudah berada di apartemen Riswan. Alasan pria itu mengajak kami tiba-tiba liburan seperti ini tidak lain untuk menghindari Aditya sementara waktu. Kubuat dia memahami ketakutanku. Berharap sebagai sesama wanita,
Aku melotot dan lagi-lagi ia tersenyum lebar tanpa rasa bersalah. Kulihat Agam masih mengunyah. Mata sipitnya menatapku lalu kembali menatap Andri."Agam pikil-pikil dulu, Om. Kalau ibu nda jualan, nanti Agam datang. Sudah dua hali ibu nda jualan, nanti uangnya ibu nda cukup bayal ibu gulu. Agam kan sebental lagi mau sekolah," kata Agam membuatku membeku. Tak kusangka Agam memikirkan hal itu. Apakah ia mendengarkan pembicaraanku dengan Tita beberapa hari lalu? Sama sepertiku, Tita pun menoleh menatap Agam yang kembali melanjutkan suapannya. Dua pria di hadapanku juga diam, tapi mengulas senyum."Ok, om mengerti. Nanti kalau Agam sudah mulai sekolah, kasih tahu om juga. Cerita juga sama om tentang teman barunya Agam," pintanya mengusap kepala Agam yang mengangguk lalu mengacungkan jempolnya padaku. Setelah makan siang, kami putuskan untuk kembali ke Makassar. Andri berangkat lebih dulu karena hendak menjemput kerabatnya di bandara. Seperti kemarin, Agam kembali duduk di depan. Sepanj