Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).
“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”
“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.
“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.
“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”
“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.
“Emang kenapa kalau udah punya kerjaan ngelamar di tempat lain? Nggak boleh?” Pemuda tadi menantang.
Sandra mendengkus. “Loh, masih nanya. Ya nggak boleh, lah. Resign dulu dari kerjaanmu sebelumnya. Itu namanya selingkuh.”
Pemuda tadi mendekati Sandra. “Mbak itu lahir dari jaman purba ya? Pakai bilang selingkuh. Kuno. Ini tuh namanya upgrade. Kalau nggak gitu, kapan kita maju. Kita kan juga butuh batu loncatan. Kalau resign dulu baru melamar kerja, iya kalau diterima, kalau enggak. Nganggur kita! Bah! Pikir dong, Mbak.”
Beberapa orang mengangguk, membenarkan ucapan pemuda itu.
Sandra menunduk. Pipinya merah. Benar juga, batinnya. Empat tahun tidak berhubungan dengan dunia kerja membuatnya ketinggalan istilah-istilah baru. Dulu, jika ia berani melamar kerjadi tempat lain sebelum mengundurkan diri dari perusahaannya, ia akan merasa bersalah. Tidak beretika, istilahnya. Namun sekarang rupanya hal itu sudah menjadi wajar.
“Sudah, sudah. Mbak ini juga benar.” Gadis yang berdiri di sebelahnya tadi membela. “Setidaknya kasihlah kesempatan pada para pengangguran dulu.”
“Lah,” pemuda nyolot tadi tertawa meremehkan. Ia melontarkan ejekan yang kemudian ditelan oleh bunyi interkom.
Si seketaris kemudian menjawab panggilan dari sang CEO tersebut. Ia menekan tombol speaker sehingga semua orang dalam ruangan itu dapat mendengar perkataan sang CEO.
“Sore ini Miss. Evelyn mau mampir ke sini sebentar. Kamu tahu toko kue Sweet Bakery, kan? Aku sudah janji mau ngasih kue lemon dari toko itu kalau dia mau mampir ke sini.” Suara Barra terdengar dari interkom.
Sang seketaris mulai gugup. Ia menengok jam di tangannya dan menjawab, “Tapi, Pak, toko itu sudah tutup satu jam yang lalu.”
“Ya aku nggak peduli. Kalau perlu telepon kokinya.”
Seketaris itu mencoba bernegoisasi. “Gimana kalau saya belikan kue lemonnya di toko lain.”
“Aku janji bakal ngasih dia kue lemon dari toko itu. Denger nggak sih?”
“Tapi, Pak—“
“Dah, ah! Sejam lagi beliau datang. Aku harap kue itu udah ada di sini sebelum beliau datang.”
Pemuda yang tadi berdebat dengan Sandra menyeletuk, “Pak, kapan wawancaranya? Kita sudah capek nunggu, nih!”
Dari interkom Barra bertanya, “Siapa itu yang bicara?”
“Anu ....” Sang seketaris tampak salah tingkah.
“Usir dia. Aku nggak mau punya karyawan yang nggak punya sopan santun.” Kemudian, sambungan telepon terputus.
Semua orang memandang pemuda itu dengan sorot permusuhan.
“Sialan!” Pemuda tadi memukulkan mapnya ke pintu kantor Barra. “Dasar sombong!” Ia lantas keluar.
Sementara itu sang seketaris sibuk menekan nomor telepon toko kue. Dia menggigiti kuku jari tangannya sembari menunggu telepon diangkat. Namun, setelah lama menunggu suara operator yang menginformasikan bahwa toko itu sudah tutup yang terdengar. Ia mulai panik.
“Wah, lokernya bakal bertambah nih,” kelakar salah seorang pelamar, yang langsung mendapat tawa daro pelamar lain.
Sandra sendiri ingat. Mantan mertuanya dulu juga menggemari kue itu. Setiap hari ia disuruhnya menyetok kue tersebut. Namun suatu hari, Sandra lupa membelikannya ketika berbelanja. Stoknya di kulkas juga sudah habis. Padahal saat itu Bu Utami ingin makan kue tersebut untuk desert. Panik, Sandra ke toko dan sialnya toko itu sudah tutup.
Untungnya si koki memberitahu apabila ada kue yang tidak terjual hari itu, mereka memberikannya ke warung di dekat perempatan toko untuk dijual murah agar tidak mubazir.
Teringat hal itu, Sandra segera kelar dari kantor Barra. Ia sempat mendengar salah satu pelamar berkata, “Berkurang satu lagi saingan kita.”
Berlari, Sandra keluar dari kantor Aksara Group. Ia lalu mencegat taksi dan menuju ke warung, tempatnya biasa membeli kue tersebut ketika toko tutup. Ia berharap kue yang dimaksud ada di sana.
Sementara itu, di kantor Barra jam berjalan cepat sekali bagi Wuri, sang seketaris. Tahu-tahu sudah hampir satu jam berlalu. Ia bingung harus mendapatkan kue pesanan bosnya dari mana. Pasalnya semua cabang toko kue tersebut sudah diteleponnya. Tak ada yang masih buka. Ia mulai frustrasi. Apalagi ketika Miss. Evelyn datang.
Barra menyambut kedatangan mantan duta besar untuk Irlandia itu.
“Aku nggak bisa lama-lama,” kata wanita itu.
“Tentu, tentu. Mengetahui Anda sudi mampir saja merupakan berkah bagi kami. Mari masuk.” Barra menuntunnya masuk. Mereka bercakap sebentar.
Lima menit kemudian interkom Wuri kembali berdering.
“Kau sudah siapkan kue kesukaan Miss. Evelyn, kan?” tanyanya.
Wuri tak tahu mesti menjawab apa. Rasanya ia ingin menangis.
Mendadak pintu terbuka. Dengan napas tersengal, penampilan awut-awutan, dia menaruh sebungkus kue tart rasa lemon berbungkus Sweet Bakery ke meja sang seketaris.
“Su-sudah, Pak,” Wuri menjawab dengan ternata-bata.
“Bawa masuk,” perintah Barra.
Wuri memandang Sandra penuh haru. Ia mengucap terima kasih sebelum masuk.
Tatapan permusuhan segera Sandra dapatkan dari para pelamar yang ada di sana.
“Ih, penjilat!” cetus salah seorang pelamar sinis.
“Sok baik!” Cetus yang lain.
“Nyuap tuh namanya.”
Dan banyak lagi celetukan yang tak enak di dengar. Sandra menjadi ciut. Tapi, ia mencoba tegar. Toh, niatnya hanya ingin membantu.
Tak lama, Barra keluar kantor. Ia mengantar Miss. Evelyn yang tersenyum gembira karena mendapat kue favoritnya pergi, meninggalkan kantornya. Setelah kembali ia bertanya kepada sang seketaris yang sudah kembali ke balik mejanya.
Wuri menunjuk Sandra. “Wanita itu, Pak.”
Sandra sedikit tersentak karena mendadak ditunjuk. Barra lantas menyuruhnya masuk.
“Pak, kami gimana?” Seorang pelamar bertanya.
Barra tersenyum. “Maaf, lowongan kerja sebagai asisten seketaris sudah terisi.”
“Yah, kok gitu, sih?”
Namun Barra menanggapinya dengan menutup pintu.
Kantor Barra terlihat klasik tetapi nyaman. Selain meja kerja, ada rak berisi buku-buku yang disusun dengan estetik. Jendelanya menghadap tengah kota. Lampunya tidak terlalu terang, sehingga terkesan adem. Bau parfum maskulin memenuhi ruangan itu. Ketika Sandra menghirupnya, ia merasa nyaman dan santai.
“Kamu?” Barra mengacungkan telunjuk ke wajah Sandra. Tangannya yang sati di pinggang. Keningnya berkerut dan bibirnya mengerucut, tampak seperti sedang mengingat-ingat sesuatu.
Sandra membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi. Ia salah tingkah dipandang seperti itu oleh sang CEO yang setelah diperhatikan lebih dekat, tampak tampan sekali. Kulitnya tampak bersih dan mulus. Bulu matanya lebih panjang dari lelaki kebanyakan. Irisnya berwarna cokelat, mendekati hasel. Dan ketika Barra mendekatkan kepalanya untuk melihat Sandra lebih dekat, jantung wanita itu rasanya mau copot.
“Sepertinya aku pernah lihat kamu,” lanjut sang CEO yang membuat Sandra menunduk. “Kamu kan yang ....”
Sandra segera menangkupkan tangannya ke depan. Dia langsung mencerocos. “Maaf, maaf, maaf, waktu itu aku lagi kacau banget. Aku nggak bisa berpikir jernih. Jadi, aku mencegat mobil pertama yang lewat untuk kutumpangi. Soalnya aku ....”
Namun, Barra malah tertawa. Ia senang bertemu dengan Sandra, apalagi menjadi atasannya. Ia yakin hari-harinya di kantor akan lebih asik nantinya. Dan tentunya definisi asik menurut Barra berbeda dengan definisi asik menurut Sandra.
***
Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebel
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Pacar Pak Barra? Sandra bertanya-tanya. Bukankah tadi Bu Dina marah karena sang anak tidak memberi tahu tentang kekasihnya? Kalau memang gadis di depannya ini adalah pacar atasannya, kenapa tidak diperkenalkan saja? Aneh.Menurut Sandra, Nadine merupakan gadis yang cantik. Tubuhnya langsing. Dia juga tinggi. Rambutnya panjang dan ikal, menggantung di bagian bawah. Ia memiliki poni sepanjang alis yang agak jarang. Pipinya pun tirus. Dan dandanannya seperti artis-artis dari Korea. Kulitnya bening sampai-sampai Sandra curiga dia menempelkan ubur-ubur di sana.Baju yang dikenakannya pun menarik. Nadine memakai setelan dengan rok pendek dan blazer. Tasnya terbuat dari kulit asli, dari merek terkenal pula. Harganya ia taksir sampai puluhan juta. Ia pernah melihat artis Nagita Slavina membawa tas yang serupa di televisi. Jadi, sudah pasti gadis itu adalah anak orang kaya. Namun, mengapa Barra tidak mengenalkannya kepada Bu Dina?“Maaf, Mbak,” kata Sandra kemudian. “Apa Mbak ke sini mau berte
Harapan Sandra memang terpenuhi. Dia tidak bertemu Alex hari itu. Akan tetapi, dia lelah luar biasa. Setelah menghadiri acara pembukaan restoran baru, jadwal Barra selanjutnya adalah menghadiri acara amal.Acara amal itu diselenggarakan di alun-alun kota, dan dipimpin oleh Ibu Walikota, juga disiarkan ke televisi-televisi nasional. Aksara Grup menjadi salah satu sponsornya. Maka dari itu, Barra diharap dapat menghadirinya.Setelah dibuka dengan sambutan-sambutan, tibalah acara inti yaitu membuat adonan kue. Rencananya kue-kue tersebut akan dijual. Dan hasil dari penjualan akan didonasikan ke yayasan panti asuhan.Begitu sampai di alun-alun, Sandra dan Barra segera digeret oleh istri Pak Bupati, yang kebetulan ikut dalam acara tersebut. Mereka lantas diberi celemek, serta tepung dan wadah.“Bu, saya nggak bisa bikin kue. Kalau masak, saya bisa.” Sandra memprotes.Bu Indra, istri sang bupati, mengibaskan tangan. “Ini buat foto aja, kok, Mbak. Kalian kan sponsor.”Wanita itu mendesah leg