Beranda / CEO / Janda Cantik Milik CEO Arogan / Bab 6. Dia yang Tak Bisa Diprediksi

Share

Bab 6. Dia yang Tak Bisa Diprediksi

Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya.

"Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.

Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.

Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.

Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau menjadi alasan penilaian mereka terhadap bosnya menurun. Jadi, dengan cermat ia menata penampilannya.

“Dik, Mbak berangkat dulu, ya!” pamitnya pada Chandra yang masih mengorok. Saat keluar rumah, tanpa ragu ia memilih high-heels sebagai pelengkap penampilannya. Kemarin, setelah pulang dari wawancara itu, ia membeli sepatu baru untuk bekerja.

Sandra juga sudah mencari tahu rute tercepat untuk sampai ke kantornya, serta transportasi yang cocok. Tidak mungkin ia pulang pergi ke kantor dengan menaiki taksi. Boros sekali.

Untungnya Sandra bisa menggunakan bus, tanpa harus transit pula. Beruntung sekali, batinnya.

Pukul delapan kurang seperempat ia tiba di kantor Aksara Group. Sama seperti kemarin, setelah masuk, ia disambut wanita dari bagian informasi.

“Dengan Mbak Sandra?” tanya wanita berwajah super ramah itu.

Sandra mengangguk.

Tak lama, wanita itu mengulurkan sebuah kartu pengenal yang digantungkan pada pita panjang kepadanya. “Ini IDCard-nya. Selama bekerja, mohon dikenakan ya, Mbak. Jangan sampai hilang karena kartu itu merupakan akses keluar masuk kantor.”

 “Kalau saya nggak sengaja menghilangkannya gimana, Mbak?” tanya Sandra ketakutan.

“Wah, bisa kena denda.” Wanita itu menjawab dengan senyum masih tersungging di bibirnya.

“Oh, ya? Berapa? Mahal, ya?”

“Enggak,” jawab wanita itu lagi, “cuma lima juta.”

Sandra terhenyak. “Li-lima juta?”

Wanita itu tertawa. Ia mengibaskan tangannya. “Ya ampun, jangan kaget begitu, Mbak. Pokoknya jangan sampai kehilangan kartu itu, ya. Nah, selamat bergabung di Aksara Group.”

“Lima juta?” gumam Sandra. Ia berjalan ke lift sambil memegangi kartu identitasnya seolah-olah benda itu adalah kaca yang rapuh.

Ketika sampai di atas, Wuri sudah menunggunya. Seperti yang diperintah Barra kemarin, Sandra meminta daftar orang-orang yang disuka maupun yang tidak disuka oleh atasannya. Daftar itu berguna untuk memudahkan pekerjaan Sandra kelak dalam mengatur agenda Barra. Orang-orang yang tak ingin ditemui dapat diletakkannya di akhir janji.

“Tiga bulan lagi akan diadakan rapat tahunan pemegang saham. Itu rapat rutin untuk evaluasi. Jadi, aku sibuk sekali,” kata Wuri tanpa menoleh dari komputer. Jarinya sibuk mengetik. “Nah, di laci ada tablet. Di dalamnya sudah ada jadwal Pak Barra satu bulan ke depan. Untuk bulan berikutnya kau yang atur. Kalau sudah terbiasa bersama Pak Barra kau akan tahu mana yang harus kau dahulukan dan mana yang mesti kau tolak.”

Sandra membuka laci mejanya. Ia mengambil tablet, kemudian menyalakannya. Ia memeriksa tablet itu sebentar dan menemukan agenda yang dimaksud Wuri.

“Pak Barra suka kopi pahit,” ujar Wuri lagi.

Sandra mengangguk. Ia masih sibuk memeriksa tablet.

“San,” panggil Wuri. Dengan intonasi yang dilambatkan, ia mengulangi ucapannya, “Pak Barra suka kopi pahit.”

Barulah Sandra mendongak, menatap lawan bicaranya. “Maaf?” Ia bingung.

Wuri mendesah. “Sebentar lagi Pak Barra datang. Kalau waktu dia datang belum ada kopi di meja, wah, bisa dipecat kamu.”

Sandra menegakkan punggung. Ia segera bangkit. “Pantry di mana, Mbak?”

“Lantai dasar.”

“Tergopoh-gopoh, Sandra segera berlari ke pantry. Ia mengabaikan para OB dan langsung membuat kopi, kemudian kembali ke ruangannya.

Ngos-ngosan, ia menaruh kopi itu di meja Barra. Untungnya, lelaki itu belum datang. Setelah kembali ke tempat duduknya, Wuri menggeleng-gelengkan kepala.

Selang setengah jam, Barra datang. Raut wajahnya tertekuk. Ia tampak mendung. Ketika Sandra menyapa, Barra lewat begitu saja dan langsung masuk ke dalam kantor. Tak berselang lama, interkom berbunyi.

“Si tawanan sudah masuk?” tanya sang CEO dari interkom.

Wuri mengernyit. “Tawanan?”

Wajah Sandra memerah. Ia lantas menunjuk dirinya sendiri dan mengambil alih telepon. “Ya, Pak. Saya di sini.”

“Masuk.”

Wuri sempat bertanya kepada Sandra apa maksud perkataan bosnya, tetapi wanita itu hanya mengedikkan bahu sekilas. “Nanti saya jelaskan.”

 Barra tampak bak lukisan seorang bangsawan ketika Sandra mengamatinya dari balik pintu. Ia duduk di kursi berpunggung tinggi. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menahan kepala dengan bosan sementara satunya menyangga tablet. Matanya memandang benda kotak itu dengan serius. Langit berwarna biru lembut yang dibingkai lis jendela menjadi kanvasnya. Rambutnya yang hitam kontras dengan kulitnya yang bersih dan cerah.

Seandainya disandingkan, apakah para malaikat cemburu dengan paras Barra? Sandra bertanya-tanya.

“Buatkan aku kopi,” katanya pada Sandra.

Wanita itu menunjuk secangkir kopi di meja sang CEO. “Maaf, Pak. Itu—“

“Sudah dingin,” sahut Barra singkat. “Buatkan aku kopi yang baru.”

“Baik, Pak.” Sandra lantas undur diri. Ia turun ke pantry, membuat kopi baru untuk atasannya. Saat akan membawanya masuk ke kantor Barra, Wuri bertanya kepadanya. Sandra menunjukkan bakinya sebagai jawaban. Wuri membuka mulut, seolah ingin memberitahu Sandra, tetapi wanita itu terlanjur mengetuk pintu sang CEO.

Setelah masuk, ia meletakkan kopi itu di meja atasannya, mengambil kopi dingin untuk dibawa kembali ke pantry.

Setelah balik ke mejanya, interkom berbunyi lagi.

“Suruh tawanan masuk,” perintah sang CEO.

Duh, apalagi, sih? Sandra meringis. Ia kembali masuk ke ruangan Barra.

“Mana kopiku?” tanya lelaki itu.

 Sandra menunjuk kopi yang baru saja ia buat. “Itu, Pak. Sudah saya ganti yang baru.”

“Masa?” Barra menatap kopi di mejanya dengan sangsi. “Coba kamu minum.”

Sandra melongo. “Pak?”

“Ayo, minumlah.” Barra memaksa.

Mau tak mau Sandra mengambil kopi itu lalu meminumnya. Ia meringis ketika lidahnya tersengat panas.

“Habiskan.”

“Pak ....” Sandra sempat merengek. Namun setelah sadar akan sikapnya, ia menenggak minuman itu sampai tandas.

“Enak?”

Sandra menggeleng. Ia tak suka kopi pahit.

“Buatkan aku kopi sama seperti yang barusan kamu minum itu.”

Sandra mendengkus. Ia merasa dikerjai. Namun, tak mau dipecat setelah beberapa jam bekerja, ia pun menuruti atasanya. Kakinya sangat lelah ketika dipakai bolak-balik kantor-pantry. Ia tak terbiasa mengenakan high-heels.

Wanita itu ngos-ngosan ketika menaruh secangkir kopi ke meja sang atasan.

“Ngapain kamu ngos-ngosan begitu?” tanya Barra.

“Saya ... sini ... pantry ... capek,” jelas Sandra terputus-putus.

“Ya ampun, kau kan bisa nyuruh OB.”

Mata Sandra membulat. Benar juga. Ya ampun, ia baru sadar betapa bodohnya ia selama ini! Tak bekerja selama empat tahun benar-benar telah membuatnya buta.

“Nah, apa jadwalku hari ini?”

Sandra lantas memeriksa tabletnya. “Hari ini bapak dijadwalkan makan siang dengan Pak Hendra, pemilik perusahaan pengiriman. Kemudian sorenya Bapak rapat dengan para designer untuk peluncuran product baru. Malamnya Bapak diundang makan malam oleh pejabat.”

“Wuri masih sibuk buat laporan tahunan?” tanya sang atasan.

Sandra mengangguk.

“Ya sudah, kalau begitu bersiaplah.” Barra lantas bangkit, melangkah keluar kantor. “Kuberi waktu lima menit.”

Sejenak, Sandra ingin mengingatkan Barra tentang kopi yang sudah susah payah dia buat. Namun, Barra terlanjur menghilang. Ia yang kesal hanya bisa mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Ia juga menggertakkan giginya kuat-kuat agar tidak menyumpahi atasan barunya. Kalau memang ada malaikat yang cemburu, maka malaikat itu pastilah malaikat maut. Pasalnya, Barra lebih kejam dari maut.

Namun, tanpa Sandra sadari, ia tak ingat lagi perihal undangan dari mantan suaminya. Ia terlalu sibuk menjadi mainan baru Barra.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status