Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya.
"Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.
Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.
Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.
Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau menjadi alasan penilaian mereka terhadap bosnya menurun. Jadi, dengan cermat ia menata penampilannya.
“Dik, Mbak berangkat dulu, ya!” pamitnya pada Chandra yang masih mengorok. Saat keluar rumah, tanpa ragu ia memilih high-heels sebagai pelengkap penampilannya. Kemarin, setelah pulang dari wawancara itu, ia membeli sepatu baru untuk bekerja.
Sandra juga sudah mencari tahu rute tercepat untuk sampai ke kantornya, serta transportasi yang cocok. Tidak mungkin ia pulang pergi ke kantor dengan menaiki taksi. Boros sekali.
Untungnya Sandra bisa menggunakan bus, tanpa harus transit pula. Beruntung sekali, batinnya.
Pukul delapan kurang seperempat ia tiba di kantor Aksara Group. Sama seperti kemarin, setelah masuk, ia disambut wanita dari bagian informasi.
“Dengan Mbak Sandra?” tanya wanita berwajah super ramah itu.
Sandra mengangguk.
Tak lama, wanita itu mengulurkan sebuah kartu pengenal yang digantungkan pada pita panjang kepadanya. “Ini IDCard-nya. Selama bekerja, mohon dikenakan ya, Mbak. Jangan sampai hilang karena kartu itu merupakan akses keluar masuk kantor.”
“Kalau saya nggak sengaja menghilangkannya gimana, Mbak?” tanya Sandra ketakutan.
“Wah, bisa kena denda.” Wanita itu menjawab dengan senyum masih tersungging di bibirnya.
“Oh, ya? Berapa? Mahal, ya?”
“Enggak,” jawab wanita itu lagi, “cuma lima juta.”
Sandra terhenyak. “Li-lima juta?”
Wanita itu tertawa. Ia mengibaskan tangannya. “Ya ampun, jangan kaget begitu, Mbak. Pokoknya jangan sampai kehilangan kartu itu, ya. Nah, selamat bergabung di Aksara Group.”
“Lima juta?” gumam Sandra. Ia berjalan ke lift sambil memegangi kartu identitasnya seolah-olah benda itu adalah kaca yang rapuh.
Ketika sampai di atas, Wuri sudah menunggunya. Seperti yang diperintah Barra kemarin, Sandra meminta daftar orang-orang yang disuka maupun yang tidak disuka oleh atasannya. Daftar itu berguna untuk memudahkan pekerjaan Sandra kelak dalam mengatur agenda Barra. Orang-orang yang tak ingin ditemui dapat diletakkannya di akhir janji.
“Tiga bulan lagi akan diadakan rapat tahunan pemegang saham. Itu rapat rutin untuk evaluasi. Jadi, aku sibuk sekali,” kata Wuri tanpa menoleh dari komputer. Jarinya sibuk mengetik. “Nah, di laci ada tablet. Di dalamnya sudah ada jadwal Pak Barra satu bulan ke depan. Untuk bulan berikutnya kau yang atur. Kalau sudah terbiasa bersama Pak Barra kau akan tahu mana yang harus kau dahulukan dan mana yang mesti kau tolak.”
Sandra membuka laci mejanya. Ia mengambil tablet, kemudian menyalakannya. Ia memeriksa tablet itu sebentar dan menemukan agenda yang dimaksud Wuri.
“Pak Barra suka kopi pahit,” ujar Wuri lagi.
Sandra mengangguk. Ia masih sibuk memeriksa tablet.
“San,” panggil Wuri. Dengan intonasi yang dilambatkan, ia mengulangi ucapannya, “Pak Barra suka kopi pahit.”
Barulah Sandra mendongak, menatap lawan bicaranya. “Maaf?” Ia bingung.
Wuri mendesah. “Sebentar lagi Pak Barra datang. Kalau waktu dia datang belum ada kopi di meja, wah, bisa dipecat kamu.”
Sandra menegakkan punggung. Ia segera bangkit. “Pantry di mana, Mbak?”
“Lantai dasar.”
“Tergopoh-gopoh, Sandra segera berlari ke pantry. Ia mengabaikan para OB dan langsung membuat kopi, kemudian kembali ke ruangannya.
Ngos-ngosan, ia menaruh kopi itu di meja Barra. Untungnya, lelaki itu belum datang. Setelah kembali ke tempat duduknya, Wuri menggeleng-gelengkan kepala.
Selang setengah jam, Barra datang. Raut wajahnya tertekuk. Ia tampak mendung. Ketika Sandra menyapa, Barra lewat begitu saja dan langsung masuk ke dalam kantor. Tak berselang lama, interkom berbunyi.
“Si tawanan sudah masuk?” tanya sang CEO dari interkom.
Wuri mengernyit. “Tawanan?”
Wajah Sandra memerah. Ia lantas menunjuk dirinya sendiri dan mengambil alih telepon. “Ya, Pak. Saya di sini.”
“Masuk.”
Wuri sempat bertanya kepada Sandra apa maksud perkataan bosnya, tetapi wanita itu hanya mengedikkan bahu sekilas. “Nanti saya jelaskan.”
Barra tampak bak lukisan seorang bangsawan ketika Sandra mengamatinya dari balik pintu. Ia duduk di kursi berpunggung tinggi. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menahan kepala dengan bosan sementara satunya menyangga tablet. Matanya memandang benda kotak itu dengan serius. Langit berwarna biru lembut yang dibingkai lis jendela menjadi kanvasnya. Rambutnya yang hitam kontras dengan kulitnya yang bersih dan cerah.
Seandainya disandingkan, apakah para malaikat cemburu dengan paras Barra? Sandra bertanya-tanya.
“Buatkan aku kopi,” katanya pada Sandra.
Wanita itu menunjuk secangkir kopi di meja sang CEO. “Maaf, Pak. Itu—“
“Sudah dingin,” sahut Barra singkat. “Buatkan aku kopi yang baru.”
“Baik, Pak.” Sandra lantas undur diri. Ia turun ke pantry, membuat kopi baru untuk atasannya. Saat akan membawanya masuk ke kantor Barra, Wuri bertanya kepadanya. Sandra menunjukkan bakinya sebagai jawaban. Wuri membuka mulut, seolah ingin memberitahu Sandra, tetapi wanita itu terlanjur mengetuk pintu sang CEO.
Setelah masuk, ia meletakkan kopi itu di meja atasannya, mengambil kopi dingin untuk dibawa kembali ke pantry.
Setelah balik ke mejanya, interkom berbunyi lagi.
“Suruh tawanan masuk,” perintah sang CEO.
Duh, apalagi, sih? Sandra meringis. Ia kembali masuk ke ruangan Barra.
“Mana kopiku?” tanya lelaki itu.
Sandra menunjuk kopi yang baru saja ia buat. “Itu, Pak. Sudah saya ganti yang baru.”
“Masa?” Barra menatap kopi di mejanya dengan sangsi. “Coba kamu minum.”
Sandra melongo. “Pak?”
“Ayo, minumlah.” Barra memaksa.
Mau tak mau Sandra mengambil kopi itu lalu meminumnya. Ia meringis ketika lidahnya tersengat panas.
“Habiskan.”
“Pak ....” Sandra sempat merengek. Namun setelah sadar akan sikapnya, ia menenggak minuman itu sampai tandas.
“Enak?”
Sandra menggeleng. Ia tak suka kopi pahit.
“Buatkan aku kopi sama seperti yang barusan kamu minum itu.”
Sandra mendengkus. Ia merasa dikerjai. Namun, tak mau dipecat setelah beberapa jam bekerja, ia pun menuruti atasanya. Kakinya sangat lelah ketika dipakai bolak-balik kantor-pantry. Ia tak terbiasa mengenakan high-heels.
Wanita itu ngos-ngosan ketika menaruh secangkir kopi ke meja sang atasan.
“Ngapain kamu ngos-ngosan begitu?” tanya Barra.
“Saya ... sini ... pantry ... capek,” jelas Sandra terputus-putus.
“Ya ampun, kau kan bisa nyuruh OB.”
Mata Sandra membulat. Benar juga. Ya ampun, ia baru sadar betapa bodohnya ia selama ini! Tak bekerja selama empat tahun benar-benar telah membuatnya buta.
“Nah, apa jadwalku hari ini?”
Sandra lantas memeriksa tabletnya. “Hari ini bapak dijadwalkan makan siang dengan Pak Hendra, pemilik perusahaan pengiriman. Kemudian sorenya Bapak rapat dengan para designer untuk peluncuran product baru. Malamnya Bapak diundang makan malam oleh pejabat.”
“Wuri masih sibuk buat laporan tahunan?” tanya sang atasan.
Sandra mengangguk.
“Ya sudah, kalau begitu bersiaplah.” Barra lantas bangkit, melangkah keluar kantor. “Kuberi waktu lima menit.”
Sejenak, Sandra ingin mengingatkan Barra tentang kopi yang sudah susah payah dia buat. Namun, Barra terlanjur menghilang. Ia yang kesal hanya bisa mengentak-entakkan kakinya ke lantai. Ia juga menggertakkan giginya kuat-kuat agar tidak menyumpahi atasan barunya. Kalau memang ada malaikat yang cemburu, maka malaikat itu pastilah malaikat maut. Pasalnya, Barra lebih kejam dari maut.
Namun, tanpa Sandra sadari, ia tak ingat lagi perihal undangan dari mantan suaminya. Ia terlalu sibuk menjadi mainan baru Barra.
***
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Pacar Pak Barra? Sandra bertanya-tanya. Bukankah tadi Bu Dina marah karena sang anak tidak memberi tahu tentang kekasihnya? Kalau memang gadis di depannya ini adalah pacar atasannya, kenapa tidak diperkenalkan saja? Aneh.Menurut Sandra, Nadine merupakan gadis yang cantik. Tubuhnya langsing. Dia juga tinggi. Rambutnya panjang dan ikal, menggantung di bagian bawah. Ia memiliki poni sepanjang alis yang agak jarang. Pipinya pun tirus. Dan dandanannya seperti artis-artis dari Korea. Kulitnya bening sampai-sampai Sandra curiga dia menempelkan ubur-ubur di sana.Baju yang dikenakannya pun menarik. Nadine memakai setelan dengan rok pendek dan blazer. Tasnya terbuat dari kulit asli, dari merek terkenal pula. Harganya ia taksir sampai puluhan juta. Ia pernah melihat artis Nagita Slavina membawa tas yang serupa di televisi. Jadi, sudah pasti gadis itu adalah anak orang kaya. Namun, mengapa Barra tidak mengenalkannya kepada Bu Dina?“Maaf, Mbak,” kata Sandra kemudian. “Apa Mbak ke sini mau berte
Harapan Sandra memang terpenuhi. Dia tidak bertemu Alex hari itu. Akan tetapi, dia lelah luar biasa. Setelah menghadiri acara pembukaan restoran baru, jadwal Barra selanjutnya adalah menghadiri acara amal.Acara amal itu diselenggarakan di alun-alun kota, dan dipimpin oleh Ibu Walikota, juga disiarkan ke televisi-televisi nasional. Aksara Grup menjadi salah satu sponsornya. Maka dari itu, Barra diharap dapat menghadirinya.Setelah dibuka dengan sambutan-sambutan, tibalah acara inti yaitu membuat adonan kue. Rencananya kue-kue tersebut akan dijual. Dan hasil dari penjualan akan didonasikan ke yayasan panti asuhan.Begitu sampai di alun-alun, Sandra dan Barra segera digeret oleh istri Pak Bupati, yang kebetulan ikut dalam acara tersebut. Mereka lantas diberi celemek, serta tepung dan wadah.“Bu, saya nggak bisa bikin kue. Kalau masak, saya bisa.” Sandra memprotes.Bu Indra, istri sang bupati, mengibaskan tangan. “Ini buat foto aja, kok, Mbak. Kalian kan sponsor.”Wanita itu mendesah leg
Malam itu Sandra pulang dengan terseok-seok. Akan tetapi, ia tak semuram kemarin. Setidaknya rona wajahnya sedikit lebih cerah. Hal itu membuat Chandra curiga.“Hayo, Mbak habis ngapain?”“Huh?” Sandra salah tingkah. Ia melepas sepatu yang dibelikan Barra dengan hati-hati, lalu meletakkannya ke rak sepatu paling tinggi. “Habis kerja, kan? Emang mau ngapain lagi?”Chandra tersenyum jahil. “Kok girang banget?”Wanita itu memegang pipinya dengan telapak tangan. “Masa?”“Bosnya Mbak udah nggak jahat lagi?” tanya Chandra kemudian. Ia sedang duduk di depan laptopnya. Bungkus camilan berserakkan di sekitarnya. Akan tetapi, dia tak peduli.Sandra mengempaskan tubuhnya ke sofa di belakang Chandra yang sedang menggarap tugas. “Siapa bilang bosku jahat?”Chandra pura-pura lupa. “Duh, siapa ya? Kayaknya cewek yang berinisial S, deh.”Sang kakak menendangnya lembut, sekadar ingin menggodanya saja. “Enggak jahat. Cuma gimana, ya? Dia tuh nggak bisa ditebak. Kadang gualaknya kayak singa diinjak ekor
Perlu usaha keras bagi Nadine untuk mengajak Barra ke sebuah pesta. Pasalnya lelaki itu tak pernah mau. Apalagi kalau pesta itu jatuh pada hari liburnya. Selalu saja ada alasan.Nadine sendiri tidak tahu alasan Barra menolak pesta-pesta itu. Padahal sebagai seorang yang masih muda dan bergelimang harta, seharusnya Barra sering-sering ke pesta untuk bersenang-senang, begitu pikir gadis itu.Nadine sendiri sangat menyukai pesta, tapi bukan pesta pernikahan beradat kental. Ia lebih suka pesta-pesta para pemuda seperti ulang tahun, pesta lajang, dsb. Pokoknya yang seru-seru, yang ada musik dan alkohol, sehingga dia bisa berdansa sampai puas. Akan tetapi, dia juga tak menolak pesta elegan berupa makan malam disusul dengan minum wine.Sebagai anak muda, ia tak mau menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin mencoba segalanya.Tadinya Nadine mengajak Barra ke pesta lajang yang diadakan temannya. Dulu, dia bersekolah di luar negeri. Australia, tepatnya. Setelah selesai sekolah, ia masih berhubungan den