Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
“Nanti setelah makan malam, Mama mau bicara serius sama kamu dan suamimu. Hari ini biar Bi Inah yang nyuci piring."Deg! Ada apa ini? Batin Sandra tak tenang.Tidak biasanya sang mertua meminta izin untuk mengobrol. Kalau memang ada hal yang ingin diomongkan, dia pasti akan langsung bicara. Terlebih lagi dia menyuruh Bi Inah mengerjakan tugas yang sudah menjadi rutinitasnya.Memang, sebagai istri Alex, tak seharusnya Sandra mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga. Namun, Bi Inah sudah tua. Dia tak bisa lagi mengerjakan tugas-tugas berat.Alex bukannya tak mampu membayar asisten rumah tangga lain. Sebenarnya gajinya sangat cukup untuk membayar tiga pembantu tambahan. Dia bekerja sebagai manager sebuah perusahaan. Namun, Bu Utami melarangnya menambah asisten rumah tangga.“Eman,” katanya. "Biar Sandra saja. Dia kan masih kuat."Sandra terpaksa keluar dari pekerjaannya karena lelah kalau harus membersihkan rumah setelah bekerja.Saat menata piring, Sandra sudah bertanya-tanya, ada hal
Saat memasukkan bubuk cabai ke sarapan mertuanya, Sandra tak begitu memikirkan konsekuensi yang bakal ia dapatkan. Waktu itu ia dalam kondisi emosi tinggi. Akal sehatnya tertekan oleh nafsu untuk membalas Bu Utami yang tak menganggapnya sebagai menantu.Setelah dengan sengaja menuang bersendok-sendok bubuk cabai itu, ia sempat mengintip mertua dan para tamunya duduk dengan nyaman di ruang makan. Ia bahkan membantu menuangkan air minum untuk mereka. Alex sudah pergi ke kantor. Ia tak biasa ikut sarapan di rumah.Setelah sang mertua dan para tamunya memasukkan satu sendok makanan ke mulut, dengan kompak mereka mengernyit. Namun, untuk menghormati si tuan rumah, para tamu tersebut diam.Dua sendok mereka makan. Wajah mereka tampak memerah. Dan saat akan memasukkan sendok kelima, Bu Citra tak tahan lagi. “Ini masakan apa to, Jeng? Warna santannya kayak sambal goreng tapi nggak ada kacang, cuma ayam doang. Tapi kalau dibilang opor kok terlalu merah. Dan rasanya ....”Rose yang juga kepeda
Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran
Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.“Emang kenapa kalau udah punya
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da