Beranda / CEO / Janda Cantik Milik CEO Arogan / Bab 1. Ajuan Poligami

Share

Janda Cantik Milik CEO Arogan
Janda Cantik Milik CEO Arogan
Penulis: IyoniAe

Bab 1. Ajuan Poligami

“Nanti setelah makan malam, Mama mau bicara serius sama kamu dan suamimu. Hari ini biar Bi Inah yang nyuci piring."

Deg! Ada apa ini? Batin Sandra tak tenang.

Tidak biasanya sang mertua meminta izin untuk mengobrol. Kalau memang ada hal yang ingin diomongkan, dia pasti akan langsung bicara. Terlebih lagi dia menyuruh Bi Inah mengerjakan tugas yang sudah menjadi rutinitasnya.

Memang, sebagai istri Alex, tak seharusnya Sandra mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga. Namun, Bi Inah sudah tua. Dia tak bisa lagi mengerjakan tugas-tugas berat.

Alex bukannya tak mampu membayar asisten rumah tangga lain. Sebenarnya gajinya sangat cukup untuk membayar tiga pembantu tambahan. Dia bekerja sebagai manager sebuah perusahaan. Namun, Bu Utami melarangnya menambah asisten rumah tangga.

“Eman,” katanya. "Biar Sandra saja. Dia kan masih kuat."

Sandra terpaksa keluar dari pekerjaannya karena lelah kalau harus membersihkan rumah setelah bekerja.

Saat menata piring, Sandra sudah bertanya-tanya, ada hal besar apa yang membuat mertuanya ingin bicara serius dengannya dan sang suami? Apakah ia telah melakukan kesalahan?

Sandra mengingat-ingat. Memang beberapa kali mertuanya itu tampak sinis kepadanya, apalagi setelah ia kepergok main ke rumah tetangga tadi siang. Mungkin sang mertua marah karena mengira Sandra telah menggosipkan dirinya.

Ah, pikir Sandra memutuskan, nanti ia akan jelaskan bahwa tak mungkin ia menggosipkan mertuanya. Walau sebenarnya ia memang sering mengeluhkan sikap mertua dan suaminya, tetapi mereka tak perlu tahu. Dan kalau sudah ketahuan, Sandra akan meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.

Lagi pula, wanita itu tak tahan memendam perasaannya terus-menerus. Ia bukan robot. Ia bisa sakit hati, jengkel, dan marah atas sikap mertua dan suaminya yang seenaknya kepadanya.

Pasalnya tak mudah hidup dengan mereka berdua. Banyak keluhan-keluhan yang mesti ditanggung olehnya.

Contohnya saja saat Bu Utami ingin mandi. Ia meminta Sandra menyiapkan bajunya. Padahal tinggal membuka lemari dan memilih pakaian apa yang ingin dikenakan saja.

Sudah begitu, ketika Sandra telah menyiapkan satu set pakaian, Bu Utami tak terima. Dia membuang baju itu dan menyuruh Sandra memilih ulang.

Jadi, ia perlu mengeluarkan unek-unek itu. Dan, siapa lagi yang mau mendengarkannya selain tetangga? Tidak mungkin Sandra berkeluh kesah kepada Alex tentang ibunya. Alex sangat memuja ibunya.

Sedikit saja keluar kata yang tak mengenakkan tentang ibunya, Sandra akan dibentak dan dimarahi habis-habisan.

Makan malam itu berlangsung dengan hening. Mereka makan hanya bertiga (Bi Inah tak dihitung karena bukan keluarga). Jadi, meja makan yang digunakan tidak besar, berbentuk lingkaran, dan mereka duduk mengelilinginya.

Setelah piring-piring disingkirkan dan teh disajikan, Bu Utami mulai berbicara.

“Sudah berapa lama kalian menikah?” tanyanya.

Kening Sandra tertaut. Ia tak menyangka sang mertua akan bertanya hal sepele seperti ini. “Empat tahun, Ma.”

Alex yang duduk di samping kanan istrinya pun mengangguk. “Kurang lebih segitu. Emang kenapa, Ma?”

“Sudah cukup lama, ya?” Bu Utami menggosok-gosok jemarinya yang gemuk. Begitulah kebiasannya ketika sedang berpikir. Ia lalu mendesah dan melanjutkan, “Ya sudah, kalau gitu aku akan langsung bicara saja.”

Matanya yang tajam memandang Sandra. “Mama minta kau ceraikan Alex secepatnya.”

Sandra melongo. Ia terkejut sampai-sampai hanya kata 'apa' yang keluar dari bibirnya.

“Ibu minta kau ceraikan Alex secepatnya.” Bu Utami mengulangi ucapannya dengan sedikit lebih keras. Ia mengira Sandra tak mendengar perkataannya tadi.

Sandra membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya kesulitan memproses akibat kaget. Setelah berhasil menguasai diri, ia bertanya, “Tapi, kenapa?”

Selama ini Sandra sudah berusaha menjadi menantu yang baik, tidak pernah membantah, dan selalu menurut. Ketika hatinya sakit karena ucapan maupun sikap ibu mertuanya pun dia diam saja, tak pernah melawan. Namun, kenapa sang mertua tega menyuruhnya menceraikan suaminya? Apa salahnya?

Bu Utami menjawab, “Kalian kan sudah lama menikah, tetapi mana? Sampai sekarang kamu belum juga hamil.”

Deg!

Sandra membeku. Memang, perkara anak ini selalu menjadi momok bagi Sandra. Dia sendiri sudah memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Dia juga mendaftar program hamil. Tetapi, program hamil tak dapat dijalankan secara mandiri. Suaminya mesti turut serta. Namun, ketika Sandra mengajak, sang suami selalu menjawab,

Halah! Nanti kalau sudah waktunya dikasih, ya dikasih. Ikut program itu ribet, harus periksa ini itu, antre, suntik ini itu. Buang-buang waktu. Bikin capek pula!

Jadi, Sandra batal mengikuti program tersebut. Kini dia menyesal. Seharusnya dulu dia memaksa suaminya ikut program itu. Bibirnya bergetar ketika sang mertua kembali berkata,

“Tadi aku bertemu teman lamaku. Anaknya yang seusia Alex sudah memiliki dua anak. Aku juga pengin segera punya cucu.”

Sandra membela diri. “Aku sudah berusaha, Ma. Tapi, gimana lagi? Kalau Tuhan belum mengizinkan, apa mau dikata?”

Seolah tak mendengar ucapan Sandra, Bu Utami meneruskan, “Anak temanku dulu menikah dengan laki-laki pilihannya. Tetapi ya gitu, setahun belum juga hamil. Akhirnya dia bercerai. Setahun kemudian dia menikah lagi dengan lelaki pilihan mamanya. Eh, sekarang sudah punya dua anak. Berarti kan jelas, masalahnya bukan di anak temanku ini, tetapi di laki-lakinya.”

Sandra mengernyitkan dahinya. “Maksud Mama?”

Bu Utami melirik Sandra skeptis. Bibirnya melengkung ke bawah. “Alex itu bibit unggul. Tetapi kok sekarang belum juga punya anak. Berarti kan jelas. Kamu yang mandul!”

Apa? Mandul? Tega-teganya Bu Utami bilang seperti itu.

Wanita itu melirik sang suami yang sedari tadi menunduk.

“Mas ....” Sandra masih ingin mempertahankan pernikahannya. Ia menggapai tangan suaminya, meminta dukungan.

Alex menepisnya. “Maaf, Dik. Kalau Mama mintanya gitu, apa boleh buat? Lagi pula, aku juga bingung, kenapa kau belum juga mengandung.”

Pada saat-saat seperti ini, rasanya Sandra ingin berteriak sekeras-kerasnya. “Tapi, dulu Mas bilang kalau masalah anak, Tuhan yang mengaturnya. Mas nggak keberatan kita belum memiliki anak.”

“Tapi ini sudah empat tahun. Mungkin Mama benar. Jangan-jangan kamu mandul.”

“Mas!” Mata Sandra membelalak. Ia tak percaya sang suami ikut menuduh..

“Ya sudah, gini aja,” Sang mertua menengahi. “Kalau memang kamu nggak mau menceraikan suamimu, izinkan dia berpoligami.”

Telinga Sandra kembali berdengung. “Apa?” katanya otomatis. Tak mau mendengar usul mertuanya dua kali, dia mengangkat tangan, mencegah Bu Utami berkata lebih lanjut tentang poligami. “Aku dengar apa yang Mama katakan, hanya saja ... poligami?”

Sandra mendengkus. Emosinya berkecamuk. Ia sedih, marah, dan tak percaya pada mertua dan suaminya. Ia jadi memiliki prasangka buruk. Jangan-jangan ini adalah rencana Bu Utami untuk menikahkan Alex dengan wanita yang dipilihnya. Ketidak-adaan anak hanyalah sebagai alasan. Sandra lalu meminta waktu untuk memutuskan.

"Ya sudah, besok pagi kamu harus sudah memutuskan."

***

Keesokan harinya, Sandra bangun terlambat. Ia tak mendapati suaminya di kamar. Tempat tidur di sampingnya kosong. Bahkan tak ada tanda-tanda suaminya masuk ke kamar. Hatinya kembali mencelus.

Saat melirik jam, ia terkejut karena sudah pukul sembilan pagi. Biasanya jika bangun kesiangan, mertuanya akan mengomel. Namun, pagi itu Bu Utami diam saja.

Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit tentang poligami Alex ketika bertemu Sandra di dapur. Mungkin dia ingin memberi Sandra waktu untuk berpikir. Wanita itu pun sedikit lega. Ia berharap mertuanya itu lupa nanti.

“Maaf, Bi. Aku kesiangan,” ujarnya pada Bi Inah yang sibuk membuat hidangan.

“Nggak apa-apa, Non. Lagian ini sudah hampir selesai. Tinggal merapikan alat-alat masak saja.”

“Ya sudah, biar aku aja, Bi.” Sandra menawarkan dirinya. Ia mulai memasukkan wadah-wadah bumbu ke dalam kabinet. Ia heran melihat banyaknya makanan yang dibuat Bi Inah hari ini. Ia pun bertanya, “Emang ada acara apa, Bi?”

“Nggak tahu, Non,” jawab wanita tua itu. Badannya yang bungkuk tertatih-tatih membawa teko berisi teh ke baki. “Kata Nyonya sih mau ada tamu.”

“Siapa?”

Belum sempat jawaban keluar dari mulut Bi Inah, Sandra mendengar gerbang dibuka. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu. Tak lama kemudian seorang wanita yang sebaya dengan Bu Utami turun.

“Jeng Citra!” Bu Utami keluar, menyambut tamunya dengan pelukan. Mereka juga melakukan salam dengan mencium pipi kiri dan kanan secara bergantian. “Ya ampun, aku kangen banget, lho! Sudah berapa lama kita nggak ketemu?”

Tak lama setelahnya seorang wanita keluar dari pintu kemudi. Wanita itu sangat cantik. Badannya putih dan langsing. Rambutnya diwarnai cokelat hasel. Dia memakai blush dan rok mini yang cocok di kakinya yang panjang. Sepatu high-heels melengkapi penampilannya yang menawan. Usianya Sandra perkirakan masih di awal kepala dua.

“Ya ampun, Jeng, bidadari dari mana ini?” Bu Utami berkelakar ketika melihat gadis itu.

“Ah, Jeng Utami bisa saja. Ini Rose, anak saya, masa pangling?” Bu Citra tersenyum bangga pada anaknya.

“Pagi, Tante.” Rose memeluk pinggang Bu Utami yang lebarnya dua kali dari lebar pinggangnya.

“Ya ampun, cantiknya. Ayo-ayo, silakan masuk!”

Mereka lantas masuk ke rumah, duduk di ruang tamu yang nyaman. Bu Utami berteriak, menyuruh Bi Inah membawakan minum dan biskuit untuk tamunya.

“Sudah, biar aku aja, Bi.” Sandra menawarkan diri. Ia menyisir rambut dengan tangan sekenanya, merapikan daster yang dipakai agar tampak sedikit lebih rapi sebelum mengambil baki dan membawanya ke ruang tamu.

Ketika melihat Sandra datang membawa baki, Bu Utami sedikit terkejut. Namun, ia tak berkata apa-apa. Ia lanjut mengajak tamunya basa-basi, memuji anak gadis tamunya yang luar biasa cantik.

“Aku boleh minta air putih aja nggak, Bi?” Rose bertanya pada Sandra.

“Apa?” Sandra terkejut dikira pembantu. Ia lantas sadar. Mungkin Rose salah paham karena tadi Bu Utami menyuruh Bi Inah dengan lantang.

Jadi, dia pasti mengira Sandra adalah Bi Inah. Wanita itu ingin mengoreksi bahwa dia bukanlah pembantu. Namun, ucapannya segera disela oleh Bu Utami.

“Boleh, dong, Cantik.” Sang mertua langsung melirik pada Sandra, mengedikkan kepala sebagai ancaman dia tak boleh berkata apa-apa. “Sana, ambilin air putih.”

Wanita itu lantas ke dapur. Ia mengisi gelas dengan air putih lalu kembali ke ruang tamu. Di sana ia melihat sang suami sudah bangun, sudah mengenakan jas kantor dan siap berangkat kerja. Namun, bukannya menuju mobil, ia malah duduk di samping Rose.

"Giamana? Cocok kan, Jeng?" Bu Utami tersenyum manis. "Aku itu udah ngincer Rose dari dia masih kecil, lho."

Mengincar? Apa maksudnya? batin Sandra bertanya-tanya.

"Yah, kalau aku sih tergantung anaknya aja, Jeng." Bu Citra balas tersenyum.

"Tapi, bukannya Mas Alex sudah punya istri, ya, Tante?" Rose bertanya.

Bu Utami mengibaskan tangannya ke udara. "Siapa bilang? Dia udah jadi duda, kok!"

Jleb!

Jantung Sandra seperti ditusuk-tusuk. Kali ini ia tak bisa lagi menolerir mertuanya. Bu Utami sudah kelewatan. Dia tidak lagi sedih. Dia lelah menangis akibat ulah mertuanya selama ini. Dia justru marah sekali.

Enak saja bilang Alex duda. Kalau dia duda, lantas siapa Sandra? Sekali-kali, wanita tua itu memang butuh diingatkan. Dengan mata membara, Sandra ke dapur. Ia mengambil bubuk cabai.

Ia menaburkan bubuk itu pada makanan yang memang disiapkan untuk mertua dan tamu-tamunya. Ia tak peduli tenggorokan mereka terbakar ketika memakannya nanti.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status