“Nanti setelah makan malam, Mama mau bicara serius sama kamu dan suamimu. Hari ini biar Bi Inah yang nyuci piring."
Deg! Ada apa ini? Batin Sandra tak tenang.
Tidak biasanya sang mertua meminta izin untuk mengobrol. Kalau memang ada hal yang ingin diomongkan, dia pasti akan langsung bicara. Terlebih lagi dia menyuruh Bi Inah mengerjakan tugas yang sudah menjadi rutinitasnya.
Memang, sebagai istri Alex, tak seharusnya Sandra mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga. Namun, Bi Inah sudah tua. Dia tak bisa lagi mengerjakan tugas-tugas berat.
Alex bukannya tak mampu membayar asisten rumah tangga lain. Sebenarnya gajinya sangat cukup untuk membayar tiga pembantu tambahan. Dia bekerja sebagai manager sebuah perusahaan. Namun, Bu Utami melarangnya menambah asisten rumah tangga.
“Eman,” katanya. "Biar Sandra saja. Dia kan masih kuat."
Sandra terpaksa keluar dari pekerjaannya karena lelah kalau harus membersihkan rumah setelah bekerja.
Saat menata piring, Sandra sudah bertanya-tanya, ada hal besar apa yang membuat mertuanya ingin bicara serius dengannya dan sang suami? Apakah ia telah melakukan kesalahan?
Sandra mengingat-ingat. Memang beberapa kali mertuanya itu tampak sinis kepadanya, apalagi setelah ia kepergok main ke rumah tetangga tadi siang. Mungkin sang mertua marah karena mengira Sandra telah menggosipkan dirinya.
Ah, pikir Sandra memutuskan, nanti ia akan jelaskan bahwa tak mungkin ia menggosipkan mertuanya. Walau sebenarnya ia memang sering mengeluhkan sikap mertua dan suaminya, tetapi mereka tak perlu tahu. Dan kalau sudah ketahuan, Sandra akan meminta maaf dan berjanji tak akan mengulanginya lagi.
Lagi pula, wanita itu tak tahan memendam perasaannya terus-menerus. Ia bukan robot. Ia bisa sakit hati, jengkel, dan marah atas sikap mertua dan suaminya yang seenaknya kepadanya.
Pasalnya tak mudah hidup dengan mereka berdua. Banyak keluhan-keluhan yang mesti ditanggung olehnya.
Contohnya saja saat Bu Utami ingin mandi. Ia meminta Sandra menyiapkan bajunya. Padahal tinggal membuka lemari dan memilih pakaian apa yang ingin dikenakan saja.
Sudah begitu, ketika Sandra telah menyiapkan satu set pakaian, Bu Utami tak terima. Dia membuang baju itu dan menyuruh Sandra memilih ulang.
Jadi, ia perlu mengeluarkan unek-unek itu. Dan, siapa lagi yang mau mendengarkannya selain tetangga? Tidak mungkin Sandra berkeluh kesah kepada Alex tentang ibunya. Alex sangat memuja ibunya.
Sedikit saja keluar kata yang tak mengenakkan tentang ibunya, Sandra akan dibentak dan dimarahi habis-habisan.
Makan malam itu berlangsung dengan hening. Mereka makan hanya bertiga (Bi Inah tak dihitung karena bukan keluarga). Jadi, meja makan yang digunakan tidak besar, berbentuk lingkaran, dan mereka duduk mengelilinginya.
Setelah piring-piring disingkirkan dan teh disajikan, Bu Utami mulai berbicara.
“Sudah berapa lama kalian menikah?” tanyanya.
Kening Sandra tertaut. Ia tak menyangka sang mertua akan bertanya hal sepele seperti ini. “Empat tahun, Ma.”
Alex yang duduk di samping kanan istrinya pun mengangguk. “Kurang lebih segitu. Emang kenapa, Ma?”
“Sudah cukup lama, ya?” Bu Utami menggosok-gosok jemarinya yang gemuk. Begitulah kebiasannya ketika sedang berpikir. Ia lalu mendesah dan melanjutkan, “Ya sudah, kalau gitu aku akan langsung bicara saja.”
Matanya yang tajam memandang Sandra. “Mama minta kau ceraikan Alex secepatnya.”
Sandra melongo. Ia terkejut sampai-sampai hanya kata 'apa' yang keluar dari bibirnya.
“Ibu minta kau ceraikan Alex secepatnya.” Bu Utami mengulangi ucapannya dengan sedikit lebih keras. Ia mengira Sandra tak mendengar perkataannya tadi.
Sandra membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Otaknya kesulitan memproses akibat kaget. Setelah berhasil menguasai diri, ia bertanya, “Tapi, kenapa?”
Selama ini Sandra sudah berusaha menjadi menantu yang baik, tidak pernah membantah, dan selalu menurut. Ketika hatinya sakit karena ucapan maupun sikap ibu mertuanya pun dia diam saja, tak pernah melawan. Namun, kenapa sang mertua tega menyuruhnya menceraikan suaminya? Apa salahnya?
Bu Utami menjawab, “Kalian kan sudah lama menikah, tetapi mana? Sampai sekarang kamu belum juga hamil.”
Deg!
Sandra membeku. Memang, perkara anak ini selalu menjadi momok bagi Sandra. Dia sendiri sudah memeriksakan dirinya ke dokter kandungan. Dia juga mendaftar program hamil. Tetapi, program hamil tak dapat dijalankan secara mandiri. Suaminya mesti turut serta. Namun, ketika Sandra mengajak, sang suami selalu menjawab,
Halah! Nanti kalau sudah waktunya dikasih, ya dikasih. Ikut program itu ribet, harus periksa ini itu, antre, suntik ini itu. Buang-buang waktu. Bikin capek pula!
Jadi, Sandra batal mengikuti program tersebut. Kini dia menyesal. Seharusnya dulu dia memaksa suaminya ikut program itu. Bibirnya bergetar ketika sang mertua kembali berkata,
“Tadi aku bertemu teman lamaku. Anaknya yang seusia Alex sudah memiliki dua anak. Aku juga pengin segera punya cucu.”
Sandra membela diri. “Aku sudah berusaha, Ma. Tapi, gimana lagi? Kalau Tuhan belum mengizinkan, apa mau dikata?”
Seolah tak mendengar ucapan Sandra, Bu Utami meneruskan, “Anak temanku dulu menikah dengan laki-laki pilihannya. Tetapi ya gitu, setahun belum juga hamil. Akhirnya dia bercerai. Setahun kemudian dia menikah lagi dengan lelaki pilihan mamanya. Eh, sekarang sudah punya dua anak. Berarti kan jelas, masalahnya bukan di anak temanku ini, tetapi di laki-lakinya.”
Sandra mengernyitkan dahinya. “Maksud Mama?”
Bu Utami melirik Sandra skeptis. Bibirnya melengkung ke bawah. “Alex itu bibit unggul. Tetapi kok sekarang belum juga punya anak. Berarti kan jelas. Kamu yang mandul!”
Apa? Mandul? Tega-teganya Bu Utami bilang seperti itu.
Wanita itu melirik sang suami yang sedari tadi menunduk.
“Mas ....” Sandra masih ingin mempertahankan pernikahannya. Ia menggapai tangan suaminya, meminta dukungan.
Alex menepisnya. “Maaf, Dik. Kalau Mama mintanya gitu, apa boleh buat? Lagi pula, aku juga bingung, kenapa kau belum juga mengandung.”
Pada saat-saat seperti ini, rasanya Sandra ingin berteriak sekeras-kerasnya. “Tapi, dulu Mas bilang kalau masalah anak, Tuhan yang mengaturnya. Mas nggak keberatan kita belum memiliki anak.”
“Tapi ini sudah empat tahun. Mungkin Mama benar. Jangan-jangan kamu mandul.”
“Mas!” Mata Sandra membelalak. Ia tak percaya sang suami ikut menuduh..
“Ya sudah, gini aja,” Sang mertua menengahi. “Kalau memang kamu nggak mau menceraikan suamimu, izinkan dia berpoligami.”
Telinga Sandra kembali berdengung. “Apa?” katanya otomatis. Tak mau mendengar usul mertuanya dua kali, dia mengangkat tangan, mencegah Bu Utami berkata lebih lanjut tentang poligami. “Aku dengar apa yang Mama katakan, hanya saja ... poligami?”
Sandra mendengkus. Emosinya berkecamuk. Ia sedih, marah, dan tak percaya pada mertua dan suaminya. Ia jadi memiliki prasangka buruk. Jangan-jangan ini adalah rencana Bu Utami untuk menikahkan Alex dengan wanita yang dipilihnya. Ketidak-adaan anak hanyalah sebagai alasan. Sandra lalu meminta waktu untuk memutuskan.
"Ya sudah, besok pagi kamu harus sudah memutuskan."
***
Keesokan harinya, Sandra bangun terlambat. Ia tak mendapati suaminya di kamar. Tempat tidur di sampingnya kosong. Bahkan tak ada tanda-tanda suaminya masuk ke kamar. Hatinya kembali mencelus.
Saat melirik jam, ia terkejut karena sudah pukul sembilan pagi. Biasanya jika bangun kesiangan, mertuanya akan mengomel. Namun, pagi itu Bu Utami diam saja.
Dia bahkan tidak mengungkit-ungkit tentang poligami Alex ketika bertemu Sandra di dapur. Mungkin dia ingin memberi Sandra waktu untuk berpikir. Wanita itu pun sedikit lega. Ia berharap mertuanya itu lupa nanti.
“Maaf, Bi. Aku kesiangan,” ujarnya pada Bi Inah yang sibuk membuat hidangan.
“Nggak apa-apa, Non. Lagian ini sudah hampir selesai. Tinggal merapikan alat-alat masak saja.”
“Ya sudah, biar aku aja, Bi.” Sandra menawarkan dirinya. Ia mulai memasukkan wadah-wadah bumbu ke dalam kabinet. Ia heran melihat banyaknya makanan yang dibuat Bi Inah hari ini. Ia pun bertanya, “Emang ada acara apa, Bi?”
“Nggak tahu, Non,” jawab wanita tua itu. Badannya yang bungkuk tertatih-tatih membawa teko berisi teh ke baki. “Kata Nyonya sih mau ada tamu.”
“Siapa?”
Belum sempat jawaban keluar dari mulut Bi Inah, Sandra mendengar gerbang dibuka. Sebuah mobil berhenti tepat di depan pintu. Tak lama kemudian seorang wanita yang sebaya dengan Bu Utami turun.
“Jeng Citra!” Bu Utami keluar, menyambut tamunya dengan pelukan. Mereka juga melakukan salam dengan mencium pipi kiri dan kanan secara bergantian. “Ya ampun, aku kangen banget, lho! Sudah berapa lama kita nggak ketemu?”
Tak lama setelahnya seorang wanita keluar dari pintu kemudi. Wanita itu sangat cantik. Badannya putih dan langsing. Rambutnya diwarnai cokelat hasel. Dia memakai blush dan rok mini yang cocok di kakinya yang panjang. Sepatu high-heels melengkapi penampilannya yang menawan. Usianya Sandra perkirakan masih di awal kepala dua.
“Ya ampun, Jeng, bidadari dari mana ini?” Bu Utami berkelakar ketika melihat gadis itu.
“Ah, Jeng Utami bisa saja. Ini Rose, anak saya, masa pangling?” Bu Citra tersenyum bangga pada anaknya.
“Pagi, Tante.” Rose memeluk pinggang Bu Utami yang lebarnya dua kali dari lebar pinggangnya.
“Ya ampun, cantiknya. Ayo-ayo, silakan masuk!”
Mereka lantas masuk ke rumah, duduk di ruang tamu yang nyaman. Bu Utami berteriak, menyuruh Bi Inah membawakan minum dan biskuit untuk tamunya.
“Sudah, biar aku aja, Bi.” Sandra menawarkan diri. Ia menyisir rambut dengan tangan sekenanya, merapikan daster yang dipakai agar tampak sedikit lebih rapi sebelum mengambil baki dan membawanya ke ruang tamu.
Ketika melihat Sandra datang membawa baki, Bu Utami sedikit terkejut. Namun, ia tak berkata apa-apa. Ia lanjut mengajak tamunya basa-basi, memuji anak gadis tamunya yang luar biasa cantik.
“Aku boleh minta air putih aja nggak, Bi?” Rose bertanya pada Sandra.
“Apa?” Sandra terkejut dikira pembantu. Ia lantas sadar. Mungkin Rose salah paham karena tadi Bu Utami menyuruh Bi Inah dengan lantang.
Jadi, dia pasti mengira Sandra adalah Bi Inah. Wanita itu ingin mengoreksi bahwa dia bukanlah pembantu. Namun, ucapannya segera disela oleh Bu Utami.
“Boleh, dong, Cantik.” Sang mertua langsung melirik pada Sandra, mengedikkan kepala sebagai ancaman dia tak boleh berkata apa-apa. “Sana, ambilin air putih.”
Wanita itu lantas ke dapur. Ia mengisi gelas dengan air putih lalu kembali ke ruang tamu. Di sana ia melihat sang suami sudah bangun, sudah mengenakan jas kantor dan siap berangkat kerja. Namun, bukannya menuju mobil, ia malah duduk di samping Rose.
"Giamana? Cocok kan, Jeng?" Bu Utami tersenyum manis. "Aku itu udah ngincer Rose dari dia masih kecil, lho."
Mengincar? Apa maksudnya? batin Sandra bertanya-tanya.
"Yah, kalau aku sih tergantung anaknya aja, Jeng." Bu Citra balas tersenyum.
"Tapi, bukannya Mas Alex sudah punya istri, ya, Tante?" Rose bertanya.
Bu Utami mengibaskan tangannya ke udara. "Siapa bilang? Dia udah jadi duda, kok!"
Jleb!
Jantung Sandra seperti ditusuk-tusuk. Kali ini ia tak bisa lagi menolerir mertuanya. Bu Utami sudah kelewatan. Dia tidak lagi sedih. Dia lelah menangis akibat ulah mertuanya selama ini. Dia justru marah sekali.
Enak saja bilang Alex duda. Kalau dia duda, lantas siapa Sandra? Sekali-kali, wanita tua itu memang butuh diingatkan. Dengan mata membara, Sandra ke dapur. Ia mengambil bubuk cabai.
Ia menaburkan bubuk itu pada makanan yang memang disiapkan untuk mertua dan tamu-tamunya. Ia tak peduli tenggorokan mereka terbakar ketika memakannya nanti.
***Saat memasukkan bubuk cabai ke sarapan mertuanya, Sandra tak begitu memikirkan konsekuensi yang bakal ia dapatkan. Waktu itu ia dalam kondisi emosi tinggi. Akal sehatnya tertekan oleh nafsu untuk membalas Bu Utami yang tak menganggapnya sebagai menantu.Setelah dengan sengaja menuang bersendok-sendok bubuk cabai itu, ia sempat mengintip mertua dan para tamunya duduk dengan nyaman di ruang makan. Ia bahkan membantu menuangkan air minum untuk mereka. Alex sudah pergi ke kantor. Ia tak biasa ikut sarapan di rumah.Setelah sang mertua dan para tamunya memasukkan satu sendok makanan ke mulut, dengan kompak mereka mengernyit. Namun, untuk menghormati si tuan rumah, para tamu tersebut diam.Dua sendok mereka makan. Wajah mereka tampak memerah. Dan saat akan memasukkan sendok kelima, Bu Citra tak tahan lagi. “Ini masakan apa to, Jeng? Warna santannya kayak sambal goreng tapi nggak ada kacang, cuma ayam doang. Tapi kalau dibilang opor kok terlalu merah. Dan rasanya ....”Rose yang juga kepeda
Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran
Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.“Emang kenapa kalau udah punya
Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebel
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g