Saat memasukkan bubuk cabai ke sarapan mertuanya, Sandra tak begitu memikirkan konsekuensi yang bakal ia dapatkan. Waktu itu ia dalam kondisi emosi tinggi. Akal sehatnya tertekan oleh nafsu untuk membalas Bu Utami yang tak menganggapnya sebagai menantu.
Setelah dengan sengaja menuang bersendok-sendok bubuk cabai itu, ia sempat mengintip mertua dan para tamunya duduk dengan nyaman di ruang makan. Ia bahkan membantu menuangkan air minum untuk mereka. Alex sudah pergi ke kantor. Ia tak biasa ikut sarapan di rumah.
Setelah sang mertua dan para tamunya memasukkan satu sendok makanan ke mulut, dengan kompak mereka mengernyit. Namun, untuk menghormati si tuan rumah, para tamu tersebut diam.
Dua sendok mereka makan. Wajah mereka tampak memerah. Dan saat akan memasukkan sendok kelima, Bu Citra tak tahan lagi.
“Ini masakan apa to, Jeng? Warna santannya kayak sambal goreng tapi nggak ada kacang, cuma ayam doang. Tapi kalau dibilang opor kok terlalu merah. Dan rasanya ....”
Rose yang juga kepedasan pun memegangi perutnya. Ia mulas. Ia lantas berlari ke toilet.
Untuk sesaat Sandra terkikik. Dalam hati ia puas telah mengerjai mertua dan calon perebut suaminya. Ia pun ke kamar dengan langkah riang.
Bu Utami yang belum sempat menyicip opor pun menyendok sedikit kuah masakan tersebut dan melepehnya ketika lidahnya terasa terbakar. Ia mengumpat, berteriak memanggil Bi Inah.
Tergopoh-gopoh, Bi Inah mendekati majikannya.
“Apa-apaan ini, Bi?” tanya Bu Utami dengan wajah merah padam. “Bibi mau meracuni saya?”
Dengen tangan gemetar, Bi Inah menggeleng. “Enggak, Nyonya! Demi Tuhan.”
Rose kembali dari toilet. Dia menghampiri ibunya dan merengek, “Mah, pulang, yuk! Perutku sakit banget.”
Bu Citra melihat wajah anaknya menjadi pucat. Perutnya juga sakit, melilit-lilit tak keruan. Tadinya dia senang diundang sarapan oleh Bu Utami. Apalagi mengetahui niat Bu Utami untuk menjodohkan anak-anak mereka. Namun, melihat perlakuannya yang seperti ini, ia menjadi ragu.
“Jeng, apa kamu masih menyimpan dendam padaku?” tanyanya kemudian.
Bu Utami menoleh, memandangnya dengan heran. “Apa maksudmu?”
“Kalau Jeng nggak suka sama aku, bilang dong. Jangan gini.” Bu Citra bangkit dari duduknya. Matanya menyala-nyala. “Jeng kan tahu aku tidak kuat pedas. Kalau memang aku pernah membuat Jeng Utami tidak suka, bilang saja, jangan pakai cara kekanak-kanakan kayak gini.”
“Maksudnya apa to, Jeng? Aku nggak ngerti. Aku juga nggak pernah punya dendam sama Jeng Citra. Sumpah mati.” Bu Utami mulai panik. Perjodohan yang akan dilakukannya terancam gagal. Padahal dia kepingin sekali Alex menikah dengan Rose. Gadis itu adalah mantu idamannya. Selain cantik, ia juga anak orang terpandang. Ayahnya, alias suami Bu Citra merupakan seorang pejabat. Kalau Alex menikah dengan Rose, Bu Utami dapat menyombong kepada teman-temannya yang lain kalau ia memiliki besan seorang pejabat. “Ini pasti cuma salah paham.”
Cuping Bu Citra kembang kempis. “Udah, jujur saja, Jeng maunya apa? Kupikir Jeng Utami benar-benar mau mempererat tali silaturahmi dengan kami. Tetapi ternyata? Aku benar-benar kecewa.” Ia lalu meraih tangan Rose dan meninggalkan ruang makan.
Bu Utami mengejar, mencoba menjelaskan. “Jeng, jangan pergi gitu, dong! Aku mengundang kalian ke sini tuh mau menjodohkan Alex dengan Rose. Aku serius. Kau lihat Alex kan tadi? Anaknya cakep kan, Jeng?”
“Maaf ya,” Bu Citra menyela. “Setelah dipikir, aku kok eman.”
“Eman gimana?” Kening Bu Utami berkerut. Mereka kini sampai ke mobil Bu Citra yang terparkir di halaman. Setelah membuka kunci, Rose duduk di balik kemudi.
“Pokoknya perjodohan ini batal. Aku eman kalau Rose punya mertua seperti Jeng Utami. Setiap hari diberi racun seperti ini. Bisa hancur perut anakku nanti.” Setelah bicara seperti itu, Bu Citra masuk ke mobil. Tak lama kemudian mereka pergi, meninggalkan Bu Utami yang meradang. Tangannya terkepal erat memandang bemper mobil keluar gerbang.
Setelah kembali ke dapur, ia menginterogasi Bi Inah. “Siapa yang ngasih cabai ke dalam masakan?” tanyanya dengan nada keras.
Bi Inah menggeleng.
Dengan suara lantang ia memanggil mantunya. Ia yakin Sandra pelakunya. Karena yang dipanggil tak juga datang, ia pun berderap ke kamarnya. Ia mendorong pintu kamar dengan kekuatan penuh hingga menjeblak terbuka, membuat Sandra yang sedang mengenakan daster terlonjak.
“Kamu!” Tanpa peringatan, Bu Utami menampar Sandra. “Kurang ajar! Berani-beraninya kamu mempermalukanku!”
Darah Sandra merosot tiba-tiba. Matanya membelalak. Ia syok. Dan saking syoknya ia sampai tak dapat bergerak.
“Dasar mantu nggak tahu diri!” Kemarahan Bu Utami belum juga surut. Ia lantas menjambak Sandra, menyeretnya keluar dan mengempaskan tubuhnya ke halaman. “Pergi kamu dari sini!”
“Non!” Bi Inah yang melihat Sandra tergolek di tanah pun berusaha menolong.
“Lepas, Bi! Jangan sentuh dia!” Bu Utami menarik tubuh Bi Inah menjauh dari Sandra, seolah wanita itu memiliki penyakit menular.
“Tapi, Bu—“
“Diam! Ini bukan urusanmu! Masuk sana!” bentak Bu Utami.
Pintu gerbang terbuka. Alex kembali pulang. Rupanya, ada barangnya yang tertinggal. Ia terkejut ketika mendapati istri dan ibunya di luar rumah.
"Ada apa ini?" tanyanya.
"Ini nih, Sandra! Mempermalukan Mama di depan Jeng Citra dan Rose." Bu Utami mengadukan.
Sandra mendekati suaminya. Ia berniat menjelaskan. "Tapi, Mas! Mama yang mulai duluan. Dia nggak anggap aku sebagai istrimu."
"Tuh, kan! Malah nyalahin Mama."
Wajah Alex memerah. "Kamu kenapa sih, San? Apa susahnya nurut sama orang tua?"
Tangan Sandra mengepal erat. "Nurut? Mama pengin menikahkanmu lagi, aku disuruh nurut? Mas, mana ada wanita yang mau dimadu?"
"Ya mau gimana lagi? Kamu kan mandul."
Mata wanita itu menjadi panas. "Aku nggak mandul!"
"Kalau gitu, kenapa belum juga hamil?" Bu Utami menimpali.
"Itu karena aku stres punya mertua semena-mena kayak Mama!" Perasaan Sandra meledak. Saking emosinya, ia tak bisa lagi menahan lidahnya.
Mata Bu Utami membulat. Mulutnya menganga. "Apa?"
"Sandra!" Alex mengangkat tangan, berniat menampar istrinya.
Wanita itu malah menantang. Ia menyodorkan pipinya. "Tampar saja yang keras. Kalau perlu sampai bibirku berdarah. Dengan begitu, aku bisa laporkan kalian ke polisi atas tindak kekerasan!"
Hal itu membuat Alex terpana. Ia tak menyangka istri yang biasanya diam kini melawan. Ia lalu mendengkus. Ia menarik kembali tangannya. "Sekarang kamu berani ya ngelawan aku?"
"Sudah, ceraikan saja istri kayak gitu, Lex. Nggak berbakti sama sekali! Mama empet lihat mukanya." Bu Utami malah memotivasi.
Sandra memandang mereka dengan penuh kebencian. "Nggak usah repot-repot menceraikan aku. Aku yang akan menceraikanmu, Mas!" Ia lantas berbalik, berderap ke gerbang. Ketika sampai di depan gerbang, ia berteriak kepada Alex dan mamanya, "Kalian tunggu saja! Kalian akan menyesal memperlakukanku seperti ini!"
Ia lalu meninggalkan rumah itu. Selang beberapa meter ia baru sadar bahwa ia pergi tanpa membawa apa-apa. Dompet, ponsel, bahkan alas kaki pun tak ia bawa. Ia begitu emosi tadi. Ia juga bingung harus pergi ke mana. Tidak mungkin kan dia kembali ke rumah itu sekadar mengambil dompet? Ah, Sandra merasa bodoh sekali.
Ia lantas mencegat kendaraan pertama yang lewat.
Sementara itu, Barra, CEO muda yang akan berangkat ke kantor heran ketika melihat seorang wanita berpenampilan acak-acakan dan hanya memakai daster mencegat mobilnya. Wanita itu berdiri di tengah jalan, merentangkan tangannya lebar-lebar. Setelah mobil Barra berhenti, wanita itu lalu mengetuk pintunya dengan heboh. Barra terpaksa menurunkan kaca.
"Ada apa?"
"Buka!" Sang wanita berteriak, membuat Barra terkejut. Tak mau orang-orang berpikir yang bukan-bukan, ia pun membuka kunci mobil.
Wanita itu lantas masuk dan duduk di kursi penumpang.
"Maaf, Mbak ini siapa?" tanya lelaki itu.
Alih-alih menjawab, wanita itu malah menangis.
Barra mencoba sabar. "Mbak, sepertinya kamu salah masuk mobil, deh!"
"Tolong antar aku ke rumah adikku." Sandra sesenggukan di dalam mobil.
Barra mengernyit. "Tapi, aku buka sopir taksi."
Sandra memandang Barra dengan matanya yang merah. Wajahnya merengut galak. Kemarahan dan ketidakberdayaan atas perlakuan sang suami serta mertuanya ia tumpahkan kepada lelaki asing yang kebetulan lewat itu. Dengan menggertakkan gigi, ia berkata, "Tolong. Antar. Aku. Ke. Rumah. Adikku."
Sekilas, Barra melihat api kebencian dari mata wanita itu. Ia takut wanita itu bertindak gila kalau tidak dituruti. "Tenang, Mbak, tarik napas--"
"Antar aku ke rumah adikku!" Sandra meledak lagi.
"Oke, oke!" Barra lantas melaju. Ia bahkan tak tahu di mana rumah adik wanita itu.
***
Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran
Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.“Emang kenapa kalau udah punya
Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebel
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da