Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.
Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.
Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.
Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.
Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran. Padahal, ia hanya lulusan SMA. Bosnya dulu sangat puas atas kinerjanya.
Namun, setelah menikah dengan Alex, Bu Utami memintanya berhenti dan fokus melayani keluarga. Kini ia menyesal menuruti sang mantan mertua. Seandainya ia terus bekerja, mungkin sekarang ia sudah menjadi bos.
Sandra menyiapkan CV. Ia mencoba melamar ke kantornya yang lama. Kali saja bosnya mau memberinya pekerjaan. Mungkin tidak sebagai kepala pemasaran. Ia bisa mulai dari awal, menjadi sales penjualan.
Akan tetapi sial, ketika sampai di perusahaan itu, HRD-nya sudah berganti, bukan temannya lagi.
"Wah, maaf, Mbak. Saya lihat di CV, Mbak sudah pernah nikah, ya?" tanya sang HRD.
Sandra mengangguk. "Iya. Emang kenapa, Mas?"
"Maaf, Mbak. Salah satu kriteria yang kami cari adalah freshgraduated."
Sandra menggigit bibir bawahnya. Ia sudah ditolak beberapa perusahaan sebelumnya dengan alasan yang sama. "Tapi saya lebih pengalaman, lho, Mas."
"Nah, itu dia, Mbak. Kita nggak mau yang punya pengalaman. Takutnya nanti minta gaji lebih tinggi dari yang kita tawarkan."
"Saya enggak begitu kok, Mas. UMR pun saya sanggup."
Si HRD mengelus tengkuknya dengan gugup. "Duh, gimana ya, Mbak. Saya cuma mengikuti perintah atasan saja."
"Coba dong, saya mau ketemu sama Pak Handi. Beliau dulu bos saya. Saya kan pernah kerja di sini."
"Pak Handi?" Kening HRD itu berkerut. "Pak Handi sudah pensiun, Mbak."
"Yah ...." Sandra putus asa. "Ya sudah, deh." Ia lantas pergi dengan kecewa. Ketika melangkah keluar, seseorang menabraknya. Sandra meminta maaf berulang-ulang.
"Sandra?"
Wanita itu menengadah. Ia melihat seorang wanita berbadan sintal memegang lengannya. Bibirnya yang merah karena memakai lipstik menganga. Matanya yang bulat memelotot tak percaya. Sandra mengenali wanita itu. Dulu ia bekerja satu tim dengannya. "Lusi?"
"Ya ampun, apa kabar?" Lusi lantas memeluk wanita itu. "Kenapa kamu ada di sini? Bawa map pula?"
Sandra enggan jujur. Ia hanya tersenyum dan mengangkat bahunya dengan lesu. Lusi lantas mengajak Sandra ke kafe terdekat. Dilihat dari ekspresinya yang murung, ia tahu wanita itu pasti sedang ada masalah. ia ingin mendengar kabarnya.
Setelah sampai ke kafe dan memesan minuman, mereka bertukar cerita. Sandra menceritakan alasan ia datang ke sana. Ia juga menceritakan rumah tangganya yang kandas.
"Ya ampun, nasibmu, San. Dari dulu aku nggak suka kamu dekat dengan Alex. Tapi, ya sudahlah. Nah, masalah lamaran kerja, aku nggak bisa bantu kamu buat masuk ke sini lagi."
"Kenapa? Kamu kan sudah jadi kepala bagian, Lus. Tolonglah .... Please!"
Lusi menggeleng. "Sejak kamu keluar, perusahaan ini tuh banyak sekali berubah."
Sandra diam. Ia menyimak informasi temannya dengan khidmat.
Lusi melanjutkan, "Kamu tahu Pak Handi? Nah, beliau udah pensiun."
Pak Handi merupakan bos paling fair yang pernah ia kenal. Pantas saja banyak yang menyayangkan beliau pensiun. "Trus, sekarang siapa bosnya?"
"Orang bule. Pak Handi jual semua sahamnya ke mereka. Sejak itu peraturan berubah. Mereka nuntut kita kerja keras, tanpa ngasih upah yang sepadan. Semua orang nggak betah. Cuma aku yang bertahan. Itu pun karena aku merasa udah tua. Eman kalau keluar. Nyari kerja lagi kan susah."
Sandra mengangguk setuju. Lusi seusia dengannya. Dan ia mengetahui betul susahnya mencari pekerjaan saat berusia di atas kepala tiga.
"Nah," Lusi menambahkan, "tapi aku punya info tentang loker. Ada perusahaan baru, namanya Aksara Group. Di sana lagi nyari asisten seketaris. Coba aja ke sana."
"Harus S1?"
Lusi menggeleng. "SMA pun boleh."
Kening Sandra mengernyit. "Masa, sih?"
"Bosnya fair. Dia bener-bener nyari pekerja sesuai kemampuan, bukan lulusan. Hanya saja ...." Lusi enggan melanjutkan kalimatnya.
Sandra penasaran. "Hanya saja, apa Lus?"
"Bosnya itu ... gimana ya bilangnya? Dikatakan galak sih enggak, tapi lembut juga enggak."
"Maksudmu?" tanya Sandra.
"Pokoknya setiap bulan tuh ada aja sekretarisnya yang resign. Mereka nggak betah. Padahal dari kabar yang kudengar, bosnya ini ganteng maksimal. Masih muda pula."
Sandra menengok jam yang melingkar di tangannya. "Ya udah deh, nanti coba kumasukin CV ke sana. Siapa tahu ketrima. Alamat emailnya apa?"
"Nggak ada. Kalau mau masukin, sekarang aja. Soalnya nanti jam empat lowongan bakal ditutup. Lagi pula, bosnya ini maunya mewawancarai langsung pelamarnya."
"Kok aneh, sih?" Sandra heran. "Jaman sekarang apa-apa kan udah online."
"Kalau nggak aneh bukan CEO Aksara Group namanya." Lusi terkikik.
Sandra sebenarnya ragu. Tetapi, ia tak memiliki pilihan. Ia lalu meminta alamat Aksara Group kepada Lusi.
"Semoga beruntung," kata Lusi saat Sandra pamit.
Wanita itu lantas mencegat taksi. Ia merapikan rambutnya sebentar, memeriksa riasannya. Ia melihat dirinya tak jelek-jelek amat. Kulitnya tidak putih, tetapi lumayan bersih. Kerutan di sudut matanya pun berhasil ia tutupi dengan bedak. Nanti, kalau sudah memiliki gaji, ia akan mulai merawat diri, janjinya dalam hati.
Ia lalu memeriksa dokumen-dokumennya, kemudian mencoret frasa 'pernah menikah' dan menggantinya dengan 'single'. Ia takut dirinya tak diterima karena statusnya.
Ketika taksinya berhenti di depan kantor Aksara Group, mulut Sandra menganga. Kantor itu besar dan mewah, seperti kantor-kantor yang ada di drama-drama Korea yang sering ditontonnya.
Bangunannya tinggi menjulang. Kaca-kaca gelap dan mengilap membuatnya tampak seperti permata di antara bangunan-bangunan lain di sekitarnya.
Di depan kantor ada sebuah taman yang pohon-pohonnya dikelilingi beton setinggi lutut, sehingga para pegawai bisa melepas penat di sana. Ada juga kolam dengan pancuran di tengahnya.
Jelas, kantor ini jauh lebih wah ketimbang kantor Sandra yang dulu. Bahkan kantor Alex tak ada apa-apanya dibanding kantor ini. Jika diterima di sini, Sandra dapat menyombong di hadapan sang mantan suami. Ia mampu menunjukkan bahwa tanpanya, Sandra bisa sukses.
Pintu kantor itu berupa empat kaca yang berdiri dan disusun membentuk lingkaran. Kalau ingin masuk, Sandra harus memutar secara searah, sehingga sisi lainnya bergerak keluar.
Dan ketika ia masuk ke kantor tersebut, hawa dingin AC segera menerpa.
"Selamat siang. Ada yang bisa saya bantu?" Seorang wanita yang berdiri di belakang meja informasi menyapanya dengan ramah.
"Saya ingin melamar," ujar Sandra.
Wanita tadi menunjuk lift. "Lantai 25 ya, Mbak. Ruangan Pak Barra."
Sandra mengangguk. Ia segera masuk ke lift dan memencet nomor 25. Setelahnya, ia harus menelusuri lorong. Di ujung lorong ia bertemu bagian informasi lagi.
"Ruangan Pak Barra ada di sebelah kanan ya, Mbak. Silakan lurus saja."
Mengikuti arahan, Sandra berjalan lurus. Ia membaca papan-papan di depan pintu yang dilewatinya sampai menemukan ruangan sang CEO. Ia masuk dan terkejut mendapati banyaknya pelamar yang sudah menunggu. Kira-kira ada sekitar 15 pelamar yang berdiri di depan pintu bertulis CEO Aksara Group.
Di dalam ruangan itu ada sebuah meja panjang dengan komputer dan telepon di atasnya. Di balik meja itu duduk seorang wanita. Dilihat dari penampilannya, wanita itu lebih tua dari Sandra. Rambutnya disanggul seperti wanita-wanita jaman dulu. Tubuhnya kurus dan dandanannya sedikit menor.
Sandra berasumsi bahwa dialah seketaris sang CEO dan jika berhasil diterima, dia akan bekerja bersama wanita itu.
Mendadak, pintu ruangan sang CEO terbuka. Seorang lelaki berparas tampan keluar. Bahkan saking tampannya para pelamar wanita tersipu-sipu ketika menatapnya. Satu tangannya sibuk mempertahankan ponsel di telinga.
"Apa? Sebentar ...," katanya pada ponsel. Ia lantas mengamati para pelamar dengan kening berkerut. "Ada apa ini? Kok ramai sekali? Kalian mau demo?"
Si seketaris, wanita yang duduk di balik komputer tadi, bangkit. Ia memutar matanya dengan bosan, seolah-olah sang CEO sudah berulang kali hilang ingatan. "Kan hari ini Bapak mau wawancara asisten sekretaris yang baru."
"Iya, kah?" Sang CEO lantas memicing. Bibirnya mengerecut, khas seperti anak kecil ketika berpikir. Jantung Sandra dibuat berdentum-dentum ketika melihat parasnya. Dan mungkin, para pelamar wanita yang mengantre pun merasakan hal sama dengannya.
"Ya sudah, tunggu sebentar kalau gitu," tambah CEO itu kembali masuk.
"Anjir, ganteng banget nggak, sih?" bisik salah satu pelamar yang berdiri di samping Sandra. "Kerja sama dia seumur hidup juga bakal betah gue."
"Tapi, katanya sih orangnya sombong banget kalau sama cewek," balas gadis yang dibisiki pelamar tadi.
Sandra sendiri tak peduli sikap CEO itu. Ia hanya ingin diterima bekerja di sana. Ia perlu uang, plus membalas Alex dan ibunya. Samar-samar Sandra merasa pernah melihat lelaki itu. Tetapi ia lupa di mana.
Mulutnya kemudian menganga ketika ingat. Rupanya calon bosnya adalah lelaki yang dulu pernah ia cegat dan ancam supaya mengantarnya ke rumah sang adik setelah pergi dari rumah Alex. Bahkan setelah diantar pun, Sandra langsung keluar, tanpa mengucap terima kasih.
Duh, mati aku, batinnya, mengangkat map menutupi wajahnya yang merona. Ia berharap sang CEO lupa akan tindakannya yang memalukan itu.
***
Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.“Emang kenapa kalau udah punya
Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebel
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Pacar Pak Barra? Sandra bertanya-tanya. Bukankah tadi Bu Dina marah karena sang anak tidak memberi tahu tentang kekasihnya? Kalau memang gadis di depannya ini adalah pacar atasannya, kenapa tidak diperkenalkan saja? Aneh.Menurut Sandra, Nadine merupakan gadis yang cantik. Tubuhnya langsing. Dia juga tinggi. Rambutnya panjang dan ikal, menggantung di bagian bawah. Ia memiliki poni sepanjang alis yang agak jarang. Pipinya pun tirus. Dan dandanannya seperti artis-artis dari Korea. Kulitnya bening sampai-sampai Sandra curiga dia menempelkan ubur-ubur di sana.Baju yang dikenakannya pun menarik. Nadine memakai setelan dengan rok pendek dan blazer. Tasnya terbuat dari kulit asli, dari merek terkenal pula. Harganya ia taksir sampai puluhan juta. Ia pernah melihat artis Nagita Slavina membawa tas yang serupa di televisi. Jadi, sudah pasti gadis itu adalah anak orang kaya. Namun, mengapa Barra tidak mengenalkannya kepada Bu Dina?“Maaf, Mbak,” kata Sandra kemudian. “Apa Mbak ke sini mau berte