Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
“Nanti setelah makan malam, Mama mau bicara serius sama kamu dan suamimu. Hari ini biar Bi Inah yang nyuci piring."Deg! Ada apa ini? Batin Sandra tak tenang.Tidak biasanya sang mertua meminta izin untuk mengobrol. Kalau memang ada hal yang ingin diomongkan, dia pasti akan langsung bicara. Terlebih lagi dia menyuruh Bi Inah mengerjakan tugas yang sudah menjadi rutinitasnya.Memang, sebagai istri Alex, tak seharusnya Sandra mengerjakan pekerjaan asisten rumah tangga. Namun, Bi Inah sudah tua. Dia tak bisa lagi mengerjakan tugas-tugas berat.Alex bukannya tak mampu membayar asisten rumah tangga lain. Sebenarnya gajinya sangat cukup untuk membayar tiga pembantu tambahan. Dia bekerja sebagai manager sebuah perusahaan. Namun, Bu Utami melarangnya menambah asisten rumah tangga.“Eman,” katanya. "Biar Sandra saja. Dia kan masih kuat."Sandra terpaksa keluar dari pekerjaannya karena lelah kalau harus membersihkan rumah setelah bekerja.Saat menata piring, Sandra sudah bertanya-tanya, ada hal
Saat memasukkan bubuk cabai ke sarapan mertuanya, Sandra tak begitu memikirkan konsekuensi yang bakal ia dapatkan. Waktu itu ia dalam kondisi emosi tinggi. Akal sehatnya tertekan oleh nafsu untuk membalas Bu Utami yang tak menganggapnya sebagai menantu.Setelah dengan sengaja menuang bersendok-sendok bubuk cabai itu, ia sempat mengintip mertua dan para tamunya duduk dengan nyaman di ruang makan. Ia bahkan membantu menuangkan air minum untuk mereka. Alex sudah pergi ke kantor. Ia tak biasa ikut sarapan di rumah.Setelah sang mertua dan para tamunya memasukkan satu sendok makanan ke mulut, dengan kompak mereka mengernyit. Namun, untuk menghormati si tuan rumah, para tamu tersebut diam.Dua sendok mereka makan. Wajah mereka tampak memerah. Dan saat akan memasukkan sendok kelima, Bu Citra tak tahan lagi. “Ini masakan apa to, Jeng? Warna santannya kayak sambal goreng tapi nggak ada kacang, cuma ayam doang. Tapi kalau dibilang opor kok terlalu merah. Dan rasanya ....”Rose yang juga kepeda
Sidang perceraian Sandra berlangsung kurang lebih 3 bulan. Pihak Alex tak ingin memberi Sandra harta gono-gini. Mereka malah menuntut ganti rugi.Padahal dalam hal ini pihak yang paling banyak merugi adalah Sandra. Dia telah mengorbankan segalanya untuk keluarga sang suami ketika menikah dulu. Tak jarang ia mendapat kekerasan verbal.Untungnya, pengacara Sandra andal. Ia mampu menyelesaikan perceraian itu dengan hasil adil. Setidaknya Sandra mendapat sedikit uang dari pembagian harta gono-gini. Namun sayangnya uang itu habis untuk membayar pengacara.Kini Sandra bingung. Ia tak mungkin merecoki adiknya terus-terusan. Ia sudah menumpang di kontrakan sang adik. Padahal adiknya masih kuliah. Orang tua Sandra sudah meninggal. Jadi, ia tak memiliki siapa-siapa lagi selain Chandra, adiknya.Ia harus segera mencari kerja. Tetapi, jaman sekarang sangat sulit mendapatkan pekerjaan. Dulu ia bekerja di perusahan yang cukup terkenal. Gajinya pun banyak. Ia bahkan diangkat sebagai kepala pemasaran
Waktu semakin berlalu dan orang-orang yang sudah menunggu untuk wawancara semakin tidak sabar. Mereka mulai mengeluh. Yang kakinya pegal karena harus berdiri (sofa yang tersedia tidak cukup menampung banyaknya para pelamar), yang sumpek karena berdesakan (meski luas, tetap saja diisi sekian banyak pelamar jadi terasa sumpek).“Duh, kok lama banget sih, Mbak?” Gadis yang tadi berbisik memprotes sang sekretaris. “Kapan ini wawancaranya?”“Iya, ih! Aku datang udah dari tadi siang, lho!” timpal yang lain.“Sabar .... Namanya juga perusahaan besar.” Seorang pemuda yang tampaknya baru lulus sekolah mencoba menenangkan.“Alah, sok tahu!” Pemuda lain yang sepertinya sudah lebih berpengalaman juga mulai tak sabar. “Kamu belum pernah ngerasain izin kerja buat wawancara, sih! Jadinya punya waktu panjang.”“Lah, kalau memang udah punya kerjaan ngapain ikut wawancara?” Sandra pun ikut kelepasan. Ia sebagai pengangguran yang merasa kesulitan mencari kerja tak terima.“Emang kenapa kalau udah punya
Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebel