Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.
“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.
“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”
“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.
Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”
Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”
“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebelum ini membuatnya tak berani ambil risiko. Ia lantas mengangguk. “Iya, Pak.”
Tak disangka, Barra malah mendengkus. “Kasihan,” komentarnya singkat.
Sandra menggigit pipi bagian dalamnya, mencegah dirinya mengumpat. Apa-apaan lelaki itu? batinnya sedikit kesal. Ia mencoba sabar.
“Kau juga pernah bekerja sebagai kepala pemasaran?” lanjut Barra. Ia masih membaca riwayat hidup calon asisten seketarisnya.
“Iya, Pak.”
“Kok, keluar?”
Sandra diam sejenak. Ia mempertimbangkan jawabannya dengan saksama. “Saya mencoba peruntungan dengan membuka bisnis sendiri.”
“Pasti gagal.”
Bibir Sandra berkedut-kedut. Kalau sukses, saya tidak di sini, Pak, batinnya. Ia sampai menggigit bibirnya agar tidak mengungkapkan pikirannya.
“Sebagai informasi," Barra melanjutkan, "meski umurku lebih muda darimu, aku nggak suka dipanggil Dik.”
Siapa juga yang mau panggil kamu Dik. Namun, Sandra hanya bisa tersenyum. “Baik, Pak.”
“Aku juga nggak suka dipanggil Sayang.”
Ya ampun, bos macam apa ini? Sandra memijat keningnya sebentar sebelum menjawab, “Siap, Pak.”
“Jangan tawari aku rokok karena aku nggak merokok.”
Sandra mengangguk-angguk khidmat.
“Meski di kantorku ada mini bar, aku nggak minum minuman keras. Itu hanya buat tamu. Jadi, jangan coba-coba jebak aku dengan mencekokiku miras lalu ngajak tidur bareng,” tambah Barra.
“Pak!” Oke, hilang sudah kesabaran wanita itu. Ia berdeham untuk menahan emosinya, lalu berkata, “Maaf, Pak. Sebagai informasi saja, saya bukan ped*fil.”
Barra menengok. Satu alisnya terangkat satu. Sudut mulutnya berkedut. Ia lantas mendengkus. “Sebagai informasi juga, asisten seketarisku yang terakhir kupecat karena menawariku vodka yang dicampur obat per4ngsang.”
Mata Sandra membulat. “Oh, ya, masa? Emang siapa namanya? Orang--“
“Jangan suka menggosip,” potong Barra segera yang membuat Sandra langsung menutup mulut.
Lelaki itu lantas membanting map yang sudah selesai dibacanya. Ia membungkukkan badan, mendekatkan kepalanya ke kepala Sandra. “Katakan, bagaimana kamu bisa mendapatkan roti itu padahal tokonya sudah tutup.”
Jadi, dia tahu? batin Sandra heran. Kalau memang begitu, mengapa masih menyuruh seketarisnya membelinya? Ia lalu mendongak, menatap lawan bicaranya tetapi kemudian menyesal karena jantungnya berdetak keras. Wajah Barra berada dekat sekali dengan wajahnya sehingga ia dapat merasakan embusan napas lelaki itu yang hangat. “Sa-saya ....” Ia berdeham untuk menutupi kegugupannya. Ia beringsut mundur, menjaga jarak dari calon atasannya.
Dulu, sewaktu pertama kali bertemu dengan Barra, ia tak merasa segugup ini. Mungkin karena waktu itu ia dalam kondisi emosi. “Saya pelanggan toko itu. Jadi, saya tahu kalau ada stok roti yang belum habis, pemiliknya akan menaruh ke warung sebelahnya agar dapat dijual murah.”
“Hm ....” Barra mengelus janggutnya yang licin. Ia lalu menghela napas panjang dan bangkit, berjalan memandang kota dari jendelanya yang besar. Tangannya dimasukkan ke saku. Mungkin, seandainya pertemuan mereka tidak diwarnai insiden memalukan, plus sikap Barra tidak seaneh ini, Sandra bakal jatuh cinta pada lelaki itu.
“Kamu tahu siapa wanita itu?” Mendadak Barra bertanya.
"Wanita yang mana, Pak?" Sandra balik bertanya.
"Miss. Evelyn."
"Ng ...." Sandra diam sejenak. Apa ini ujian? Pikirannya berpacu. Ia mengingat-ingat nama Evelyn, yang mungkin adalah artis, atau pembisnis populer. Namun, ia tak menemukannya. “Maaf, enggak, Pak.”
“Dia itu mantan duta besar Irlandia untuk Indonesia. Pengaruhnya masih sangat besar di negaranya. Jadi, kalau kita bisa membuatnya senang, produk kita bisa masuk ke negera tersebut dengan mulus,” jelas Barra. Ia masih memandang kota di bawahnya. Karena sudah hampir petang, lampu-lampu kota menyala, tampak indah sekali.
Sandra membulatkan bibirnya, membentuk huruf o. Ia takjub kepada lelaki itu. Ia merasa Barra pantas menyandang jabatan CEO, walau wajahnya tampak seperti bocah.
“Besok,” lanjut lelaki itu tanpa menoleh, “datanglah pukul delapan tepat. Temui Wuri, wanita yang duduk di luar kantor ini. Dia akan memberitahumu tugas-tugas yang mesti kau lakukan. Dia juga akan memberimu daftar orang-orang yang kusuka dan yang tidak.”
Senyum sumringah terpampang di wajah Sandra. “Jadi, saya diterima, Pak?”
Barra mendecakkan lidah. Ia menoleh, menatap Sandra dengan jengkel. “Memangnya ada kandidat lain yang kuwawancara selain kamu?”
Sandra segera bangkit. Ia melonjak sedikit sebagai rasa senangnya kemudian pamit. Ketika keluar, ia sempat lupa menutup pintu sebelum buru-buru berbalik dan menutupnya dengan pelan sekali.
Sudut mulut Barra sedikit terangkat ketika melihat tingkah asisten seketarisnya yang baru.
***
Sandra pulang dengan hati berbunga-bunga. Akhirnya ia mendapat pekerjaan. Di tempat yang diinginkan pula. Ia yakin, kalau Alex tahu, dia pasti iri. Ia tak sempat bertanya gaji tadi. Namun, mengingat posisinya yang lumayan, dia rasa gajinya pasti cukup tinggi. Ia bisa membeli produk perawatan diri. Dan ketika sudah cantik nanti, ia ingin berpura-pura bertemu Bu Utami, lalu menyombong. Ah, pasti bakal memuaskan.
Wanita itu lantas bertanya-tanya, seandainya ia kepergok jalan berdua dengan Barra, apa Alex akan cemburu dan menyesal telah menyia-nyiakannya?
Sandra menggeleng-gelengkan kepala, mengusir khayalannya yang bukan-bukan. Ia sudah diperingatkan oleh Barra tadi untuk tidak tergoda pesonanya. Ia tak mau pekerjaannya berlangsung singkat. Ia butuh banyak uang agar tak menjadi beban adiknya.
Ketika sampai di rumah, Chadra--adiknya--belum pulang. Sepertinya dia sibuk menggarap tugas lagi. maklum, sebentar lagi adiknya skipsi.
Sandra lalu membuka pintu. Selembar kertas jatuh di kakinya. Ia memungut kertas itu dan membacanya. Rupanya itu adalah undangan pernikahan Alex dengan wanita yang Sandra tak kenal. Seketika, hati wanita itu panas. Untuk apa Alex mengundangnya? Apakah dia ingin pamer?
Ia meremas undangan itu. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan tadi lenyap seketika.
***
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Pacar Pak Barra? Sandra bertanya-tanya. Bukankah tadi Bu Dina marah karena sang anak tidak memberi tahu tentang kekasihnya? Kalau memang gadis di depannya ini adalah pacar atasannya, kenapa tidak diperkenalkan saja? Aneh.Menurut Sandra, Nadine merupakan gadis yang cantik. Tubuhnya langsing. Dia juga tinggi. Rambutnya panjang dan ikal, menggantung di bagian bawah. Ia memiliki poni sepanjang alis yang agak jarang. Pipinya pun tirus. Dan dandanannya seperti artis-artis dari Korea. Kulitnya bening sampai-sampai Sandra curiga dia menempelkan ubur-ubur di sana.Baju yang dikenakannya pun menarik. Nadine memakai setelan dengan rok pendek dan blazer. Tasnya terbuat dari kulit asli, dari merek terkenal pula. Harganya ia taksir sampai puluhan juta. Ia pernah melihat artis Nagita Slavina membawa tas yang serupa di televisi. Jadi, sudah pasti gadis itu adalah anak orang kaya. Namun, mengapa Barra tidak mengenalkannya kepada Bu Dina?“Maaf, Mbak,” kata Sandra kemudian. “Apa Mbak ke sini mau berte
Harapan Sandra memang terpenuhi. Dia tidak bertemu Alex hari itu. Akan tetapi, dia lelah luar biasa. Setelah menghadiri acara pembukaan restoran baru, jadwal Barra selanjutnya adalah menghadiri acara amal.Acara amal itu diselenggarakan di alun-alun kota, dan dipimpin oleh Ibu Walikota, juga disiarkan ke televisi-televisi nasional. Aksara Grup menjadi salah satu sponsornya. Maka dari itu, Barra diharap dapat menghadirinya.Setelah dibuka dengan sambutan-sambutan, tibalah acara inti yaitu membuat adonan kue. Rencananya kue-kue tersebut akan dijual. Dan hasil dari penjualan akan didonasikan ke yayasan panti asuhan.Begitu sampai di alun-alun, Sandra dan Barra segera digeret oleh istri Pak Bupati, yang kebetulan ikut dalam acara tersebut. Mereka lantas diberi celemek, serta tepung dan wadah.“Bu, saya nggak bisa bikin kue. Kalau masak, saya bisa.” Sandra memprotes.Bu Indra, istri sang bupati, mengibaskan tangan. “Ini buat foto aja, kok, Mbak. Kalian kan sponsor.”Wanita itu mendesah leg
Malam itu Sandra pulang dengan terseok-seok. Akan tetapi, ia tak semuram kemarin. Setidaknya rona wajahnya sedikit lebih cerah. Hal itu membuat Chandra curiga.“Hayo, Mbak habis ngapain?”“Huh?” Sandra salah tingkah. Ia melepas sepatu yang dibelikan Barra dengan hati-hati, lalu meletakkannya ke rak sepatu paling tinggi. “Habis kerja, kan? Emang mau ngapain lagi?”Chandra tersenyum jahil. “Kok girang banget?”Wanita itu memegang pipinya dengan telapak tangan. “Masa?”“Bosnya Mbak udah nggak jahat lagi?” tanya Chandra kemudian. Ia sedang duduk di depan laptopnya. Bungkus camilan berserakkan di sekitarnya. Akan tetapi, dia tak peduli.Sandra mengempaskan tubuhnya ke sofa di belakang Chandra yang sedang menggarap tugas. “Siapa bilang bosku jahat?”Chandra pura-pura lupa. “Duh, siapa ya? Kayaknya cewek yang berinisial S, deh.”Sang kakak menendangnya lembut, sekadar ingin menggodanya saja. “Enggak jahat. Cuma gimana, ya? Dia tuh nggak bisa ditebak. Kadang gualaknya kayak singa diinjak ekor
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da