Di dalam kantor itu, Sandra duduk dengan menangkupkan tangannya ke lutut. Walau AC menyala dingin, telapak tangannya berkeringat. Ia duduk di kursi tunggal di depan meja Barra, sedangkan lelaki itu dengan tidak sopannya duduk di sudut meja. Tangannya sibuk membolak-balik kertas yang berisi riwayat hidup Sandra.
“Jadi, namamu Tawanan?” tanyanya kemudian.
“Hah?” Sanda hanya bisa melongo. Otaknya memproses secara lambat. Kemudian, ketika ia tahu apa yang dimaksud calon bosnya itu, ia menggeleng. “Bukan Tawanan, Pak, tapi Sandra.”
“Ya kan artinya sama saja.” Barra ngotot, seolah ingin menunjukkan bahwa di sini dialah yang berkuasa.
Wanita itu memutar bola matanya. “Maaf ya Pak, setahuku sinonim tawanan itu sandera, pakai e. Bukan sandra”
Namun, Barra malah mengedikkan bahu. Matanya tak lepas dari tulisan dalam kertas-kertas yang dipegangnya. “Kau masih single?”
“Ng ....” Sandra ragu sejenak. Sebenarnya ia ingin jujur. Tetapi mengingat penolakan-penolakan yang terlontar dari para HRD sebelum ini membuatnya tak berani ambil risiko. Ia lantas mengangguk. “Iya, Pak.”
Tak disangka, Barra malah mendengkus. “Kasihan,” komentarnya singkat.
Sandra menggigit pipi bagian dalamnya, mencegah dirinya mengumpat. Apa-apaan lelaki itu? batinnya sedikit kesal. Ia mencoba sabar.
“Kau juga pernah bekerja sebagai kepala pemasaran?” lanjut Barra. Ia masih membaca riwayat hidup calon asisten seketarisnya.
“Iya, Pak.”
“Kok, keluar?”
Sandra diam sejenak. Ia mempertimbangkan jawabannya dengan saksama. “Saya mencoba peruntungan dengan membuka bisnis sendiri.”
“Pasti gagal.”
Bibir Sandra berkedut-kedut. Kalau sukses, saya tidak di sini, Pak, batinnya. Ia sampai menggigit bibirnya agar tidak mengungkapkan pikirannya.
“Sebagai informasi," Barra melanjutkan, "meski umurku lebih muda darimu, aku nggak suka dipanggil Dik.”
Siapa juga yang mau panggil kamu Dik. Namun, Sandra hanya bisa tersenyum. “Baik, Pak.”
“Aku juga nggak suka dipanggil Sayang.”
Ya ampun, bos macam apa ini? Sandra memijat keningnya sebentar sebelum menjawab, “Siap, Pak.”
“Jangan tawari aku rokok karena aku nggak merokok.”
Sandra mengangguk-angguk khidmat.
“Meski di kantorku ada mini bar, aku nggak minum minuman keras. Itu hanya buat tamu. Jadi, jangan coba-coba jebak aku dengan mencekokiku miras lalu ngajak tidur bareng,” tambah Barra.
“Pak!” Oke, hilang sudah kesabaran wanita itu. Ia berdeham untuk menahan emosinya, lalu berkata, “Maaf, Pak. Sebagai informasi saja, saya bukan ped*fil.”
Barra menengok. Satu alisnya terangkat satu. Sudut mulutnya berkedut. Ia lantas mendengkus. “Sebagai informasi juga, asisten seketarisku yang terakhir kupecat karena menawariku vodka yang dicampur obat per4ngsang.”
Mata Sandra membulat. “Oh, ya, masa? Emang siapa namanya? Orang--“
“Jangan suka menggosip,” potong Barra segera yang membuat Sandra langsung menutup mulut.
Lelaki itu lantas membanting map yang sudah selesai dibacanya. Ia membungkukkan badan, mendekatkan kepalanya ke kepala Sandra. “Katakan, bagaimana kamu bisa mendapatkan roti itu padahal tokonya sudah tutup.”
Jadi, dia tahu? batin Sandra heran. Kalau memang begitu, mengapa masih menyuruh seketarisnya membelinya? Ia lalu mendongak, menatap lawan bicaranya tetapi kemudian menyesal karena jantungnya berdetak keras. Wajah Barra berada dekat sekali dengan wajahnya sehingga ia dapat merasakan embusan napas lelaki itu yang hangat. “Sa-saya ....” Ia berdeham untuk menutupi kegugupannya. Ia beringsut mundur, menjaga jarak dari calon atasannya.
Dulu, sewaktu pertama kali bertemu dengan Barra, ia tak merasa segugup ini. Mungkin karena waktu itu ia dalam kondisi emosi. “Saya pelanggan toko itu. Jadi, saya tahu kalau ada stok roti yang belum habis, pemiliknya akan menaruh ke warung sebelahnya agar dapat dijual murah.”
“Hm ....” Barra mengelus janggutnya yang licin. Ia lalu menghela napas panjang dan bangkit, berjalan memandang kota dari jendelanya yang besar. Tangannya dimasukkan ke saku. Mungkin, seandainya pertemuan mereka tidak diwarnai insiden memalukan, plus sikap Barra tidak seaneh ini, Sandra bakal jatuh cinta pada lelaki itu.
“Kamu tahu siapa wanita itu?” Mendadak Barra bertanya.
"Wanita yang mana, Pak?" Sandra balik bertanya.
"Miss. Evelyn."
"Ng ...." Sandra diam sejenak. Apa ini ujian? Pikirannya berpacu. Ia mengingat-ingat nama Evelyn, yang mungkin adalah artis, atau pembisnis populer. Namun, ia tak menemukannya. “Maaf, enggak, Pak.”
“Dia itu mantan duta besar Irlandia untuk Indonesia. Pengaruhnya masih sangat besar di negaranya. Jadi, kalau kita bisa membuatnya senang, produk kita bisa masuk ke negera tersebut dengan mulus,” jelas Barra. Ia masih memandang kota di bawahnya. Karena sudah hampir petang, lampu-lampu kota menyala, tampak indah sekali.
Sandra membulatkan bibirnya, membentuk huruf o. Ia takjub kepada lelaki itu. Ia merasa Barra pantas menyandang jabatan CEO, walau wajahnya tampak seperti bocah.
“Besok,” lanjut lelaki itu tanpa menoleh, “datanglah pukul delapan tepat. Temui Wuri, wanita yang duduk di luar kantor ini. Dia akan memberitahumu tugas-tugas yang mesti kau lakukan. Dia juga akan memberimu daftar orang-orang yang kusuka dan yang tidak.”
Senyum sumringah terpampang di wajah Sandra. “Jadi, saya diterima, Pak?”
Barra mendecakkan lidah. Ia menoleh, menatap Sandra dengan jengkel. “Memangnya ada kandidat lain yang kuwawancara selain kamu?”
Sandra segera bangkit. Ia melonjak sedikit sebagai rasa senangnya kemudian pamit. Ketika keluar, ia sempat lupa menutup pintu sebelum buru-buru berbalik dan menutupnya dengan pelan sekali.
Sudut mulut Barra sedikit terangkat ketika melihat tingkah asisten seketarisnya yang baru.
***
Sandra pulang dengan hati berbunga-bunga. Akhirnya ia mendapat pekerjaan. Di tempat yang diinginkan pula. Ia yakin, kalau Alex tahu, dia pasti iri. Ia tak sempat bertanya gaji tadi. Namun, mengingat posisinya yang lumayan, dia rasa gajinya pasti cukup tinggi. Ia bisa membeli produk perawatan diri. Dan ketika sudah cantik nanti, ia ingin berpura-pura bertemu Bu Utami, lalu menyombong. Ah, pasti bakal memuaskan.
Wanita itu lantas bertanya-tanya, seandainya ia kepergok jalan berdua dengan Barra, apa Alex akan cemburu dan menyesal telah menyia-nyiakannya?
Sandra menggeleng-gelengkan kepala, mengusir khayalannya yang bukan-bukan. Ia sudah diperingatkan oleh Barra tadi untuk tidak tergoda pesonanya. Ia tak mau pekerjaannya berlangsung singkat. Ia butuh banyak uang agar tak menjadi beban adiknya.
Ketika sampai di rumah, Chadra--adiknya--belum pulang. Sepertinya dia sibuk menggarap tugas lagi. maklum, sebentar lagi adiknya skipsi.
Sandra lalu membuka pintu. Selembar kertas jatuh di kakinya. Ia memungut kertas itu dan membacanya. Rupanya itu adalah undangan pernikahan Alex dengan wanita yang Sandra tak kenal. Seketika, hati wanita itu panas. Untuk apa Alex mengundangnya? Apakah dia ingin pamer?
Ia meremas undangan itu. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan tadi lenyap seketika.
***
Keesokan harinya, Sandra masih mendongkol. Ia tak bisa melupakan undangan itu begitu saja. Chandra menyarankan agar kakaknya itu menghadiri pernikahan mantan suaminya."Tunjukkan kalau Mbak sudah bisa move on!" usulnya tadi malam.Namun, Sandra belum siap. Ia merasa belum memiliki sesuatu yang dapat ia banggakan. Sandra sempat berpikir menyewa alat berat untuk menghancurkan tenda biru pelaminan. Akan tetapi, orang sekelas Alex tak mungkin menikah beratapkan tenda biru. Dia pasti menyewa gedung. Tidak mungkin Sandra menghancurkan gedung hanya untuk balas dendam kepada Alex. Bisa rugi ratusan juta.Akhirnya ia mengenyahkan pikiran tentang Alex dan balas dendamnya. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Ia tak mau fokusnya terganggu. Jadi, dengan mengenakan blazer baru hadiah dari adiknya karena berhasil mendapatkan pekerjaan, ia tersenyum di kaca.Mengingat penampilan Barra yang elegan, ia sebagai asisten seketarisnya pun tak mau kalah. Setidaknya jika ada tamu yang datang, ia tak mau
Di dalam mobil, Sandra memijat-mijat kakinya yang pegal. Ia mengintip sedikit pergelangan kakinya bagian belakang dan di sana ada lecet akibat sepatu barunya. Seketika ia menyesal karena tidak memakai stoking. Si sopir diam-diam memperhatikannya. “Ada apa, Mbak?” tanyanya kepada Sandra yang duduk di jok samping kemudi. Wanita itu menggeleng, “Nggak apa-apa, kok, Pak.” Ia sempat menengok spion sebentar, memandang Barra yang duduk sendirian di belakang. Dari kaca itu Sandra dapat melihat mata bosnya tertutup, seolah sedang tertidur. Bulu mata milik lelaki itu membuat Sandra seolah tertarik untuk terus memandangnya. Ia bahkan jadi lupa bernapas. Namun, ketika mata itu terbuka, Sandra tersedak. Ia langsung mengalihkan pandangan ke apa pun selain spion. Namun, terlambat. Barra terlanjur memergokinya. “Ngapain curi-curi pandang begitu?” tanyanya kemudian. Sandra menggigit bibir, pura-pura tak mengerti pertanyaan bosnya. “Bapak bicara sama saya?” Barra mendengkus. “Sini, berikan ponsel
“Apakah dia mantan pacarmu?” Barra bertanya lagi. Matanya menatap Sandra dengan serius. Akan tetapi, setelah tak mendapat jawaban, ia menarik wanita itu minggir, menjauh dari pintu tempat pesta diadakan. Setelah mereka berada jauh dari pintu, Barra menawarkan sapu tangannya. Dengan kain itu, Sandra mengusap air mata yang sempat jatuh tadi. Ia ingin mengoreksi Barra, berkata bahwa Alex bukan mantan pacarnya, melainkan mantan suaminya. Namun kemudian ia teringat status dalam riwayat hidupnya kemarin. Ia mengaku belum pernah menikah. Ia lantas memutuskan diam saja. “Apa kamu masih mencintainya?” tanya lelaki itu lagi. Sandra menggeleng. “Saya membencinya. Saya ingin mencabik-cabiknya. Dia .... Rupanya selama ini dia berselingkuh dari saya. Kami baru berce ....” Wanita itu menghentikan ucapannya sejenak. Ia hampir keceplosan. “Kami baru putus tiga bulan yang lalu. Sekarang dia sudah menggandeng wanita lain. Hamil pula.” Barra mendengkus. “Seharusnya kamu nggak boleh gemetar seperti itu
Keesokan harinya, Sandra bangun dengan tubuh pegal. Kakinya kram. Ia bahkan merasa tak sanggup lagi memakai sepatu berhak tinggi. Otot betisnya tegang.Mengikuti kegiatan Barra selama sehari membuatnya ingin menyerah. Akan tetapi, setelah mengingat kejadian tadi malam, ia bersemangat lagi.Relasinya bertambah. Ia berkenalan dengan banyak sekali orang-orang penting. Ada seorang ibu bayangkari yang menawari resep kue pada Sandra. Ada pengusaha fashion yang memberi diskon hingga 70% kalau ia bersedia mampir ke tokonya. Semua orang seolah ingin mengundangnya datang.Hal itu tak pernah ia rasakan sebelumnya. Sandra merasa bagai putri raja semalam. Ia bahkan melupakan sakit pada kakinya yang lecet karena sepatu.Ia juga senang karena berhasil mengabaikan Alex. Ia bahkan tak tahu kapan mantan suaminya itu pergi dari pesta. Dan, mengingat wajah Alex ketika Barra meremehkannya membuatnya sangat puas.Namun kini, setelah hari berganti, pesta itu menguap begitu saja. Cinderella kembali menjadi g
Sandra duduk di sofa dalam kantor Barra dengan kaki yang dirapatkan. Kepalanya tertunduk. Ia tak tahu mesti berkata apa. Ia takut salah bicara.Sementara itu Bu Dina, ibunya Barra, duduk di kursi depan meja kerja anaknya. Kakinya yang panjang disilangkan. Satu tangannya menyangga dagu, dengan siku menempel ke lutut. Matanya meneliti Sandra yang duduk di sudut kantor, agak jauh darinya.Setelah keributan yang terjadi di depan pintu tadi, Bu Dina memaksa masuk ke kantor Barra. Ia ingin mendengar detail pesta tadi malam.Barra lantas memperkenalkannya kepada Sandra. Dan ia meyakinkan ibunya bahwa tak ada yang istimewa dari hubungan mereka.“Mama tuh nggak marah karena kamu punya pacar, hanya saja kok nggak kasih tahu sebelumnya gitu, lho, Bar,” katanya pada sang anak yang duduk di belakang meja kerja. “Aku ini masih mamamu, kan? Masa aku harus tahu dari berita online?”“Ma!” Barra memijat pangkal hidungnya dengan dua jari. “Ini nggak seperti yang Mama sangka. Aku dan Sandra nggak ada hub
Pacar Pak Barra? Sandra bertanya-tanya. Bukankah tadi Bu Dina marah karena sang anak tidak memberi tahu tentang kekasihnya? Kalau memang gadis di depannya ini adalah pacar atasannya, kenapa tidak diperkenalkan saja? Aneh.Menurut Sandra, Nadine merupakan gadis yang cantik. Tubuhnya langsing. Dia juga tinggi. Rambutnya panjang dan ikal, menggantung di bagian bawah. Ia memiliki poni sepanjang alis yang agak jarang. Pipinya pun tirus. Dan dandanannya seperti artis-artis dari Korea. Kulitnya bening sampai-sampai Sandra curiga dia menempelkan ubur-ubur di sana.Baju yang dikenakannya pun menarik. Nadine memakai setelan dengan rok pendek dan blazer. Tasnya terbuat dari kulit asli, dari merek terkenal pula. Harganya ia taksir sampai puluhan juta. Ia pernah melihat artis Nagita Slavina membawa tas yang serupa di televisi. Jadi, sudah pasti gadis itu adalah anak orang kaya. Namun, mengapa Barra tidak mengenalkannya kepada Bu Dina?“Maaf, Mbak,” kata Sandra kemudian. “Apa Mbak ke sini mau berte
Harapan Sandra memang terpenuhi. Dia tidak bertemu Alex hari itu. Akan tetapi, dia lelah luar biasa. Setelah menghadiri acara pembukaan restoran baru, jadwal Barra selanjutnya adalah menghadiri acara amal.Acara amal itu diselenggarakan di alun-alun kota, dan dipimpin oleh Ibu Walikota, juga disiarkan ke televisi-televisi nasional. Aksara Grup menjadi salah satu sponsornya. Maka dari itu, Barra diharap dapat menghadirinya.Setelah dibuka dengan sambutan-sambutan, tibalah acara inti yaitu membuat adonan kue. Rencananya kue-kue tersebut akan dijual. Dan hasil dari penjualan akan didonasikan ke yayasan panti asuhan.Begitu sampai di alun-alun, Sandra dan Barra segera digeret oleh istri Pak Bupati, yang kebetulan ikut dalam acara tersebut. Mereka lantas diberi celemek, serta tepung dan wadah.“Bu, saya nggak bisa bikin kue. Kalau masak, saya bisa.” Sandra memprotes.Bu Indra, istri sang bupati, mengibaskan tangan. “Ini buat foto aja, kok, Mbak. Kalian kan sponsor.”Wanita itu mendesah leg
Malam itu Sandra pulang dengan terseok-seok. Akan tetapi, ia tak semuram kemarin. Setidaknya rona wajahnya sedikit lebih cerah. Hal itu membuat Chandra curiga.“Hayo, Mbak habis ngapain?”“Huh?” Sandra salah tingkah. Ia melepas sepatu yang dibelikan Barra dengan hati-hati, lalu meletakkannya ke rak sepatu paling tinggi. “Habis kerja, kan? Emang mau ngapain lagi?”Chandra tersenyum jahil. “Kok girang banget?”Wanita itu memegang pipinya dengan telapak tangan. “Masa?”“Bosnya Mbak udah nggak jahat lagi?” tanya Chandra kemudian. Ia sedang duduk di depan laptopnya. Bungkus camilan berserakkan di sekitarnya. Akan tetapi, dia tak peduli.Sandra mengempaskan tubuhnya ke sofa di belakang Chandra yang sedang menggarap tugas. “Siapa bilang bosku jahat?”Chandra pura-pura lupa. “Duh, siapa ya? Kayaknya cewek yang berinisial S, deh.”Sang kakak menendangnya lembut, sekadar ingin menggodanya saja. “Enggak jahat. Cuma gimana, ya? Dia tuh nggak bisa ditebak. Kadang gualaknya kayak singa diinjak ekor