Malam itu Sandra pulang dengan terseok-seok. Akan tetapi, ia tak semuram kemarin. Setidaknya rona wajahnya sedikit lebih cerah. Hal itu membuat Chandra curiga.“Hayo, Mbak habis ngapain?”“Huh?” Sandra salah tingkah. Ia melepas sepatu yang dibelikan Barra dengan hati-hati, lalu meletakkannya ke rak sepatu paling tinggi. “Habis kerja, kan? Emang mau ngapain lagi?”Chandra tersenyum jahil. “Kok girang banget?”Wanita itu memegang pipinya dengan telapak tangan. “Masa?”“Bosnya Mbak udah nggak jahat lagi?” tanya Chandra kemudian. Ia sedang duduk di depan laptopnya. Bungkus camilan berserakkan di sekitarnya. Akan tetapi, dia tak peduli.Sandra mengempaskan tubuhnya ke sofa di belakang Chandra yang sedang menggarap tugas. “Siapa bilang bosku jahat?”Chandra pura-pura lupa. “Duh, siapa ya? Kayaknya cewek yang berinisial S, deh.”Sang kakak menendangnya lembut, sekadar ingin menggodanya saja. “Enggak jahat. Cuma gimana, ya? Dia tuh nggak bisa ditebak. Kadang gualaknya kayak singa diinjak ekor
Perlu usaha keras bagi Nadine untuk mengajak Barra ke sebuah pesta. Pasalnya lelaki itu tak pernah mau. Apalagi kalau pesta itu jatuh pada hari liburnya. Selalu saja ada alasan.Nadine sendiri tidak tahu alasan Barra menolak pesta-pesta itu. Padahal sebagai seorang yang masih muda dan bergelimang harta, seharusnya Barra sering-sering ke pesta untuk bersenang-senang, begitu pikir gadis itu.Nadine sendiri sangat menyukai pesta, tapi bukan pesta pernikahan beradat kental. Ia lebih suka pesta-pesta para pemuda seperti ulang tahun, pesta lajang, dsb. Pokoknya yang seru-seru, yang ada musik dan alkohol, sehingga dia bisa berdansa sampai puas. Akan tetapi, dia juga tak menolak pesta elegan berupa makan malam disusul dengan minum wine.Sebagai anak muda, ia tak mau menyia-nyiakan waktunya. Ia ingin mencoba segalanya.Tadinya Nadine mengajak Barra ke pesta lajang yang diadakan temannya. Dulu, dia bersekolah di luar negeri. Australia, tepatnya. Setelah selesai sekolah, ia masih berhubungan den
Sandra terpaksa masuk ke dalam pesta bersama Barra dan Nadine. Sesampainya di pintu masuk, mereka disambut para penerima tamu.Mereka lantas diantar ke meja bundar yang tertata semedikian rupa guna menyambut tamu-tamu. Beberapa kali Barra didatangi kenalannya. Mereka bersalaman serta bercakap sebentar.Di seberang meja, Nadine menatap Sandra dengan raut tak suka. Akan tetapi, ketika ia sadar dilihat oleh Barra, wajahnya berubah seratus delapan puluh derajat. Ia tersenyum manis sekali.“Bagus ya konsep pernikahannya? Adatnya kerasa,” katanya mencuri hati sang CEO.Barra mengangguk setuju. “Mama seneng banget sama konsep pernikahan kayak gini.”Sandra diam saja. Perutnya terasa diaduk-aduk ketika melihat sekeliling. Ia tak mau keluarga mantan suami mengenalinya. Ia takut statusnya terungkap di hadapan Barra. Ia tak mau dipecat.“Kok diem aja, Nan?” Barra bertanya.Nadine mengernyit. “Kok, Nan?”“Namanya kan Tawanan.” “Tawan—oh!” Nadine tertawa hambar. Seperti yang diduganya, selera hum
Di pelaminan, Alex begitu terkejut melihat lelaki yang kemarin dulu datang ke pesta Pak Bupati menggendong Sandra keluar area pesta. Ia bertanya-tanya, apakah memang benar lelaki itu kekasih mantan istrinya sekarang? Kalau memang benar, mengapa hubungan mereka tak terpengaruh oleh gosip yang dulu ia ciptakan? Kalau Alex jadi lelaki itu, pastilah ia sudah meninggalkan Sandra. Pasalnya, ia menggambarkan mantan istrinya sebagai wanita yang matre.Apakah lelaki itu memang menyukai wanita matre? Alex tak habis pikir.“Duh, romantisnya ....” Kristin, istrinya yang baru, tampak iri. “Mana digendong Mas Barra, lagi. Pengen.”“Hus!” Wajah Alex merah padam. “Masa bilang begitu di hadapan suamimu sendiri? Itu namanya nggak menghargai aku.”Kristin melirik suaminya dengan cemberut. “Eh, Mas, asal kamu tahu, ya. Aku mau sama kamu karena gagal menggoda Mas Barra.”Alex memelotot. “Maksudmu aku cadangan?”Wanita yang mengenakan paes di dahinya itu pun memutar bola mata. “Semua wanita yang masih wara
Sementara itu, Barra menurunkan Sandra tepat di depan pintu mobilnya. Sang sopir tergopoh-gopoh menghampiri majikannya. "Buka pintunya, Pak!" perintahnya pada sang sopir. Ia lantas beralih pada Sandra, "Kamu masuk dulu aja." Setelah pintu mobil dapat dibuka, Sandra segera masuk ke jok penumpang belakang. Barra masih meladeni permintaan maaf si tuan rumah. Nadine segera menyusulnya ke dalam. “Gila! Ternyata lo pick me girl banget, ya! Nggak nyangka gue,” ujarnya dengan sengit.Sandra menolak dikatakan seperti itu. “Saya nggak bermaksud begitu, Mbak. Saya malu ditelanjangi di depan umum.”“Alah, sok-sokan jadi yang paling teraniaya.” Nadine menyahut jas Barra yang digunakan untuk menutupi bagian perut Sandra. “Lo tuh munafik. Bilang malu-malu, tapi mau juga kan digendong Barra?”Sandra tak bisa menjawab. Ia merelakan jas itu diambil paksa. Pahanya terekspos. Ia berusaha menutupinya dengan tangan.“Lagian, ini gaun murahan banget. Masa cuma ditarik dikit langsung sobek. Lo nggak mampu
Kejengkelanan Sandra akan sikap mantan mertuanya sejenak terlupakan. Hal itu karena kesalahpahaman yang dilakukan adiknya, yang membuatnya semakin malu.Mulanya, setelah dari pesta itu mereka mampir ke apartemen Nadine. Sandra takjub mendapati betapa mewah apartemen gadis itu. Berada di kawasan elite yang dilengkapi lapangan golf dan sekolah internasional. Mall-nya pun megah.Begitu memasuki gerbang, Sandra merasa seolah berada di dunia lain. Banyak pohon-pohon eksotis yang berdiri di pinggir jalan. Sejauh mata memandang tak ada sampah bercecer di tepi jalan. Ia curiga tong sampahnya dilap sampai mengilap.Cahaya emas seolah memancar dari bangunan besar yang berarsitektur modern dengan sentuhan unik. Apartemen itu bagai istana yang berdiri menjulang dan lebar. Kolam renang super besar tampak berkilauan airnya, membuat apartemen itu semakin estetik ketika dipandang dari jauh.“Loh, mau ke mana, Bar?” Nadine bertanya ketika mobil Barra memasuki gerbang apartemennya.Barra menjawab, “Nga
Biasanya Sandra tidak makan siang di kantin. Ia lebih suka membawa bekal sendiri. Lebih mengirit. Namun siang itu dia sengaja ke kantin. Dia ingin bertanya mengapa HRD memperlakukannya secara berbeda.Pasalnya bukan hanya karena wanita itu belum diberi undangan acara gathering, melainkan ia juga belum dimasukkan ke dalam grup WA karyawan. Jadi, apabila ada info-info penting, ia selalu melewatkannya.Kantin itu berada di samping kantor Aksara Group dan memiliki bangunan yang terpisah. Sehingga Sandra harus keluar dan melewati taman dulu agar sampai di sana. Luasnya hampir seperempat mall. Banyak makanan yang dijual. Harganya pun beragam. Dari yang seharga nasi kucing di pinggir jalan sampai seharga hidangan salmon di resto bintang lima.Ketika masuk, ia mendapati bangku-bangku kantin hampir penuh. Matanya sibuk mencari sesosok wanita berkuncir kuda yang tadi sempat dilihatnya masuk lift. Selepas menemukannya, ia pun pergi membeli minuman botol dan menghampirinya. Ia sudah makan bekalny
Malam itu, untuk berterima kasih kepada Lusi karena telah memberi informasi tentang lowongan pekerjaan Aksara Group, Sandra menraktir wanita itu ke warung makan sederhana. Maklum, ia belum gajian. Namun, ia berjanji akan membawanya ke tempat yang lebih mewah kalau sudah gajian nanti.Selagi menikmati makanan, Lusi begitu penasaran dengan kawannya yang tampak lesu. Ia pun bertanya, “Ada apa, sih? Kok mukamu masam banget?”Alih-alih segera menjawab, Sandra mendesah panjang. Ia ganti bertanya, “Ada lowongan kerja di tempat lain, nggak?”Alis Lusi terangkat satu. “Kenapa emangnya?”Bahu Sandra melorot lesu. “Nggak betah. Tekanannya itu, lho!” Mendadak, ia teringat Wulan, teringat Nadine, dan teringat para wartawan yang kepo. Ia menjadi merinding.“Setidaknya kamu masih mending. Kalau sedang capek garap kerjaan bisa nengok yang bening-bening, lah aku? Bosku tua bangka, mana botak lagi. Udah gitu genitnya minta ampun.”Bibir Sandra mengerucut. “Nengok yang bening-bening? Siapa? Pak Barra?”