“Ng ....” Sandra menggeleng. “Nggak usah, Pak,” katanya. Ia menggoyangkan tangannya dengan heboh. “Saya nggak jadi ikut aja.”“Loh, kok nggak jadi? Kan sudah sampai sini.” Barra mendekat, yang membuat Sandra semakin panik.“Pak .... Anu ....” Ia menengok kanan dan kiri, meminta bantuan. Namun, tak ada yang menangkap isyaratnya.Salah satu karyawan yang tadi melerai pun menyahut, “Nah, tuh. Ikut aja ke mobil Pak Barra. Kan enak.”Sandra melihat sebagian karyawan wanita yang menyaksikannya berbisik. Ia yakin, mereka pasti membicarakannya. Ia mencoba bersikap tenang. Ia ingat Lusi pernah berkata sesuatu tentang menjadikan masalah sebagai teman alih-alih musuh yang harus dihindari. Ia pun mengubah cara pandangnya.“Maaf, Pak,” katanya segera. “Saya nggak bisa ikut Bapak. Jujur saja, saya sudah diomongin yang bukan-bukan gara-gara terlalu dekat dengan Pak Barra.”Kening sang bos mengernyit. “Maksudnya?”Sandra melirik Wulan yang kini panik. Ia berdiri di belakang Sandra. Matanya memelotot
“Tumben Pak Barra ikut acara gathering karyawan,” ujar Sandra sedikit ketus. Ia merasa tidak nyaman duduk di dalam bus bersama sang atasan. Lagu dangdut diputar kencang-kencang di layar televisi yang menggantung dalam bus. Sebagian penumpang asik berkaraoke, sebagiannya lagi mengemil makanan ringan. Beberapa orang bergosip, beberapa lagi memainkan ponsel.“Sok tahu,” jawab Barra kemudian. “Kau kan baru kerja seminggu, mana tahu aku sering ikut acara gathering atau nggak.”Sandra mengatupkan mulutnya rapat sampai membentuk garis tipis.“Kamu sering gosipin aku di belakang, ya?” cetus Barra curiga.“Enggak,” dusta wanita itu.Barra meenengok ke arah Sandra. Matanya menyelidik. “Enggak salah.”Sandra berdecak. “Enggak kok, Pak. Sebagai pegawai saya kan cuma mau nyari info tentang bos saya, gitu.”“Halah! Alasan!” Barra lantas kembali menatap ke depan. Meski suara orang yang berkaraoke tidak bagus-bagus amat, yang lain tidak merasa terganggu. Mereka malah terhibur. Begitupun dengan Barra.
Area resort untuk acara gathering kali ini sangat luas. Berada di kawasan puncak. Jadi, meski sudah menjelang siang, hawa terasa adem. Udaranya sangat segar. Begitu turun dari bus, mereka disambut pemilik resort. Mereka lantas dibawa ke sebuah paviliun yang luas.Di depan paviliun ada kolam renang. Namun, kolam itu hanya sebagai hiasan. Sebab, tak ada yang sudi berenang di tempat dengan hawa sedingin puncak. Untuk mandi saja rasanya ogah-ogahan. Bahkan, minum saja seperti menenggak air dari kulkas.Di belakang paviliun tampak pemandangan yang menakjubkan. Beberapa orang tak mau melewatkan pemandangan itu. Mereka langsung berswafoto.Wulan yang sudah kembali ceria di hadapan bosnya pun mengusulkan untuk mengambil foto bersama, lengkap dengan MMT bertuliskan acara dan nama perusahaan mereka.Usul itu kemudian disambut dengan gembira. Mereka lantas mengambil tempat dan bersiap dengan gayanya masing-masing.“Ayo, Pak!” ajak Wulan melambaikan tangan, memanggil bosnya agar ikut.Barra menol
Wanita itu tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Tadinya ia berharap harta karun tersebut berupa ponsel terbaru, atau minimal uang sekian juta. Namun, malah bosnya. Ia merengut.“Nggak lucu, tahu!” Barra merenggut pita dari kepalanya dengan geram. Wajahnya juga cemberut.Sandra mengernyit bingung. Apanya yang nggak lucu? tanyanya dalam hati.Sebuah tawa menggema, membuat wanita itu terkejut. Rupanya Barra tidak berbicara kepadanya. Ia berbicara pada orang lain yang bersembunyi di balik pintu. Dan ternyata orang lain itu adalah Yoshi.Setelah menampakkan diri, lelaki itu melambaikan tangan, menyuruh Sandra masuk, tetapi wanita itu menolak. “Barra itu melebihi harta karun, loh,” ujarnya.Sandra seolah belum percaya harta karun yang dimaksud adalah Barra. “Jadi, nggak ada harta karun, ya?” tanyanya.“Dih!” Barra tersinggung. “Kok, mukamu masam gitu? Nggak suka aku jadi harta karunnya?”Sandra hanya bisa mendesah. Sia-sia saja ia berpikir keras.Lelaki itu lantas menambahkan, “Kamu nggak
Sementara Sandra dibawa ke klinik terdekat oleh Barra yang ditemani Gladis, Wulan dan peserta lain melanjutkan acara barbeku. Walau dihibur oleh petikan gitar dan nyanyian, nyatanya belum mampu membuat para peserta mengalihkan perhatian dari kejadian barusan. Mereka bergerombol, menikmati acara bakar-bakaran dengan bergosip ria.Wulan melihat ke sekeliling sebentar dan bergabung bersama gerombolan yang dinilainya paling besar dan paling kompleks. Gerombolan itu terdiri dari tiga pria dan lima wanita. Mereka duduk-duduk di kursi yang disediakan di paviliun. Di depan mereka terdapat daging, ikan, dan jagung yang selesai dibakar.“Tuh, kan, bener. Pick me girl banget itu si Sandra.” Wulan memulai aksinya menjelek-jelekkan wanita itu. Ia membawa daging sepiring penuh untuk dinikmati bersama. “Pakai pura-pura pingsan segala.”“Mungkin dia emang pingsan beneran, kali,” sahut seorang peserta pria. Ia duduk sambil menggigiti jagung bakar yang ditawarkan di piring depannya.“Nah, betul, tuh!”
Di klinik, Sandra membuka mata. Ia mengerjap bingung. Terakhir kali ia ingat dirinya sedang dipapah menuju kamarnya di resort. Namun kini, ia terbangun di ruangan asing. Ruangan itu sempit dan temboknya bercat putih. Tirai berwarna hijau menjadi dindingnya. Jelas itu bukan kamarnya. Seingatnya kamarnya bercat krem dan tak ada sekat berupa tirai.Matanya bergulir, mencari Gladis. Namun, ia tak menemukannya. Ia lantas bangkit hingga terduduk di ranjang. Selimut tebal melorot ke dadanya yang terbuka. Seketika, ia menarik selimut itu rapat-rapat.Samar-samar, ia mendengar suara Barra dari balik tirai. Ia berniat mencari tahu di mana dia sekarang dan sedang apa di sana, tetapi yang keluar dari bibirnya hanya, “Pak ....”Barra yang mendengar panggilan Sandra pun menghentikan bicaranya. Ia menyibak tirai dan lega ketika mendapati Sandra siuman. Namun kemudian, saat sekilas melihat punggung polos wanita itu, wajahnya memerah. “Kamu berbaring saja,” katanya.Sandra sendiri terkejut ketika mend
Rumah Barra beraksitektur modern. Memiliki dua lantai dan berada di kawasan perumahan. Sehingga, ketika masuk ke kawasan itu, mobil Barra mesti melewati portal yang dijaga empat satpam berbadan bak tentara.Begitu masuk gang, suasana terasa sangat sepi. Selain karena malam hari, rumah-rumah yang berada dalam gang itu besar-besar. Semua memiliki halaman yang luas. Sehingga, dalam satu gang yang biasanya dihuni satu RT, di sana hanya berdiri dua rumah.Rumah-rumah itu dipisahkan oleh tembok-tembok yang tinggi. Bangunannya sendiri berbeda-beda, dalam arti tidak ada yang serupa. Ada yang beraksitektur klasik, ada pula yang beraksitektur ala-ala istana dengan pilar-pilarnya yang besar. Tak ada rumah kecil di sana.Sandra yang melihatnya dari dalam mobil berpikir, pencuri pasti bakal merasa bak di surga kalau memasuki kawasan ini. Namun kemudian, ia meralat pikirannya. Sebab, pencuri pastilah tak berani masuk ke sini. Ia yakin, kawasan itu tak selenggang kelihatannya.Di dalam gerbang-gerba
Wajah Barra seperti malaikat ketika tidur. Bulu matanya yang panjang tampak indah. Kulitnya yang halus terasa lembut dan hangat. Kadang dahinya berkerut, membuat Sandra yang mengamatinya penasaran, apa yang diimpikan lelaki itu malam ini.Wanita itu duduk di kursi berlengan di samping ranjang. Satu tangannya berada di genggaman Barra. Dan, ketika ingin melepasnya, sang bos malah mengeratkan genggamannya. Sehingga Sandra tak mungkin meninggalkannya.Ia juga tak mungkin berani ikut berbaring di samping lelaki itu. Ia ingat dulu, ketika Barra mewawancarainya. Ia sudah diwanti-wanti untuk tidak menggodanya kalau masih ingin tetap bekerja.Sandra belum ingin dipecat. Ia belum menemukan lowongan pekerjaan baru. Lusi yang dulu dimintainya tolong mencarikan lowongan pekerjaan untuk Sandra malah sibuk mencari lowongan untuk dirinya sendiri. Lagi pula, ia masih ingin bekerja di sana setidaknya dua minggu lagi. Ia ingin mengalahkan Wulan dengan bertahan selama-lamanya di sana.Bicara soal Wulan,