Sementara Sandra dibawa ke klinik terdekat oleh Barra yang ditemani Gladis, Wulan dan peserta lain melanjutkan acara barbeku. Walau dihibur oleh petikan gitar dan nyanyian, nyatanya belum mampu membuat para peserta mengalihkan perhatian dari kejadian barusan. Mereka bergerombol, menikmati acara bakar-bakaran dengan bergosip ria.Wulan melihat ke sekeliling sebentar dan bergabung bersama gerombolan yang dinilainya paling besar dan paling kompleks. Gerombolan itu terdiri dari tiga pria dan lima wanita. Mereka duduk-duduk di kursi yang disediakan di paviliun. Di depan mereka terdapat daging, ikan, dan jagung yang selesai dibakar.“Tuh, kan, bener. Pick me girl banget itu si Sandra.” Wulan memulai aksinya menjelek-jelekkan wanita itu. Ia membawa daging sepiring penuh untuk dinikmati bersama. “Pakai pura-pura pingsan segala.”“Mungkin dia emang pingsan beneran, kali,” sahut seorang peserta pria. Ia duduk sambil menggigiti jagung bakar yang ditawarkan di piring depannya.“Nah, betul, tuh!”
Di klinik, Sandra membuka mata. Ia mengerjap bingung. Terakhir kali ia ingat dirinya sedang dipapah menuju kamarnya di resort. Namun kini, ia terbangun di ruangan asing. Ruangan itu sempit dan temboknya bercat putih. Tirai berwarna hijau menjadi dindingnya. Jelas itu bukan kamarnya. Seingatnya kamarnya bercat krem dan tak ada sekat berupa tirai.Matanya bergulir, mencari Gladis. Namun, ia tak menemukannya. Ia lantas bangkit hingga terduduk di ranjang. Selimut tebal melorot ke dadanya yang terbuka. Seketika, ia menarik selimut itu rapat-rapat.Samar-samar, ia mendengar suara Barra dari balik tirai. Ia berniat mencari tahu di mana dia sekarang dan sedang apa di sana, tetapi yang keluar dari bibirnya hanya, “Pak ....”Barra yang mendengar panggilan Sandra pun menghentikan bicaranya. Ia menyibak tirai dan lega ketika mendapati Sandra siuman. Namun kemudian, saat sekilas melihat punggung polos wanita itu, wajahnya memerah. “Kamu berbaring saja,” katanya.Sandra sendiri terkejut ketika mend
Rumah Barra beraksitektur modern. Memiliki dua lantai dan berada di kawasan perumahan. Sehingga, ketika masuk ke kawasan itu, mobil Barra mesti melewati portal yang dijaga empat satpam berbadan bak tentara.Begitu masuk gang, suasana terasa sangat sepi. Selain karena malam hari, rumah-rumah yang berada dalam gang itu besar-besar. Semua memiliki halaman yang luas. Sehingga, dalam satu gang yang biasanya dihuni satu RT, di sana hanya berdiri dua rumah.Rumah-rumah itu dipisahkan oleh tembok-tembok yang tinggi. Bangunannya sendiri berbeda-beda, dalam arti tidak ada yang serupa. Ada yang beraksitektur klasik, ada pula yang beraksitektur ala-ala istana dengan pilar-pilarnya yang besar. Tak ada rumah kecil di sana.Sandra yang melihatnya dari dalam mobil berpikir, pencuri pasti bakal merasa bak di surga kalau memasuki kawasan ini. Namun kemudian, ia meralat pikirannya. Sebab, pencuri pastilah tak berani masuk ke sini. Ia yakin, kawasan itu tak selenggang kelihatannya.Di dalam gerbang-gerba
Wajah Barra seperti malaikat ketika tidur. Bulu matanya yang panjang tampak indah. Kulitnya yang halus terasa lembut dan hangat. Kadang dahinya berkerut, membuat Sandra yang mengamatinya penasaran, apa yang diimpikan lelaki itu malam ini.Wanita itu duduk di kursi berlengan di samping ranjang. Satu tangannya berada di genggaman Barra. Dan, ketika ingin melepasnya, sang bos malah mengeratkan genggamannya. Sehingga Sandra tak mungkin meninggalkannya.Ia juga tak mungkin berani ikut berbaring di samping lelaki itu. Ia ingat dulu, ketika Barra mewawancarainya. Ia sudah diwanti-wanti untuk tidak menggodanya kalau masih ingin tetap bekerja.Sandra belum ingin dipecat. Ia belum menemukan lowongan pekerjaan baru. Lusi yang dulu dimintainya tolong mencarikan lowongan pekerjaan untuk Sandra malah sibuk mencari lowongan untuk dirinya sendiri. Lagi pula, ia masih ingin bekerja di sana setidaknya dua minggu lagi. Ia ingin mengalahkan Wulan dengan bertahan selama-lamanya di sana.Bicara soal Wulan,
Sandra masuk kantor dengan lesu ketika Senin kembali datang. Rasanya ia menyesal memutuskan untuk ikut acara gathering itu. Tujuannya tidak tercapai. Malah semakin parah saja.Gladis menanyakan kondisinya begitu ia absen.“Aman,” katanya singkat. Ia lalu bertanya, “Mbak Wuri sudah datang?”Gladis menggeleng.“Apa masih flu?” tanyanya lagi.Gadis itu mengedikkan bahu sekilas. “Nggak tahu sih, Mbak. Seharusnya sih sudah sembuh.”“Kalau Pak Barra?”Gladis menggeleng lagi.Apa mungkin masih sakit? Batin Sandra bertanya. Akan tetapi, ia tak peduli. Atau mencoba tak peduli. Ia ingat kemarin pagi, ketika Barra memintanya melupakan kejadian malam sebelumnya.Memangnya dia pikir aku siapa? Sandra mendengkus. Ia kini dalam fase kemarahan setelah kekecewaan.Ia lantas naik ke ruangannya dan memeriksa e-mail serta jadwal sang atasan. Tak lama kemudian, Wuri datang.“Gimana gatheringnya, San?” tanyanya.Yang ditanya mendesah, “Lumayan, Mbak.”Wuri menggeleng prihatin. “Lumayan kacau?” Ia duduk di
Meski tadinya bertekad akan mengonfrontasi Wulan secara langsung, saat jam makan siang tiba, Sandra tak mampu menemukan cara supaya wanita itu membocorkan rahasia yang dimiliki kepadanya tanpa menimbulkan curiga. Maka dari itu, Sandra mencari tahu dengan cara lain.Pertama, ia menyusup ke kantor Wulan. Ia menduga, andai benar Wulan tahu tentang statusnya pastilah dia tahu dari data kantor. Jadi, ketika semua pegawai HRD makan siang, ia diam-diam menyelinap.Ia mencari-cari bilik Wulan dan akhirnya ketemu. Ia membuka laci kerja wanita itu sembari melirik kanan kiri. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.Sandra tahu ada CCTV yang menyorot aksinya. Tetapi, CCTV di sana ada banyak. Dan ruang kontrolnya pun berada di kantor keamanan. Seandainya Pak Satpam melihat perbuatannya sekarang, paling-paling petugas keamanan itu berpikir bahwa Sandra tak berniat buruk. Kecuali apabila nanti Wulan kehilangan sesuatu, dirinya pasti bakal dicurigai.Akan tetapi, barang apa yang mungkin hila
Sandra dipaksa bangun pagi keesokan harinya. Ia harus sampai bandara sebelum pukul delapan. Ia juga mesti bersiap. Beberapa kali pihak penyelenggara menghubungi Sandra. Sebagai seketaris, ia yang dimintai kepastian tentang berapa orang yang akan hadir dalam pertemuan itu nantinya. Untuk sesi makan siang, pihak pelaksana juga meminta daftar makanan yang membuat Barra alergi.Untuk mengetahui hal tersebut, Sandra terpaksa menelepon Wuri malam-malam.“Nggak ada, San. Pak Barra apa aja doyan, asal nggak bau.”“Oke!”Setelah meneruskan informasi tersebut kepada pihak penyelenggara, Sandra mesti berkemas.Ia datang setengah jam lebih awal di bandara, tetapi rupanya Barra sudah menunggu. Setelah melakukan boarding pass, akhirnya mereka terbang ke Kalimantan Timur.Dan, ketika duduk di pesawat, barulah Sandra bisa beristirahat. Entah apa sebabnya, mood Barra pagi ini kurang bagus. Begitu Sandra datang tadi, dia sudah mengomel.“Masa bos datang lebih dulu ketimbang pegawai,” ujar lelaki itu sa
Wanita itu tidak berniat tidur. Ia hanya ingin merebahkan dirinya di tempat yang nyaman. Dan sofa merupakan tempat ternyaman yang bisa ditemukannya saat ini.Matanya masih melek dan keadaanya masih seratus persen sadar. Suara kebyuran air dapat ditangkap oleh indera pendengarannya, akibatnya otaknya jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Ia iri terhadap air yang dapat membasahi tubuh bosnya, mengalur dari ujung rambut sampai kaki. Ia iri terhadap sabun yang membalur leher, dada, kemudian perut, dan .... Astaga, apa yang kupikirkan? batin wanita itu. Wajahnya semerah tomat.ia lantas menutup mata, mengenyahkan pikiran tidak senonohnya. Akan tetapi, bayangan Barra yang polos malah menari-menari di pikirannya."Ya ampun, apa-apaan ini?" gerutunya. Ia membuka matanya lebar-lebar. Satu jam saja sekamar dengan sang bos telah membuatnya gila. Apalagi ketika lelaki itu keluar dari kamar mandi.Bau aftershave segera saja memenuhi kamar. Meski menghadap tembok, Sandra dapat menduga bosnya keluar