Sandra dipaksa bangun pagi keesokan harinya. Ia harus sampai bandara sebelum pukul delapan. Ia juga mesti bersiap. Beberapa kali pihak penyelenggara menghubungi Sandra. Sebagai seketaris, ia yang dimintai kepastian tentang berapa orang yang akan hadir dalam pertemuan itu nantinya. Untuk sesi makan siang, pihak pelaksana juga meminta daftar makanan yang membuat Barra alergi.Untuk mengetahui hal tersebut, Sandra terpaksa menelepon Wuri malam-malam.“Nggak ada, San. Pak Barra apa aja doyan, asal nggak bau.”“Oke!”Setelah meneruskan informasi tersebut kepada pihak penyelenggara, Sandra mesti berkemas.Ia datang setengah jam lebih awal di bandara, tetapi rupanya Barra sudah menunggu. Setelah melakukan boarding pass, akhirnya mereka terbang ke Kalimantan Timur.Dan, ketika duduk di pesawat, barulah Sandra bisa beristirahat. Entah apa sebabnya, mood Barra pagi ini kurang bagus. Begitu Sandra datang tadi, dia sudah mengomel.“Masa bos datang lebih dulu ketimbang pegawai,” ujar lelaki itu sa
Wanita itu tidak berniat tidur. Ia hanya ingin merebahkan dirinya di tempat yang nyaman. Dan sofa merupakan tempat ternyaman yang bisa ditemukannya saat ini.Matanya masih melek dan keadaanya masih seratus persen sadar. Suara kebyuran air dapat ditangkap oleh indera pendengarannya, akibatnya otaknya jadi memikirkan hal yang tidak-tidak. Ia iri terhadap air yang dapat membasahi tubuh bosnya, mengalur dari ujung rambut sampai kaki. Ia iri terhadap sabun yang membalur leher, dada, kemudian perut, dan .... Astaga, apa yang kupikirkan? batin wanita itu. Wajahnya semerah tomat.ia lantas menutup mata, mengenyahkan pikiran tidak senonohnya. Akan tetapi, bayangan Barra yang polos malah menari-menari di pikirannya."Ya ampun, apa-apaan ini?" gerutunya. Ia membuka matanya lebar-lebar. Satu jam saja sekamar dengan sang bos telah membuatnya gila. Apalagi ketika lelaki itu keluar dari kamar mandi.Bau aftershave segera saja memenuhi kamar. Meski menghadap tembok, Sandra dapat menduga bosnya keluar
Seusai makan malam, Sandra pikir ia bisa langsung kembali ke kamar hotel. Akan tetapi rupanya ia keliru. Para tamu berpindah ke ruangan lain. Live musik sudah berakhir, tetapi di tempat baru ada musik dari DJ yang mengalun. Lampu menjadi lebih redup ketimbang ketika makan malam. Pasangan-pasangan mulai berdansa tetapi ada pula yang memilih duduk-duduk di sofa maupun meja panjang yang di baliknya ada seorang pemuda meracik minuman. Ruangan itu sepertinya cocok disebut bar. Akan tetapi bar itu bukannya bar dengan musik ingar bingar. Musik yang mengalun lembut, lampunya pun tidak kelap-kelip dan lebih elegan.Mata Sandra masih terpaku pada tingkah Barra yang tanpa sadar membuat hatinya panas. Lelaki itu seperti cahaya dan gadis-gadis yang mendatanginya tak ubahnya seperti ngengat. Mereka selalu mendekat begitu Barra berada dalam jangkauan, membuat Sandra gerah.Apalagi ketika gadis yang tadi dikenalkan oleh sang menteri menarik Barra untuk berdansa. Tangan Sandra memilin-milin gagang gel
Perlu usaha keras agar Barra terlepas dari gadis yang dikenalkan sang menteri padanya. Ia tahu maksud tersembunyi menteri tersebut. Beliau ingin gadis itu dekat dengannya. Entah apa tujuannya, yang jelas Barra menjadi waspada.Gadis itu tidak seperti Nadine yang terlalu ketara menunjukkan perasaannya. Gadis itu bersikap malu-malu. Namun, ia menangkap sesuatu dari pandangan gadis itu ketika Barra berdansa dengan Sandra tadi. Dan mendadak ia bergidik karena ngeri. Lelaki itu lantas memutuskan untuk mengambil jarak dari gadis tersebut.Malam sudah semakin larut sehingga Barra memutuskan menyudahi pesta itu. Ia berpamitan pada sang menteri. Akan tetapi menteri itu malah meminta Barra mengantar gadis itu sekalian ke kamar hotel.Barra tak kuasa menolak.Hal yang mengejutkan berikutnya adalah ketika Barra bermobil bersama gadis itu.“Kau menginap di hotel mana?” tanyanya setelah sopir melajukan kendaraan. Ia duduk di belakang kursi sopir, sedikit lebih jauh dari gadis itu.Alih-alih menjawa
Keesokan paginya Sandra bangun dengan terkejut. Ia tak tahu kapan dirinya tertidur, di ranjang pula. Ia lantas bangkit, berniat meminta maaf pada Barra. Akan tetapi lelaki itu tak ada. Ia sudah memeriksa kamar. Barang-barang lelaki itu masih di kamar. Berarti bosnya belum chek-out. Lantas, dia ke mana?Mungkin Barra bermalam dengan gadis yang kemarin berdansa dengannya, pikir Sandra kecewa. Hatinya sakit saat membayangkan sang bos bermesraan di ranjang dengan wanita lain. Namun kemudian, ia menghela napas kasar.Tidak, batinnya menyangkal. Siapa dia sampai-sampai melarang Barra bermalam dengan gadis lain? Dia hanya asisten seketarisnya. Sandra lantas memutuskan untuk segera memadamkan perasaannya sebelum terambat.Hari ini pertemuan akan dilaksanakan pukul delapan pagi. Wanita itu memutuskan untuk mengenakan rok span selutut, kemeja, dan blazer agar tampak resmi. Setelah bersiap-siap, Sandra turun ke lobi. Ia berniat sarapan di warung depan hotel yang dirasa lebih murah. Akan tetapi,
“Trus, kita harus gimana nih, Pak?” tanya Sandra setelah tawanya mereda.Barra mengedikkan bahu. “Mau gimana lagi? Kita harus lanjut.” Dia menunjuk ke arah jembatan yang menunggu untuk dilewati.Sandra cemberut. “Nggak bisa balik aja ya, Pak?” tanyanya penuh harap.“Bisa, tapi di depan jembatannya lebih pendek.”Wanita itu mengamati kedua jembatan dan membandingkannya. Benar kata atasannya. Jembatan di depan lebih pendek ketimbang jembatan yang barusan ia lewati.Sebuah ide meluncur dari bibirnya, “Gimana kalau kita teriak aja, Pak. Minta tolong penjaga hutan.”Bara menaikkan alisnya satu. Ia memandang Sandra seolah mengatakan bahwa idenya amat buruk. Namun, yang keluar dari bibirnya adalah, “Coba aja.”Wanita itu kecewa. Ia tak memiliki pilihan selain menghadapi jembatan gantung. Bahunya melorot lesu. Ia ikut duduk bersama Barra, menyandarkan punggungnya ke batang pohon, berhadapan dengan lelaki itu.“Loh, kok malah duduk?” Mata cokelat Barra mengamati. “Katanya mau teriak minta tolo
Keesokan harinya, Sandra izin tidak masuk kerja. Ia kelelahan. Barra pun datang setelah makan siang. Di kantor hanya ada Wuri. Wanita itu tampak sibuk merevisi notulen yang dikirim Sandra tadi pagi ke email-nya.Teleponnya berdering ketika ia memperbaiki susunan kalimat dalam laporan.“Ya, Pak?” sapanya ketika tahu lampu interkom yang berkedip.“Kamu sudah baca e-mail yang dikirim oleh seketaris dewan ireksi?” Suara Barra terdengar lelah.“Wah, belum tuh, Pak,” sahutnya dengan kening mengernyit. Tangannya sibuk menekan tetikus, menutup lembar kerjanya sementara dan berpindah membuka surat elektronik. Ia mengeklik surat yang baru masuk, membacanya singkat dan ternganga. “Rapat tahunan dipercepat, Pak?”“Yup! Aku juga kaget. Pasti ada sesuatu.” Suara bosnya membuat Wuri penasaran.“Jangan-jangan ....” Wanita itu tak sanggup melanjutkan kalimatnya.“Nggak usah suudzon. Yang penting laporan untuk presentasi kita sudah selesai, kan?”Sang seketaris pun sedikit panik. “Masih 75% sih, Pak.”
“Maksudnya apa nih, Pak?” Sandra mengirimkan pesan ke atasannya. “Kok pakai minta maaf segala?”Wanita itu mengetuk-ngetukkan jemarinya ke meja dengan gelisah. Ia menunggu balasan. Namun, sekian menit berlalu, tak ada jawaban dari bosnya. Mungkin bosnya sedang fokus bekerja, pikirnya. Jadi, tak memperhatikan ponsel. Nanti kalau ada kesempatan bersama ia akan bertanya secara langsung, putusnya kemudian.Ia kembali merevisi notulennya.Mendadak, interkom berdering. Sandra memencet tombol speaker dan suara Barra terdengar jelas dari sana. “Hari ini ada jadwal bertemu klien, kan?”“Iya, Pak!” Sandra dan Wuri menjawab bersamaan. Mereka berpandangan sekilas sebelum kembali fokus pada telepon.“Bisa nggak minta dipercepat? Soalnya aku ada acara makan siang nanti,” lanjut suara dari interkom.“Saya hubungi klien dulu, Pak,” jawab Sandra kemudian. Setelah memutus sambungan, ia menelepon klien dan mengonfirmasi permintaan bosnya. Seusai mendapat jawaban, ia menelepon bosnya. “Bisa, Pak. Jadwal