Kejengkelanan Sandra akan sikap mantan mertuanya sejenak terlupakan. Hal itu karena kesalahpahaman yang dilakukan adiknya, yang membuatnya semakin malu.Mulanya, setelah dari pesta itu mereka mampir ke apartemen Nadine. Sandra takjub mendapati betapa mewah apartemen gadis itu. Berada di kawasan elite yang dilengkapi lapangan golf dan sekolah internasional. Mall-nya pun megah.Begitu memasuki gerbang, Sandra merasa seolah berada di dunia lain. Banyak pohon-pohon eksotis yang berdiri di pinggir jalan. Sejauh mata memandang tak ada sampah bercecer di tepi jalan. Ia curiga tong sampahnya dilap sampai mengilap.Cahaya emas seolah memancar dari bangunan besar yang berarsitektur modern dengan sentuhan unik. Apartemen itu bagai istana yang berdiri menjulang dan lebar. Kolam renang super besar tampak berkilauan airnya, membuat apartemen itu semakin estetik ketika dipandang dari jauh.“Loh, mau ke mana, Bar?” Nadine bertanya ketika mobil Barra memasuki gerbang apartemennya.Barra menjawab, “Nga
Biasanya Sandra tidak makan siang di kantin. Ia lebih suka membawa bekal sendiri. Lebih mengirit. Namun siang itu dia sengaja ke kantin. Dia ingin bertanya mengapa HRD memperlakukannya secara berbeda.Pasalnya bukan hanya karena wanita itu belum diberi undangan acara gathering, melainkan ia juga belum dimasukkan ke dalam grup WA karyawan. Jadi, apabila ada info-info penting, ia selalu melewatkannya.Kantin itu berada di samping kantor Aksara Group dan memiliki bangunan yang terpisah. Sehingga Sandra harus keluar dan melewati taman dulu agar sampai di sana. Luasnya hampir seperempat mall. Banyak makanan yang dijual. Harganya pun beragam. Dari yang seharga nasi kucing di pinggir jalan sampai seharga hidangan salmon di resto bintang lima.Ketika masuk, ia mendapati bangku-bangku kantin hampir penuh. Matanya sibuk mencari sesosok wanita berkuncir kuda yang tadi sempat dilihatnya masuk lift. Selepas menemukannya, ia pun pergi membeli minuman botol dan menghampirinya. Ia sudah makan bekalny
Malam itu, untuk berterima kasih kepada Lusi karena telah memberi informasi tentang lowongan pekerjaan Aksara Group, Sandra menraktir wanita itu ke warung makan sederhana. Maklum, ia belum gajian. Namun, ia berjanji akan membawanya ke tempat yang lebih mewah kalau sudah gajian nanti.Selagi menikmati makanan, Lusi begitu penasaran dengan kawannya yang tampak lesu. Ia pun bertanya, “Ada apa, sih? Kok mukamu masam banget?”Alih-alih segera menjawab, Sandra mendesah panjang. Ia ganti bertanya, “Ada lowongan kerja di tempat lain, nggak?”Alis Lusi terangkat satu. “Kenapa emangnya?”Bahu Sandra melorot lesu. “Nggak betah. Tekanannya itu, lho!” Mendadak, ia teringat Wulan, teringat Nadine, dan teringat para wartawan yang kepo. Ia menjadi merinding.“Setidaknya kamu masih mending. Kalau sedang capek garap kerjaan bisa nengok yang bening-bening, lah aku? Bosku tua bangka, mana botak lagi. Udah gitu genitnya minta ampun.”Bibir Sandra mengerucut. “Nengok yang bening-bening? Siapa? Pak Barra?”
“Ng ....” Sandra menggeleng. “Nggak usah, Pak,” katanya. Ia menggoyangkan tangannya dengan heboh. “Saya nggak jadi ikut aja.”“Loh, kok nggak jadi? Kan sudah sampai sini.” Barra mendekat, yang membuat Sandra semakin panik.“Pak .... Anu ....” Ia menengok kanan dan kiri, meminta bantuan. Namun, tak ada yang menangkap isyaratnya.Salah satu karyawan yang tadi melerai pun menyahut, “Nah, tuh. Ikut aja ke mobil Pak Barra. Kan enak.”Sandra melihat sebagian karyawan wanita yang menyaksikannya berbisik. Ia yakin, mereka pasti membicarakannya. Ia mencoba bersikap tenang. Ia ingat Lusi pernah berkata sesuatu tentang menjadikan masalah sebagai teman alih-alih musuh yang harus dihindari. Ia pun mengubah cara pandangnya.“Maaf, Pak,” katanya segera. “Saya nggak bisa ikut Bapak. Jujur saja, saya sudah diomongin yang bukan-bukan gara-gara terlalu dekat dengan Pak Barra.”Kening sang bos mengernyit. “Maksudnya?”Sandra melirik Wulan yang kini panik. Ia berdiri di belakang Sandra. Matanya memelotot
“Tumben Pak Barra ikut acara gathering karyawan,” ujar Sandra sedikit ketus. Ia merasa tidak nyaman duduk di dalam bus bersama sang atasan. Lagu dangdut diputar kencang-kencang di layar televisi yang menggantung dalam bus. Sebagian penumpang asik berkaraoke, sebagiannya lagi mengemil makanan ringan. Beberapa orang bergosip, beberapa lagi memainkan ponsel.“Sok tahu,” jawab Barra kemudian. “Kau kan baru kerja seminggu, mana tahu aku sering ikut acara gathering atau nggak.”Sandra mengatupkan mulutnya rapat sampai membentuk garis tipis.“Kamu sering gosipin aku di belakang, ya?” cetus Barra curiga.“Enggak,” dusta wanita itu.Barra meenengok ke arah Sandra. Matanya menyelidik. “Enggak salah.”Sandra berdecak. “Enggak kok, Pak. Sebagai pegawai saya kan cuma mau nyari info tentang bos saya, gitu.”“Halah! Alasan!” Barra lantas kembali menatap ke depan. Meski suara orang yang berkaraoke tidak bagus-bagus amat, yang lain tidak merasa terganggu. Mereka malah terhibur. Begitupun dengan Barra.
Area resort untuk acara gathering kali ini sangat luas. Berada di kawasan puncak. Jadi, meski sudah menjelang siang, hawa terasa adem. Udaranya sangat segar. Begitu turun dari bus, mereka disambut pemilik resort. Mereka lantas dibawa ke sebuah paviliun yang luas.Di depan paviliun ada kolam renang. Namun, kolam itu hanya sebagai hiasan. Sebab, tak ada yang sudi berenang di tempat dengan hawa sedingin puncak. Untuk mandi saja rasanya ogah-ogahan. Bahkan, minum saja seperti menenggak air dari kulkas.Di belakang paviliun tampak pemandangan yang menakjubkan. Beberapa orang tak mau melewatkan pemandangan itu. Mereka langsung berswafoto.Wulan yang sudah kembali ceria di hadapan bosnya pun mengusulkan untuk mengambil foto bersama, lengkap dengan MMT bertuliskan acara dan nama perusahaan mereka.Usul itu kemudian disambut dengan gembira. Mereka lantas mengambil tempat dan bersiap dengan gayanya masing-masing.“Ayo, Pak!” ajak Wulan melambaikan tangan, memanggil bosnya agar ikut.Barra menol
Wanita itu tak bisa menyembunyikan kekecewaannya. Tadinya ia berharap harta karun tersebut berupa ponsel terbaru, atau minimal uang sekian juta. Namun, malah bosnya. Ia merengut.“Nggak lucu, tahu!” Barra merenggut pita dari kepalanya dengan geram. Wajahnya juga cemberut.Sandra mengernyit bingung. Apanya yang nggak lucu? tanyanya dalam hati.Sebuah tawa menggema, membuat wanita itu terkejut. Rupanya Barra tidak berbicara kepadanya. Ia berbicara pada orang lain yang bersembunyi di balik pintu. Dan ternyata orang lain itu adalah Yoshi.Setelah menampakkan diri, lelaki itu melambaikan tangan, menyuruh Sandra masuk, tetapi wanita itu menolak. “Barra itu melebihi harta karun, loh,” ujarnya.Sandra seolah belum percaya harta karun yang dimaksud adalah Barra. “Jadi, nggak ada harta karun, ya?” tanyanya.“Dih!” Barra tersinggung. “Kok, mukamu masam gitu? Nggak suka aku jadi harta karunnya?”Sandra hanya bisa mendesah. Sia-sia saja ia berpikir keras.Lelaki itu lantas menambahkan, “Kamu nggak
Sementara Sandra dibawa ke klinik terdekat oleh Barra yang ditemani Gladis, Wulan dan peserta lain melanjutkan acara barbeku. Walau dihibur oleh petikan gitar dan nyanyian, nyatanya belum mampu membuat para peserta mengalihkan perhatian dari kejadian barusan. Mereka bergerombol, menikmati acara bakar-bakaran dengan bergosip ria.Wulan melihat ke sekeliling sebentar dan bergabung bersama gerombolan yang dinilainya paling besar dan paling kompleks. Gerombolan itu terdiri dari tiga pria dan lima wanita. Mereka duduk-duduk di kursi yang disediakan di paviliun. Di depan mereka terdapat daging, ikan, dan jagung yang selesai dibakar.“Tuh, kan, bener. Pick me girl banget itu si Sandra.” Wulan memulai aksinya menjelek-jelekkan wanita itu. Ia membawa daging sepiring penuh untuk dinikmati bersama. “Pakai pura-pura pingsan segala.”“Mungkin dia emang pingsan beneran, kali,” sahut seorang peserta pria. Ia duduk sambil menggigiti jagung bakar yang ditawarkan di piring depannya.“Nah, betul, tuh!”
Acara wisuda itu amat lancar. Setelah para tamu datang, para wisudawan dan wisudawati duduk di tepatnya. Setelahnya para dekan dan tamu kehormatan melakukan sambutan-sambutan di depan mimbar yang telah disediakan. Kemudian mahasiswa pilihan menyampaikan pidato perpisahannya. Setelah semuanya selesai, acara penyerahan ijazah secara simbolik dilakukan. Masing-masing wisudawan dan wisudawati dipanggil namanya supaya ke depan. Prestasi mereka disebut, begitupun dengan pesan yang sebelumnya mereka tulis.Sandra tak bisa menyembunyikan air mata harunya ketika nama sang adik disebut. Chandra bukanlah mahasiswa yang pandai hingga mendapat cum laude. Meski begitu, ia disebut sebagai mahasiswa paling rajin dan bekerja paling keras.Sandra jadi teringat dulu, ketika dia berbicara berdua dengan adiknya perihal uang kulian.“Mbak minta maaf,” katanya duduk di rumah kontrakan yang mereka tinggali sampai sekarang. “Mbak nggak bisa lagi ikut bayar uang kuliahmu. Soalnya suami Mbak nggak ngizinin Mbak
Sandra tahu bahwa tidak mungkin sepasang suami istri dapat bekerja di perusahaan yang sama. Ia tahu kalau salah satu dari mereka harus mengalah. Sebab, atasan mereka tidak menginginkan masalah perusahaan dicampuradukkan ke masalah pribadi. Meski mereka yakin tak bakal melakukannya pun tetap saja manusia bisa khilaf. Jadi, perusahaan tak mau ambil risiko.Akan tetapi, bagaimana dengan sepasang kekasih? Bahkan belum tentu nantinya mereka akan tetap bersama. Bisa saja mereka bakal putus di tengah jalan. Namun, apakah salah satu dari mereka harus mengalah? Kalau memang begitu, dalam kasusnya tentu Sandralah yang mestinya mengundurkan diri. Tidak mungkin Barra. Sebab, lelaki itu seorang pemimpin perusahaan.Jika Barra keluar, bagaimana nasib perusahaan? Sandra jadi teringat perkataan Lusi dulu tentang perusahaannya yang lama. Pemimpin mereka memutuskan mengundurkan diri. Kepemipinan diambil alih sepenuhnya oleh perusahaan asing.Alhasil para karyawan seperti Lusi diperas tenaganya habis-ha
Bisik-biik terdengar bagai dengung lebah di lobi kantor Aksara Group. Para karyawan yang baru kembali dari makan siang maupun yang sedang menunggu lift syok meelihat bos mereka menggandeng asisten seketarisnya dengan mesra.“Jadi, kabar itu beneran?”“Wah, kok bisa ya?”“Beruntung banget itu si Sandra ... iya, kan, namanya Sandra?”“Pakai pelet apa ya dia?”Pertanyaan-pertanyaan tersebut mereka bisiskkan ke telinga tean sebelahnya.Sementara itu, Sandra yang mendadak menjadi pusat perhatian orang-orang pun mencoba melepas genggaman Barra terhadapnya. “Pak, ini kan di kantor,” bisiknya, “nanti orang-orang salah paham.”“Salah paham apa?” Barra balik bertanya. Ia mengeratkan genggamannya, dan secara terang-terangan menunjukkan pada khalayak. “Nggak ada kesalahpahaman di antara kita. Dan, ya!” Ia berkata dengan lantang, seolah mengumumkan pada semua orang. “Kami memang berpacaran.”“Tuh, kan, bener kata Wulan dulu. Si Sandra itu emang penggoda. Kabarnya dia juga matre. Makanya ngelamar k
Dampak yang Sandra alami setelah beredarnya podcast itu langsung terasa begitu jam istirahat kantor berlangsung. Karena tak enak hati telah menyembunyikan hubungannya dari Gladis, ia berniat meminta maaf dan mengajak gadis itu makan siang bersama. Apalagi kemarin dia sudah berjanji. Demi memperbaiki hubungannya dengan Gladis, Sandra bahkan rela menolak ajakan makan siang bersama Barra.Sandra keluar kantor, menuju lift sembari membawa dompet. Ia berencana menraktir Gladis. Ketika lift terbuka, ia melihat beberapa orang di dalamnya. Orang-orang itu segera bungkam begitu melihat Sandra masuk ke lift.Di lantai di bawahnya, lift kembali terbuka. Dua orang yang Sandra kenali adalah bagian HRD, teman Wulan dulu masuk. Mereka berdiri di depan Sandra.“Eh, kamu udah nonton podcast Mbak Nadine belum?” cetus salah satu gadis tadi kepada temannya. Matanya melirik ke arah Sandra dengan sengit.“Udah. Cantik banget ya, Mbak Nadine di podcast itu. Mana lucu lagi orangnya,” sahut temannya.Sombong
Tangan Sandra gemetar ketika melihat ponselnya berbunyi. Sebuah notifikasi tertampil. Gladis menepati janjinya dengan mengirim link podcast itu kepada Sandra.Meski begitu, Sandra enggan membukanya segera. Ia takut. Mengingat respons Gladis tadi, ia tak sanggup melihat isi podcast. Meskipun demikian ia penasaran siapa yang telah lancang mengusik privasinya.Sandra menenangkan hatinya. Sebagai pacar Barra, kejadian ini tak bisa dia hindari lagi. Seperti yang diutarakan Bu Dina kemarin, ia harus siap.Mendadak, jantung Sandra berdetak lebih kencang. Jempolnya ragu memencet layar ponsel. Ia lantas mendesah. Mungkin ia akan melihatnya nanti saja, kalau sudah siap. Lagi pula, ia masih bekerja. Ia harus fokus pada pekerjaannya.Sandra memasukkan ponselnya ke saku. Ia mulai membuka folder pada komputernya dan kembali mengatur jadwal Barra. Sebuah email yang sudah dikirim beberapa hari yang lalu membuatnya mengernyit.Email tersebut berisi undangan dari kampus sang adik. Sekilas, Sandra berpi
Rasa penasaran Sandra sudah mencapai puncak. Pasalnya, ia tak bisa lagi mereka siapa kiranya yang tega menyebar kabar tersebut secepat ini. Ditambah respon Barra yang malah minta maaf, ia menjadi tak sabar. “Memangnya siapa yang bicara kepada wartawan tentang tatusmu? Dan kenapa pula kamu minta maaf?”Barra menarik Sandra mendekat ke kursinya. Tangannya merangkul pinggang wanita itu. Kepalanya mendongak, menatap sang kekasih dengan mata lebar, seperti kucing yang menyesal karena ketahuan mencuri ikan di dapur. “Mama,” jawabnya singkat.Sandra terkejut. “Apa?” Ia memastikan dirinya bahwa tak salah mendengar.“Mamaku.” Barra mengedikkan bahu. “Makanya aku minta maaf. Tapi beliau kan nggak ngasih tahu kalau pacarku itu kamu jadi masih aman.”“Tapi, kenapa?” Sandra mengernyit. Ia ingn marah, namun tak bisa.Belum sempat menjawab, ponsel Barra berdering. Lelaki itu mengamati layar ponselnya kemudian memberitahu, “Nih, coba tanya sendiri. Beliau menelepon.”Sandra menggigit bibir bawahnya.
“Bu-bukan, kok!” Sandra segera menepis dugaan Gladis. Ia belum siap jujur pada gadis itu. Bukan karena tidak mempercayai Gladis. Hanya saja, banyak orang di sana. Ia takut seseorang mendengarnya dan akhirnya tersebarlah kabar tersebut.Bibir Gladis mengerucut. Matanya masih memandang Sandra penuh selidik. “Tapi masa iya Mbak Sandra sama sekali nggak tahu tentang ceweknya Pak Bos? Mbak kan yang paling dekat. Coba nanti kutanya Mbak Wuri, ah!”“Jangan!” Sandra segera mencegah.Gladis semakin curiga. “Kenapa?”Otak Sandra bekerja keras mencari alasan yang logis. “Mbak Wuri kan gitu orangnya. Agak ketus kalau ditanya soal privasi bosnya.”“Oh, ya?” Gadis itu pun mengernyit, seakan mengingat-ingat kenangan masa lalu. “Saya belum pernah nanya hal-hal pribadi sama dia sih. Emang orangnya gitu, ya? Pantas nggak ada wartawan yang berani nanya-nanya tentang Pak Barra sama dia.”Sandra mengangguk-angguk dengan khidmat. Saking banyaknya masalah yang dipikirkan wanita itu kemarin, ia sampai lupa
Mulanya Sandra yakin bakal mampu menjalani konsekuensi yang mungkin bakal terjadi ketika menjadi pacar CEO muda paling berpengaruh di dunia bisnis. Namun, hal itu terjadi sebelum ia kembali masuk kantor.Pagi itu ia mulai merapikan dirinya. Meski Bu Dina sudah bilang bahwa bukan penampilan yang mesti ia urus, tetapi tetap saja, ia ingin tampak cantik ketika bertemu dengan Barra. Kini ia merias wajahnya supaya tampak segar. Ia juga memulas lipstik baru. Selain itu, ia mengenakan blus dan rok span selutut. Ketika keluar kamar, Chandra sempat mengejeknya.“Mau kerja apa mau pacaran, Mbak?”Sandra merengut. Ia mencubit perut sang adik dengan gemas. “Enak aja. Kerja, dong!”“Sambil menyelam, minum air ya, Mbak?” Pemuda itu terkikik.“Apaan sih? Nggak lucu tau!” Akan tetapi, Sandra mengulum senyum. Ia memasukkan bekal yang sudah disiapkan ke tas. “Hari Rabu kamu wisuda, kan?”Chandra mengangguk. “Jangan lupa hadir ya, Mbak. Masa punya kakak satu enggak mau hadir di wisuda adiknya. Kebangeta
Sandra pernah mengalaminya dulu ketika meminta izin Bu Utami menikahi Alex. Pertanyaan yang sama sempat keluar dari bibir calon mertuanya itu. Meski menggunakan nada bicara yang berbeda, tetap saja efek yang ditimbulkan sama menyesakkannya.Waktu itu ia dan Alex makan malam di rumah Bu Utami.“Kamu kan tahu, Alex itu pangkatnya tinggi, nggak kayak kamu yang cuma wakil. Memang kamu bisa menyetarakan dirimu di samping anakku?” tanya Bu Utami dengan hidung mengernyit. Matanya memandang Sandra seakan-akan wanita itu tikus yang menjijikkan.“Saya sanggup, Tante,” jawab Sandra penuh percaya diri. ”Saya mencintai anak Tante. Saya akan lakukan apa pun untuk membuat Alex bahagia.”Bu Utami mendecakkan lidah. “Ya sudah, kalau gitu suruh orang tuamu kemari.”Sejenak, Sandra tertegun. Ia tertegun bukan karena orang tuanya yang tak bisa menemui Bu Utami karena sudah meninggal. Ia tertegun karena harus membawa orang tuanya menemui Bu Utami. Bukankah seharusnya orang tua dari pihak laki-laki yang da