Grace kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, mencoba berdamai dengan keadaan, kini sedikit demi sedikit ia bisa melupakan Gustav dan menerima kehidupan barunya sebagai single parent. Ia tersenyum menatap pantulan cermin yang memperlihatkan perutnya yang semakin membesar dan kurang lebih satu bulan lagi ia akan bertemu makhluk kecil yang kini masih betah berada di kandungannya. Ia tak sabar dengan waktu itu yang sebentar lagi tiba.
"Terima kasih ya nak, kamu sudah mau bertahan demi mommy," ucapnya tersenyum sembari mengelus perutnya yang sudah membesar.
Hari-hari yang ia lalui sangat jauh dari kata bahagia. Ia harus banting tulang untuk mencari uang, mengingat biaya persalinan tidaklah murah. Jadi ia harus bekerja keras dengan cara bekerja di toko laundry, setelah itu menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran. Hidupnya begitu miris, namun ia tetap semangat menjalaninya. Demi sang buah hati yang sebentar lagi akan hadir di dunia.
Saat ini Grace telah menyelesaikan pekerjaannya yang di toko laundry. Dan kini ia segera bergegas menuju restoran tempatnya bekerja sebagai buruh cuci piring. Tetapi sialnya sesampainya di restoran itu ia kembali dibuat meradang oleh pasangan yang selama ini telah membuatnya patah.
Hati Grace bergemuruh memaki Clara dan Gustav dalam hati. Ia benar-benar tidak tahu lagi dengan sepasang kekasih itu. Entah masih sebagai kekasih atau justru sudah menjadi suami istri. Yang penting ia sudah tak peduli.
"Hey.. Ternyata kau sekarang tinggal di Bern?" Grace sudah berusaha menghindari pasangan itu namun tiba-tiba suara Clara menghentikan langkahnya, mau tak mau ia harus berbalik dan menatap kedua sejoli itu.
"Iya, ada masalah?" Tatapan Grace seolah mual melihat tingkah Clara yang bergelayut manja di tangan Gustav yang sedari tadi hanya diam dan seperti berusaha menghindari tatapan Grace.
"Tidak, oh ya berhubung kita bertemu di sini, aku beritahu sekalian jika kami telah menikah," katanya dengan tersenyum seolah bangga dengan apa yang kini telah diraihnya. Tanpa memikirkan perasaan Grace yang bersusah-payah untuk melupakan kejadian waktu lalu.
"Oh ya? Selamat," ucapnya sembari pura-pura menunjukkan senyuman ramahnya. Meski tidak dipungkiri jika hatinya pedih mendengar hal itu. Lalu ia melirik ke arah Gustav yang sedari tadi hanya diam dan membuang pandang.
"Selamat, Gustav." Grace menekan intonasinya agar Gustav terpancing dan menatapnya. Ia ingin melihat seberapa kuat mentalnya pria itu menatap netranya, namun tetap saja Gustav tak bergeming dari pandangannya. Seolah tidak ingin beradu pandang dengan mantan istrinya yang telah ia renggut kebahagiaannya. Gustav hanya mengangguk tanpa menatap Grace.
"Sudahlah, kau sedang apa di restoran ini? Apa kau ingin makan di sini juga?" tanya Clara dengan raut sombongnya.
"Aku bekerja, jika kalian tidak mengatakan hal yang lebih penting, maka permisi. Aku sudah telat!" Grace dengan ketusnya kemudian berlalu pergi meninggalkan dua sejoli yang tidak penting untuknya.
Seketika itu Gustav menatap punggung Grace yang sudah berlalu pergi, ia tak menyangka jika mantan istrinya ternyata semenderita itu. Sudah sangat sore tapi Grace harus bekerja dengan perut yang membuncit, ia tak bisa membayangkan betapa lelahnya Grace mencari uang, sementara ia selama ini hanya tahu tentang menghabiskan uang. Ia benar-benar menyesali perbuatan bejat itu, hingga kini ia sendiri sama sekali tidak sebahagia saat bersama Grace. Clara hanya tahu caranya foya-foya dan merawat diri tanpa tahu bagaimana mengurus suami.
"Ternyata Grace sangat menyedihkan. Kasihan ya, sampai sore begini dia harus bekerja,” ucap Clara yang seolah ikut prihatin akan kondisi mantan sahabatnya itu, meski ia sendiri sebenarnya tidak peduli.
Gustav hanya diam tak merespon, rasanya ingin sekali merutuki istrinya yang tidak tahu diri. Gara-gara Clara, rumah tangga yang selama ini ia bangun dengan cinta kini hancur sudah. Dan kini dengan seenaknya Clara mengatakan kasihan kepada Grace, rasanya benar-benar membuat otak Gustav mendidih.
Gustav melenggang meninggalkan Clara, ia sudah tak berselera lagi untuk makan di restoran itu. Seolah ia sudah tidak memiliki muka lagi di hadapan Grace jadi ia memutuskan untuk tidak jadi makan di restoran itu dan memilih pergi. Clara berlari mengikutinya dengan perasaan kesal.
"Gustav, tunggu!" teriak Clara yang kesal akibat sikap Gustav yang mendadak dingin dan justru meninggalkannya.
Gustav terpaksa menghentikan langkahnya karena malu di lihat banyak orang yang berlalu-lalang. Ia menunggu Clara dengan rasa kesal.
"Kenapa kau pergi begitu saja? Kenapa tidak jadi makan? Apa karena bertemu Grace tadi?" tanya Clara dengan napas terengah-engah akibat berlari mengejar Gustav.
Gustav hanya diam dan kembali berjalan menuju mobilnya. Rautnya dingin lalu masuk begitu saja ke dalam mobil tanpa membukakan pintu untuk sang istri. Hal itu membuat Clara kesal, karena setahunya selama menikah dengan Grace, Gustav begitu sangat perhatian dan selalu memperlakukan Grace bak seorang ratu. Tetapi ketika menikah dengan dirinya, Gustav sama sekali tidak pernah memperlakukannya dengan baik. Clara berdecak kesal dengan perlakuan dan sikap Gustav yang berbanding terbalik dengan perlakuan yang dilakukan ke Grace.
"Kau belum menjawab pertanyaanku. Kenapa tidak jadi makan di restoran itu? Apa karena bertemu Grace?" tanya Clara kembali ketika sudah duduk di dalam mobil.
"Menurutmu? Apa kau sudah tak memiliki muka lagi di depan Grace? Bisa-bisanya kau mengatakan dengan sangat percaya diri jika kita sudah menikah!" Kini emosi Gustav tak bisa lagi tertahankan. Ia benar-benar marah dengan Clara yang tidak memiliki hati.
"Apa kau malu menikah denganku?" Lagi, hal itu semakin membuat Gustav naik pitam.
"Apa kau belum puas menyakiti Grace! Dengan kau bicara seperti itu, sama saja kau menghancurkan hati Grace!" bentak Gustav yang semakin meradang.
"Grace terus Grace terus! Kapan kau tidak memikirkan Grace! Apa kau tidak sadar jika perlakuanmu padaku selalu membuat hatiku sakit! Kau selalu saja membela Grace, apa kau sama sekali tidak memikirkanku!"
"Cukup! Harusnya kau ubah cara pandangmu! Aku capek berdebat denganmu!" ucapnya yang kemudian turun dari mobil dan berlari menghampiri taksi tanpa memedulikan Clara yang meneriakinya.
"Gustav, tunggu!" teriaknya namun Gustav tetap pergi dan tak menghiraukannya.
"Sial!" Kini Clara semakin tersulut emosi. Lalu ia pindah duduk di kursi kemudi. Ia segera menghidupkan mobilnya lalu menekan pedal gasnya.
"Sudah aku singkirkan saja, kau masih saja mengganggu hidupku, awas kau Grace. Aku pastikan hidupmu tidak akan pernah tenang!" ucapnya dengan emosi yang meluap. Ia mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh. Tak peduli dengan keselamatannya, ia hanya meluapkan emosinya.
Sementara Grace tetap menjalankan pekerjaannya seprofesional mungkin, ia tak mau mengingat kedatangan Gustav dan Clara tadi yang membuatnya tak fokus bekerja. Ketika ia sedang membersihkan piring-piring kotor tiba-tiba Gustav datang mengagetkannya.
"Mau apa lagi?" tanyanya sembari menata piring yang sudah ia cuci.
Sebelumnya Gustav sengaja mengecoh Clara dengan cara masuk ke dalam taksi. Namun siapa sangka ia diam-diam keluar dari taksi itu tapi dari pintu samping yang berbeda dan itu terhalang oleh sebuah pohon sehingga pada waktu ia keluar dari taksi itu tidak terlihat oleh Clara. Ia juga meminta sopir taksi tersebut untuk segera melaju, karena ia tahu jika Clara pasti mengikutinya.Ia benar-benar dilanda kekhawatiran dan juga rasa bersalah kepada mantan istrinya. Karena kelakuan bejatnya sehingga Grace terpaksa banting tulang. Sungguh rasa pedihnya juga ia rasakan sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui mantan istrinya. Ia segera berjalan menuju restoran, sebelumnya ia menemui manager restoran tersebut untuk meminta izin bertemu Grace, dan kebetulan manager restoran tersebut merupakan teman lamanya saat mereka duduk di bangku menengah atas. Alhasil dengan mudahnya ia menemui Grace yang ketika itu sedang menata piring yang sudah selesai di cucinya. Sungguh ia begitu teriris, hatinya sa
Hari perkiraan lahir anak yang di kandung Grace masih sekitar satu bulan lagi, tapi entah kenapa Grace merasakan perutnya begitu sakit. Merasakan mulas yang begitu terasa menyakitkan. Grace meletakkan pisau yang tengah ia gunakan untuk meracik bumbu yang hendak ia masak. Tangannya mengelus perutnya sembari menarik napas lalu membuangnya. Entah ini kontraksi palsu atau memang kontraksi sungguhan yang menandakan akan lahirnya sang buah hati."Sakit," lirihnya sembari menggigit bibir bawahnya. Tidak ada satupun orang yang ada di rumah itu kecuali hanya Grace. Ia hanya bisa merasakan sakit itu seorang diri. Tapi beruntung itu hanya sebentar dan Grace kembali merasakan perutnya kembali normal. Mungkin benar, itu yang dinamakan kontraksi palsu. Grace tersenyum lalu mengelus perutnya kembali dengan penuh rasa haru bahagia. Grace kembali melanjutkan memasaknya. Sedikit santai karena ini hari minggu dan ia tidak berangkat kerja. Ia menikmati hari-harinya seorang diri dengan rasa semangat kar
Lima tahun kemudian.Setelah Gustav di usir dari rumah sakit, semenjak itulah Gustav sama sekali tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapan Grace. Kenzo Rayyanza, Grace menamakan putranya dengan nama yang baik seperti harapannya. Kini Grace juga sudah kembali lagi menjadi seorang dokter setelah tiga tahun ia melanjutkan pendidikan S3nya dibantu oleh manager di tempat ia bekerja. "Maaf, jam tugas saya sudah habis dan sebentar lagi akan digantikan oleh dokter lain yang bertugas nanti, tapi tunggu sekitar pukul tujuh malam jika anda bersedia menunggu," kata Grace begitu ramah ketika seorang pasien tiba-tiba masuk ke ruangannya begitu saja, padahal Grace sudah selesai memeriksa dan sudah hampir siap-siap pulang."Kau pikir orang terluka harus menunggu sampai pukul tujuh malam? Sementara sekarang baru pukul tiga sore? Apa kau makan gaji buta! Tidak ada empati terhadap orang yang kesakitan?" bentak laki-laki tersebut yang terlihat kesal dan marah."Maaf. Jadi, apa yang anda keluhkan?"
Grace sudah kembali ke rumahnya, sesampainya di rumah langsung disambut oleh sang putra yang kini ditemani oleh seorang suster yang selama ini merawat Kenzo."Mommy," teriak Kenzo yang langsung menyambut kepulangan sang ibu."Hey." Grace pun membalas pelukan Kenzo sembari menciumi wajah sang putra kecilnya."Bagaimana sekolah kamu tadi?" tanya Grace kemudian melepas pelukannya dan berdiri sembari menggandeng tangan kecil sang putra dan berjalan masuk menuju ruang tengah."Seru mom, aku punya teman baru. Aku juga diajari cara membuang sampah sama cara merapikan barang-barang yang berantakan, pokoknya seru deh," cerita Kenzo ketika mengingat kegiatannya saat di sekolah. Grace tersenyum bangga sembari mengusap kepala sang putra kecilnya yang kini semakin pintar dan tambah akal. "Sudah makan?" tanya Grace."Sudah tadi sama sus Liana," sahut Kenzo yang kini meraih pesawat mainannya. Mereka pun duduk di sofa ruang tengah. Kenzo asyik dengan mainannya sementara Grace sibuk melepas sepatu
Sore hari sepulang dari kerja, Grace langsung menuju ke sebuah restoran yang sedikit jauh dari kota. Restoran mewah yang ada di sebuah hotel bintang lima di kawasan puncak. Hal itu dikarenakan laki-laki yang sempat ia obati akibat luka tembak itu kembali mengusiknya. Lantas membuat Grace mau tidak mau mengikuti perintahnya.Sesampainya di sana, Grace langsung menuju ke private room. Ruangan khusus yang sudah dipesan oleh seseorang yang mengajak Grace bertemu. Grace mengedarkan pandangannya, dan ternyata laki-laki itu sudah berada di sana dengan beberapa pria gagah berwajah menakutkan. Semua terlihat menyeramkan saat itu, termasuk laki-laki itu.Melihat Grace sudah datang, laki-laki itu berdiri dan segera mendekati Grace dengan seringai menakutkan.“Selamat sore, Nyonya Grace,” sapa laki-laki itu.Grace hanya mengangguk, tidak berani menatap langsung wajah pria bengis itu. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa pria itu mengajaknya bertemu, sampai-sampai jika ia tidak datang maka Kenzo aka
Hati Grace semakin bergemuruh. Merasakan kesal serta amarah yang memuncak. Bagaimana bisa Clara dengan entengnya hendak mengambil Kenzo darinya. Apa dia tidak memiliki muka? Guztav sudah dirampas, dan sekarang Kenzo? Tidak, Grace tidak akan pernah mengizinkannya.“Apa kamu gila! Apa belum puas kamu rampas Gustav dari aku? Dan membuatku menderita selama ini karena perbuatan kamu? Sekarang kamu mengambil anakku? Siapa kamu?” bentak Grace yang tak peduli jika Clara dulu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Baginya, kini Clara merupakan iblis yang berwujud manusia.Clara hanya tersenyum angkuh. “Karena kau sudah membuatku muak, Grace. Kau sudah membuatku benci! Kenapa kau tidak mati saja. Selama kau masih hidup, kau akan tetap selalu menjadi benalu!” bentak Clara yang tak kalah sengit.“Benalu? Kamu bilang aku benalu? Apa kamu tidak memiliki kaca? Aku bahkan sudah pergi jauh dari kalian dan sama sekali tidak peduli akan hidup kalian. Lalu dimana letaknya aku bisa dikatakan se
"Calon daddy?" tanya Kenzo yang memperlihatkan raut kepolosannya.Mike langsung mengangguk, berbeda dengan Grace yang tampak menggigit bibir bawahnya. Merasa kesal dan marah akan sikap Mike yang begitu keterlaluan.Grace segera berjongkok di hadapan sang putra kecilnya. Ia tersenyum sembari mengusap lengan Kenzo dengan pelan."Nak, kamu masuk dulu, ya. Minta sus Liana untuk menemanimu tidur, okay?" Grace mencoba membujuk Kenzo untuk segera pergi meninggalkan dirinya dan Mike. Supaya ia bisa segera mengusir Mike dari rumahnya. Ia sudah tidak tahan akan Mike yang sangat menyebalkan."Tidak mau! Aku ingin berkenalan sama calon daddy aku! Aku ingin bermain sama dia, boleh ya?" Kenzo justru menolak perintah Grace. Hal itu membuat Mike semakin terkekeh merasa menang. Sementara Grace merasa geram dan ingin sekali memaki Mike detik itu juga.Grace berdiri dengan raut kesal. Lalu membiarkan Kenzo bermain dengan Mike meskipun dengan keterpaksaan."Tapi sebentar saja," ucap Grace dengan raut ket
Di restoran, Grace sedang berbincang dan asik melempar canda dengan sahabatnya. Sesekali, bahkan sahabatnya itu menggoda Grace yang kini tengah mengandung lima bulan. "Lihatlah dia selalu berlari seperti itu," ucap Grace tiba-tiba begitu melihat Gustav, sang suami, sedang berlari menuju tempat mereka.Grace akhirnya melambaikan tangannya ke arah sang suami. Anehnya, Gustav yang melihatnya dari kejauhan justru terlihat panik. Pria itu tampak merogoh saku celananya, lalu meraih gawainya seperti hendak menghubungi seseorang. Ponsel Grace yang ia letakkan di atas meja di hadapannya pun bergetar, Grace tersenyum lembut dan hendak meraihnya. Sayangnya, tangan Clara--sang sahabat--rupanya lebih dulu meraihnya. Grace terkejut. Namun, itu tak lama. Dalam persahabatan mereka yang tanpa privasi itu, sudah biasa untuk saling memegang barang-barang penting mereka. Seketika, Grace pun tersenyum. Namun, Clara berbeda. Perempuan itu terlihat sangat serius. Tidak ada secuil pun senyuman yang t