Di restoran, Grace sedang berbincang dan asik melempar canda dengan sahabatnya. Sesekali, bahkan sahabatnya itu menggoda Grace yang kini tengah mengandung lima bulan.
"Lihatlah dia selalu berlari seperti itu," ucap Grace tiba-tiba begitu melihat Gustav, sang suami, sedang berlari menuju tempat mereka.
Grace akhirnya melambaikan tangannya ke arah sang suami.
Anehnya, Gustav yang melihatnya dari kejauhan justru terlihat panik. Pria itu tampak merogoh saku celananya, lalu meraih gawainya seperti hendak menghubungi seseorang.
Ponsel Grace yang ia letakkan di atas meja di hadapannya pun bergetar, Grace tersenyum lembut dan hendak meraihnya.
Sayangnya, tangan Clara--sang sahabat--rupanya lebih dulu meraihnya.
Grace terkejut. Namun, itu tak lama. Dalam persahabatan mereka yang tanpa privasi itu, sudah biasa untuk saling memegang barang-barang penting mereka.
Seketika, Grace pun tersenyum. Namun, Clara berbeda. Perempuan itu terlihat sangat serius. Tidak ada secuil pun senyuman yang terlihat. Manik matanya terlihat penuh kekhawatiran.
Clara kemudian menerima panggilan masuk dari Gustav.
"Aku akan mengatakan semuanya sekarang, aku sudah lelah dengan semua kebohongan ini," ucap Clara yang terlihat sendu, kemudian segera ia mengakhiri panggilan itu.
Gustav yang mendengar ucapan Clara dari sambungan telepon pun menjadi panik dan segera berlari masuk ke dalam restoran.
Tampak, Clara meletakkan ponsel milik Grace ke tempat semula.
Ia kemudian menarik napas panjang. "Grace, aku ingin mengatakan sebuah kejujuran."
Grace pun tersenyum lembut. Dia masih berpikiran positif pada sahabatnya.
"Ada apa? Katakan saja," ucapnya yang sangat lembut.
"Maafkan aku, diriku hamil. Dan anak ini adalah anaknya Gustav."
Clara terlihat menunduk setelahnya. Sontak, Grace pun tersenyum mendengar pengakuan itu yang tampak seperti sebuah lelucon. Mana mungkin sahabatnya setega itu? Ia mendongakkan kepalanya menatap ke atas sembari menertawakan ucapan Clara yang ia anggap lucu.
"Tidak ada yang lucu di sini, aku serius dengan ucapanku," ucap Clara mempertegas bicaranya.
Seketika tawa Grace tak lagi terdengar. Ia kemudian menatap Clara lekat.
"Grace, ayo kita pulang!" Gustav yang telah sampai--tampak panik, seolah gagal mencegah Clara berbicara.
Dia hendak menarik tangan istrinya, namun Grace menepisnya.
"Sayang, dia mengatakan hal aneh dan tidak masuk akal," ucapnya yang tetap menatap Clara tak percaya.
"Sudah jangan dengarkan dia, ayo kita pulang." Gustav terus membujuk Grace untuk pulang, tetapi Grace masih enggan dan penasaran akan kebenaran ucapan Clara.
Matanya menatap nanar dua orang penting di hidupnya ini.
"Kenapa kau tidak mengatakan yang sebenarnya? Aku sudah memberikanmu waktu untuk mengatakannya, tapi kenapa kau tidak melakukannya?" ucap Clara yang mulai jengah akan Gustav.
Gustav memijat kepalanya pening. Pria itu mendadak kesal mendengar ucapan perempuan itu.
"Diam kau!" amuk Gustav dengan nada meninggi.
Melihat itu semua, Grace justru menampar pipinya sendiri--seolah berharap ini hanyalah sebuah mimpi.
"Tidak sakit," ucapnya dengan deraian air mata.
Ia kembali menampar pipi yang satunya lagi.
"Ini bukan mimpi, Gustav!" teriak Grace dengan air mata yang terus membasahi pipinya.
Hal itu menyita perhatian seluruh pengunjung restoran.
Mereka menatap ke arah tiga orang yang sedang berdebat.
Sebagai pria berego tinggi, Gustav sontak malu karena seluruh pandangan mata tertuju padanya. Dengan cepat, ia menarik paksa Grace yang sedang menangis kecewa.
"Ayo kita pulang," ucap Gustav sembari menarik paksa istrinya, tak peduli dengan Clara yang seorang diri.
Grace terus menangis, seolah air matanya tak menginginkan untuk berhenti. Kecewa? Jangan ditanya lagi. Jelas, ia merasa kecewa dengan pengakuan menjijikkan itu.
********
Selama di dalam mobil, Grace hanya diam tanpa sepatah kata.
Pengakuan sahabatnya telah menghancurkan hidupnya. Bukan hanya persahabatannya yang hancur, tetapi pernikahannya juga!
Gustav yang memandang sekilas ke arah istrinya--benar-benar menyesal atas apa yang terjadi.
Di sisi lain, ia tak ingin kehilangan istrinya yang selama ini ia cintai dan kasihi setulus hati. Namun, kebodohannya sendirilah yang membuatnya harus menanggung semua ini.
Ia hanya bisa melirik istrinya tanpa berani mengatakan sesuatu.
Sesampainya di rumah, Grace masih saja diam. Perempuan itu tampak melihat sekeliling rumah yang awalnya hangat, bagaikan ruang kosong.
"Kumohon maafkan aku," ucap Gustav menghentikan kehinangan di antara keduanya. Dengan mata yang berkaca-kaca, dia memohon dengan tulus.
Sungguh, ia menyesal dengan apa yang telah terjadi.
Hanya saja, Grace masih diam dengan hati yang berkecamuk. Tanpa minat untuk sekedar menatap suaminya, ia pun menghela napas panjang.
"Gustav," lirih Grace, "lebih baik, pergilah. Jangan pernah temui aku maupun anak ini. Lagi pula, kau juga tidak terlalu menginginkan anak ini, kan?"
"Pergilah, ini adalah wujud dari hukumanku untukmu," putus Grace.
"Tapi sayang…." Rasanya berat dan sakit, Gustav tak menyangka jika harus seperti ini.
"Kumohon Gustav. Atau, kalau tidak, aku akan bunuh diri. Dan itu artinya, dua nyawa ada di tanganmu.”
Sayangnya, Grace tetap pada pendiriannya. Perempuan itu bahkan mengancam bunuh diri untuk menunjukkan kekecewaannya yang teramat dalam. Dia tidak lagi menyembunyikan rasa sakit hati yang sedari tadi dirasakan.
Gustav menahan rasa sakit di dadanya. "Baiklah, tapi maafkan aku. Aku khilaf, dan asal kau tahu hatiku tetap untukmu. Tak ada yang berubah dengan hatiku, sampai kapan pun," ungkapnya dengan mata yang sudah tak lagi bisa menahan air matanya.
Grace pun kemudian masuk ke dalam kamarnya.
Dulu, mungkin ia sempat terperdaya oleh sejuta kata-kata manisnya, namun kini jangan harap. Grace berjanji tidak akan pernah mau melihatnya lagi.
****
Sementara Gustav yang tak ada pilihan lain, melangkah pergi meninggalkan rumah yang ia bangun bersama wanita yang selama ini ia cintai.
Dengan berat hati, ia terpaksa meninggalkan rumah yang memiliki segudang kenangan indah.
Dalam perjalanan menuju rumah orang tuanya, diam-diam pria itu meneteskan air mata--memikirkan hidupnya tanpa Grace.
Bahkan, ketika tiba depan rumahnya, Gustav mengetuk pintu dengan lemas.
"Gustav, mana istrimu? Kenapa kau hanya sendiri? Kenapa dengan wajahmu? Apa ada masalah?" Sang ibu yang ternyata membuka pintunya--langsung memberondong pertanyaan pada putra semata wayangnya.
Tanpa menjawab, Gustav langsung masuk ke dalam--membuat ibunya bertanya-tanya karena tidak biasanya putranya seperti itu.
Gustav langsung berjalan ke dalam, seketika ia mengambil gelas dan menuangkan air putih lalu ia minum sekali teguk.
Ia pun lalu duduk dan meletakkan gelas bekas minumnya secara kasar. Ayahnya yang baru saja pulang dari kantor pun melihat sikap putranya yang tidak biasa itu segera menghampirinya, sementara sang ibu hanya menyaksikannya.
"Ada apa? Tak biasanya kau menjadi seorang pemarah." Jack pun dibuat heran oleh putranya yang tiba-tiba menjadi kasar.
Sementara Gustav hanya diam, seperti malas untuk menjawab pertanyaan ayahnya. Pikirannya yang sedang kalut membuatnya menjadi pemarah.
Melihat tidak ada Grace di samping putranya, mendadak Jack curiga bila Gustav tiba-tiba menjadi pemarah karena ada masalah dengan istrinya.
Namun, ia tak yakin karena selama ini hubungan mereka selalu tampak harmonis.
"Kenapa kau datang tidak bersama istrimu? Bukankah aku tidak menyukai itu? Kenapa kau melanggarnya?" Berbagai pertanyaan pun ia layangkan kepada putranya.
Gustav hanya diam menunduk, tak berani untuk menjawab. Membuat ayahnya marah karena Gustav hanya diam.
"Jawab!" bentak Jack yang tak lagi bisa menahan amarahnya.
"Semuanya sudah berakhir, Pa."
"Apa maksudmu!" bentak Jack yang tak mengerti dengan ucapan putranya. Gustav menghela napas panjang, di sela-sela kekacauannya ia mulai mencoba untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Meskipun pada akhirnya ia akan mendapatkan amarah dari sang ayah. "Pernikahan kami telah hancur, dan mungkin sebentar lagi kami akan berpisah," ucapnya dengan nada yang sedikit berat.Seketika tamparan dari sang Ayah berhasil membuatnya meringis, namun itu tidak sebanding dengan sakitnya hati Grace saat ini. Ia memang pantas mendapatkan tamparan bahkan berkali-kali lipat. "Bisa bisanya kau mengatakan hal yang sangat aku benci! Otakmu dimana? Dia sedang mengandung anakmu, cucuku itu cucuku!" Sambil menunjuk dadanya dengan amarah yang menggebu-gebu, Jack sungguh dibuat tak percaya dengan apa yang putranya katakan. "Katakan apa yang sebenarnya terjadi," ucap Jack yang sedikit menurunkan intonasi bicaranya, meskipun kecewa ia juga berhak tahu alasan apa yang membuat mereka memutuskan untuk berpisah.
Meski tanpa restu dari kedua orang tuanya, Gustav tetap menikahi Clara. Biar bagaimanapun, ia tetap harus bertanggung jawab meski ia sendiri tidak yakin dengan hatinya. Jangan sampai, dia menyakiti hati dua wanita sekaligus.Kini, Clara juga tak lagi menjadi sekretaris Jack. Setelah dua hari pernikahannya, Gustav memintanya untuk bergabung di perusahaannya, tentunya menjadi sekretaris pribadi suaminya yang kini menjabat sebagai CEO. Clara berdiri menghadap ke arah luar yang berdinding kaca, ia tampak tersenyum menatap kemenangannya. Berhasil menjadi seorang Nyonya Willson adalah harapan yang dari dulu ia nantikan. Namun, sempat sirna oleh Grace karena justru Gustav lebih memilih sahabatnya dibanding dirinya. Tetapi kini ia telah berhasil merebutnya, meskipun ia harus kehilangan harga dirinya. Sayangnya, saat ia sedang menikmati kemenangannya, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Ia tampak meringis sembari memegangi perutnya yang terasa semakin bertambah sakit. Beruntung ada satu kary
Grace kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, mencoba berdamai dengan keadaan, kini sedikit demi sedikit ia bisa melupakan Gustav dan menerima kehidupan barunya sebagai single parent. Ia tersenyum menatap pantulan cermin yang memperlihatkan perutnya yang semakin membesar dan kurang lebih satu bulan lagi ia akan bertemu makhluk kecil yang kini masih betah berada di kandungannya. Ia tak sabar dengan waktu itu yang sebentar lagi tiba."Terima kasih ya nak, kamu sudah mau bertahan demi mommy," ucapnya tersenyum sembari mengelus perutnya yang sudah membesar.Hari-hari yang ia lalui sangat jauh dari kata bahagia. Ia harus banting tulang untuk mencari uang, mengingat biaya persalinan tidaklah murah. Jadi ia harus bekerja keras dengan cara bekerja di toko laundry, setelah itu menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran. Hidupnya begitu miris, namun ia tetap semangat menjalaninya. Demi sang buah hati yang sebentar lagi akan hadir di dunia. Saat ini Grace telah menyelesaikan pekerjaanny
Sebelumnya Gustav sengaja mengecoh Clara dengan cara masuk ke dalam taksi. Namun siapa sangka ia diam-diam keluar dari taksi itu tapi dari pintu samping yang berbeda dan itu terhalang oleh sebuah pohon sehingga pada waktu ia keluar dari taksi itu tidak terlihat oleh Clara. Ia juga meminta sopir taksi tersebut untuk segera melaju, karena ia tahu jika Clara pasti mengikutinya.Ia benar-benar dilanda kekhawatiran dan juga rasa bersalah kepada mantan istrinya. Karena kelakuan bejatnya sehingga Grace terpaksa banting tulang. Sungguh rasa pedihnya juga ia rasakan sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui mantan istrinya. Ia segera berjalan menuju restoran, sebelumnya ia menemui manager restoran tersebut untuk meminta izin bertemu Grace, dan kebetulan manager restoran tersebut merupakan teman lamanya saat mereka duduk di bangku menengah atas. Alhasil dengan mudahnya ia menemui Grace yang ketika itu sedang menata piring yang sudah selesai di cucinya. Sungguh ia begitu teriris, hatinya sa
Hari perkiraan lahir anak yang di kandung Grace masih sekitar satu bulan lagi, tapi entah kenapa Grace merasakan perutnya begitu sakit. Merasakan mulas yang begitu terasa menyakitkan. Grace meletakkan pisau yang tengah ia gunakan untuk meracik bumbu yang hendak ia masak. Tangannya mengelus perutnya sembari menarik napas lalu membuangnya. Entah ini kontraksi palsu atau memang kontraksi sungguhan yang menandakan akan lahirnya sang buah hati."Sakit," lirihnya sembari menggigit bibir bawahnya. Tidak ada satupun orang yang ada di rumah itu kecuali hanya Grace. Ia hanya bisa merasakan sakit itu seorang diri. Tapi beruntung itu hanya sebentar dan Grace kembali merasakan perutnya kembali normal. Mungkin benar, itu yang dinamakan kontraksi palsu. Grace tersenyum lalu mengelus perutnya kembali dengan penuh rasa haru bahagia. Grace kembali melanjutkan memasaknya. Sedikit santai karena ini hari minggu dan ia tidak berangkat kerja. Ia menikmati hari-harinya seorang diri dengan rasa semangat kar
Lima tahun kemudian.Setelah Gustav di usir dari rumah sakit, semenjak itulah Gustav sama sekali tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapan Grace. Kenzo Rayyanza, Grace menamakan putranya dengan nama yang baik seperti harapannya. Kini Grace juga sudah kembali lagi menjadi seorang dokter setelah tiga tahun ia melanjutkan pendidikan S3nya dibantu oleh manager di tempat ia bekerja. "Maaf, jam tugas saya sudah habis dan sebentar lagi akan digantikan oleh dokter lain yang bertugas nanti, tapi tunggu sekitar pukul tujuh malam jika anda bersedia menunggu," kata Grace begitu ramah ketika seorang pasien tiba-tiba masuk ke ruangannya begitu saja, padahal Grace sudah selesai memeriksa dan sudah hampir siap-siap pulang."Kau pikir orang terluka harus menunggu sampai pukul tujuh malam? Sementara sekarang baru pukul tiga sore? Apa kau makan gaji buta! Tidak ada empati terhadap orang yang kesakitan?" bentak laki-laki tersebut yang terlihat kesal dan marah."Maaf. Jadi, apa yang anda keluhkan?"
Grace sudah kembali ke rumahnya, sesampainya di rumah langsung disambut oleh sang putra yang kini ditemani oleh seorang suster yang selama ini merawat Kenzo."Mommy," teriak Kenzo yang langsung menyambut kepulangan sang ibu."Hey." Grace pun membalas pelukan Kenzo sembari menciumi wajah sang putra kecilnya."Bagaimana sekolah kamu tadi?" tanya Grace kemudian melepas pelukannya dan berdiri sembari menggandeng tangan kecil sang putra dan berjalan masuk menuju ruang tengah."Seru mom, aku punya teman baru. Aku juga diajari cara membuang sampah sama cara merapikan barang-barang yang berantakan, pokoknya seru deh," cerita Kenzo ketika mengingat kegiatannya saat di sekolah. Grace tersenyum bangga sembari mengusap kepala sang putra kecilnya yang kini semakin pintar dan tambah akal. "Sudah makan?" tanya Grace."Sudah tadi sama sus Liana," sahut Kenzo yang kini meraih pesawat mainannya. Mereka pun duduk di sofa ruang tengah. Kenzo asyik dengan mainannya sementara Grace sibuk melepas sepatu
Sore hari sepulang dari kerja, Grace langsung menuju ke sebuah restoran yang sedikit jauh dari kota. Restoran mewah yang ada di sebuah hotel bintang lima di kawasan puncak. Hal itu dikarenakan laki-laki yang sempat ia obati akibat luka tembak itu kembali mengusiknya. Lantas membuat Grace mau tidak mau mengikuti perintahnya.Sesampainya di sana, Grace langsung menuju ke private room. Ruangan khusus yang sudah dipesan oleh seseorang yang mengajak Grace bertemu. Grace mengedarkan pandangannya, dan ternyata laki-laki itu sudah berada di sana dengan beberapa pria gagah berwajah menakutkan. Semua terlihat menyeramkan saat itu, termasuk laki-laki itu.Melihat Grace sudah datang, laki-laki itu berdiri dan segera mendekati Grace dengan seringai menakutkan.“Selamat sore, Nyonya Grace,” sapa laki-laki itu.Grace hanya mengangguk, tidak berani menatap langsung wajah pria bengis itu. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa pria itu mengajaknya bertemu, sampai-sampai jika ia tidak datang maka Kenzo aka