Meski tanpa restu dari kedua orang tuanya, Gustav tetap menikahi Clara. Biar bagaimanapun, ia tetap harus bertanggung jawab meski ia sendiri tidak yakin dengan hatinya.
Jangan sampai, dia menyakiti hati dua wanita sekaligus.
Kini, Clara juga tak lagi menjadi sekretaris Jack. Setelah dua hari pernikahannya, Gustav memintanya untuk bergabung di perusahaannya, tentunya menjadi sekretaris pribadi suaminya yang kini menjabat sebagai CEO.
Clara berdiri menghadap ke arah luar yang berdinding kaca, ia tampak tersenyum menatap kemenangannya. Berhasil menjadi seorang Nyonya Willson adalah harapan yang dari dulu ia nantikan. Namun, sempat sirna oleh Grace karena justru Gustav lebih memilih sahabatnya dibanding dirinya. Tetapi kini ia telah berhasil merebutnya, meskipun ia harus kehilangan harga dirinya.
Sayangnya, saat ia sedang menikmati kemenangannya, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Ia tampak meringis sembari memegangi perutnya yang terasa semakin bertambah sakit.
Beruntung ada satu karyawan yang masuk, dan melihat Clara yang tampak kesakitan, melihat itu karyawan tersebut langsung segera menghampiri Clara yang terus saja mengaduh.
"Tolong panggilkan Gustav," perintah Clara dengan suara yang menahan rasa sakit.
"Baik, tunggu sebentar," jawabnya karena panik karyawan tersebut langsung berlari ke ruangan Gustav.
"Permisi, Tuan," ucap karyawan tersebut setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh atasannya.
"Ada apa?" tanya Gustav tanpa menatap ke arah karyawan tersebut.
"Nyonya Clara sakit Tuan, Tuan diminta segera ke ruangan Nyonya Clara," ucap karyawan tersebut.
"Baik, terima kasih." Entah kenapa ia tidak begitu merasa cemas ataupun khawatir. Tapi bagaimanapun juga ia tetap menemui istrinya.
Gustav pun segera menemui istrinya, benar saja sesampainya di ruangan istrinya ia dikejutkan dengan rintihan Clara yang menangis kesakitan, bukan istrinya yang membuatnya terkejut, namun darah yang mengalir disela-sela kaki Clara yang membuatnya sangat terkejut.
"Clara, kamu kenapa?" tanya Gustav seketika ia menjadi cemas.
"Sakit mas," ucapnya dengan air matanya yang terus membanjiri pipinya.
Tanpa pikir panjang Gustav langsung mengangkat istrinya, dengan cepat ia langsung menuju ke lantai bawah untuk segera membawa istrinya ke rumah sakit. Saat di perjalanan pun Clara sendiri pingsan karena sudah tidak kuat menahan sakitnya.
"Bagaimana dok?” tanya Gustav setelah istrinya diperiksa.
"Ibunya baik-baik saja, tetapi janinnya tidak bisa diselamatkan, dan harus di kuret. Mungkin istri anda terlalu banyak pikiran atau kelelahan yang menjadi faktor terjadinya keguguran." Dokter kandungan tersebut menjelaskan dengan sangat hati-hati.
Gustav hanya menghela napas panjang, bagaimana pun ia harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini.
"Lakukan saja dokter, kalau bisa segera, sebelum istri saya sadar dan mengamuk." Hal itu justru membuat dokter terkekeh dalam hati.
"Baik Tuan Gustav," jawab dokter tersenyum ramah.
Sementara Grace, karena ia tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan, ia memutuskan untuk pindah rumah. Terlalu banyak kenangan bersama Gustav, jadi ia memutuskan untuk menghapus segala tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya, baik itu suka maupun duka.
Ia menaiki sebuah taksi, berniat untuk mencari tempat yang baru, untuk memulai sebuah lembaran baru bersama buah hatinya yang sebentar lagi hadir. Ia hanya ingin menikmati hidup berdua menua seiring pertumbuhan sang anak, meskipun besar kemungkinan pada akhirnya ia akan sendiri jika sang anak kelak menikah.
Ia memutuskan untuk berpindah ke kota Bern, meskipun tidak terlalu jauh dari kota Zurich tempat tinggal sebelumnya. Namun yang terpenting ia bisa melupakan kenangan masa lalunya.
Ia turun dari taksi dan dibantu sopir taksi menurunkan kopernya, kemudian ia berjalan menuju sebuah rumah kecil yang sempat ia beli melalui temannya menggunakan sisa uang tabungannya.
"Sementara waktu mommy hanya bisa memberikan rumah kecil ini dulu ya nak," ucapnya tersenyum seraya mengelus perutnya yang semakin membesar.
Ia memasuki rumah kecil tersebut, meskipun kecil namun jelas sekali terlihat nyaman. Di sinilah ia akan menghabiskan waktu bersama anaknya. Dan memulai lembaran baru.
Empat jam berlalu, akhirnya proses kuret Clara selesai, dan sekarang Clara sudah dipindahkan ke kamar rawat. Gustav mendekati istrinya yang terbaring lemah dan tersenyum ke arahnya. Clara masih belum menyadari jika janinnya tidak bisa diselamatkan.
"Sayang, anak kita baik-baik saja, kan?" tanya Clara sembari mengelus perutnya yang sedikit terasa nyeri.
Gustav pun mencium kening Clara, berharap setelah ia mengatakan yang sebenarnya Clara bisa menerima kenyataan pahit itu.
"Ada apa?" Melihat raut suaminya yang terlalu sendu, Clara pun curiga jika semuanya tidak baik-baik saja.
Gustav mengelus puncak kepala istrinya, sesekali menghela napas, takut jika Clara justru mengamuk tak terima dengan apa yang telah terjadi.
"Anak kita tidak bisa diselamatkan," ucap Gustav dengan nada berat.
"Apa! Kamu bohong pasti! Aku menjaganya dengan baik!" Benar saja Clara tidak menerima kenyataan itu, ia pun menangis tak percaya.
Gustav hanya bisa menenangkan, dan mengelus kepala istrinya sesekali mencium kening istrinya agar Clara bisa ikhlas menerima kenyataan ini. Tak berselang lama akhirnya tangis Clara berhenti.
"Tidak apa, besok juga di kasih lagi," ucap Gustav menenangkan.
Sebenarnya Clara tidak terlalu merasa sedih karena ia sudah berhasil menikah dengan Gustav pria pujaannya sedari dulu. Hanya saja ia harus terlihat sedih di mata suaminya, agar suaminya semakin memedulikannya.
Dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya Clara sudah di perbolehkan pulang, Gustav dan Clara pun segera menaiki mobil untuk menuju rumah kedua orang tuanya Gustav. Karena Gustav masih enggan untuk membeli rumah.
Sesampainya di rumah, Clara harus menerima ucapan pahit dari ayah mertuanya. Bukannya sambutan prihatin yang ia terima tetapi justru ucapan yang menusuk ulu hati.
"Bagaimana?" tanya ibu kepada Gustav.
"Maaf bu, kami mengecewakan kalian," jawab Gustav dengan raut bersalah.
"Memang iya ! Itu namanya karma! Sudah diberi anak yang benar-benar dari pernikahan halal malah mencari barang haram," ucap Jack yang sangat menohok. Membuat Clara meneteskan air matanya.
Meski sekuat hati menahan, tetap saja perkataan ayah mertuanya itu bagaikan sebuah tamparan. Sesabar apa pun ia bertahan, tetap sakit rasanya.
"Cukup ayah! Perkataan ayah sangat menyakiti Clara." Gustav pun tak terima dan mencoba untuk membela istrinya.
"Kau pikir Grace tidak terluka! Hey, sadar!" bentak Jack yang masih tidak terima akan keputusan Gustav yang justru menikahi wanita menjijikkan itu.
"Grace lagi Grace lagi. Kami sudah berpisah! Dan menantu ayah itu Clara." Perdebatan itu sungguh membuat sang ibu sesak.
"Sadar! Ada darah dagingmu bersama Grace! Dan itu benar-benar murni cucuku! Jangan lupa itu!" bentak Jack mengingatkan.
Seketika mulut Gustav terkatup, ia tak lagi bisa mengelak, rasa sedih sesal kian menyeruak. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Ia hanya bisa diam mematung tanpa sepatah kata. Membuat sang istri menjadi kesal lalu lebih dulu masuk dan bergegas menuju kamar.
"Kenapa diam? Menyesal? Sudah terlambat!" Sang Ayah pun tak henti-hentinya menyalahkan Gustav.
Gustav yang terlalu panas di salahkan terus oleh sang ayah, tanpa sepatah kata ia hanya berlalu pergi meninggalkan ayahnya yang terus-menerus menyalahkan dirinya.
"Lihat itu, bu. Kelakuan putramu, semenjak menikah dengan wanita duri itu hidupnya menjadi tidak terarah, bahkan semakin ngelunjak! Bisa-bisa kematianku menjadi di percepat." tuturnya kepada sang istri yang sedari tadi hanya diam.
"Sebelum kau mati mungkin diriku dulu yang lebih cepat menemui ajal," ungkap sang istri yang terlihat sinis.
"Hey, kau tak boleh mati sebelum diriku!" Perdebatan kecil itu membuat suasana hati mereka kembali normal.
Grace kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, mencoba berdamai dengan keadaan, kini sedikit demi sedikit ia bisa melupakan Gustav dan menerima kehidupan barunya sebagai single parent. Ia tersenyum menatap pantulan cermin yang memperlihatkan perutnya yang semakin membesar dan kurang lebih satu bulan lagi ia akan bertemu makhluk kecil yang kini masih betah berada di kandungannya. Ia tak sabar dengan waktu itu yang sebentar lagi tiba."Terima kasih ya nak, kamu sudah mau bertahan demi mommy," ucapnya tersenyum sembari mengelus perutnya yang sudah membesar.Hari-hari yang ia lalui sangat jauh dari kata bahagia. Ia harus banting tulang untuk mencari uang, mengingat biaya persalinan tidaklah murah. Jadi ia harus bekerja keras dengan cara bekerja di toko laundry, setelah itu menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran. Hidupnya begitu miris, namun ia tetap semangat menjalaninya. Demi sang buah hati yang sebentar lagi akan hadir di dunia. Saat ini Grace telah menyelesaikan pekerjaanny
Sebelumnya Gustav sengaja mengecoh Clara dengan cara masuk ke dalam taksi. Namun siapa sangka ia diam-diam keluar dari taksi itu tapi dari pintu samping yang berbeda dan itu terhalang oleh sebuah pohon sehingga pada waktu ia keluar dari taksi itu tidak terlihat oleh Clara. Ia juga meminta sopir taksi tersebut untuk segera melaju, karena ia tahu jika Clara pasti mengikutinya.Ia benar-benar dilanda kekhawatiran dan juga rasa bersalah kepada mantan istrinya. Karena kelakuan bejatnya sehingga Grace terpaksa banting tulang. Sungguh rasa pedihnya juga ia rasakan sehingga ia memutuskan untuk kembali menemui mantan istrinya. Ia segera berjalan menuju restoran, sebelumnya ia menemui manager restoran tersebut untuk meminta izin bertemu Grace, dan kebetulan manager restoran tersebut merupakan teman lamanya saat mereka duduk di bangku menengah atas. Alhasil dengan mudahnya ia menemui Grace yang ketika itu sedang menata piring yang sudah selesai di cucinya. Sungguh ia begitu teriris, hatinya sa
Hari perkiraan lahir anak yang di kandung Grace masih sekitar satu bulan lagi, tapi entah kenapa Grace merasakan perutnya begitu sakit. Merasakan mulas yang begitu terasa menyakitkan. Grace meletakkan pisau yang tengah ia gunakan untuk meracik bumbu yang hendak ia masak. Tangannya mengelus perutnya sembari menarik napas lalu membuangnya. Entah ini kontraksi palsu atau memang kontraksi sungguhan yang menandakan akan lahirnya sang buah hati."Sakit," lirihnya sembari menggigit bibir bawahnya. Tidak ada satupun orang yang ada di rumah itu kecuali hanya Grace. Ia hanya bisa merasakan sakit itu seorang diri. Tapi beruntung itu hanya sebentar dan Grace kembali merasakan perutnya kembali normal. Mungkin benar, itu yang dinamakan kontraksi palsu. Grace tersenyum lalu mengelus perutnya kembali dengan penuh rasa haru bahagia. Grace kembali melanjutkan memasaknya. Sedikit santai karena ini hari minggu dan ia tidak berangkat kerja. Ia menikmati hari-harinya seorang diri dengan rasa semangat kar
Lima tahun kemudian.Setelah Gustav di usir dari rumah sakit, semenjak itulah Gustav sama sekali tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapan Grace. Kenzo Rayyanza, Grace menamakan putranya dengan nama yang baik seperti harapannya. Kini Grace juga sudah kembali lagi menjadi seorang dokter setelah tiga tahun ia melanjutkan pendidikan S3nya dibantu oleh manager di tempat ia bekerja. "Maaf, jam tugas saya sudah habis dan sebentar lagi akan digantikan oleh dokter lain yang bertugas nanti, tapi tunggu sekitar pukul tujuh malam jika anda bersedia menunggu," kata Grace begitu ramah ketika seorang pasien tiba-tiba masuk ke ruangannya begitu saja, padahal Grace sudah selesai memeriksa dan sudah hampir siap-siap pulang."Kau pikir orang terluka harus menunggu sampai pukul tujuh malam? Sementara sekarang baru pukul tiga sore? Apa kau makan gaji buta! Tidak ada empati terhadap orang yang kesakitan?" bentak laki-laki tersebut yang terlihat kesal dan marah."Maaf. Jadi, apa yang anda keluhkan?"
Grace sudah kembali ke rumahnya, sesampainya di rumah langsung disambut oleh sang putra yang kini ditemani oleh seorang suster yang selama ini merawat Kenzo."Mommy," teriak Kenzo yang langsung menyambut kepulangan sang ibu."Hey." Grace pun membalas pelukan Kenzo sembari menciumi wajah sang putra kecilnya."Bagaimana sekolah kamu tadi?" tanya Grace kemudian melepas pelukannya dan berdiri sembari menggandeng tangan kecil sang putra dan berjalan masuk menuju ruang tengah."Seru mom, aku punya teman baru. Aku juga diajari cara membuang sampah sama cara merapikan barang-barang yang berantakan, pokoknya seru deh," cerita Kenzo ketika mengingat kegiatannya saat di sekolah. Grace tersenyum bangga sembari mengusap kepala sang putra kecilnya yang kini semakin pintar dan tambah akal. "Sudah makan?" tanya Grace."Sudah tadi sama sus Liana," sahut Kenzo yang kini meraih pesawat mainannya. Mereka pun duduk di sofa ruang tengah. Kenzo asyik dengan mainannya sementara Grace sibuk melepas sepatu
Sore hari sepulang dari kerja, Grace langsung menuju ke sebuah restoran yang sedikit jauh dari kota. Restoran mewah yang ada di sebuah hotel bintang lima di kawasan puncak. Hal itu dikarenakan laki-laki yang sempat ia obati akibat luka tembak itu kembali mengusiknya. Lantas membuat Grace mau tidak mau mengikuti perintahnya.Sesampainya di sana, Grace langsung menuju ke private room. Ruangan khusus yang sudah dipesan oleh seseorang yang mengajak Grace bertemu. Grace mengedarkan pandangannya, dan ternyata laki-laki itu sudah berada di sana dengan beberapa pria gagah berwajah menakutkan. Semua terlihat menyeramkan saat itu, termasuk laki-laki itu.Melihat Grace sudah datang, laki-laki itu berdiri dan segera mendekati Grace dengan seringai menakutkan.“Selamat sore, Nyonya Grace,” sapa laki-laki itu.Grace hanya mengangguk, tidak berani menatap langsung wajah pria bengis itu. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa pria itu mengajaknya bertemu, sampai-sampai jika ia tidak datang maka Kenzo aka
Hati Grace semakin bergemuruh. Merasakan kesal serta amarah yang memuncak. Bagaimana bisa Clara dengan entengnya hendak mengambil Kenzo darinya. Apa dia tidak memiliki muka? Guztav sudah dirampas, dan sekarang Kenzo? Tidak, Grace tidak akan pernah mengizinkannya.“Apa kamu gila! Apa belum puas kamu rampas Gustav dari aku? Dan membuatku menderita selama ini karena perbuatan kamu? Sekarang kamu mengambil anakku? Siapa kamu?” bentak Grace yang tak peduli jika Clara dulu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Baginya, kini Clara merupakan iblis yang berwujud manusia.Clara hanya tersenyum angkuh. “Karena kau sudah membuatku muak, Grace. Kau sudah membuatku benci! Kenapa kau tidak mati saja. Selama kau masih hidup, kau akan tetap selalu menjadi benalu!” bentak Clara yang tak kalah sengit.“Benalu? Kamu bilang aku benalu? Apa kamu tidak memiliki kaca? Aku bahkan sudah pergi jauh dari kalian dan sama sekali tidak peduli akan hidup kalian. Lalu dimana letaknya aku bisa dikatakan se
"Calon daddy?" tanya Kenzo yang memperlihatkan raut kepolosannya.Mike langsung mengangguk, berbeda dengan Grace yang tampak menggigit bibir bawahnya. Merasa kesal dan marah akan sikap Mike yang begitu keterlaluan.Grace segera berjongkok di hadapan sang putra kecilnya. Ia tersenyum sembari mengusap lengan Kenzo dengan pelan."Nak, kamu masuk dulu, ya. Minta sus Liana untuk menemanimu tidur, okay?" Grace mencoba membujuk Kenzo untuk segera pergi meninggalkan dirinya dan Mike. Supaya ia bisa segera mengusir Mike dari rumahnya. Ia sudah tidak tahan akan Mike yang sangat menyebalkan."Tidak mau! Aku ingin berkenalan sama calon daddy aku! Aku ingin bermain sama dia, boleh ya?" Kenzo justru menolak perintah Grace. Hal itu membuat Mike semakin terkekeh merasa menang. Sementara Grace merasa geram dan ingin sekali memaki Mike detik itu juga.Grace berdiri dengan raut kesal. Lalu membiarkan Kenzo bermain dengan Mike meskipun dengan keterpaksaan."Tapi sebentar saja," ucap Grace dengan raut ket