Lima tahun kemudian.
Setelah Gustav di usir dari rumah sakit, semenjak itulah Gustav sama sekali tidak pernah menampakkan diri lagi di hadapan Grace.
Kenzo Rayyanza, Grace menamakan putranya dengan nama yang baik seperti harapannya. Kini Grace juga sudah kembali lagi menjadi seorang dokter setelah tiga tahun ia melanjutkan pendidikan S3nya dibantu oleh manager di tempat ia bekerja.
"Maaf, jam tugas saya sudah habis dan sebentar lagi akan digantikan oleh dokter lain yang bertugas nanti, tapi tunggu sekitar pukul tujuh malam jika anda bersedia menunggu," kata Grace begitu ramah ketika seorang pasien tiba-tiba masuk ke ruangannya begitu saja, padahal Grace sudah selesai memeriksa dan sudah hampir siap-siap pulang.
"Kau pikir orang terluka harus menunggu sampai pukul tujuh malam? Sementara sekarang baru pukul tiga sore? Apa kau makan gaji buta! Tidak ada empati terhadap orang yang kesakitan?" bentak laki-laki tersebut yang terlihat kesal dan marah.
"Maaf. Jadi, apa yang anda keluhkan?" tanya Grace yang mencoba tetap sabar. Meski sebenarnya ia ingin merekomendasikan laki-laki itu untuk pergi ke IGD supaya ada penanganan, tetapi ia memilih untuk mengalah. Sehingga ia sendiri yang memeriksanya.
"Apa kau tidak lihat darah yang dari tadi terus mengalir di lengan saya? Segera obati!" ucap dingin laki-laki itu yang terlihat seperti laki-laki arogan.
Grace menghela napas cukup panjang sebelum akhirnya ia mengangguk dan segera memegang lengan pria tersebut. Kemudian Grace mengambil beberapa peralatan untuk menjahit luka laki-laki itu yang sepertinya akibat terkena luka tembak.
"Silahkan anda duduk di sana," kata Grace sembari menunjuk ke arah ranjang rumah sakit yang ada di ruangan Grace.
Tanpa mengangguk ataupun mengatakan apapun, laki-laki itu langsung berjalan begitu saja dan duduk di ranjang yang Grace sarankan.
"Bagaimana bisa anda terkena luka tembak, Tuan?" tanya Grace hati-hati ketika melihat luka laki-laki itu yang seolah seperti sebuah luka yang diakibatkan oleh sebuah peluru.
"Diam! Kau hanya seorang dokter, jadi tidak perlu tahu apa-apa. Tugasmu hanya mengobati, bukan menanyakan hal yang privasi!" bentak laki-laki itu dengan nada kasar.
Pada akhirnya Grace memilih diam dan terus fokus mengobati luka sang laki-laki angkuh itu. Grace menduganya jika laki-laki itu bukan orang yang baik. Terlihat ada beberapa bekas luka tembak juga yang Grace lihat. Sedikit takut tapi sebisa mungkin untuk tidak ikut campur.
"Sudah," kata Grace lalu membereskan semua alat yang baru saja untuk mengobati luka laki-laki itu.
Laki-laki itu mengangguk dan memberikan selembar kertas yang ternyata sebuah cek yang sudah terisi angka dengan jumlah yang tidak wajar.
"Apa ini, Tuan?" tanya Grace yang kebingungan ketika menatap sebuah cek yang berisi angka yang cukup fantastis.
"Bayaranmu, karena sudah mengobati lukaku," kata laki-laki itu yang masih terlihat dingin dan ketus.
"Maaf, saya tidak bisa menerima itu," kata Grace yang menolak akan cek itu. Ia tidak mau menerima uang yang tidak wajar. Ia hanya mengobati luka pemuda itu dan tentu saja bayarannya tidak sebanyak itu.
Pemuda itu tersenyum sinis dan seolah mencibir wanita yang ada di hadapannya. Biasanya semua wanita selalu gila uang, tapi nyatanya ia sedang bertemu dengan wanita yang tidak biasa. Tidak mau menerima uang sebanyak itu entah apa alasannya.
"Lalu aku harus membayar berapa?" tanya pemuda itu dengan angkuhnya.
"Tidak perlu bayar, saya akan menuliskan resep obatnya dan silahkan tebus obatnya di depan sana," kata Grace yang tidak ingin berlama-lama terlibat percakapan dengan pemuda yang tidak jelas itu. Ia hanya takut jika pemuda itu merupakan seorang buronan. Sehingga tidak ingin terlibat apapun.
Pemuda itu diam-diam menatap wajah Grace. Mengamatinya dengan seksama lalu berakhir dengan senyum menyeringai.
"Ini resep obatnya, semoga lekas sembuh," kata Grace sembari memberikan resep obat itu kepada pemuda yang kini terlihat bengis.
Tapi, bukan langsung pergi. Pemuda itu justru mengeluarkan sesuatu dari celananya. Lalu menyodorkan ponselnya ke hadapan Grace.
"Catat nomor ponselmu, karena aku sewaktu-waktu akan membutuhkanmu," ucap pemuda itu dengan tatapan tajam.
Grace terhenyak, kemudian sembari tersenyum ia perlahan mendorong ponsel pemuda itu.
"Maaf, itu hal yang sangat privasi. Saya tidak bisa menyerahkan nomor ponsel saya ke sembarang orang," ucap Grace sebisa mungkin tetap ramah.
Tapi siapa sangka, pemuda itu justru mengeluarkan sebuah pistol dan langsung menghunuskan pistol itu ke kepala Grace.
"Turuti atau mati! Aku tidak suka memohon, jadi cepat tsegera catat nomor ponselmu!" bentak pemuda itu yang terlihat begitu kejam.
Dengan gemetar, Grace segera meraih ponsel pemuda itu dan mencatatkan nomor ponselnya ke dalam kontak ponsel milik sang pemuda.
"Su.. sudah," kata Grace yang sedikit ketakutan.
Pemuda itu lalu menyeringai puas.
"Bagus, kau akan menjadi dokter pribadiku, aku akan banyak membutuhkanmu, dan terima ini sebagai wujud bayaranmu," ucap pemuda itu sembari meletakkan cek yang tadi sempat di tolak oleh Grace. Kemudian ia bergegas pergi meninggalkan ruangan Grace.
Grace sudah kembali ke rumahnya, sesampainya di rumah langsung disambut oleh sang putra yang kini ditemani oleh seorang suster yang selama ini merawat Kenzo."Mommy," teriak Kenzo yang langsung menyambut kepulangan sang ibu."Hey." Grace pun membalas pelukan Kenzo sembari menciumi wajah sang putra kecilnya."Bagaimana sekolah kamu tadi?" tanya Grace kemudian melepas pelukannya dan berdiri sembari menggandeng tangan kecil sang putra dan berjalan masuk menuju ruang tengah."Seru mom, aku punya teman baru. Aku juga diajari cara membuang sampah sama cara merapikan barang-barang yang berantakan, pokoknya seru deh," cerita Kenzo ketika mengingat kegiatannya saat di sekolah. Grace tersenyum bangga sembari mengusap kepala sang putra kecilnya yang kini semakin pintar dan tambah akal. "Sudah makan?" tanya Grace."Sudah tadi sama sus Liana," sahut Kenzo yang kini meraih pesawat mainannya. Mereka pun duduk di sofa ruang tengah. Kenzo asyik dengan mainannya sementara Grace sibuk melepas sepatu
Sore hari sepulang dari kerja, Grace langsung menuju ke sebuah restoran yang sedikit jauh dari kota. Restoran mewah yang ada di sebuah hotel bintang lima di kawasan puncak. Hal itu dikarenakan laki-laki yang sempat ia obati akibat luka tembak itu kembali mengusiknya. Lantas membuat Grace mau tidak mau mengikuti perintahnya.Sesampainya di sana, Grace langsung menuju ke private room. Ruangan khusus yang sudah dipesan oleh seseorang yang mengajak Grace bertemu. Grace mengedarkan pandangannya, dan ternyata laki-laki itu sudah berada di sana dengan beberapa pria gagah berwajah menakutkan. Semua terlihat menyeramkan saat itu, termasuk laki-laki itu.Melihat Grace sudah datang, laki-laki itu berdiri dan segera mendekati Grace dengan seringai menakutkan.“Selamat sore, Nyonya Grace,” sapa laki-laki itu.Grace hanya mengangguk, tidak berani menatap langsung wajah pria bengis itu. Ia sendiri juga tidak tahu kenapa pria itu mengajaknya bertemu, sampai-sampai jika ia tidak datang maka Kenzo aka
Hati Grace semakin bergemuruh. Merasakan kesal serta amarah yang memuncak. Bagaimana bisa Clara dengan entengnya hendak mengambil Kenzo darinya. Apa dia tidak memiliki muka? Guztav sudah dirampas, dan sekarang Kenzo? Tidak, Grace tidak akan pernah mengizinkannya.“Apa kamu gila! Apa belum puas kamu rampas Gustav dari aku? Dan membuatku menderita selama ini karena perbuatan kamu? Sekarang kamu mengambil anakku? Siapa kamu?” bentak Grace yang tak peduli jika Clara dulu pernah menjadi bagian terpenting dalam hidupnya. Baginya, kini Clara merupakan iblis yang berwujud manusia.Clara hanya tersenyum angkuh. “Karena kau sudah membuatku muak, Grace. Kau sudah membuatku benci! Kenapa kau tidak mati saja. Selama kau masih hidup, kau akan tetap selalu menjadi benalu!” bentak Clara yang tak kalah sengit.“Benalu? Kamu bilang aku benalu? Apa kamu tidak memiliki kaca? Aku bahkan sudah pergi jauh dari kalian dan sama sekali tidak peduli akan hidup kalian. Lalu dimana letaknya aku bisa dikatakan se
"Calon daddy?" tanya Kenzo yang memperlihatkan raut kepolosannya.Mike langsung mengangguk, berbeda dengan Grace yang tampak menggigit bibir bawahnya. Merasa kesal dan marah akan sikap Mike yang begitu keterlaluan.Grace segera berjongkok di hadapan sang putra kecilnya. Ia tersenyum sembari mengusap lengan Kenzo dengan pelan."Nak, kamu masuk dulu, ya. Minta sus Liana untuk menemanimu tidur, okay?" Grace mencoba membujuk Kenzo untuk segera pergi meninggalkan dirinya dan Mike. Supaya ia bisa segera mengusir Mike dari rumahnya. Ia sudah tidak tahan akan Mike yang sangat menyebalkan."Tidak mau! Aku ingin berkenalan sama calon daddy aku! Aku ingin bermain sama dia, boleh ya?" Kenzo justru menolak perintah Grace. Hal itu membuat Mike semakin terkekeh merasa menang. Sementara Grace merasa geram dan ingin sekali memaki Mike detik itu juga.Grace berdiri dengan raut kesal. Lalu membiarkan Kenzo bermain dengan Mike meskipun dengan keterpaksaan."Tapi sebentar saja," ucap Grace dengan raut ket
Di restoran, Grace sedang berbincang dan asik melempar canda dengan sahabatnya. Sesekali, bahkan sahabatnya itu menggoda Grace yang kini tengah mengandung lima bulan. "Lihatlah dia selalu berlari seperti itu," ucap Grace tiba-tiba begitu melihat Gustav, sang suami, sedang berlari menuju tempat mereka.Grace akhirnya melambaikan tangannya ke arah sang suami. Anehnya, Gustav yang melihatnya dari kejauhan justru terlihat panik. Pria itu tampak merogoh saku celananya, lalu meraih gawainya seperti hendak menghubungi seseorang. Ponsel Grace yang ia letakkan di atas meja di hadapannya pun bergetar, Grace tersenyum lembut dan hendak meraihnya. Sayangnya, tangan Clara--sang sahabat--rupanya lebih dulu meraihnya. Grace terkejut. Namun, itu tak lama. Dalam persahabatan mereka yang tanpa privasi itu, sudah biasa untuk saling memegang barang-barang penting mereka. Seketika, Grace pun tersenyum. Namun, Clara berbeda. Perempuan itu terlihat sangat serius. Tidak ada secuil pun senyuman yang t
"Apa maksudmu!" bentak Jack yang tak mengerti dengan ucapan putranya. Gustav menghela napas panjang, di sela-sela kekacauannya ia mulai mencoba untuk menceritakan apa yang telah terjadi. Meskipun pada akhirnya ia akan mendapatkan amarah dari sang ayah. "Pernikahan kami telah hancur, dan mungkin sebentar lagi kami akan berpisah," ucapnya dengan nada yang sedikit berat.Seketika tamparan dari sang Ayah berhasil membuatnya meringis, namun itu tidak sebanding dengan sakitnya hati Grace saat ini. Ia memang pantas mendapatkan tamparan bahkan berkali-kali lipat. "Bisa bisanya kau mengatakan hal yang sangat aku benci! Otakmu dimana? Dia sedang mengandung anakmu, cucuku itu cucuku!" Sambil menunjuk dadanya dengan amarah yang menggebu-gebu, Jack sungguh dibuat tak percaya dengan apa yang putranya katakan. "Katakan apa yang sebenarnya terjadi," ucap Jack yang sedikit menurunkan intonasi bicaranya, meskipun kecewa ia juga berhak tahu alasan apa yang membuat mereka memutuskan untuk berpisah.
Meski tanpa restu dari kedua orang tuanya, Gustav tetap menikahi Clara. Biar bagaimanapun, ia tetap harus bertanggung jawab meski ia sendiri tidak yakin dengan hatinya. Jangan sampai, dia menyakiti hati dua wanita sekaligus.Kini, Clara juga tak lagi menjadi sekretaris Jack. Setelah dua hari pernikahannya, Gustav memintanya untuk bergabung di perusahaannya, tentunya menjadi sekretaris pribadi suaminya yang kini menjabat sebagai CEO. Clara berdiri menghadap ke arah luar yang berdinding kaca, ia tampak tersenyum menatap kemenangannya. Berhasil menjadi seorang Nyonya Willson adalah harapan yang dari dulu ia nantikan. Namun, sempat sirna oleh Grace karena justru Gustav lebih memilih sahabatnya dibanding dirinya. Tetapi kini ia telah berhasil merebutnya, meskipun ia harus kehilangan harga dirinya. Sayangnya, saat ia sedang menikmati kemenangannya, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Ia tampak meringis sembari memegangi perutnya yang terasa semakin bertambah sakit. Beruntung ada satu kary
Grace kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa, mencoba berdamai dengan keadaan, kini sedikit demi sedikit ia bisa melupakan Gustav dan menerima kehidupan barunya sebagai single parent. Ia tersenyum menatap pantulan cermin yang memperlihatkan perutnya yang semakin membesar dan kurang lebih satu bulan lagi ia akan bertemu makhluk kecil yang kini masih betah berada di kandungannya. Ia tak sabar dengan waktu itu yang sebentar lagi tiba."Terima kasih ya nak, kamu sudah mau bertahan demi mommy," ucapnya tersenyum sembari mengelus perutnya yang sudah membesar.Hari-hari yang ia lalui sangat jauh dari kata bahagia. Ia harus banting tulang untuk mencari uang, mengingat biaya persalinan tidaklah murah. Jadi ia harus bekerja keras dengan cara bekerja di toko laundry, setelah itu menjadi buruh cuci piring di sebuah restoran. Hidupnya begitu miris, namun ia tetap semangat menjalaninya. Demi sang buah hati yang sebentar lagi akan hadir di dunia. Saat ini Grace telah menyelesaikan pekerjaanny