KJeffrey Smith Nicholas Anderson atau biasa disapa Jeffrey Anderson adalah seorang pria dengan wajah bak Leonardo di Caprio, senyum semanis Antonio Banderas dan tubuh atletis dengan dada bidang dan perut bak roti sobek yang kerap membuat para wanita tak dapat melepaskan pandangannya dari lelaki berambut hitam lurus dan mata biru saphire miliknya itu.
Jeffrey bukanlah seseorang yang dilahirkan dari keluarga berada layaknya sang istri, Aline von Otto Geischt Haimen. Namun, berkat kepintaran serta daya analisisnya yang tinggi, Jeffrey berhasil menamatkan kuliahnya di sebuah universitas bergengsi di dunia dengan predikat summa cum laude. Tak hanya itu, Jeffrey yang ternyata juga seorang ahli bahasa dan strategi pernah menjadi salah satu kandidat untuk posisi dosen di tempatnya berkuliah, namun sayang. Kepribadian serta pemikiran Jeffrey yang 'di luar nalar' orang-orang kebanyakan serta kecintaannya akan dunia buku membawanya menjadi seorang penulis.
Tulisan-tulisan yang dihasilkan oleh goresan pena dari hasil pemikirannya langsung mendapat apresiasi serta tempat di hati para penikmat dan pecinta novel-novel bertema cinta. Dan karena tulisanlah, dia akhirnya bisa memiliki dan menikah dengan wanita sekelas Aline, yang mendapat julukan 'The Demonic Lady' dari beberapa pemilik perusahaan penerbitan di Kota Dansk. Bukan tanpa alasan Aline mendapatkan julukan itu! Tangan besi, wajah yang selalu menunjukkan ekspresi dingin serta sikap kejam Aline terhadap rekan sesama penerbit yang dianggap semena-mena dan selalu meng-akuisisi penerbitan yang dianggap menjegalnya membuat Aline memiliki banyak musuh.
Hingga Aline menemukan sosok Jeffrey dalam sebuah goresan pena di atas kertas buram yang dulu belum dilirik oleh orang-orang. Aline, seorang wanita pecinta buku dan intuisi yang tinggi dalam hal bisnis langsung jatuh hati dan mengajak Jeffrey bergabung menjadi penulis di perusahaannya. Dan sejak saat itu, ke mana pun Aline pergi pasti Jeffrey akan ada di sisinya, dan begitu pula sebaliknya.
Intuisi Aline yang bagus dalam hal bisnis terbukti dengan melejitnya novel perdana Jeffery 'La Femme du 1er Siecle (Wanita 1 Abad)' yang langsung melejit di pasaran.
Bertahun-tahun Jeffrey malang melintang di dunia kepenulisan membuatnya semakin lama semakin terkenal hingga kadang menimbulkan kejenuhan bagi dirinya. Sang istri yang sibuk mengurusi perusahaannya dan pernikahan yang tak kunjung dikaruniai momongan membuat hidup Jeffrey seakan hampa dan kosong.
Siang itu, Jeffery yang tengah berada di sebuah kafe di pingir jalan Kota Dansk sedang menikmati secangkir kopi hitam Arabika favoritnya sembari membaca novel lawas milik penulis Perancis terkenal, Gaston Lero (Phantom Opera). Netra yang tetap terfokus pada buku bersampul yang didominasi warna merah menyala dan sebagian hitam dengan topeng tengkorak dan seorang wanita bergaun merah itu memancing seorang wanita muda mendekati meja Jeffrey.
"Oh, my Gosshh … ini kan novel yang alu cari-cari selama ini!" serunya langsung duduk di depan Jeffrey dan memegang buku yang sedang dibacanya.
"Heiiii!!!" pekik Jeffrey terkejut.
"Oh, ma--maaf. Bukan maksud saya mengganggu Anda, Tuan." Ucap wanita muda yang mengenakan blouse pink serta rok mini di atas lutut warna putih segera mengatupkan kedua tangannya meminta maaf.
"Anda siapa?" tanya Jeffrey menutup buku bacaannya.
"M--maaf, Tuan." Ucap wanita muda itu masih mengatupkan kedua tangannya.
"Tak apa-apa, Nona." Ucap Jeffery tersenyum dan kembali membuka buku bacaannya.
Bunyi getar gawai milik Jeffrey yang ia letakan dia atas meja tak membuatnya bergeming dari buku yang ia baca.
Tok … tok … tok …
Jeffrey lantas melongokkan sedikit kepalanya dari balik buku yang ia baca. "Anda masih di sini?" tanyanya terkejut.
Sang wanita hanya menaikkan kedua bahunya sambil tersenyum. Lagi, getar gawai milik Jeffrey membuat wanita muda itu menunjuk ke arah gawai Jeffrey. "Apa tidak Anda mengangkat ponsel Anda. Bunyinya cukup mengganggu."
"Kenapa jadi Anda yang merasa terganggu? Jika Anda memang merasa terganggu, silakan angkat saja teleponnya," ujar Jeffrey santai menanggapi.
Wanita muda itu tersenyum dan tiba-tiba …
"Aku Casandra. Bianca Jenny Casandra. Boleh aku tahu nama Anda, Tuan?" tanya wanita muda itu mengulurkan tangannya.
Jeffrey lagi-lagi menurunkan buku yang sedang dia baca, dengan tatapan datar dia melihat ke arah wanita muda nan cantik itu dan berkata, "Nama yang indah untuk wanita cantik seperti Anda. Apa ada yang bisa saya bantu, Nona Bianca?"
"Ada!" tanpa basa-basi, Bianca langsung menyahut pertanyaan Jeffrey dengan lugas.
Sedikit terkejut, Jeffrey mengulas senyum di wajah tampannya sembari berujar, "Anda sangat ekspresif sekali, ya. Saya suka dengan wanita muda yang memiliki semangat berapi-api seperti Anda."
"Tidak semuanya, hanya untuk beberapa hal saja."
Jeffrey yang tak terbiasa bicara dengan orang asing, apalagi yang baru dikenalnya mendadak menjadi sangat penasaran dengan wanita muda bernama Bianca ini. Buku yang dibacanya langsung diletakkan olehnya dan percakapan intens pun tanpa mereka sadari mengalir begitu saja, hingga ponsel Jeffrey lagi-lagi bergetar dan mengalihkan fokus Bianca.
"Tuan, ponsel Anda …," ucapnya menunjuk ke gawai warna hitam.
"Baiklah, sebentar. Saya terima telepon dulu." Jeffrey bangkit dari duduknya dan sedikit menjauh dari Bianca.
"Ada apa?"
[Tuan, apa Anda sedang sibuk?]
"Kenapa?"
[Bisakah kita bertemu, Tuan? Ada sesuatu hal yang ingin saya sampaikan.]
"Hmm, baiklah. Kirimkan saja alamatnya padaku, 5 menit lagi aku akan menemuimu."
[Baik, Tuan. Saya akan mengirimkan alamatnya pada Anda.]
Jeffrey langsung kembali ke mejanya dan melihat Bianca sedanh membaca buku yang tadi ia baca. "Apa Anda menyukainya?"
Bianca mengangguk. "Bukankah tadi saya sudah mengatakan jika saya ingin buku yang Anda baca?"
Jeffrey melirik buku yang ada di depannya. "Jika Anda mau, ambil saja. Saya sudah tak membutuhkannya."
"Benarkah? Terima kasih banyak, Tuan …,"
Jeffrey segera mengambil mantel warna abu-abu yang ia sandarkan di tepian kursi warna putih.
"Tunggu dulu! Siapa nama Anda?" tanya Bianca mendongakkan kepalanya.
"Untuk apa Anda ingin tahu nama saya?"
"Berterima kasih," sahut Bianca.
Jeffrey melangkah bersiap meninggalkan cafe pinggir jalan itu, tak lama dia menoleh ke arah Bianca yang masih memperhatikan dirinya. "Tak perlu tahu namaku karena apalah arti sebuah nama jika esok dia akan dilupa. Selamat tinggal, Nona. Semoga kita bisa bertemu lagi."
Bianca hanya terdiam dan tertegun mendengar ucapan Jeffrey. Senyum mengembang di wajah putihnya menyiratkan sesuatu layaknya wanita yang jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Opera Phantom, ya … pasti! Akan ku pastikan kita bertemu lagi, wahai orang asing yang bijak."
****
Di tempat lain, Georgio yang tengah duduk di sebuah bangku panjang warna coklat kayu di tepian danau buatan yang terletak di taman tengah kota tampak asyik memainkan gawainya sambil tersenyum-senyum sendiri.
"Sepertinya kepala editor kita ini telah memiliki kekasih."
Suara bariton dalam terdengar sangat jelas di belakang Georgio yang sedang asyik memainkan gawainya.
"T--Tuan. Kapan Anda datang?" tanya Georgy langsung mematikan gawainya.
"Hahaha, tenang saja. Kau tampak seperti orang yang sedang menyembunyikan wanita lain di depan istrimu," seloroh Jeffrey dan langsung mengambil tempat di sebelah Georgy.
"Bukan seperti itu, Tuan." Georgy memasang ekspresi seriusnya.
"Ada apa?"
"Apa Anda tetap tak akan memberitahukan pada Nona Aline identitas Anda?" tanya Georgy menoleh ke arah Jeffrey.
"Kenapa tiba-tiba …," Jeffrey menatap Georgy heran, "ah, aku mengerti. Karena sang CEO ingin bertemu denganku."
Georgy mengangguk. "Apa menurut Tuan tak apa jika Anda menyembunyikan …,"
"Tak masalah!"
"Ma--ksud Anda, Tuan?"
"Kadang kata jahat tak selalu diidentikkan dengan keburukan. Malah kadang sebaliknya, kata baik justru membuat banyak orang tergelincir ke dalam lembah hitam." Jelas Jeffrey tersenyum menatap beberapa burung bangau di depannya.
Georgy tampak menelaah tiap kata yang diucapkan oleh Jeffrey. Dia hanya menggelengkan kepalanya dan berkata, "Saya sudah siapkan segala keperluan Anda untuk bertemu dengan Nona Aline, Tuan. Semoga hasilnya tak mengecewakan Anda." Tukas Georgy langsung berdiri, membungkukkan badan dan meninggalkan tempat pertemuan mereka.
"Hmm, kau tak pernah mengecewakanku, Georgy. Justru akulah yang sering mengecewakanmu."
"Selamat siang, Nona Rosaline. Apa Nona Aline ada di ruangannya?" tanya Georgio yang kini telah berada di depan sebuah ruangan besar dan berdiri sendiri tanpa ada ruangan apa pun, kecuali meja untuk sang asisten pribadi."Ada, sebentar. Saya tanyakan pada beliau dulu."Rosaline lantas masuk ke dalam ruangan Aline dan tak lama setelahnya, wanita berparas ayu itu keluar sambil berujar, "Silakan masuk, Tuan Georgy. Nona sudah menunggu Anda di dalam.""Selamat siang, Nona Aline." Sapa Georgy melihat Aline yang tengah menulis di meja kerjanya."Siang dan silakan duduk, Tuan Georgy." Balas Aline menutup pena yang ia pegang sambil menatap datar padanya, "semoga kabar baik yang aku dengar dari Anda." Tambah Aline tersenyum."Sebenarnya …,"
"Ada satu syarat yang bisa saya tawarkan pada Nona Aline jika Anda ingin saya kembali melanjutkan cerita itu lagi." Jelas sang Penulis Bertopeng seraya mengayun-ayunkan wine yang ada di dalam gelas kaki panjang tersebut."Apa syaratnya? Katakan!" Aline seakan memerintah."Cukup mudah."Seakan mengulur waktu, Penulis Bertopeng itu meneguk wine di dalamnya dengan penuh kenikmatan dan meresapi rasa manis-pahit Bordeaux yang telah dipesannya. Aline yang merasa dipermainkan langsung naik darah dan menggebrak meja berisi pastry hingga beberapa di antaranya jatuh ke lantai."Tuan, saya datang ke sini untuk bicara mengenai keberlangsungan hidup perusahaan dan bukan melihat Anda menikmati red wine sambil mendengarkan ucapan gila Anda! Apa Anda tahu karena ulah Anda berapa banyak kerugian yang akan saya derita? J
"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline.""Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman."Apa Anda masih mau tidur denganku?"PLAK!Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa."Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut."Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan A
Grep!u Buagh!T Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat. 'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline. Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala. "Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" [Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?] "Aku sibuk, baru sele
Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing, Aline von Otto Geischt Haimen. Wanita dengan tipe yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantor dan menghabiskan waktu di sana. Namun kali ini isu kedatangannya yang tiba-tiba membuat geger dan gempar seisi perusahaan."Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.
"Tekan lantai 8!" perintah Aline menatap lurus ke depan pintu lift yang merangkak naik menuju lantai yang dituju.'Lantai 8? Bukannya itu …,' gumam Rosaline membatin sambil menekan tombol angka 8.Tak lama, pintu lift yang dinaiki oleh Aline dan Rosaline berhenti di lantai 8. Lantai di mana ruangan Melda Johansen, wakil direktur Aline Publishing berada. Lantai yang terkenal dengan sebutan 'Lantai Panas' oleh para karyawan di sana karena kerap kali terjadi perseteruan antara wakil direktur dan editor in-chief.Bunyi sepatu yang nyaring dengan heels yang tinggi cukup menarik perhatian para karyawan yang ada di lantai tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti ketika melihat Aline dan Rosaline berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegas."S--sel
"Anda?? Nona Aline??" Melda langsung terperanjat ketika melihat Aline berdiri tepat di hadapan mereka."Selamat pagi, Bu Melda, Pak Georgio." Sapa Aline dengan senyum mengembang."Selamat siang, Nona Aline." Balas Georgio dengan senyuman santai."S--selamat siang, No--Nona Aline." Melda membalas sapaan Aline sambil tertunduk."Siang? Kupikir ini pagi. Ternyata sudah siang, ya?" seloroh Aline bernada menyindir."Ada perlu apa Nona datang ke lantai 8? Bukankah Anda bisa memanggil kami untuk datang ke tempat Anda? Tak perlu repot-repot Anda yang harus datang, Nona." Melda berucap."Hahahhahaa, Bu Melda ini lucu sekali, ya. Memangnya kenapa jika saya sekali-sekali mengunjungi lantai panas di perusahaan ini? Apa salah jika