Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing, Aline von Otto Geischt Haimen. Wanita dengan tipe yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantor dan menghabiskan waktu di sana. Namun kali ini isu kedatangannya yang tiba-tiba membuat geger dan gempar seisi perusahaan.
"Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.
Tak ada jawaban. Aline terus menyiapkan segala sesuatu untuk melengkapi sarapan pagi nan mewah keluarga kecilnya. Semenit-dua menit tak ada jawaban, Aline segera bergegas naik ke lantai dua kamarnya dan menghampiri sang suami, Jeffrey Anderson yang masih memeluk selimut tebal nan hangat.
"Apa kau memanggilku, Sayang?" tanya Jeffrey tiba-tiba membuka matanya.
Aline yang terkejut langsung berdiri dan membelakangi sang suami. Dengan degup jantung berdetak kencang, sang suami hanya tertawa kecil dan memeluk mesra sang istri sambil berkata, "Selamat pagi, istriku."
"Jam berapa kau akan berangkat kerja?" tanya Aline kini memutar badannya menghadap wajah Jeffrey.
"Sebentar lagi. Bagaimana denganmu? Apa kau akan menyambangi kantormu, Sayang?" tanya Jeffrey memeluk sang istri.
"Hmmm, kurasa ti …,"
Sebuah deringan ponsel mengejutkan pagi nan mesra antara Aline dan Jeffrey. Sang suami berusaha menahan Aline yang ingin mengambil gawainya di atas meja dekat lampu tidur mereka. "Sayang …," ucap Aline mendelikkan matanya sembari tersenyum.
"Rosaline? Ada apa?" ucap Aline melihat nama seseorang yang disebut Rosaline di layar gawainya.
"Ada apa?"
[Selamat pagi, Nona Aline.]
"Pagi, ada apa? Jangan buang waktuku
Katakan langsung saja. Apa ada masalah di perusahaan?"
[Itu …,]
"Itu apa?"
Jeffrey yang berdiri tak jauh dari Aline segera menghampiri sang istri, namun Aline justru mendorong tubuh Jeffrey pelan dan menghindarinya. "Ada apa dengan Aline?" tanya Jeffrey heran.
"Katakan, Rosaline. Ada apa?"
[Nona, perusahaan sedikit mengalami masalah.]
"Apa? Masalah? Masalah apa?"
[Departemen yang dipimpin oleh Georgio baru saja menerima sebuah e-mail dari salah satu penulis yang menjadi tumpuan Aline Publishing, Penulis Bertopeng. Dia mengatakan akan berhenti menulis novelnya yang berjudul 'Eindeloze Liefde (Cinta Tiada Akhir)' dan berencana akan menarik naskahnya dari perusahaan kita, Nona.]
"Apa!! Bagaimana mungkin!?" Aline tersulut emosi.
Jeffrey yang masih berada di dalam kamar hanya duduk di sebuah kursi putih yang ada di dekat jendela kamar mereka sambil memperhatikan sang istri menelepon.
[Saya--saya juga tidak tahu, Nona. Georgio baru saja menerimanya.]
"Baru saja menerimanya? Seberapa lama?"
[Sekitar 20 menit yang lalu, Nona.]
Aline memperhatikan jam yang terpaku di dinding putih kamarnya. '07.20,' gumamnya.
[Lalu, bagaimana Nona? Apa yang harus kita lakukan?]
"Di mana Melda? Apa dia sudah tahu?"
[Nona Melda belum datang, Nona dan saya rasa beliau belum tahu.]
"Aku tak butuh 'rasamu!' Aku menggajimu bukan untuk menggunakan rasamu, tapi logikamu! Paham!!" sentak Aline. "Aku akan ke sana. Pastikan saja tak ada yang tahu kedatanganku!" perintah Aline dan langsung menutup gawainya kasar.
"Ada apa, Sayang? Kau terlihat sangat kesal." Jeffrey kemudian berdiri dan menghampiri sang istri yang terlihat sangat emosi dan napas tersengal.
"Tak ada apa-apa. Maaf, Sayang. Tapi sepertinya kau harus sarapan sendiri." Aline menatap wajah Jeffrey dan meletakkan tangannya di wajah sang suami.
"Kenapa? Apa ada masalah?" tanya Jeffrey penasaran.
"Itu …," netra Aline menyelasar ke lantai marmer mansion mewah mereka.
"Itu apa, Sayang? Apa ada masalah di kantor?" tanya Jeffrey lagi.
"Aku harus segera bersiap. Tolong lepaskan tanganmu dari pundakku." Aline melirik sang suami tajam.
Kali ini suara Aline berubah sedikit dalam dan tegas. Mendengar sang suara sang istri seperti itu, Jeff langsung melepaskan tangannya dan mengangakt kedua tangannya. Ia tahu jika Aline adalah wanita yang menjunjung tinggi pride-nya dan tak ada seorang pun yang boleh menginjak-injak harga dirinya.
"Baiklah, hati-hati di jalan. Apa mau aku jemput?" tawar Jeff.
"Tidak!" Tegas Aline berdiri, menuju meja rias warna pastel dan merias dirinya secantik mungkin.
"Aku keluar dulu kalau begitu, Sayang. Kutunggu di bawah, ya." Dengan mengunggah senyum manisnya, Jeff meninggalkan kamar mereka dan turun ke lantai satu menunggu sang istri di meja makan.
Sementara itu, Aline yang sedang sibuk merias dirinya tampak menyiratkan tatapan tajam nan menyeramkan, seakan emosinya yang tak lagi dapat ditahan.
"Penulis Bertopeng? Setelah kupikir-pikir, cukup lama juga perusahaanku meng-hire jasanya. Tapi sampai sekarang aku belum tahu identitas aslinya. Dan sekarang, dia malah membuat ulah? Bedebah jahanam! Tak tahu diuntung!" kesal Aline tak sadar mematahkan pensil alisnya.
****
Kantor Aline Publishing
"Baik, saya mengerti, Tuan. Jangan khawatir. Baik, terima kasih."
Bariton dalam milik seorang pria bermata coklat almond, rambut dengan potongan brush on-top, hidung bak gunung Everest dan kulit yang putih agak kemerahan tampak tergambar dari seorang laki-laki bernama Georgio Robert. Pria berusia 28 tahun itu adalah seorang kepala editor in-chief dari departemen redaksi Aline Publishing.
"Sarah, aku akan keluar sebentar. Kau handle dulu sementara aku tak ada. Jika memang ada yang penting, segera hubungi aku, paham?"
"Baik, Pak. Saya mengerti." Sahut Sarah, wakil editor in-chief memberikan senyuman pada pria tampan itu.
Dengan langkah pasti, Georgy, begitu lelaki Asia-Eropa ini disapa keluar dari ruangannya dan sudah pasti bisa ditebak bila seorang pria tampan berjalan dengan gaya yang santai namun cool akan memancing para duyung berenang ke tepian.
"Pagi, Pak." Sapa salah seorang karyawan wanita di departemen yang dipimpinnya.
"Pagi." Balasnya sambil tersenyum dan terus melangkah hingga ke lift yang tak jauh dari ruangannya.
"Oh, my God. Georgy memang sangat tampan! Tak ada yang bisa mengalahkan ketampanannya di perusahaan ini." Ujar salah satu dari mereka sembari menatap lurus siluet Georgy yang telah menghilang.
"Kenapa kalian berdiri di sana! Apa kalian seorang petugas security terus-menerus berdiri di sana, hah!?" Teriak Sarah melihat dua anak buahnya berdiri melihat kepergian Georgio.
"Ssstt … sstt, ayo … ayo, kerja." Ucap mereka langsung kembali ke meja masing-masing.
'Sepertinya aku perlu menerapkan disiplin yang tinggi di departemen ini,' gumam Sarah.
****
Selang beberapa jam kemudian, sekitar pukul 09.00, sebuah mobil Maybach warna hitam mengkilat tampak berhenti tepat di depan pintu masuk Aline Publishing. Sepasang kaki jenjang tanpa bulu dengan heels 10 cm warna hitam turun dari mobil mewah tersebut. Petugas keamanan yang melihat kedatangan wanita tersebut langsung bereaksi dengan menutup pintu mobil miliknya sambil berkata, "Selamat pagi, Nona Aline."
Aline, wanita yang baru saja turun dari mobil itu datang ke kantornya tepat di saat para pegawainya sedang sibuk-sibuknya. Kacamata hitam yang hampir menutupi setengah wajahnya, riasan yang flawless, tas Channel hijau kulit buaya, pakaian kerja warna hitam bergaya sheath dress serta blazer dengan warna senada dengan pakaian yang dikenakannya membuat penampilan Aline sangat paripurna.
"Pagi? Kukira sudah siang." Seloroh Aline menurunkan kacamata hitamnya dan dengan mantap melangkah ke dalam perusahaannya.
"Ssstt … sstt, siapa wanita cantik itu?" Salah seorang karyawan tampak berbisik melihat penampilan Aline dari kejauhan.
"Oh, myyyyy …," ujar temannya menanggapi.
"Ada apa?"
"Itu kan …," temannya hanya menelan saliva dan langsung menarik masuk temannya ke dalam lift.
"Selamat pagi," sapa Aline ke meja resepsionis.
"Pagi, ada yang bisa saya bantu?" tanya petugas resepsionis itu ramah dan tersenyum.
"Apa Nona Melda ada di ruangannya?" tanya Aline ramah.
"Nona Melda belum datang, beliau sedang ada urusan. Maaf, Anda siapa? Dan ada perlu apa dengan beliau?" tanya petugas resepsionis itu lagi.
Aline sedikit tersentak. Dia hanya menaikkan salah satu alisnya sambil menatap petugas resepsionis itu dan melihat name tag miliknya.
"Lisa? Apa kau baru di sini?"
"Ah, iya, Nona. Saya baru di sini dan baru saja lulus training sebagai resepsionis." Balas wanita mungil itu sambil tersenyum.
"Hmm, pantas saja kau tak tahu," seloroh Aline menyunggingkan senyumnya.
"Maaf, Nona? Apa Anda mengatakan sesuatu?" tanya Lisa, sang petugas resepsionis.
"Hubungi Rosaline. Katakan Aline telah tiba!" perintah Aline.
Lisa terdiam dan hanya memandang Aline heran. "Kenapa diam? Aku menyuruhmu untuk menghubungi Rosaline! Kenapa tidak segera kau lakukan?!" Aline mulai kesal.
"Maaf, tapi Anda siapa, ya? Kenapa sikap Anda seolah Anda adalah seorang bos?"
Aline tersenyum menahan amarah juga emosi. "Kau!!"
"Nona Aline, maaf saya datang terlambat."
Dari arah lift, tampak seorang wanita muda berusia sekitar 25 tahun tengah berlari menghampiri Aline.
"Nona Rosaline." Lisa menundukkan kepalanya di hadapan Rosaline.
"Nona, apa Anda menunggu lama?" tanya Rosaline sedikit membungkukkan badannya.
"Tidak. Aku baru saja datang." Jawab Aline dingin sambil menatap Lisa.
"Lisa, apa kau tak tahu siapa beliau, hah? Beliau adalah CEO di perusahaan ini! Apa kau bisa baca 'Aline Publishing' diambil dari nama Nona Aline?" emosi Rosaline menunjuk tepat ke wajah Lisa.
Lisa yang tersentak dan terkejut segera keluar dari meja resepsionis miliknya dan membungkukkan badannya di hadapan Aline.
"Maafkan saya, Nona Aline. Saya--saya tak mengenali Anda, tolong jangan pecat saya, saya mohon …," Ucap Lisa membungkukkan badannya berkali-kali.
"K--," Aline mengangkat tangan kanannya memberi tanda agar Rosaline menghentikan kata-katanya.
"Sudah, Nona Lisa. Tak apa, saya mengerti dan saya maklumi, Anda masih baru dan saya pun jarang datang ke kantor. Jadi, wajar saja jika Anda tak mengenali saya. Sudah … sudah, bangunlah. Tak apa." Aline memegang kedua bahu Lisa dan menyuruhnya berdiri tegak.
"T--terima kasih, Nona Aline. Terima kasih banyak." Ucap Lisa menahan tangis.
"Baiklah, kalau begitu semangat, kerja yang rajin dan cakap, ya. Aku ingin melihat performamu, Nona Lisa." Senyum Aline tak lama membalikkan badannya dan berjalan menuju lift bersama Rosaline.
"Pecat resepsionis baru itu! Resepsionis macam apa yang tak mengenal atasannya!? Hanya orang bodoh yang mau mengangkat resepsionis macam itu! Dan juga, pecat segera orang yang meloloskan dan men-training dirinya. Aku mau besok resepsionis itu sudah tak ada lagi di kantorku!" Ucap Aline dingin.
"Baik, Nona. Akan saya laksanakan perintah Nona."
"Tekan lantai 8!" perintah Aline menatap lurus ke depan pintu lift yang merangkak naik menuju lantai yang dituju.'Lantai 8? Bukannya itu …,' gumam Rosaline membatin sambil menekan tombol angka 8.Tak lama, pintu lift yang dinaiki oleh Aline dan Rosaline berhenti di lantai 8. Lantai di mana ruangan Melda Johansen, wakil direktur Aline Publishing berada. Lantai yang terkenal dengan sebutan 'Lantai Panas' oleh para karyawan di sana karena kerap kali terjadi perseteruan antara wakil direktur dan editor in-chief.Bunyi sepatu yang nyaring dengan heels yang tinggi cukup menarik perhatian para karyawan yang ada di lantai tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti ketika melihat Aline dan Rosaline berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegas."S--sel
"Anda?? Nona Aline??" Melda langsung terperanjat ketika melihat Aline berdiri tepat di hadapan mereka."Selamat pagi, Bu Melda, Pak Georgio." Sapa Aline dengan senyum mengembang."Selamat siang, Nona Aline." Balas Georgio dengan senyuman santai."S--selamat siang, No--Nona Aline." Melda membalas sapaan Aline sambil tertunduk."Siang? Kupikir ini pagi. Ternyata sudah siang, ya?" seloroh Aline bernada menyindir."Ada perlu apa Nona datang ke lantai 8? Bukankah Anda bisa memanggil kami untuk datang ke tempat Anda? Tak perlu repot-repot Anda yang harus datang, Nona." Melda berucap."Hahahhahaa, Bu Melda ini lucu sekali, ya. Memangnya kenapa jika saya sekali-sekali mengunjungi lantai panas di perusahaan ini? Apa salah jika
KJeffrey Smith Nicholas Anderson atau biasa disapa Jeffrey Anderson adalah seorang pria dengan wajah bak Leonardo di Caprio, senyum semanis Antonio Banderas dan tubuh atletis dengan dada bidang dan perut bak roti sobek yang kerap membuat para wanita tak dapat melepaskan pandangannya dari lelaki berambut hitam lurus dan mata biru saphire miliknya itu.Jeffrey bukanlah seseorang yang dilahirkan dari keluarga berada layaknya sang istri, Aline von Otto Geischt Haimen. Namun, berkat kepintaran serta daya analisisnya yang tinggi, Jeffrey berhasil menamatkan kuliahnya di sebuah universitas bergengsi di dunia dengan predikat summa cum laude. Tak hanya itu, Jeffrey yang ternyata juga seorang ahli bahasa dan strategi pernah menjadi salah satu kandidat untuk posisi dosen di tempatnya
"Selamat siang, Nona Rosaline. Apa Nona Aline ada di ruangannya?" tanya Georgio yang kini telah berada di depan sebuah ruangan besar dan berdiri sendiri tanpa ada ruangan apa pun, kecuali meja untuk sang asisten pribadi."Ada, sebentar. Saya tanyakan pada beliau dulu."Rosaline lantas masuk ke dalam ruangan Aline dan tak lama setelahnya, wanita berparas ayu itu keluar sambil berujar, "Silakan masuk, Tuan Georgy. Nona sudah menunggu Anda di dalam.""Selamat siang, Nona Aline." Sapa Georgy melihat Aline yang tengah menulis di meja kerjanya."Siang dan silakan duduk, Tuan Georgy." Balas Aline menutup pena yang ia pegang sambil menatap datar padanya, "semoga kabar baik yang aku dengar dari Anda." Tambah Aline tersenyum."Sebenarnya …,"
"Ada satu syarat yang bisa saya tawarkan pada Nona Aline jika Anda ingin saya kembali melanjutkan cerita itu lagi." Jelas sang Penulis Bertopeng seraya mengayun-ayunkan wine yang ada di dalam gelas kaki panjang tersebut."Apa syaratnya? Katakan!" Aline seakan memerintah."Cukup mudah."Seakan mengulur waktu, Penulis Bertopeng itu meneguk wine di dalamnya dengan penuh kenikmatan dan meresapi rasa manis-pahit Bordeaux yang telah dipesannya. Aline yang merasa dipermainkan langsung naik darah dan menggebrak meja berisi pastry hingga beberapa di antaranya jatuh ke lantai."Tuan, saya datang ke sini untuk bicara mengenai keberlangsungan hidup perusahaan dan bukan melihat Anda menikmati red wine sambil mendengarkan ucapan gila Anda! Apa Anda tahu karena ulah Anda berapa banyak kerugian yang akan saya derita? J
"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline.""Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman."Apa Anda masih mau tidur denganku?"PLAK!Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa."Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut."Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan A
Grep!u Buagh!T Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat. 'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline. Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala. "Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" [Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?] "Aku sibuk, baru sele