"Tekan lantai 8!" perintah Aline menatap lurus ke depan pintu lift yang merangkak naik menuju lantai yang dituju.
'Lantai 8? Bukannya itu …,' gumam Rosaline membatin sambil menekan tombol angka 8.
Tak lama, pintu lift yang dinaiki oleh Aline dan Rosaline berhenti di lantai 8. Lantai di mana ruangan Melda Johansen, wakil direktur Aline Publishing berada. Lantai yang terkenal dengan sebutan 'Lantai Panas' oleh para karyawan di sana karena kerap kali terjadi perseteruan antara wakil direktur dan editor in-chief.
Bunyi sepatu yang nyaring dengan heels yang tinggi cukup menarik perhatian para karyawan yang ada di lantai tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti ketika melihat Aline dan Rosaline berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegas.
"S--selamat pagi, No--Nona Rosaline," sapa salah satu dari mereka.
Rosaline menatap dua orang karyawan yang menyapanya dan melihat ke arah Aline dengan tatapan takut. "P-pagi," sahut Rosaline gugup.
Aline berhenti. "Pagi? Rosaline, jam berapa sekarang?" tanya Aline menatap dua orang karyawan yang tepat berpapasan dengannya angkuh.
"Jam 10.30, Nona." Jawab Rosaline sambil menatap dua orang karyawan tersebut dengan tatapan datar dan menggelengkan kepalanya.
"Sekarang jam 10.30 dan kalian bilang PAGI!!! Di mana otak kalian, hah!" sentak Aline hingga membuat kaget keduanya terkejut.
"Siapa Anda? kenapa membentak kami?" tanya satu di antara mereka
Rosaline mengernyitkan dahinya dan mendelikkan matanya ke arah mereka.
"Siapa aku? SIAPA AKU? KALIAN INI BODOH, TOLOL, ATAU APA, HAH!! MANA KEPALA EDITOR KALIAN!?" sentak Aline sambil menunjuk keduanya.
"Habislah kalian!" ucap Rosaline menatap tajam.
"M-memangnya An-Anda …,"
"Biar kuberitahu, beliau ini adalah …,"
"Cukup Rosaline! Aku tak butuh asisten tak becus macam dirimu, tapi aku lebih tak butuh lagi karyawan bodoh seperti kalian! Kalian pikir siapa yang menggaji kalian selama ini, hah!?"
Keringat dingin, kedua karyawan itu barulah tersadar siapa yang ada di hadapan mereka.
"N-Nona Aline!" seru keduanya kencang hingga menimbulkan kegaduhan di lantai tersebut.
"Mana kepala editor kalian?" tanya Aline menatap angkuh.
"K-kami tak tahu, Nona." Tertunduk keduanya.
"APA!!"
"Ada apa ini ribut-ribut?" Sarah, wakil editor keluar dan menghampiri.
"Ah, Nona Rosaline. Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" tanya Sarah melirik Aline.
"Selamat pagi, Nona Sarah." Sahut Rosaline membalas.
"Siapa kamu?" tanya Aline dingin.
"Anda sendiri, siapa?"
Aline sempat terkejut ketika dia dihadapkan kembali oleh pertanyaan dari seseorang yang posisinya jauh di bawahnya.
"An-da bertanya pada saya? Apa saya tak salah dengar?" tanya Aline menyunggingkan senyumnya dan melipat kedua tangannya angkuh
"Ah, Nona Sarah. Nona ini sebenarnya adalah …,"
"Rosaline!" panggil Aline maju menghadapi Sarah. "jadi, namamu Sarag, ya? Sudah berapa lama kau bekerja di sini?" tanya Aline lagi melihat name tag milik Sarah
"Empat bulan."
"Apa? Empat bulan? Apa jabatanmu?"
"Tak bisakah Anda membacanya sendiri?" sahut Sarah mulai kehilangan kesabaran.
Rosaline hanya mengepalkan tangannya sementara Aline tersenyum mendengar pertanyaan Sarah.
"Lalu, di mana orang yang duduk di ruangan ini?" Aline menunjuk ruangan wakil direktur.
"Nona Melda belum datang. Beliau biasanya datang jam 9."
Aline berusaha menahan emosinya. "Lalu, di mana kepala editor kalian?"
"Apa Anda sudah membuat janji terlebih dahulu dengan beliau?" tanya Sarah percaya diri.
"Oh, jadi aku harus membuat janji dulu, ya jika ingin bertemu dengannya? ROSALINE!" panggil Aline lantang.
"Iya, Nona."
"Hubungi Tuan Georgio SEKARANG JUGA! KATAKAN PADANYA, ALINE INGIN BERTEMU DENGANNYA!" ucap Aline seraya tegas menatap Sarah.
"Baik, Nona."
Tak lama, Rosaline segera melakukan apa yang diperintahkan Aline, sementara Sarah dan kedua karyawan itu terdiam mematung dan masih tak menyadari identitas asli Aline.
"Apa aku harus menunggu di sini?" tanya Aline mendongakkan kepalanya.
Sarah mulai menyipitkan matanya, "silakan ikut saya."
Kedua wanita kuat itu memasuki departemen redaksi. Berbagai pandangan dan bisikan sesekali Aline dengar dari mulut para karyawan yang ada di lantai itu.
"Aku mau kau perhatikan baik-baik, Rosaline, siapa saja yang membuat ulah denganku, maka mereka harus tahu konsekuensinya!"
"B-baik, Nona."
"Silakan duduk," Sarah menunjuk sebuah sofa berbentuk letter L dan meminta Aline duduk di sana.
"Maaf, kepala editor kami sedang keluar. Jika Anda bersedia menunggunya, silakan menunggu. Permisi!" Tanpa banyak kata, Sarah langsung pergi meninggalkan mereka berdua. Rosaline yang sejak awal bertemu dengan Sarah merasa panas tak lagi bisa menyembunyikan kekesalannya pada wanita berkuncir kuda itu.
"Nona, apa Anda akan diam saja melihat perlakuan mereka pada Anda? Kenapa Anda melarang saya untuk mengungkap identitas Anda?" tanya Rosaline sedikit kesal.
"Untuk apa? Jika kau ingin menang dalam suatu peperangan, maka dekatilah dan jadilah seperti mereka. Ketika mereka lengah dan percaya padamu … bunuh mereka!" jelas Aline.
"M-aksud Nona?"
"Aku tak pernah berada di kantor selama beberapa waktu, jadi wajar mereka tak tahu keberadaanku jadi ini bukan sepenuhnya salah mereka. Hanya saja, aku tetap tak bisa mentolerir jika ada seseorang yang berani menusukku dari belakang apalagi sampai menghancurkan perusahaanku!" tegas Aline melirik tajam Rosaline.
"Tapi, tetap saja, Nona. Sikap mereka tadi …,"
"Sudahlah! Aku tak ada waktu untuk mendengarkan ocehanmu! Sudah kau hubungi Georgio?"
"B-baik, akan segera saya hubungi."
'Hmmm, kira-kira apa yang akan terjadi ya jika mereka tahu identitasku yang sebenarnya? Apakah mereka akan berubah menjadi penjilat atau …,'
"Nona, saya sudah menghubungi Tuan Georgio. Beliau sedang dalam perjalanan menuju kantor."
"Oke, mari kita nikmati dan mainkan drama ini, Rosaline." Senyum bak iblis disematkan Aline di bibirnya.
"Sebelum aku lupa, kau hubungi juga Melda Johansen. Katakan padanya jika Tuan Georgio ingin bertemu dengannya."
"Baik, Nona."
'Hah, aku suka drama bodoh ini!' gumam Aline tersenyum puas.
"Nona, saya sudah menghubungi Nona Melda dan beliau berkata akan segera ke kantor."
"Baiklah, kalau begitu. Let the show begin."
Aline kemudian berdiri dari kursinya dan berjalan menuju lift yang tak jauh berada di pojok lantai itu.
****
Sementara itu, di lobby Aline Publishing, tampak Georgio yang jalan terburu-buru dan Melda yang datang dari sisi selatan pintu masuk Aline Publishing.
Bruk!!!
"Ouh!" rintih Melda yang terjatuh dan mengenai bagian belakang tubuhnya.
"Oh, ma--maaf. Apa Anda tak apa-apa?" tanya Georgio dan beberapa orang yang ada di depan lift segera membantu Melda berdiri.
"Tidak. Tak apa-apa." Sahut Melda melihat wajah si penabrak.
"Pak Georgy!?" wanita 28 tahun itu terkejut ketika mengetahui siapa yang telah menabraknya.
"Bu Melda!?" Georgio pun tak kalah terkejutnya.
Keduanya pun segera memasuki lift yang telah terbuka, namun tiada berkata dan dipenuhi kebingungan.
"Apa ada yang ingin Anda bicarakan, Pak Georgy? Kenapa Anda ingin bertemu dengan saya?" tanya Melda penasaran.
"Bukannya Ibu yang mencari saya?" tanya Georgy juga dengan ekspresi bingung.
Rasa bingung dan heran kini menyeruak di antara mereka berdua. Pintu lift yang telah terbuka mau tak mau menghantarkan mereka untuk segera keluar dari dalam sana. Hingga tiba-tiba, Georgio dan Melda dikejutkan dengan seorang wanita yang berdiri tepat di depan lift dan tersenyum ke arah keduanya.
"A--Anda???!! Nona Aline …."
"Anda?? Nona Aline??" Melda langsung terperanjat ketika melihat Aline berdiri tepat di hadapan mereka."Selamat pagi, Bu Melda, Pak Georgio." Sapa Aline dengan senyum mengembang."Selamat siang, Nona Aline." Balas Georgio dengan senyuman santai."S--selamat siang, No--Nona Aline." Melda membalas sapaan Aline sambil tertunduk."Siang? Kupikir ini pagi. Ternyata sudah siang, ya?" seloroh Aline bernada menyindir."Ada perlu apa Nona datang ke lantai 8? Bukankah Anda bisa memanggil kami untuk datang ke tempat Anda? Tak perlu repot-repot Anda yang harus datang, Nona." Melda berucap."Hahahhahaa, Bu Melda ini lucu sekali, ya. Memangnya kenapa jika saya sekali-sekali mengunjungi lantai panas di perusahaan ini? Apa salah jika
KJeffrey Smith Nicholas Anderson atau biasa disapa Jeffrey Anderson adalah seorang pria dengan wajah bak Leonardo di Caprio, senyum semanis Antonio Banderas dan tubuh atletis dengan dada bidang dan perut bak roti sobek yang kerap membuat para wanita tak dapat melepaskan pandangannya dari lelaki berambut hitam lurus dan mata biru saphire miliknya itu.Jeffrey bukanlah seseorang yang dilahirkan dari keluarga berada layaknya sang istri, Aline von Otto Geischt Haimen. Namun, berkat kepintaran serta daya analisisnya yang tinggi, Jeffrey berhasil menamatkan kuliahnya di sebuah universitas bergengsi di dunia dengan predikat summa cum laude. Tak hanya itu, Jeffrey yang ternyata juga seorang ahli bahasa dan strategi pernah menjadi salah satu kandidat untuk posisi dosen di tempatnya
"Selamat siang, Nona Rosaline. Apa Nona Aline ada di ruangannya?" tanya Georgio yang kini telah berada di depan sebuah ruangan besar dan berdiri sendiri tanpa ada ruangan apa pun, kecuali meja untuk sang asisten pribadi."Ada, sebentar. Saya tanyakan pada beliau dulu."Rosaline lantas masuk ke dalam ruangan Aline dan tak lama setelahnya, wanita berparas ayu itu keluar sambil berujar, "Silakan masuk, Tuan Georgy. Nona sudah menunggu Anda di dalam.""Selamat siang, Nona Aline." Sapa Georgy melihat Aline yang tengah menulis di meja kerjanya."Siang dan silakan duduk, Tuan Georgy." Balas Aline menutup pena yang ia pegang sambil menatap datar padanya, "semoga kabar baik yang aku dengar dari Anda." Tambah Aline tersenyum."Sebenarnya …,"
"Ada satu syarat yang bisa saya tawarkan pada Nona Aline jika Anda ingin saya kembali melanjutkan cerita itu lagi." Jelas sang Penulis Bertopeng seraya mengayun-ayunkan wine yang ada di dalam gelas kaki panjang tersebut."Apa syaratnya? Katakan!" Aline seakan memerintah."Cukup mudah."Seakan mengulur waktu, Penulis Bertopeng itu meneguk wine di dalamnya dengan penuh kenikmatan dan meresapi rasa manis-pahit Bordeaux yang telah dipesannya. Aline yang merasa dipermainkan langsung naik darah dan menggebrak meja berisi pastry hingga beberapa di antaranya jatuh ke lantai."Tuan, saya datang ke sini untuk bicara mengenai keberlangsungan hidup perusahaan dan bukan melihat Anda menikmati red wine sambil mendengarkan ucapan gila Anda! Apa Anda tahu karena ulah Anda berapa banyak kerugian yang akan saya derita? J
"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline.""Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman."Apa Anda masih mau tidur denganku?"PLAK!Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa."Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut."Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan A
Grep!u Buagh!T Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat. 'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline. Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala. "Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" [Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?] "Aku sibuk, baru sele
Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing, Aline von Otto Geischt Haimen. Wanita dengan tipe yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantor dan menghabiskan waktu di sana. Namun kali ini isu kedatangannya yang tiba-tiba membuat geger dan gempar seisi perusahaan."Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.