Share

Bab 7 Pria Asing

"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline."

"Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman.

"Apa Anda masih mau tidur denganku?"

PLAK!

Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa.

"Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut.

"Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.

Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan Aline sendiri hampir saja terjatuh untuk kali kedua.

"Anda benar-benar kurang ajar! Tak tahu diuntung! Tak punya harga diri! Tak punya …,"

Sang Penulis tiba-tiba mengarahkan bibirnya ke bibir Aline dan mengulamnya dengan paksa penuh gairah. Aline yang mencoba melepaskan bibir pria itu rasanya tak memiliki kekuatan sama sekali dan entah mengapa seluruh tubuhnya serasa lemas.

'Ke-kenapa tubuhku begitu lemas? Apa yang terjadi? Kenapa pria ini begitu kuat? Aku-aku …,'

Tak lama, pria itu melepaskan bibirnya dan mengusap dengan lembut bibir milik Aline. Rasa peppermint dipadu dengan buah kiwi tampak terasa di bibir milik Penulis Bertopeng itu. "Ternyata selera lipstik Anda seperti ini, ya Nona Aline?"

Aline hanya terdiam, tak ada lagi sisa-sisa tenaga yang mampu ia kerahkan untuk menghadapi pria itu.

"Kau …," tak sanggup Aline berkata-kata.

"Nona Aline, bukankah sudah kukatakan, aku akan melanjutkan ceritaku jika kau mau menerima tawaranku. Semua itu ada di tanganmu. Pikirkan baik-baik."

"Apa Anda mengancamku?" tanya Aline sambil mengepalkan tangannya.

"Mengancam? Yah, anggaplah seperti itu atau …" pria itu mendekati Aline dan mengusap wajahnya, "anggap ini sebagai bargain bisnis antara penulis dan penyewa. Bagaimana? Pikirkan lagi, Nona Aline, jika saya benar-benar menghentikan novel itu bukankah itu suatu kerugian yang besar untuk Anda?" Tanyanya dengan tawa seakan mengintimidasi Aline.

'Dia benar! Saat ini, novel yang ia tulis sedang berada di puncak kejayaan. Jika aku tiba-tiba memutuskan menerima keputusannya, maka perusahaanku akan … tapi, bagaimana mungkin aku akan mengkhianati Jeffrey? Aku-aku …,'

"Anda terlalu lama berpikir, Nona Aline! Apakah seorang CEO tak bisa berpikir dengan taktis dan praktis?" sindirnya.

"Baik! Aku terima! Katakan saja kapan dan di mana!" sahut Aline dengan bibir bergetar.

Penulis itu sedikit terkejut ketika mendengar ucapan Aline. "Apa Anda yakin?"

"Dengar! Anda telah banyak membuang waktuku! Niat baikku telah Anda nodai, jadi kenapa tak sekalian saja kita bermain api, Tuan Penulis Bertopeng?" kali ini Aline melempar senyum bak Lilith.

"Saya suka dengan pemikiran Anda! Baiklah, akan saya kabari kapan dan di mana kita akan 'bermain' api, Nona Aline. Terima kasih atas waktu Anda. Senang rasanya bisa bertemu dan melihat dengan Anda secara langsung. Permisi."

Tanpa banyak kata, Penulis Bertopeng itu akhirnya meninggalkan tempat pertemuan mereka. Aline tang awalnya berdiri dengan sempurna, seketika terduduk lemas dan menatap datar sekelilingnya. "Apa yang baru saja aku katakan? Kenapa aku bisa begitu bodoh mengatakan sesuatu yang berbahaya? Bagaimana aku harus menghadapi Jeffrey?" tanya Aline mengambil botol wine di hadapannya dan menuangkan hingga penuh ke dalam gelas berkaki panjang miliknya.

Botol per botol, gelas per gelas Aline tuangkan hingga tubuh dan matanya tak lagi kuat menopang. "Rasanya aku ingin mati saja, kenapa hidupku harus begini?" Aline tak lagi dapat berkata dengan benar.

"Kau sudah sangat mabuk."

Terpaaan lampu taman Hotel Bellmount yang terang membuat Aline tak dapat melihat dengan jelas seseorang yang sedang berdiri di hadapannya. Namun dari suaranya, Aline yakin seseorang itu adalah seorang pria. "S-siapa kau?" tanya Aline menyipitkan matanya.

"Siapa aku itu tak penting. Di mana rumahmu, Nona cantik?" tanya bariton itu lagi seraya membungkukkan badan dan mendekatkan wajahnya.

Aline berusaha bangun dari mejanya, namun kepalanya terlalu berat, "Ahh, kepalaku."

"Anda terlalu banyak minum, saya akan membantu Anda." Ucap pria itu menggendong Aline ala bride.

Aline pun hanya bisa pasrah sambil mengalungkan tangannya ke leher pria asing itu.

"Pesankan aku kamar!" perintah pria itu pada seorang pria berpakaian layaknya pekerja kantoran.

"Baik, Tuan."

Tak lama, Aline serta pria yang menggendongnya dan seorang room boy membawa Aline ke sebuah kamar nomor 204. Dengan hati-hati, pria itu membaringkan tubuh Aline ke King Size warna putih President Suite Hotel Bellmount, wajah cantiknya yang diterpa sinar neon kamar hotel mewah itu membuat pria asing itu sedikit terkesima.

"Cantik," ucap pria itu tanpa sadar.

"Nngghhh … nngghh," suara terdengar seperti erangan keluar dari bibir Aline.

"Apa kau bisa memanggilkan seorang pelayan wanita untuk menggantikan pakaian Nona ini?" tanya pria itu pada seorang room boy.

"Bisa, Tuan. Akan segera saya panggilkan." 

"Cantik, siapa sebenarnya wanita ini?" tanya pria itu terus menatap wajah Aline.

Tak lama, seorang room boy datang ke kamar di mana Aline berada. "Tuan, saya telah membawa pelayan wanita sesuai yang Tuan perintahkan," ucap room boy itu.

"Hmm, kau boleh pergi! Dan kau, gantikan pakaian Nona ini dan bersihkan gaunnya. Aku yang menanggung semua biayanya." Tukas pria itu keluar dari kamar Aline.

"Baik, Tuan."

"Tuan, apa tidak apa-apa Anda membatalkan makan malam dengan Tuan Daniel? Bukankah hal ini akan …,"

"Berikan ponselmu!" perintah pria itu menengadahkan tangannya.

"Ponsel, mana ponselmu?" tanya pria itu lagi.

Pria yang memakai jas serba hitam di sebelah pria itu pun segera memberikan ponselnya dan tanpa diduga, sim card yang ada di ponselnya dicabut dan dipatahkan oleh pria yang membawa Aline ke kamar.

"T-Tuan Baron?!" kejut pria yang juga asisten pribadi dari pria yang bernama Baron Ansel Arsenio itu.

"Beres, kan? Sekarang Tuan Daniel tak akan bisa menghubungimu lagi." Tandas Ansel menguarkan senyumnya.

'Ponselku …,' gumam sang asisten hanya menahan getir melihat sim card dan ponselnya yang di masukkan ke tempat sampah.

"Oh, ya. Apa kau kenal dengan wanita yang baru saja kubawa ke kamar, Billy?" 

"Tidak. Saya tak tahu, Tuan. Apa Anda ingin saya mencari tahu?" tanya Billy datar.

"Kau tahu apa yang biasa kumau, bukan?" Ansel tersenyum.

Krek …

Pintu kamar 204 pun segera terbuka. Pelayan wanita yang menggantikan pakaian Aline pun telah keluar dan membawa gaun yang tadi dikenakannya.

"Saya sudah mengganti baju Nona yang ada di dalam, Tuan. Apa masih ada lagi yang harus saya lakukan?" tanya pelayan wanita itu.

"Tidak ada, terima kasih." Sahut Ansel memberikan tip pada pelayan wanita itu.

"Anda mau ke mana, Tuan Ansel?" tanya Billy melihat Ansel hendak melangkah.

"Sebaiknya biar saya saja, Tuan yang masuk ke dalam. Jika ada seseorang yang melihat Anda masuk ke dalam kamar dan terlihat bersama seorang wanita, maka reputasi Anda akan tercemar." Jelas Billy meyakinkan Ansel.

"Begitu? Jika begitu, maka lebih baik kita tak usah masuk saja dan biarkan wanita di dalam sana sendirian." Sahut Ansel santai sambil melihat jam di tangannya.

"Tuan …,"

Ansel tiba-tiba mengangkat tangannya memberi tanda jeda akan pembicaraan mereka. "Ada apa, Tuan?"

"Kita pulang. Aku tak mau kupingku merah karena wanita penyihir itu." 

"Kalau begitu, saya akan segera siapkan mobil, Tuan."

"Hmm, baiklah."

Setelah asisten Billy pergi, Ansel masuk ke dalam President Suite itu dan melihat Aline yang sedang tertidur pulas dalam balutan piyama hotel warna putih.

"Siapa dia? Wajahnya seperti tak asing." Ucap Ansel berjalan mendekati Aline dan berdiri di sisi kanan ranjang King Size. "siapa dirimu, Nona? Mungkinkah kita akan bertemu lagi?"

Ketika Ansel hendak membalikkan badannya, tiba-tiba Aline memegang tangannya dan ….

BUGH!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status