"Ada satu syarat yang bisa saya tawarkan pada Nona Aline jika Anda ingin saya kembali melanjutkan cerita itu lagi." Jelas sang Penulis Bertopeng seraya mengayun-ayunkan wine yang ada di dalam gelas kaki panjang tersebut.
"Apa syaratnya? Katakan!" Aline seakan memerintah.
"Cukup mudah."
Seakan mengulur waktu, Penulis Bertopeng itu meneguk wine di dalamnya dengan penuh kenikmatan dan meresapi rasa manis-pahit Bordeaux yang telah dipesannya. Aline yang merasa dipermainkan langsung naik darah dan menggebrak meja berisi pastry hingga beberapa di antaranya jatuh ke lantai.
"Tuan, saya datang ke sini untuk bicara mengenai keberlangsungan hidup perusahaan dan bukan melihat Anda menikmati red wine sambil mendengarkan ucapan gila Anda! Apa Anda tahu karena ulah Anda berapa banyak kerugian yang akan saya derita? Juga nasib para pekerja di bawah Aline Publishing, hah!?" Emosi dan suara lantang Aline begitu menguar di taman.
"Yasudah, seperti yang saya katakan tadi. Bagaimana jika saya tawarkan sebuah penawaran yang sangat bagus pada Anda? Bukankah penawaran yang saya berikan cukup MUDAH bagi Anda, Nona Aline?" Sebuah seringai layaknya seorang mafia disematkan Penulis Bertopeng pada Aline.
Aline mengerutkan dahinya, memijat-mijat alisnya dan berkata, "Kenapa perusahaan saya bisa sampai bekerja sama dengan penulis macam Anda, hah? Jika saya tahu penulis emas Aline Publishing adalah seseorang yang berpikiran picik, sempit, dan vulgar ...," Aline melirik ke arah Penulis Bertopeng, "saya akan segera memutuskan kontrak dengannya dan akan membuat karir menulisnya HANCUR!" tandas Aline.
"Hahaha, benarkah Anda bisa melakukannya?" Sang Penulis Bertopeng mendekatkan wajahnya pada Aline dan menatapnya lekat melalui dua buah celah topeng matanya.
"Anda pikir saya takut? Tak bisa?" tanya Aline dengan nada menantang.
"Baiklah! Lakukan sesuka hati Anda dan kita lihat, apakah setelah saya keluar dari Aline Publishing Anda masih bisa mendongakkan kepala Anda atau sebaliknya." Senyum Penulis Bertopeng menjauhkan wajahnya dari Aline.
Aline terdiam, memandang punggung lebar nan gagah penulis itu lekat. "Kenapa diam, Nona Aline? Apa Anda telah menyadari kata-kata saya?"
Mengepalkan tangan, Aline dengan tatapan tajam menusuk berkata, "Apa seperti ini cara seorang novelis terkenal menyelesaikan masalah? Ranjang?" sindir Aline.
"Nona Aline ... Nona Aline, apa Anda lupa cerita seperti apa yang saya tulis? Atau ... Anda memang tak pernah membaca cerita saya?" tanya sang Penulis.
"Aku tak punya waktu!" jawab Aline seenaknya.
"Waktu?"
Penulis Bertopeng itu menghampiri Aline dan kali ini ekspresi yang ditunjukkannya jauh berbeda dan ... menyeramkan.
"Jika untuk memahami suatu tulisan saja Anda tak punya waktu, lalu bagaimana Anda memahami seseorang yang Anda sukai? Bagaimana Anda memahami para pekerja di perusahaan Anda? Bagaimana Anda memahami seseorang yang peduli pada Anda? Di sini, bukan saya yang berpikiran picik dan sempit, tapi ANDA, NONA ALINE!" kali ini suara dari Penulis Bertopeng yang lantang bersuara di depan Aline hingga membuatnya menaikkan bahu.
"Hah, saya kecewa. Sungguh, saya sangat kecewa Nona Aline. Kita memang jarang atau bisa dibilang ini adalah pertemuan pertama kita. Tadinya saya berharap saya bisa melihat sesuatu yang berbeda dari CEO yang terkenal akan tangan dinginnya membentuk talenta dan bakat terpendam penulis yang tak terkenal menjadi terkenal. Tapi, ternyata hanya sebatas ini kemampuan Anda, Nona Aline? Ckckck, sungguh saya sangat membuang-buang waktu dan tenaga." Jelas sang Penulis tersenyum penuh sindiran.
"Apa yang Anda katakan barusan? Tarik ucapan Anda! Memangnya siapa Anda berhak menilai dan menghakimi saya? Mengatakan sesuatu yang belum tentu Anda ketahui kebenarannya? Sejujurnya, Anda sudah mulai berada di batas Anda seharusnya berada, Tuan Penulis Bertopeng!" ketus Aline mengepalkan tangannya erat.
"Siapa bilang saya tak tahu Anda, Nona Aline?"
"A-apa? Apa maksud Anda?" tanya Aline terkejut.
"Siapa yang tak kenal seorang Aline Von Otto Geischt Haimen? Putri seorang aristokrat ternama dan memiliki pengaruh besar di kota ini. Apa Anda pikir semua orang tak tahu Anda, Nona Aline?"
"Jika Anda tahu saya, maka seharusnya Anda tak bisa berkata vulgar dan menyuruh saya ...," Aline mengatupkan bibirnya.
"Berkata vulgar? Mana ucapan saya yang menurut Anda VUL--GAR, Nona Aline?" sang Penulis Bertopeng berjalan menghampiri Aline.
"M-mau apa Anda?" ekspresi takut dan khawatir ditunjukkan Aline.
"Jelaskan pada saya, ucapan saya yang mana yang menurut Anda vulgar, supaya saya bisa mengoreksinya."
Aline mulai tak nyaman, dia tak sengaja mendorong tubuh sang penulis dengan cukup kencang, namun justru Aline-lah yang hampir terpeleset dan terjatuh. Sang penulis menolong Aline dengan memegang pinggang serta salah satu tangan Aline hingga kedua pasang netra mereka bertemu. Aline yang menatap lekat kedua mata tajam nan seksi penulis itu seakan larut bagaikan air di lautan luas. "Apa ini tandanya Anda menerima tawaran saya, Nona Aline?"
Seketika Aline tersadar dan bangun dari pelukan sementara sang Penulis Bertopeng. Wajahnya tanpa sadar merah padam serta telinga yang terus berdenging menahan malu dan sungkan.
"Kenapa diam? Jadi, bagaimana? Apa Anda bersedia?" tanya Penulis Bertopeng sambil memamerkan senyumnya dengan barisan gigi putih miliknya.
"Anda bukan orang yang pantang menyerah, ya? Jika Anda ingin tahu jawaban saya, datanglah ke kantor esok hari dan saya pastikan Anda akan dapatkan jawaban yang diinginkan."
"Kenapa bukan sekarang? Apa ada sesuatu kenapa harus esok?" tanya sang penulis berusaha memancing.
"Antara ada dan tiada, Tuan Penulis Bertopeng. Lagipula, bukankah Anda sendiri yang mengatakan jika saya harus memiliki waktu untuk mengenal orang lain, dan saya akan mulai melakukan seperti yang Anda katakan. Bagaimana?" kali ini Aline yang membalikkan semua ucapan sang Penulis Bertopeng.
"Hahahahhah, saya suka dengan ucapan Anda, Nona Aline." Sang Penulis Bertopeng mengulurkan tangannya, "mungkin saya sah mengenai Anda di awal, tapi kini saya yakin jika saya tak salah berada di bawah naungan perusahaan Anda, Nona Aline dan ke depannya kita bisa lebih akrab lagi dan menjadi relasi yang baik." Ucap Penulis Bertopeng menjabat tangan Aline.
"Ya, saya pun berharap demikian, Tuan Penulis Bertopeng. Semoga Anda bisa sukses di bawah naungan perusahaan kami dan semoga Anda betah dan selalu menelurkan karya-karya yang hebat!" Aline tak mau kalah.
"Kalau begitu, bagaimana jika kita bersulang untuk kesuksesan di masa yang akan datang?" Sang Penulis Bertopeng menuangkan red wine ke dalam gelas milik Aline dan miliknya dan memberikan padanya.
"Nona Aline, bolehkah saya bertanya sesuatu yang sedikit agak pribadi?"
"Silakan."
"Anda .... apakah sudah menikah?"
Aline terdiam dan menatap Penulis Bertopeng datar. "Kenapa Anda bertanya demikian?"
"Oh, maaf jika Anda merasa tak nyaman dengan pertanyaan saya. Tidak usah dipikirkan."
"Anda ingin saya jawab apa, Tuan Penulis Bertopeng?"
"Apa? Apa maksud Anda, Nona Aline?"
"Bukankah saya terkenal? Bukankah keluarga saya merupakan salah satu keluarga yang memiliki pengaruh besar dan kuat di kota ini? Seharusnya Anda tahu apa status saya." Senyum Aline seakan menyindir.
"Kalau begitu, maaf."
"Untuk apa?" tanya Aline penasaran.
"Jika Anda sudah menikah, tentu ucapan yang tadi saya ucapkan sungguh keterlaluan dan memalukan juga ...,"
"Juga apa?" sahut Aline langsung.
"Merendahkan Anda, Nona Aline."
"Anda ternyata tak buruk juga, Tuan Penulis Bertopeng. Sepertinya saya salah telah menilai Anda dengan kata-kata tadi." Aline melemparkan senyum manisnya kepada 'orang asing' di depannya.
"Tapi, mungkinkah penawaran yang saya ucapkan tadi bisa Anda kabulkan, Nona Aline?"
"A-apa!?" Aline membelalakkan matanya dan menjatuhkan gelasnya.
"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline.""Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman."Apa Anda masih mau tidur denganku?"PLAK!Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa."Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut."Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan A
Grep!u Buagh!T Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat. 'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline. Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala. "Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" [Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?] "Aku sibuk, baru sele
Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing, Aline von Otto Geischt Haimen. Wanita dengan tipe yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantor dan menghabiskan waktu di sana. Namun kali ini isu kedatangannya yang tiba-tiba membuat geger dan gempar seisi perusahaan."Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.
"Tekan lantai 8!" perintah Aline menatap lurus ke depan pintu lift yang merangkak naik menuju lantai yang dituju.'Lantai 8? Bukannya itu …,' gumam Rosaline membatin sambil menekan tombol angka 8.Tak lama, pintu lift yang dinaiki oleh Aline dan Rosaline berhenti di lantai 8. Lantai di mana ruangan Melda Johansen, wakil direktur Aline Publishing berada. Lantai yang terkenal dengan sebutan 'Lantai Panas' oleh para karyawan di sana karena kerap kali terjadi perseteruan antara wakil direktur dan editor in-chief.Bunyi sepatu yang nyaring dengan heels yang tinggi cukup menarik perhatian para karyawan yang ada di lantai tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti ketika melihat Aline dan Rosaline berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegas."S--sel
"Anda?? Nona Aline??" Melda langsung terperanjat ketika melihat Aline berdiri tepat di hadapan mereka."Selamat pagi, Bu Melda, Pak Georgio." Sapa Aline dengan senyum mengembang."Selamat siang, Nona Aline." Balas Georgio dengan senyuman santai."S--selamat siang, No--Nona Aline." Melda membalas sapaan Aline sambil tertunduk."Siang? Kupikir ini pagi. Ternyata sudah siang, ya?" seloroh Aline bernada menyindir."Ada perlu apa Nona datang ke lantai 8? Bukankah Anda bisa memanggil kami untuk datang ke tempat Anda? Tak perlu repot-repot Anda yang harus datang, Nona." Melda berucap."Hahahhahaa, Bu Melda ini lucu sekali, ya. Memangnya kenapa jika saya sekali-sekali mengunjungi lantai panas di perusahaan ini? Apa salah jika
KJeffrey Smith Nicholas Anderson atau biasa disapa Jeffrey Anderson adalah seorang pria dengan wajah bak Leonardo di Caprio, senyum semanis Antonio Banderas dan tubuh atletis dengan dada bidang dan perut bak roti sobek yang kerap membuat para wanita tak dapat melepaskan pandangannya dari lelaki berambut hitam lurus dan mata biru saphire miliknya itu.Jeffrey bukanlah seseorang yang dilahirkan dari keluarga berada layaknya sang istri, Aline von Otto Geischt Haimen. Namun, berkat kepintaran serta daya analisisnya yang tinggi, Jeffrey berhasil menamatkan kuliahnya di sebuah universitas bergengsi di dunia dengan predikat summa cum laude. Tak hanya itu, Jeffrey yang ternyata juga seorang ahli bahasa dan strategi pernah menjadi salah satu kandidat untuk posisi dosen di tempatnya
"Selamat siang, Nona Rosaline. Apa Nona Aline ada di ruangannya?" tanya Georgio yang kini telah berada di depan sebuah ruangan besar dan berdiri sendiri tanpa ada ruangan apa pun, kecuali meja untuk sang asisten pribadi."Ada, sebentar. Saya tanyakan pada beliau dulu."Rosaline lantas masuk ke dalam ruangan Aline dan tak lama setelahnya, wanita berparas ayu itu keluar sambil berujar, "Silakan masuk, Tuan Georgy. Nona sudah menunggu Anda di dalam.""Selamat siang, Nona Aline." Sapa Georgy melihat Aline yang tengah menulis di meja kerjanya."Siang dan silakan duduk, Tuan Georgy." Balas Aline menutup pena yang ia pegang sambil menatap datar padanya, "semoga kabar baik yang aku dengar dari Anda." Tambah Aline tersenyum."Sebenarnya …,"