"Selamat siang, Nona Rosaline. Apa Nona Aline ada di ruangannya?" tanya Georgio yang kini telah berada di depan sebuah ruangan besar dan berdiri sendiri tanpa ada ruangan apa pun, kecuali meja untuk sang asisten pribadi.
"Ada, sebentar. Saya tanyakan pada beliau dulu."
Rosaline lantas masuk ke dalam ruangan Aline dan tak lama setelahnya, wanita berparas ayu itu keluar sambil berujar, "Silakan masuk, Tuan Georgy. Nona sudah menunggu Anda di dalam."
"Selamat siang, Nona Aline." Sapa Georgy melihat Aline yang tengah menulis di meja kerjanya.
"Siang dan silakan duduk, Tuan Georgy." Balas Aline menutup pena yang ia pegang sambil menatap datar padanya, "semoga kabar baik yang aku dengar dari Anda." Tambah Aline tersenyum.
"Sebenarnya …,"
"Sebenarnya apa? Katakan! Jangan buang waktuku!" desak Aline.
"Penulis Bertopeng bersedia untuk bertemu dengan Anda. Beliau juga telah mengirimkan alamat tempat Nona dan sang penulis akan bertemu."
"Bagus!" Aline menjentikkan jarinya.
"Lalu, di mana kami akan bertemu?"
"Hotel Bellmount, pukul 7 malam esok, Nona."
Aline tersenyum mengembang, "Hmmmm, sepertinya dia memiliki selera yang bagus, ya."
"Maaf, Nona, apa Anda mengatakan sesuatu?" tanya Georgy menatap datar ke arah Aline.
"Tidak! Terima kasih atas berita bagusnya, Anda bisa meninggalkan ruangan saya." Ucap Aline tanpa basa-basi dan hanya sekilas melempar senyumnya.
Georgy tampaknya tak terkejut sama sekali dengan sikap CEO-nya itu. Dengan santai dan balasan senyum, dia berujar, "Saya permisi dulu, Nona. Tapi, apa Anda akan ke sana sendiri? Tak perlu …,"
"Tak perlu! Aku akan ke sana sendiri! Sipakan Anda keluar, saya masih banyak pekerjaan," tegas Aline sekali lagi tanpa melihat Georgy.
"Baik, Nona. Saya mengerti."
'Benar-benar wanita yang dingin dan ambisius. Aku heran kenapa tuanku sangat menyukai tipikal wanita seperti Nona Aline.' Georgy terus melajukan langkahnya keluar ruangan Aline dan menuju lift yang tak jauh dari meja kerja sang asisten pribadi Aline.
****
Jeffrey yang sudah kembali ke rumahnya, pergi ke sebuah ruang rahasia dan tersembunyi miliknya yang berada di lantai bawah kediaman mereka. Sebuah ruang yang berbentuk terowongan, gelap dan lembab. Namun siapa sangka, jalan yang menyeramkan menuju secret chamber milik Jeffrey justru menyimpan hal tak terduga. Kamar yang minimalis dengan satu ranjang ukuran medium, meja kerja juga dengan ukuran medium, lampu duduk dengan pencahayaan yang pas serta almari dengan banyak buku novel dari para novelis terkenal seluruh dunia.
Selain itu, di ruang rahasia miliknya, juga terdapat satu almari kecil yang ber-etalasekan kaca dan memuat baju layaknya tuksedo dengan topeng warna kuning emas dengan tali sebagai pengikatnya. Topeng yang hanya menutupi mata hingga garis hidung itu diambil oleh Jeffrey dan di depan sebuah cermin yang tak terlalu besar, ia mulai mengikat topeng tersebut ke wajahnya, melihat dirinya ke cermin tersebut. Rambutnya yang lurus mulai ditata dengan gaya comb over. "Apa dia akan mengenaliku?" ucap Jeffery melihat dirinya dengan puas.
Tak hanya bentuk rambut yang ia ubah. Jeffrey juga mengenakan lensa kontak berwarna biru saphire dengan warna birunya mencapai hampir 90%, mata biru nan seksi yang akan mengelabui sang CEO dan menyembunyikan identitasnya. Wangi mint yang sering ia pakai juga ia ganti menjadi wangi vanilla, sebuah wangi yang tajam namun lembut dan memberikan kesan menggoda bagi lawan bicara.
"Kita akan segera bertemu, nona CEO." Ujar Jeffrey tersenyum puas akan penampilannya dan segera meninggalkan ruang rahasianya menuju tempat di mana ia akan bertemu dengan 'sang kepala' untuk kali pertama.
****
Pukul 6 sore, Aline bersiap akan meninggalkan ruangannya dan bertemu dengan Penulis Bertopeng. Sadar akan penampilan, dia pun segera mengubah dirinya dengan riasan nude, namun tetap terkesan flawless dan mewah. Pakaian kerja yang ia kenakan pun kini telah berganti menjadi off-shoulders dress hitam dipadu padan dengan open-toe shoes serta sebuah kalung berlian dengan ber-liontikan blue dark diamond besar serta tas hermes hitam bertabur swarovski menambah paripurna penampilan Aline.
"Rosaline, kau pulang saja. Tak usah menungguku. Aku sedang ada urusan." Ucap Aline keluar dari ruangannya dan melihat Rosaline masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Baik, Nona. Saya mengerti, terima kasih." Balas Rosaline tersenyum.
Langkah Aline yang tegas dan mantap tampak ditunjukkan dari derap langkahnya melalui sepatu heels-nya. Para pegawai yang melihat Aline sangat terpukau dengan penampilan sang CEO. Melewati lobby lantai dasar, netranya melirik ke meja resepsionis yang tak jauh dari pintu masuk utama perusahaan, senyum menyeringai ia unggah di wajah cantiknya kala melihat tiada lagi wanita yang bernama Lisa di meja itu. "Well done, Rosaline. Seperti itulah caraku bekerja!" ucapnya tegas.
"Selamat sore, Nona." Sapa salah satu petugas keamanan membungkukkan badan melihat Aline.
"Hmmm, pastikan semuanya sudah kau periksa dengan teliti! Aku tak mau ada kelalaian di perusahaanku!" perintah Aline masuk ke dalam mobil dan langsung menyalakan mesin Maybach-nya.
"Baik, Nona. Saya mengerti."
Dari kejauhan, Georgy melihat kepergian Aline. Netranya mengamati gerak-gerik sang CEO layaknya seorang mata-mata.
"Semoga semuanya berjalan sesuai rencana, Tuan." Papar Georgy tak lama meninggalkan gedung Aline Publishing.
****
Tepat pukul 7, Hotel Bellmount, Aline yang telah tiba langsung menyasar lobby hotel paling megah dan bintang tujuh di kota itu. Bola mata amber nan besar miliknya tak henti-hentinya menatap laju pengunjung hotel yang ramai dengan segala atribut yang mereka kenakan.
"Selamat malam, Nona. Apakah Anda yang bernama Nona Aline?" Seorang pria berpakaian pramusaji mendatangi Aline.
"Ya, aku Aline."
"Silakan, ini minuman Anda." Segelas tequila dihadapkan di depannya.
"Tapi saya tak memesan apa pun," sahut Aline.
"Minuman ini dari seseorang, Nona." Sahut pramusaji itu tersenyum padanya.
"Seseorang? Siapa?" Aline mulai penasaran.
"Beliau menunggu Anda di taman belakang Hotel Bellmount. Silakan ikut saya, Nona."
"Beliau? Beliau siapa yang Anda maksud?" rasa penasaran Aline semakin lama semakin besar.
"Seseorang yang mengenakan topeng di wajahnya, Nona."
Tanpa pikir panjang, Aline langsung berdiri dan berkata, "Cepat, antarkan aku padanya!"
****
Langkah cepat, rasa penasaran yang tinggi, jantung yang berdegup kencang, semuanya menjadi satu di diri seorang Aline von Otto Geischt Haimen. Netra ambernya tak melirik apa pun, kecuali tempat yang dimaksud oleh sang pramusaji.
"Silakan, Nona. Beliau tengah menunggu di gazibu yang ada di depan sana." Pramusaji tersebut menunjuk sebuah gazibu tak jauh dari tempat mereka berdiri.
"Oke, terima kasih ya, ini untukmu!" Aline memberikan beberapa lembar sebagai tip pada pramusaji tersebut, "baiklah, aku ingin tahu siapa kau sebenarnya, Penulis Bertopeng." Ucapnya melajukan langkahnya pelan namun pasti ke sebuah gazibu.
"Selamat malam, Tuan Penulis Bertopeng. Maaf, telah membuat Anda menunggu lama." Sapa Aline dari arah belakang.
"Tak apa-apa, Nona Aline. Saya juga baru sampai."
Penulis kesayangan perusahaan Aline memimpin itu membalikkn badannya menghadap Aline. Sorot lampu terang gazibu dan temaram lampu taman Bellmount membuat suasana seakan menjadi setting twist layaknya di dalam sebuah novel. "
"Ini pertama kalinya kita bertemu, Tuan …," Aline menjeda ucapannya.
"Panggil saja aku Penulis Bertopeng, seperti orang-orang kebanyakan."
"Anda tak seperti yang kukira," sahut Aline.
"Memangnya Anda mengira saya seperti apa? Dalam ilusi Anda?"
"Kolot, vulgar, old-school, dan …,"
"Dan?"
"Menilik dari tulisan Anda, kupikir Anda adalah orang yang sangat berpatokan pada aturan tertentu mengenai suatu tulisan. Karena bahasa yang Anda gunakan dalam tulisan Anda, meskipun terkesan ringan namun sesungguhnya menyimpan suatu misteri dan teka-teki."
Prok
Prok
Prok
"Bravo, ternyata tak salah jika saya bergabung di penerbitan milik Anda. Anda, seorang wanita yang dikaruniai keindahan tubuh, wajah, juga kata-kata yang Anda ucapkan sungguh … saya benar-benar merasa sangat tersanjung dan terhormat bisa bertemu Anda malam ini." Lelaki bertopeng itu membungkukkan badannya ala bangsawan Eropa.
"Anda terlalu memuji, Tuan. Tapi, bisakah kita mulai membicarakan sesuatu yang lebih serius?" tanya Aline mulai mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius.
Tersenyum, lelaki bertopeng itu kemudian berkata, "Bagaimana jika kita bicarakan hal serius itu sambil menikmati red wine tahun 1920-an ini, Nona Aline?" Lelaki itu menarik kursi putih yang telah disiapkan di gazibu tersebut lengkap dengan anggur merah, serta beberapa pastry kelas wahid.
"Anda tahu bagaimana menyambut tamu, Tuan." Puji Aline duduk dengan senyum mengembang, "Anda suka vanilla?" tanya Aline tiba-tiba.
"Maaf?"
"Parfum Anda. Sangat vanilla sekali, saya suka parfum vanilla. Terasa menyenangkan dan menenangkan."
"Benarkah? Saya hanya asal saja memilih, karena saya suka pecinta ice cream vanilla. Tapi, sungguh saya tak ada maksud lain selain itu."
Basa-basi yang terjadi di antara keduanya cukup membuat Aline mulai 'mengenal' penulis kesayangan perusahaannya itu. Kedua mata dengan beda warna sesekali bertemu serta senyum yang tak pernah lepas dari keduanya, membuat seakan keduanya telah mengenal satu dan lainnya. Lama Aline memperhatikan sang Penulis Bertopeng, "Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanyanya tiba-tiba.
"Maaf, Nona Aline? Maksud Anda?"
"Oh, maaf, mungkin aku salah orang. Fisik Anda tampak tak asing bagiku. Maksudku …,"
"Siapa?"
"Apa?"
"Siapa yang memiliki bentuk fisik serupa dengan saya?" pancing lelaki bertopeng itu.
"Bukan siapa-siapa! Bisakah kita mulai? Tujuan kita bertemu, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tegas.
"Silakan."
"Saya hanya ingin tahu kenapa Anda tiba-tiba ingin menarik dan berhenti melanjutkan novel Anda?"
"Novel saya yang mana, Nona Aline?"
"Cinta Tiada Akhir!" tegas Aline melirik tajam.
"Bosan."
"Apa?"
"Saya hanya bosan. Novel yang saya tulis itu lama-lama terasa hambar, saya merasa seakan terkurung pada dua karakter yang sejatinya tak saya inginkan," jelas lelaki bertopeng itu.
"Jika itu alasan Anda, kenapa Anda menulisnya?"
"Apakah Anda tahu kenapa Tuhan menciptakan alam semesta?" tanyanya.
"Bukti kuasa-Nya?" sahut Aline ragu.
"Jika Tuhan mengintepretasikan kuasa-Nya dalam bentuk alam semesta, menurut Anda bagaimana dengan penulis?" tanyanya mengulas senyum di balik wajah topengnya.
"Melalui tulisan!" mantap Aline menjawab.
Tak lama, lelaki bertopeng itu berdiri ke samping Aline dan hampir mendekati wajahnya. "Mau apa kau!?" kejut Aline spontan menjauhkan wajahnya.
"Apa Anda takut jika saya menghentikan novel itu, Aline Publishing akan merugi?"
"Tentu saja! Apa Anda akan membayar semua biaya produksi dan operasional yang telah kami keluarkan? Biaya promosi, iklan? Apa Anda sanggup menggantinya?" tanya Aline sinis.
"Hahaha, saya tak sekaya Anda, Nona Aline. Tapi …,"
"Tapi? Tapi apa?" tanya Aline penasaran.
"Saya punya penawaran yang lebih baik. Itu pun jika And setuju."
"Apa itu? Cepat katakan! Aku tak suka membuang-buang waktu!" tegas Aline.
"Penawaranku adalah, Anda tidur denganku dan aku akan melanjutkan novelku."
"APA!!"
"Ada satu syarat yang bisa saya tawarkan pada Nona Aline jika Anda ingin saya kembali melanjutkan cerita itu lagi." Jelas sang Penulis Bertopeng seraya mengayun-ayunkan wine yang ada di dalam gelas kaki panjang tersebut."Apa syaratnya? Katakan!" Aline seakan memerintah."Cukup mudah."Seakan mengulur waktu, Penulis Bertopeng itu meneguk wine di dalamnya dengan penuh kenikmatan dan meresapi rasa manis-pahit Bordeaux yang telah dipesannya. Aline yang merasa dipermainkan langsung naik darah dan menggebrak meja berisi pastry hingga beberapa di antaranya jatuh ke lantai."Tuan, saya datang ke sini untuk bicara mengenai keberlangsungan hidup perusahaan dan bukan melihat Anda menikmati red wine sambil mendengarkan ucapan gila Anda! Apa Anda tahu karena ulah Anda berapa banyak kerugian yang akan saya derita? J
"Tapi penawaranku masih tetap berlaku, Nona Aline.""Apa maksud Anda, Tuan Penulis Bertopeng?" tanya Aline tak nyaman."Apa Anda masih mau tidur denganku?"PLAK!Tamparan kencang Aline dengan mulus mendarat di pipi Penulis Bertopeng. Warna merah terlihat jelas di pipi putih mulusnya, Aline masih menatapnya dengan penuh kekesalan. Setelah puas, Aline langsung membalikkan badannya namun tiba-tiba sang Penulis merangkul pinggang rampingnya dan menariknya layaknya orang yang sedang berdansa."Le-lepaskan aku!" perintah Aline sambil terkejut."Dan jika aku tak mau?" seloroh sang Penulis.Aline mendorong dengan kuat sang penulis hingga tangannya terlepas dari pinggang Aline dan A
Grep!u Buagh!T Tubuh Ansel langsung jatuh di kasur yang juga sedang ditiduri oleh Aline. Tanpa sadar, Aline menjadikan Ansel sebagai 'guling' hidup dan memeluknya erat. 'W-wanita ini! Apa dia tahu apa yang sedang ia lakukan?' Gumam Ansel saat berhadapan tepat di wajah Aline. Ddrrtt … ddrrtt … ddrrtt Getar ponsel milik Ansel yang berada di sisi kantong celana sebelah kanannya membuatnya terkejut dan langsung melepaskan rangkulan tangan Aline. Dengan cepat ia merogoh kantong celananya dan mengatur napasnya seperti sedia kala. "Hah, lagi-lagi si nenek lampir!" keluhnya melihat nama 'Mama' di layar ponselnya. "Ada apa, Ma?" [Ansel, di mana kamu? Kenapa belum pulang juga?] "Aku sibuk, baru sele
Suara nyaring sepatu heels warna hitam model strapy shoes dari seorang wanita yang mengenakan sheath dress menggemparkan Aline Publishing, sebuah perusahaan penerbitan terbesar di Kota Dansk dan satu dari lima penerbitan yang memiliki saham paling stabil di bursa efek. Wanita berambut coklat gelap, dengan alis tebal dan meruncing tersebut adalah pemimpin, pemilik, sekaligus CEO Aline Publishing, Aline von Otto Geischt Haimen. Wanita dengan tipe yang tak akan membuang waktu hanya untuk urusan sepele dan tak penting, sehingga dirinya jarang sekali berada di kantor dan menghabiskan waktu di sana. Namun kali ini isu kedatangannya yang tiba-tiba membuat geger dan gempar seisi perusahaan."Sayang, sarapan sudah siap. Kapan kau akan bangun?" tanya Aline teriak sembari menyiapkan dua buah piring khas Belanda di atas meja makan yang tak terlalu besar.
"Tekan lantai 8!" perintah Aline menatap lurus ke depan pintu lift yang merangkak naik menuju lantai yang dituju.'Lantai 8? Bukannya itu …,' gumam Rosaline membatin sambil menekan tombol angka 8.Tak lama, pintu lift yang dinaiki oleh Aline dan Rosaline berhenti di lantai 8. Lantai di mana ruangan Melda Johansen, wakil direktur Aline Publishing berada. Lantai yang terkenal dengan sebutan 'Lantai Panas' oleh para karyawan di sana karena kerap kali terjadi perseteruan antara wakil direktur dan editor in-chief.Bunyi sepatu yang nyaring dengan heels yang tinggi cukup menarik perhatian para karyawan yang ada di lantai tersebut. Beberapa dari mereka bahkan berhenti ketika melihat Aline dan Rosaline berjalan dengan kepala tegak dan langkah tegas."S--sel
"Anda?? Nona Aline??" Melda langsung terperanjat ketika melihat Aline berdiri tepat di hadapan mereka."Selamat pagi, Bu Melda, Pak Georgio." Sapa Aline dengan senyum mengembang."Selamat siang, Nona Aline." Balas Georgio dengan senyuman santai."S--selamat siang, No--Nona Aline." Melda membalas sapaan Aline sambil tertunduk."Siang? Kupikir ini pagi. Ternyata sudah siang, ya?" seloroh Aline bernada menyindir."Ada perlu apa Nona datang ke lantai 8? Bukankah Anda bisa memanggil kami untuk datang ke tempat Anda? Tak perlu repot-repot Anda yang harus datang, Nona." Melda berucap."Hahahhahaa, Bu Melda ini lucu sekali, ya. Memangnya kenapa jika saya sekali-sekali mengunjungi lantai panas di perusahaan ini? Apa salah jika
KJeffrey Smith Nicholas Anderson atau biasa disapa Jeffrey Anderson adalah seorang pria dengan wajah bak Leonardo di Caprio, senyum semanis Antonio Banderas dan tubuh atletis dengan dada bidang dan perut bak roti sobek yang kerap membuat para wanita tak dapat melepaskan pandangannya dari lelaki berambut hitam lurus dan mata biru saphire miliknya itu.Jeffrey bukanlah seseorang yang dilahirkan dari keluarga berada layaknya sang istri, Aline von Otto Geischt Haimen. Namun, berkat kepintaran serta daya analisisnya yang tinggi, Jeffrey berhasil menamatkan kuliahnya di sebuah universitas bergengsi di dunia dengan predikat summa cum laude. Tak hanya itu, Jeffrey yang ternyata juga seorang ahli bahasa dan strategi pernah menjadi salah satu kandidat untuk posisi dosen di tempatnya