"Kau akan jadi budakku selamanya!"
"Selamanya!""Selamanya!""Selamanya!"Suara itu terus berdengung di kepala Felisha."Tidak!"Gadis itu menjerit ketakutan. Terbangun dari pingsan yang terjadi hampir dua jam lamanya.Dilihatnya ruangan kamar yang sudah satu tahun ia tinggali. Kamar ber-design lembut, dengan cat cream yang mendominasi, adalah tempat ternyaman gadis itu selama tinggal di kediaman Alan Tanujaya, kakak iparnya. Suami Dina, kakak perempuan satu-satunya. Yang menurut kabar yang didapat, kabur meninggalkan suami dan anaknya dengan seorang lelaki yang ternyata adalah mantan kekasihnya dulu. Yang ternyata tak pernah putus meski Dina menikah dengan Alan, tiga tahun lalu.Ya, Felisha baru tahu setelah mendengar info dari salah seorang asisten rumah yang sudah lama bekerja di kediaman keluarga kaya raya tersebut. Felisha yang akhirnya bisa keluar dari kamar Alan, setelah lelaki itu berbuat tak senonoh padanya, mendapat kabar tersebut saat akan kabur dari rumah.Rupanya Alan yang pergi setelah mendapat kabar bahwa sang ayah kritis di rumah sakit, meminta penjaga untuk menahan Felisha agar tidak keluar dari rumahnya. Hal itu diketahui ketika ia yang tak lagi berpikir untuk mengambil barang apapun di kamar sebab hanya pintu dan gerbang besar yang menjadi tujuannya, kemudian harus terhenti karena ditahan oleh dua orang penjaga."Kami diperintahkan oleh Tuan Alan supaya Anda tidak kemana-mana, Nona." Salah seorang penjaga memberi tahu.Felisha yang sebelumnya sudah merasa lega sebab bisa keluar dari kamar Alan, nyatanya masih belum bisa bebas dari sosok kakak iparnya itu. Ia yang sempat berjuang keluar, menerobos pertahanan penjaga, harus menerima kekalahan ketika ia kemudian dipaksa untuk dibawa masuk ke kamarnya dengan cara dipanggul.Saat tiba di kamar itulah, ia dihampiri seorang pelayan wanita senior. Bu Rumi memberi tahunya jika Dina pergi pagi tadi setelah dijemput oleh seorang laki-laki dengan ciri-ciri yang Felisha tahu adalah Gani, kekasih kakaknya dulu."Nyonya hanya menitipkan surat kepada tuan di kamarnya. Mungkin isi surat itulah yang membuat tuan marah dan meminta kami untuk menahan Anda di rumah ini supaya tidak kemana-mana."'Tidak kemana-mana? Kenapa aku tidak boleh kemana-mana?' batin Felisha bertanya."Lalu, di mana Rafael?" Hanya itu yang kemudian Felisha tanyakan sebelum ia akhirnya jatuh pingsan.Saat tersadar, Felisha sudah dalam kondisi lemah dan lelah. Pakaian yang ia kenakan sebelumnya sudah berganti dengan pakaian lain. Sempat membuatnya kaget karena takut jika seseorang yang mengganti pakaiannya menatap sinis dan curiga sebab banyak tanda kemerahan di dadanya sebab ulah Alan, akhirnya lega sebab Bu Rumi-lah orang di balik penampilan Felisha sekarang. Wanita paruh baya itu memberi tahunya tak lama setelah Felisha tersadar."Tuan Alan tak akan kembali sebab Tuan Adi masih belum melewati masa kritis," ucap Bu Rumi yang tengah malam itu membawa makanan untuk Felisha.Tapi, sepertinya Felisha tak peduli dengan informasi yang wanita itu sampaikan. Apalagi makanan yang dibawakan oleh Bu Rumi, meski merupakan makanan mewah dan lezat, sama sekali tidak membuat Felisha berselera."Rafael!" Tiba-tiba Felisha kembali teringat pada keponakannya.Gadis itu pun kemudian bergegas untuk turun hingga Bu Rumi menahannya."Tuan muda sudah tertidur pulas. Memang sempat menanyakan Non Feli, tetapi pengasuhnya mampu menangani tuan muda dengan baik sehingga bisa mengerti ketika di beri tahu kalau Non Feli sedang tidak enak badan."Felisha menatap Bu Rumi tak mengerti. Bagaimana bisa wanita paruh baya itu terlihat biasa dan santai meski saat ini telah terjadi kekacauan dan masalah yang datang bertubi-tubi. Bahkan, wanita itu juga tahu jika tak enak badan yang Felisha rasakan itu karena ulah majikannya yang tiba-tiba berubah."Apa sudah ada kabar dari kakak saya? Apa nomornya bisa dihubungi?" tanya Felisha seraya mengambil ponsel miliknya setelah pasrah dan kembali duduk di atas ranjang."Kami tidak punya hak mencari tahu atau mencari informasi apapun sebab itu bukan tugas dan pekerjaan kami," ucap Bu Rumi, lagi-lagi datar.Felisha menengok sebentar sebelum ia kemudian kembali menatap layar ponsel di mana nama sang kakak tertera di layar, tetapi tak kunjung terhubung."Hp-nya tidak aktif," gumam Felisha kecewa. Kini ia seperti yakin jika kabar mengenai kakaknya yang Alan dan Bu Rumi sampaikan benar adanya.'Kak Dina, kamu ini sebenarnya di mana? Kenapa tidak dibicarakan baik-baik sebelum pergi? Kenapa harus dengan cara seperti ini, Kak?' batin Felisha sedih. Ia benar-benar kecewa dengan tindakan sang kakak yang kabur tanpa cerita lebih dulu padanya.Setidaknya jika Felisha tahu, mungkin ia bisa memberi solusi supaya kakaknya menggugat cerai suaminya dulu atau minimal ia yang lebih dulu pergi sebelum akhirnya harus jadi sandera sebab ulah kakaknya yang menurutnya jahat.'Kamu jahat, Kak! Jahat sekali!'Ponsel di tangan sudah terjatuh. Rasa sesak sebab aksi Dina yang sudah membuatnya terkurung di kediaman Alan, membuat tangis Felisha kembali terjadi. Dengan tangan memeluk kakinya yang ditekuk, gadis itu membenamkan wajah ke lipatan tangan. Menangis sesenggukan, meratapi nasibnya yang tak jelas."Saya harap Anda mau makan, Nona. Sebab saya tidak ingin melihat tuan kembali marah bila melihat Anda diam seperti ini.""Apa hubungannya dengan saya yang tidak mau makan, Bu?" Felisha bertanya bingung."Saya sendiri tidak tahu. Tapi, sejak sore Anda memang belum makan. Saya pikir Tuan Alan akan marah kalau Anda tidak menuruti perintahnya atau mengabaikan setiap ucapannya.""Saya ini cuma ipar, Bu. Bukan istrinya atau pacarnya. Kenapa ia harus marah kalau saya tidak makan. Jika pun saya mati sebab kelaparan, saya pikir Kak Alan akan senang.""Saya rasa tidak. Justru tuan akan marah kalau Anda mati karena kelaparan." Bu Rumi bicara sembari mendekatkan nampan yang ia bawa ke depan Felisha.Wanita itu kembali berdiri dan menatap gadis di depannya yang juga tengah melihat ke arahnya."Apa maksud Ibu? Apakah saya tidak boleh mati sebab akan Kak Alan jadikan objek pelampiasan dendamnya?"Wanita itu diam.***Tak ada sahutan dari mulut Bu Rumi. Itu tandanya jika tebakan Felisha tidaklah keliru atau mungkin perempuan itu memang tidak tahu apapun. 'Kaak, aku mohon kembali. Aku tidak mau menjadi korban atas kepergian kamu.' Sembari menunduk, batin Felisha menangis. 'Tak rindukah kamu pada Rafael? Anak itu masih butuh dirimu sebagai ibunya. Setidaknya bawalah Rafael serta dan tidak membuat anak itu sendirian di sini yang pasti akan mencari dirimu nanti.'Di saat Felisha tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, di tempat lain Alan terlihat gelisah di depan ruangan ICU rumah sakit di mana sang papa tengah ditangani di dalamnya. Lelaki itu duduk di sebuah bangku panjang. Bersama seorang lelaki paruh baya yang adalah asisten papanya, ia berdoa pada Tuhan supaya papanya bisa melewati masa kritis yang sudah lebih dari dua jam berjalan dan masih belum ada hasil. 'Tuhan! Andai bisa, tukarlah tubuhku ini dengan tubuh papa yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana,' batin Alan berdoa dalam
Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya. Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka. Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bic
"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia
Kamar mandi di mana Felisha berada saat ini sama luasnya dengan ruang tidurnya. Tak terlihat seperti kamar mandi sebab ruangannya yang bersih dan mengkilap, tak ubahnya dengan ruang keluarga kalau tidak gadis itu melihat ornamen-ornamen yang membedakan. Dari cermin berbentuk oval di atas wastafel, bath tub besar yang juga berbentuk oval berwarna putih bersih, juga tirai yang ada di sudut paling dalam di mana Alan berjalan melangkah ke arahnya. Jangan menyebut sabun, sampo, sikat atau pasta gigi, semua lengkap terlihat di salah satu lemari susun tak berpintu. Entah apa yang ada di benak Alan saat ini setelah ia meminta adik iparnya untuk membantunya mandi. Lelaki itu seperti berubah sifat dan sikapnya setelah sang istri kabur dari rumah. "Tidak mungkin aku melakukan itu, Kak. Aku pikir Kak Dina juga tidak melakukan hal tersebut bukan?""Jangan sebut nama perempuan itu lagi di hadapanku! Kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan atau kamu tahu resiko atas penolakanmu itu."Tadinya F