Tak ada sahutan dari mulut Bu Rumi. Itu tandanya jika tebakan Felisha tidaklah keliru atau mungkin perempuan itu memang tidak tahu apapun.
'Kaak, aku mohon kembali. Aku tidak mau menjadi korban atas kepergian kamu.' Sembari menunduk, batin Felisha menangis.'Tak rindukah kamu pada Rafael? Anak itu masih butuh dirimu sebagai ibunya. Setidaknya bawalah Rafael serta dan tidak membuat anak itu sendirian di sini yang pasti akan mencari dirimu nanti.'Di saat Felisha tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, di tempat lain Alan terlihat gelisah di depan ruangan ICU rumah sakit di mana sang papa tengah ditangani di dalamnya.Lelaki itu duduk di sebuah bangku panjang. Bersama seorang lelaki paruh baya yang adalah asisten papanya, ia berdoa pada Tuhan supaya papanya bisa melewati masa kritis yang sudah lebih dari dua jam berjalan dan masih belum ada hasil.'Tuhan! Andai bisa, tukarlah tubuhku ini dengan tubuh papa yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana,' batin Alan berdoa dalam hati.'Seandainya pun harus pergi dari dunia ini, biar aku saja yang pergi. Jangan papa!'Rasa cinta dan sayang Alan terhadap Adi, orang tua yang masih ada dan menemaninya di dunia ini setelah lima tahun lalu sang mama pergi lebih dulu karena kecelakaan, membuat Alan rela bertukar tempat dengan lelaki paruh baya yang ada di dalam sana.Dulu ketika sang mama pergi, ada dirinya yang menemani sang papa melewati fase sedih sebab ditinggal orang terkasih. Andai kini ia harus kehilangan orang tuanya kembali, dirinya benar-benar sendirian sekarang. Istri yang tiga tahun bersama dengannya, tiba-tiba pergi tanpa ada angin dan hujan. Tiga tahun menjalani biduk rumah tangga, tak tahunya perempuan itu bermain di belakangnya. Masih menjalin cinta dengan kekasih yang ternyata tak pernah ia putuskan.Bahkan, setelah mengetahui hubungan Dina dengan kekasihnya, membuat Alan menjadi sangsi, anak siapakah Rafael? Putra semata wayang yang amat ia cintai itu, apakah benar anaknya atau justru anak dari laki-laki itu.Lalu, akan dengan siapa Alan nanti? Menjadi anak sebatang kara, tanpa sanak saudara, lelaki itu berpikir memiliki uang banyak pun tak bisa memberinya kebahagiaan tanpa keluarga yang utuh.'Pah, aku mohon. Berjuanglah! Berjuanglah untuk kita,' gumam Alan seiring air mata yang menetes tanpa sadar.Tak berapa lama muncul dua orang kepercayaannya dari arah lorong rumah sakit. Seorang laki-laki dan perempuan, adalah anak buahnya yang selama ini ada bersamanya. Alvaro dan Luna."Maaf kami datang terlambat. Izin melapor, Tuan!" ucap Alvaro setelah berdiri di depan Alan. Tak lupa keduanya juga menunduk hormat ketika melihat Sandi, asisten pribadi Adi.Seperti ada sesuatu yang pengusaha itu tunggu, kesedihan yang sebelumnya ia rasakan kini berubah emosi."Apa yang kalian dapatkan? Apakah perempuan itu bisa kalian temukan?"Laki-laki di depan Alan mengangguk hormat. Ia kemudian berkata, "Ya, Tuan. Nyonya bersama seorang laki-laki. Laki-laki yang memang adalah kekasihnya sebelum menikah dengan Anda."'Jadi, surat yang perempuan itu tulis benar,' gumam Alan geram."Lalu, di mana mereka?" Itu yang ingin Alan tahu, meski ia tak menginginkan istrinya kembali setelah tahu alasan di balik kepergian perempuan tersebut, tapi rasa penasaran begitu menghantuinya."Mereka sudah berada di Thailand. Kepergian Nyonya pagi tadi memang sudah benar-benar direncanakan. Terbukti dengan jadwal keberangkatan pesawat mereka dan tibanya mereka di negara tersebut.""Sialan!" Gemeretak gigi Alan mendengar semua penuturan anak buahnya. Emosinya benar-benar meluap. Bisa-bisanya ia kecolongan dengan semua yang terjadi. Bahkan, rencana kepergian perempuan itu bisa tidak ia ketahui.Kedua anak buah Alan terdiam. Begitu pun Sandi yang sepertinya belum tahu ada kejadian apa yang saat ini menimpa anak tuannya.Informasi yang baru Alvaro sampaikan dirasa sudah cukup. Mengenai kelanjutan atau hal apa yang harus mereka lakukan, tinggal menunggu Alan memberi perintah."Kalian tahu di mana mereka tepatnya?""Kami tahu, Tuan.""Bagus! Biarkan mereka menikmati kebahagiaan itu sekarang. Tetap awasi dan jangan sampai mereka tahu. Aku akan memberikan perintah selanjutnya nanti.""Baik, Tuan. Kami mengerti."Beberapa menit kemudian, dokter Farhan -dokter spesialis yang menangani papanya Alan selama dirawat di rumah sakit, muncul dari dalam ruang ICU. Bersama beberapa dokter lainnya yang juga berpakaian sama dengan dokter paruh baya tersebut.Alan dan Sandi pun berdiri. Keduanya berjalan mendekati rombongan tenaga medis yang baru menangani papanya di dalam."Bagaimana kabar papa, Dok?" tanya Alan to the point.Sedikit senyum, dokter bernama Farhan itu memberikan penjelasannya."Bersyukur papamu baru saja melewati masa kritisnya, Alan.""Oh, syukurlah." Alan dan ketiga orang di belakangnya langsung mengucap syukur."Tapi, kami masih belum bisa mengatakan bahwa papamu akan baik-baik saja. Kami masih harus menunggu sampai kesadarannya kembali."Rupanya Alan masih belum bisa bernapas lega setelah kejujuran terlontar dari mulut Dokter Farhan."Baiklah. Saya sangat berharap tim dokter melakukan semuanya dengan baik. Dan tentu saja, harapan saya papa akan kembali sehat seperti sedia kala. Mampu melewati semuanya tanpa ada lagi masa-masa kritis seperti sekarang," tutur Alan penuh harap."Ya, tentu. Kami akan melakukan semampu kami. Tapi, semua kembali pada Tuhan. Dia yang memiliki kuasa atas apa yang ada di bumi. Termasuk kita, makhluk ciptaan-Nya. Tugas kita hanya berusaha dan berdoa, berharap mukjizat yang akan Tuhan berikan."Alan pun mengangguk lemah. Ditatapnya semua tim yang sudah berjuang menyelamatkan papanya. Dalam hati ia berjanji akan memberikan semua dokter itu bonus jika sang papa benar-benar dikatakan sembuh dan kembali tinggal bersama."Kalau begitu kami permisi, Alan. Tapi maaf, papamu masih belum bisa kamu jenguk. Beliau masih dalam pengawasan tim dokter dan perawat sampai kesadarannya kembali.""Baiklah. Tidak apa-apa," ucap Alan nelangsa. Sembari melihat ke arah pintu di mana dokter Farhan keluar dari ruangan tersebut, lelaki itu berharap agar sang papa keluar dari sana secepatnya."Sekali lagi terima kasih, Dok, juga semua dokter lainnya yang sudah membantu papa," ucap Alan mengangguk, menatap dokter Farhan.Dokter itu pun pamit bersama tim medis lainnya. Meninggalkan Alan yang tak lama kemudian kembali duduk dan memerintahkan sesuatu kepada dua anak buahnya."Apakah kedua orang tuanya sudah tahu?""Sudah, Tuan. Saya sudah memberi tahu mereka setelah mendapat informasi yang valid." Luna menjawab kemudian.Kemarahan pada diri Alan begitu besar. Lelaki baik yang selama ini berusaha mencintai dan menyayangi istrinya meski menikah karena perjodohan, nyatanya harus kecewa sebab pengkhianatan yang perempuan itu lakukan.Seorang jahat akan lahir dari orang baik yang kecewa, sepertinya kini terjadi pada diri seorang Alan Tanujaya. Setelah Dina pergi bersama laki-laki lain, niat dan rencana jahat justru mulai hadir serta tumbuh di hati Alan."Kalau begitu bawa perempuan itu ke rumah orang tuanya. Kita bertemu di sana!" perintah singkat yang Alan berikan, mampu kedua anak buahnya pahami."Om Sandi, aku titip papa. Ada urusan yang harus aku selesaikan," pamit Alan pada asisten sang papa."Ya. Om memang tidak tahu masalah apa yang saat ini sedang kamu hadapi, tapi Om berharap semuanya segera selesai dan bisa diatasi.""Tentu, Om. Tenang saja. Aku sudah bisa mengatasi semuanya."Setelah Alan pamit dan menitipkan sang papa pada Sandi, ia pun kemudian beranjak pergi bersama Alvaro dan Luna. Salah satu dari ketiganya tampak menghubungi seseorang melalui sambungan ponsel."Bawa Nona Felisha ke kediaman orang tuanya sekarang!"Ada senyum penuh amarah yang tampak di bibir Alan ketika mendengar anak buahnya berbicara pada seseorang yang tengah berjaga di kediamannya.'Dina, kamu akan lihat bagaimana rasa sakit yang sebenarnya. Mungkin tidak kamu rasakan, tetapi adikmu akan mendapatkan sebab ulah yang kamu lakukan!' batin Alan berteriak.Rencana demi rencana sudah ia buat. Sekarang ia akan memulai dari dua sosok orang tua yang selama ini sudah ia bantu perekonomian keluarganya hingga mereka bisa hidup makmur sampai sekarang.'Keluarga Sumitra.'***Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya. Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka. Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bic
"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia
Kamar mandi di mana Felisha berada saat ini sama luasnya dengan ruang tidurnya. Tak terlihat seperti kamar mandi sebab ruangannya yang bersih dan mengkilap, tak ubahnya dengan ruang keluarga kalau tidak gadis itu melihat ornamen-ornamen yang membedakan. Dari cermin berbentuk oval di atas wastafel, bath tub besar yang juga berbentuk oval berwarna putih bersih, juga tirai yang ada di sudut paling dalam di mana Alan berjalan melangkah ke arahnya. Jangan menyebut sabun, sampo, sikat atau pasta gigi, semua lengkap terlihat di salah satu lemari susun tak berpintu. Entah apa yang ada di benak Alan saat ini setelah ia meminta adik iparnya untuk membantunya mandi. Lelaki itu seperti berubah sifat dan sikapnya setelah sang istri kabur dari rumah. "Tidak mungkin aku melakukan itu, Kak. Aku pikir Kak Dina juga tidak melakukan hal tersebut bukan?""Jangan sebut nama perempuan itu lagi di hadapanku! Kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan atau kamu tahu resiko atas penolakanmu itu."Tadinya F
"Semalam kamu sudah lihat bukan? Jadi, jangan berlagak sok polos seolah baru pertama kali melihatnya," ucap Alan sinis. Alan tidak salah memang, Felisha memang sudah melihat milik kakak iparnya itu. Tapi, itu karena pemaksaan yang lelaki itu lakukan terhadapnya. Sekarang, matanya harus kembali ternoda setelah dengan cuek Alan memperlihatkan miliknya kembali di depan gadis yang bukan istrinya. "Siapkan pakaian kerja untukku!" perintah Alan kemudian seraya membasuh tubuhnya untuk terakhir kali. "Pakaian kerja?"Felisha kembali harus dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah ia lakukan. Menyiapkan pakaian untuk seorang pengusaha seperti Alan, apakah ia bisa melakukannya sedangkan selama ini pasti kakaknya lah orang di balik semua itu. Tak mau sampai Alan memerintah untuk kedua kali, dengan langkah ragu Felisha pun keluar untuk menuju walking closet milik kakak iparnya. Lega ia rasakan setelah tidak harus melihat polosnya tubuh Alan di dalam kamar mandi. Tapi, kini ia dibuat terpes