"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku."
"Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan."Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya.Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya.Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara."Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" ucapnya pelan. Tapi, siapa pun tahu jika itu bukan hanya sebuah gertakan semata.**Felisha tak percaya dengan ucapan sang ayah. Ia sama sekali tidak menduga jika dirinya akan dikorbankan demi harga diri dan martabat keluarga."Kamu tahu, dulu Dina membantu kita melunasi semua hutang keluarga dengan menerima pinangan keluarga Tanujaya. Sekarang tugasmu lah untuk membantu kami supaya kita tidak terjatuh dengan menjadi pengganti kakakmu, Feli!""Ayah! Kenapa Ayah tega mengatakan hal itu? Ini kesalahan Kak Dina, Yah. Kenapa harus Feli yang menanggung akibatnya.""Tak ada yang salah atau benar di sini. Cuma ada bakti dan kasih sayang anak terhadap orang tuanya di kondisi saat ini." Herman berkata kejam. Ia seperti seorang rentenir yang menagih hutang kepada seseorang yang sudah meminjam uang kepadanya.Lelaki tua itu mengibaratkan bahwa uang yang selama ini ia keluarkan demi menghidupi kedua anaknya dari bayi sampai dewasa, adalah hutang yang harus dibayarkan. Sekarang, waktunya bagi kedua putrinya untuk melunasi.Dulu Dina sudah membantu mereka. Saat hutang menggunung dan tak mampu mereka bayar, kini tugas anak kedua mereka lah berjuang ketika uang yang selama ini mereka dapatkan secara percuma dari menantu mereka, Alan, tiba-tiba akan dihentikan bahkan diambil kembali."Kamu dengar sendiri, kalau kamu menolak maka keluarga kita akan hancur," ucap Herman seolah tak lagi peduli akan nasib putrinya. Baginya, harga diri dan martabat keluarga Sumitra di mata masyarakat sebagai orang kaya baru harus tetap terjaga.Sepertinya tak ada pilihan bagi Felisha berharap pada sang ayah. Ia kini beralih dan mencoba merayu ibunya untuk menolong."Bu, sebagai seorang ibu seharusnya Ibu tidak setuju dengan apa yang dikatakan oleh ayah bukan?"Mata bening dengan genangan air mata seharusnya membuat wanita lima puluh tahun itu iba dan terenyuh. Tapi yang terjadi, ia malah memalingkan wajah dan menatap suaminya."Apa yang ayahmu katakan benar, Feli. Saat ini waktunya kamu berbakti untuk kami, orang tua yang sudah membesarkan kamu selama dua puluh satu tahun."'Ya Tuhan!' batin Felisha sedih.Lemas sudah jiwa dan raganya. Dua orang yang paling ia sayangi di dunia ini, ternyata tidak bisa menjadi pelindungnya dari kekejaman seorang Alan yang sudah terlihat memiliki rencana balas dendam kepadanya."Meski kalian tahu jika permintaan lelaki itu hanya ingin melampiaskan balas dendamnya kepadaku, kalian tetap meminta aku untuk setuju?" Felisha bertanya lirih.Namun, kedua orang tuanya tetap bersikukuh diam dan berharap supaya putri bungsu mereka mengiyakan apa yang menantu mereka katakan.Air mata sudah tak terbendung lagi. Tak mampu Felisha tahan sebab rasa tega yang kedua orang tuanya lakukan terhadapnya."Baiklah. Jika itu memang yang kalian harapkan, aku akan menuruti apa yang lelaki itu minta." Pada akhirnya Felisha menyetujui. Kompensasi yang Alan katakan kepada kedua mertuanya, justru harus gadis itu yang memberinya.Alan masih menunggu Felisha di dalam mobil. Ketika waktu lima menit yang diberikan sudah habis, Luna -anak buah Alan, diminta untuk segera menyambangi rumah itu lagi. Namun, belum sempat berjalan, sosok Felisha muncul bersama dua orang tua di belakangnya."Masuk!" perintah Alan tanpa perlu mendengar kalimat apa yang akan kedua mertuanya katakan.Pengusaha itu seolah yakin jika tak ada yang akan berani menolak permintaannya, termasuk tiga orang yang saat ini terus menunduk di depannya.Perlahan Felisha masuk ke dalam mobil yang sudah Luna buka pintunya. Dengan perasaan penuh ketakutan ia pun akhirnya duduk di bangku mobil mewah milik Alan. Meski empuk sofanya, tetapi gadis itu serasa duduk di atas bangku berduri yang sangat tajam. Sampai-sampai membuatnya merapatkan tubuh hingga ke pintu mobil."Jalan!" perintah Alan pada Alvaro, yang bertugas membawa mobil.Meninggalkan keluarga Sumitra yang tetap menunduk sebab enggan menatap putri bungsunya yang menatap mereka dengan tatapan sedih, mobil melaju membelah kegelapan malam yang kini perlahan menuju subuh.Baru sekian puluh meter mobil bergerak, tiba-tiba Alan menarik tangan Felisha mendekat padanya.Gadis itu dengan tubuh gemetar ketakutan, mendongak dan menatap Alan dengan bibir yang juga bergetar."Lakukan hal itu sekarang!"Menarik tangan Felisha ke arah celananya, Alan membuat gadis itu kaget saat dipaksa menyentuh sesuatu yang ada di atas pangkal pahanya."Lakukan a-apa, Kak?"Tak banyak bicara, Alan lalu memberi kode pada salah satu anak buahnya untuk melakukan sesuatu.Seolah mengerti maksud sang tuan, tiba-tiba ada sesuatu yang bergerak dari arah bawah. Felisha yang tidak mengerti apa yang terjadi, hanya menengok dengan tatapan bodoh.Tak berapa lama, Felisha tak bisa lagi melihat jalanan di depannya sebab sudah ada sekat yang menutupi tempat duduk depan dan bagain penumpang."Aku yakin kamu bukan perempuan bodoh yang tidak mengerti apapun. Jadi, lakukan itu sekarang dengan mulutmu!"Felisha terhenyak kaget. Kedua matanya membola sebab akhirnya paham maksud akan perintah Alan sebelumnya."Ti-tidak, Kak," ucap Felisha terbata. Kengerian begitu tampak di wajahnya. Namun, Alan tidak melihat itu sebagai sesuatu yang patut dikasihani. Ia justru mulai menurunkan resleting celananya dan menyuruh Felisha dengan gerakan kepala untuk segera memulai.Gadis itu jelas menggeleng. Bahkan, air mata yang belum surut, kini kembali mengalir membasahi kedua pipinya.Tak jua melakukan apa yang Alan perintahkan, lelaki itu kemudian menarik kepala Felisha dan membenamkan ke tempat di mana tangan Felisha sudah berada di atasnya."Tidak, K-kak,"***Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia
Kamar mandi di mana Felisha berada saat ini sama luasnya dengan ruang tidurnya. Tak terlihat seperti kamar mandi sebab ruangannya yang bersih dan mengkilap, tak ubahnya dengan ruang keluarga kalau tidak gadis itu melihat ornamen-ornamen yang membedakan. Dari cermin berbentuk oval di atas wastafel, bath tub besar yang juga berbentuk oval berwarna putih bersih, juga tirai yang ada di sudut paling dalam di mana Alan berjalan melangkah ke arahnya. Jangan menyebut sabun, sampo, sikat atau pasta gigi, semua lengkap terlihat di salah satu lemari susun tak berpintu. Entah apa yang ada di benak Alan saat ini setelah ia meminta adik iparnya untuk membantunya mandi. Lelaki itu seperti berubah sifat dan sikapnya setelah sang istri kabur dari rumah. "Tidak mungkin aku melakukan itu, Kak. Aku pikir Kak Dina juga tidak melakukan hal tersebut bukan?""Jangan sebut nama perempuan itu lagi di hadapanku! Kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan atau kamu tahu resiko atas penolakanmu itu."Tadinya F
"Semalam kamu sudah lihat bukan? Jadi, jangan berlagak sok polos seolah baru pertama kali melihatnya," ucap Alan sinis. Alan tidak salah memang, Felisha memang sudah melihat milik kakak iparnya itu. Tapi, itu karena pemaksaan yang lelaki itu lakukan terhadapnya. Sekarang, matanya harus kembali ternoda setelah dengan cuek Alan memperlihatkan miliknya kembali di depan gadis yang bukan istrinya. "Siapkan pakaian kerja untukku!" perintah Alan kemudian seraya membasuh tubuhnya untuk terakhir kali. "Pakaian kerja?"Felisha kembali harus dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah ia lakukan. Menyiapkan pakaian untuk seorang pengusaha seperti Alan, apakah ia bisa melakukannya sedangkan selama ini pasti kakaknya lah orang di balik semua itu. Tak mau sampai Alan memerintah untuk kedua kali, dengan langkah ragu Felisha pun keluar untuk menuju walking closet milik kakak iparnya. Lega ia rasakan setelah tidak harus melihat polosnya tubuh Alan di dalam kamar mandi. Tapi, kini ia dibuat terpes
Sepanjang hari itu Felisha lebih banyak berdiam diri. Bahkan, teman satu bangkunya di salah satu kelas —Feby, bisa melihat perbedaan yang terjadi pada diri gadis itu. Hingga dosen yang sejak satu setengah jam lalu memberikan materi tentang ekonomi publik di hadapan para mahasiswa itu keluar kelas, Feby langsung berbisik di dekat Felisha yang tengah membereskan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. "Apakah kamu sedang punya masalah, Feli?""Hah! Tidak. Kenapa begitu?" Ada keterkejutan yang tampak di wajah Felisha ketika sosok perempuan di sebelahnya menanyakan kabarnya. "Aku perhatikan sejak tadi kamu terus melamun sepanjang Pak Zaki berbicara di depan kelas. Aku sampai berdoa semoga beliau tidak menegur kamu seperti yang pernah dilakukannya pada Gea tempo hari."Felisha tersenyum canggung. Tapi, sesaat kemudian ia hanya menggeleng. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku, Feb.""Sungguh, andai kamu mau cerita aku akan dengarkan." Feby kembali bicara. "Terima kasih seka
Alan menatap dengan tatapan datar dan dingin. Sangat kejam, bahkan Felisha seperti tidak mengenal sosok lelaki di depannya sekarang. "Aku akan menuruti semua perintah Kak Alan."Tiba-tiba ada seringai yang muncul di bibir Alan. Lelaki itu sepertinya senang dengan jawaban yang keluar dari mulut Felisha. Setelah itu mereka pun kembali berjalan menuruni tangga. Ada pilu dan nyeri yang Felisha rasakan kala mendengar namanya dipanggil oleh Rafael dari arah belakang. "Tante Feli!" Anak itu memanggil dengan suara lembut dan pelan, membuat Felisha tak bisa tidak untuk menengok dan tersenyum kepada sang keponakan. Seolah mengatakan jika ia akan menggendongnya nanti, Felisha mencoba menggerakkan bibirnya ke arah Rafael juga sang baby sitter. Hanya respon diam yang ditunjukkan Bu Rumi yang berjalan di sebelah perempuan berseragam putih-biru di belakang Felisha tersebut. Gadis itu kembali menatap ke depan. Perasaannya begitu sakit demi menyadari kehidupannya yang berubah sekian derajat paska
Alan sampai di sebuah rumah sakit bersama Alvaro dan Luna. Ia berlari menuju area UGD untuk mencari keberadaan Felisha. "Siapa namanya, Pak?" tanya seorang perawat penjaga ketika Alan bertanya begitu heboh. "Felisha Putri.""Sebentar saya lihat dulu." Perawat lelaki itu kemudian mengecek nama Felisha di komputer. Beberapa saat kemudian ia kembali melihat Alan. "Maaf, Pak. Tidak ada nama pasien bernama Ibu Felisha di sini.""Jangan bohong, Mas. Dengan jelas teman saya melihat kalau istri majikan saya ke rumah sakit ini." Alvaro mencoba menjelaskan. "Saya tidak tahu itu. Kalau melihat data yang saya lihat, nama Felisha Putri memang tidak ada di sini."Alan menatap Alvaro kesal. "Kamu tahu kabar itu dari siapa?""Dari Fery, Tuan. Dia tadi mau pulang dan tidak sengaja melihat Nona Felisha dibawa kesini.""Dia melihat di sini atau di mana? Coba kamu hubungi dia lagi sekarang!""Baik, Tuan. Sebentar saya hubungi Fery."Di saat Alvaro mencoba menghubungi salah seorang temannya, Alan meng
Semua orang menatap tak percaya. Bu Rumi yang tadi tengah membantu Felisha di kamar, terperangah demi mendengar kalimat Alan barusan. "Apakah Kaka pikir keluargaku hanya mereka saja?" Felisha terlihat tertawa. Alan menatap tajam dengan mulut membisu. "Jadi, terakhir aku tanya, Kaka mau apa? Mau menghukum aku seperti dulu? Atau mau aku pergi dari sini?""Kau tak akan berani." Alan berkata dingin. Lagi-lagi Felisha tertawa mengejek. "Apakah Kaka sedang menantang aku?"Alan diam tidak menjawab, membuat Felisha kemudian masuk ke kamar untuk mengambil satu-satunya barang miliknya, yaitu tas ransel berukuran kecil yang hanya berisi beberapa benda penting, yang ia miliki sebelum dinikahi Alan. Alan masih diam ketika perempuan itu berdiri di depannya. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, satu yang pasti aku tak akan pernah terima dengan tuduhan Kaka kepadaku. Termasuk tindakan Kaka yang memaksaku tadi."Setelah berkata demikian Felisha pergi meninggalkan Alan dan orang-orang yang hanya bi
Keesokan paginya Alan sudah bersama Alvaro di sebuah tempat di mana tampak sesosok perempuan yang duduk dalam keadaan terikat di atas sebuah kursi kayu yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu tertawa menatap Alan yang melihatnya marah. "Kenapa, Alan? Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanpa ada rasa takut sedikit pun, perempuan itu kembali tertawa. "Apakah kamu tidak menyesal sama sekali, Dina?" Pertanyaan yang Alan lontarkan disambut tawa riang yang menggema di seluruh sudut ruangan. "Menyesal katamu? Menyesal untuk apa?""Kau sudah tertangkap, Dina. Semua bukti tentang rencana penculikan yang kau lakukan bersama kekasihmu itu sudah aku pegang. Aku hanya tinggal membawamu ke kantor polisi dan membiarkanmu membusuk di dalam penjara.""Hahaha. Kamu pikir aku takut, Alan?"Tidak menatap wajah pengusaha itu, Dina justru menatap lampu serta langit-langit ruangan yang tinggi. Entah di mana ia berada sekarang, hanya kegelapan yang tampak di matanya. "Kau benar-benar sudah ti
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
Gani tertawa mendengar pertanyaan yang Felisha ajukan. Menurutnya Felisha tak perlu tahu apa yang terjadi atas hubungannya dengan Dina, kakak sepupunya itu. "Dina bosan. Pengusaha itu terlalu monoton. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk bersenang-senang.""Monoton? Apa maksudmu?" tanya Felisha tak mengerti. Tawa Gani semakin kencang seolah Felisha telah melakukan sesuatu yang lucu di depannya. "Apalagi, Feli? Menurutmu apa yang monoton kalau bukan urusan ranjang?" sahut Gani tertawa. "Seks," lanjutnya berkata pelan. Seketika Felisha paham. Sejenak ia membayangkan apa yang Gani katakan. 'Monoton? Apakah Kak Dina seseorang yang hyper? Bagaimana bisa ia menilai kalau Kak Alan seorang yang monoton?' benak Felisha bertanya. Sejauh yang Felisha rasakan selama melayani Alan, lelaki itu sama sekali tidak monoton. Alan sangat aktif dan penuh gaya. Namun, entahlah. Mungkin bagi seorang Felisha yang selama ini tak pernah melakukan hubungan intim dengan orang lain kecuali dengan
Saat ini hanya tinggal Felisha dan Gani saja di dalam ruangan. Dina sudah pergi bersama orang-orang bayarannya sebab tak ingin melihat aksi yang Gani lakukan terhadap Felisha. "Tak ingin melihat wanita ini mati tersiksa?" tanya Gani sesaat sebelum Dina pergi meninggalkannya. "Kau gila kalau berpikir aku mau melihat kalian bersenang-senang," balas Dina waktu itu. Yang kemudian mendapat respon tawa mengerikan dari mulut Gani. Sekarang giliran Felisha yang ketakutan karena membayangkan hal apa yang hendak lelaki itu lakukan kepadanya. 'Sampai membuat calon bayi di dalam kandunganku mati, itu berarti ada dua kemungkinan. Tapi, apakah ia akan setega itu padaku?' batin Felisha demi membayangkan hal mengerikan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kamu tahu, aku serius ketika mengatakan bahwa wajahmu sangat mempesona. Jadi, aura wanita yang sedang hamil memang tak bisa dipungkiri begitu menggoda." Perkataan Gani tentang Felisha yang sempat membuat Dina cemburu, kembali lelaki it
Felisha merasakan suasana yang dingin dan lembab. Ia tak tahu ada di mana sekarang. Karena selain kedua matanya yang tertutup, suasana hening di tempat tersebut semakin membuat keberadaannya tak bisa dibayangkan. Wanita itu hanya ingat mobil yang Pak Zaky kendarai dihadang oleh rombongan mobil lain ketika ia sudah hampir sampai rumah. Beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pakaian para anak buah Alan, turun dari dalam mobil tersebut lalu menghampiri dan menarik paksa dirinya keluar. Felisha tak diam saja, termasuk Luna dan dua pengawal yang Alan tugaskan untuk menjaganya. Mereka melawan sampai akhirnya terjatuh dan tak berdaya sebab jumlah yang tidak sebanding. Bahkan, Felisha harus pingsan ketika salah seorang dari mereka memukul tengkuknya dengan kencang. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Berapa lama ia tak sadarkan diri hingga kemudian terbangun di sebuah tempat yang saat ini ia rasakan terasa mencekam. Bagian yang terlewati tak ada dalam memorinya. Lama Fe
Alan memutuskan untuk segera menyusul Felisha yang sudah pulang lebih dulu setelah tak ada hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua di kantor selain bertengkar. Alan yang baru saja mendapat pencerahan atas kelalaiannya terhadap sang istri, kini menyesali apa yang sudah terjadi. Alvaro, lelaki yang mendadak menjadi seorang penasihat perkawinan, rela menghabiskan waktunya di kantor setelah sebelumnya habis dimarahi oleh sang tuan. Dianggap tak becus memberi nasihat serta saran, yang nyatanya justru Alan sendiri yang salah menanggapi saran tersebut. "Aku akan pulang dengan pengawal. Kamu selesaikan saja laporan kegagalan proyek tahun lalu, lalu kirimkan hasilnya ke email-ku. Aku harus meminta maaf pada istriku karena kebodohan yang sudah aku buat."Alvaro senang mendengarnya. Itulah mengapa ia dengan penuh kerelaan lembur hari itu sebab tugas yang tak main-main Alan berikan. 'Semoga saja Nona Feli mau memaafkan Anda, Tuan. Sebab setahuku, wanita hamil akan sulit dibujuk apalagi un
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap