Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya.
Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya.Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjijikan.'Tuhan, kenapa harus aku yang mendapatkan karma ini?' gumam Felisha di tengah aksinya yang masih menangis.'Ini semua karena Kak Dina. Andai ia tidak pergi, lelaki itu tidak akan mungkin melakukan hal ini bukan? Ia adalah laki-laki baik sebelumnya. Tapi, karena ulahnya, lelaki itu menjadi gila dan jahat,' batin Felisha marah.Gadis itu jelas kecewa ketika pada akhirnya kedua orang tuanya malah menjerumuskan dirinya pada jeratan Alan. Bagaimana bisa orang tua yang seharusnya membela dan melindungi anaknya, malah mendorong dan menyengsarakan.'Tak tahukah ayah dan ibu jika menantunya itu hanya ingin membalaskan dendam atas kemarahannya pada istrinya. Seharusnya ayah dan ibu mencari solusi lain dan bukan membuatku terjatuh dan terjebak di sini entah sampai kapan.'Felisha sudah bisa membayangkan akan bagaimana nasibnya di rumah itu. Setelah sebuah awalan yang Alan paksa lakukan kepadanya, ia yakin akan ada aksi yang lebih dari apa yang terjadi tadi. Tak sanggup membayangkan hal yang lebih gila dan sadis yang akan Felisha terima, gadis itu lambat laun menutup kedua matanya, lelah.Di kamar lain, kamar yang kemarin malam sempat terjadi satu aksi pelecehan yang pemiliknya lakukan. Kini tampak Alan terbaring dengan matanya yang terpejam. Belum tidur, lelaki itu seperti masih terbayang-bayang akan aksi yang terjadi di dalam mobil.'Gadis itu, bagaimana bisa ia membuatku tegang. Padahal apa yang dilakukannya masih jauh di bawah kakaknya. Ia hanya memasukkan ke dalam mulutnya, tetapi yang aku rasakan jauh lebih nikmat dari apa yang perempuan itu lakukan.'Saat ini Alan sedang merenungi ketidak mengertian yang ia rasakan sebab pemaksaan yang sudah dilakukan terhadap Felisha. Ia yang memang berencana menyakiti gadis itu sebab ulah kakaknya, nyatanya malah membuat dirinya heran karena mendadak tegang sebab sentuhan yang Felisha lakukan.Alan masih ingat ketika tanpa sadar mendesah dan melenguh sebab sentuhan bibir Felisha di miliknya. Sungguh, itu lebih dari apa yang pernah ia rasakan ketika bermain dengan istrinya selama ini. Tak bisa ia jabarkan bagaimana rasanya saat miliknya perlahan masuk ke dalam mulut adik iparnya, yang takut dan gugup."Ahh, sial! Aku tidak bisa tidur gara-gara perempuan itu." Alan berteriak di dalam kamarnya.Pelepasan yang belum ia dapatkan, seolah minta ditunaikan. Lelaki itu pun beranjak bangun, kemudian turun dari ranjangnya."Mandi? Apakah aku harus mandi sekarang? Jelas tidak!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu melangkah keluar kamar.Waktu baru menunjuk ke angka tiga pagi. Para asisten rumah belum ada yang bangun. Mereka masih asik dalam mimpi masing-masing ketika Alan berjalan keluar kamar menuju kamar Felisha yang ada di lantai dua. Lagipula, Alan sepertinya tak akan peduli seandainya pun seluruh pekerja bangun saat dirinya mengendap dan masuk ke dalam kamar adik iparnya.Pintu kamar rupanya Felisha kunci ketika Alan mencoba mendorong pintu bercat coklat muda tersebut. Tak hilang akal, ia kemudian mencoba membuka laci di sebelah kamar Felisha di mana biasanya ada kunci cadangan yang asisten rumah letakkan di sana.Alan berharap jika Felisha melepas anak kunci dari lubangnya sehingga ia bisa bebas masuk saat kunci cadangan ia gunakan.Ternyata berhasil. Felisha ceroboh ketika berpikir bahwa kunci ia lepas demi keamanan dirinya. Kini lelaki itu berhasil masuk setelah membuka pintu kamar, yang kemudian kembali ia tutup dan kunci.Tampak kamar gelap tanpa ada penerangan sama sekali. Gadis itu rupanya tidak menyalakan lampu satu pun saat masuk ke kamarnya setelah perjalanan pulang dari kediaman orang tuanya. Alhasil, Alan harus ekstra membuka mata dan fokus melihat dan merasakan sekitar.Hanya bermodalkan pantulan dari sinar bulan yang mengintip melalui celah jendela, Alan bisa melihat sosok Felisha yang terbaring di atas ranjangnya. Gadis itu tanpa selimut, tidur dengan posisi miring.Seringai tiba-tiba hadir di bibir Alan saat melihat sesuatu yang menyenangkan hadir di matanya. Tubuh Felisha yang sempat ia lihat polos meski hanya sebentar, kembali menari-nari di benaknya.'Indah dan aku mau lihat lagi.'Demi membayangkan apa yang akan ia lihat, sesuatu mulai memaksa di bawah sana dan membuat Alan sesak.'Tak bisakah kamu sabar?' batin Alan kesal sebab miliknya yang seolah tahu ada lawan yang bisa diadu.Perlahan Alan mendekati ranjang. Lalu, masih berdiri di sisi tubuh Felisha yang tidur menghadap ke arahnya, Alan kembali tersenyum.Tak ada kata yang terucap, lelaki itu kemudian turun dan jongkok di depan Felisha yang tampak di wajahnya sembab sebab tangisan yang lelaki itu yakin baru berhenti saat tertidur. Masih belum iba, Alan mengangkat tangan lalu mengusap pipi Felisha lembut.'Kamu memang harus membayar ulah kakakmu. Jadi, jangan menangis sebab tangisanmu tak akan berharga di mataku,' gumam Alan sinis.Setelahnya Alan memindahkan tangan ke arah kaki Felisha. Perlahan naik, melewati celana panjang yang masih gadis itu kenakan, lalu mencoba menyingkap kemeja yang masih utuh berkancing.Begitu halus tangan Alan saat menyentuh perut rata adik iparnya itu. Hampir menggapai sesuatu yang lembut dan kenyal, tentunya masih terbungkus kain pelindung, tiba-tiba saja Felisha bangun.Gadis itu terbelalak kaget saat mendapati sang kakak ipar sudah jongkok di depannya. Ia pun langsung beringsut mundur meski sebelumnya ada tangan Alan di atas tubuhnya."K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.***"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia
Kamar mandi di mana Felisha berada saat ini sama luasnya dengan ruang tidurnya. Tak terlihat seperti kamar mandi sebab ruangannya yang bersih dan mengkilap, tak ubahnya dengan ruang keluarga kalau tidak gadis itu melihat ornamen-ornamen yang membedakan. Dari cermin berbentuk oval di atas wastafel, bath tub besar yang juga berbentuk oval berwarna putih bersih, juga tirai yang ada di sudut paling dalam di mana Alan berjalan melangkah ke arahnya. Jangan menyebut sabun, sampo, sikat atau pasta gigi, semua lengkap terlihat di salah satu lemari susun tak berpintu. Entah apa yang ada di benak Alan saat ini setelah ia meminta adik iparnya untuk membantunya mandi. Lelaki itu seperti berubah sifat dan sikapnya setelah sang istri kabur dari rumah. "Tidak mungkin aku melakukan itu, Kak. Aku pikir Kak Dina juga tidak melakukan hal tersebut bukan?""Jangan sebut nama perempuan itu lagi di hadapanku! Kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan atau kamu tahu resiko atas penolakanmu itu."Tadinya F
"Semalam kamu sudah lihat bukan? Jadi, jangan berlagak sok polos seolah baru pertama kali melihatnya," ucap Alan sinis. Alan tidak salah memang, Felisha memang sudah melihat milik kakak iparnya itu. Tapi, itu karena pemaksaan yang lelaki itu lakukan terhadapnya. Sekarang, matanya harus kembali ternoda setelah dengan cuek Alan memperlihatkan miliknya kembali di depan gadis yang bukan istrinya. "Siapkan pakaian kerja untukku!" perintah Alan kemudian seraya membasuh tubuhnya untuk terakhir kali. "Pakaian kerja?"Felisha kembali harus dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah ia lakukan. Menyiapkan pakaian untuk seorang pengusaha seperti Alan, apakah ia bisa melakukannya sedangkan selama ini pasti kakaknya lah orang di balik semua itu. Tak mau sampai Alan memerintah untuk kedua kali, dengan langkah ragu Felisha pun keluar untuk menuju walking closet milik kakak iparnya. Lega ia rasakan setelah tidak harus melihat polosnya tubuh Alan di dalam kamar mandi. Tapi, kini ia dibuat terpes
Sepanjang hari itu Felisha lebih banyak berdiam diri. Bahkan, teman satu bangkunya di salah satu kelas —Feby, bisa melihat perbedaan yang terjadi pada diri gadis itu. Hingga dosen yang sejak satu setengah jam lalu memberikan materi tentang ekonomi publik di hadapan para mahasiswa itu keluar kelas, Feby langsung berbisik di dekat Felisha yang tengah membereskan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. "Apakah kamu sedang punya masalah, Feli?""Hah! Tidak. Kenapa begitu?" Ada keterkejutan yang tampak di wajah Felisha ketika sosok perempuan di sebelahnya menanyakan kabarnya. "Aku perhatikan sejak tadi kamu terus melamun sepanjang Pak Zaki berbicara di depan kelas. Aku sampai berdoa semoga beliau tidak menegur kamu seperti yang pernah dilakukannya pada Gea tempo hari."Felisha tersenyum canggung. Tapi, sesaat kemudian ia hanya menggeleng. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku, Feb.""Sungguh, andai kamu mau cerita aku akan dengarkan." Feby kembali bicara. "Terima kasih seka
Alan menatap dengan tatapan datar dan dingin. Sangat kejam, bahkan Felisha seperti tidak mengenal sosok lelaki di depannya sekarang. "Aku akan menuruti semua perintah Kak Alan."Tiba-tiba ada seringai yang muncul di bibir Alan. Lelaki itu sepertinya senang dengan jawaban yang keluar dari mulut Felisha. Setelah itu mereka pun kembali berjalan menuruni tangga. Ada pilu dan nyeri yang Felisha rasakan kala mendengar namanya dipanggil oleh Rafael dari arah belakang. "Tante Feli!" Anak itu memanggil dengan suara lembut dan pelan, membuat Felisha tak bisa tidak untuk menengok dan tersenyum kepada sang keponakan. Seolah mengatakan jika ia akan menggendongnya nanti, Felisha mencoba menggerakkan bibirnya ke arah Rafael juga sang baby sitter. Hanya respon diam yang ditunjukkan Bu Rumi yang berjalan di sebelah perempuan berseragam putih-biru di belakang Felisha tersebut. Gadis itu kembali menatap ke depan. Perasaannya begitu sakit demi menyadari kehidupannya yang berubah sekian derajat paska
Felisha tampak menggigit bibirnya ketika Alan masih menikmati tubuhnya. Meski ada sensasi lain di luar rasa marah karena lagi-lagi ia dilecehkan oleh sang kakak ipar, gadis itu memilih diam sebab ancaman yang masih terngiang di otaknya. 'Diam dan menuruti perintah ku atau keluargamu hancur?'Ancaman itu bukan gertakan semata. Felisha tahu kalau Alan akan melakukan apa yang sudah diucapkannya tersebut. Menghancurkan keluarganya bukanlah sesuatu yang sulit. Sangat mudah ia membuat kedua orang tuanya menderita bahkan sampai terlunta-lunta di jalanan seperti seorang gelandangan. 'Ishh!'Kembali Felisha hanya bisa mendesis pelan. Rasa geli ia rasakan seiring sensasi gila akibat sentuhan lidah Alan di anggota tubuhnya. 'Tuhan! Aku harap ini segera berlalu,' pinta Felisha dalam hati sebab ia seperti tak kuat lagi menahan setiap sentuhan yang Alan lakukan terhadapnya. Lelaki itu tampak menikmati aksinya. Tak peduli dengan gelinjang tubuh sang adik ipar, ia malah menganggap jika gadis yang