"Semalam kamu sudah lihat bukan? Jadi, jangan berlagak sok polos seolah baru pertama kali melihatnya," ucap Alan sinis. Alan tidak salah memang, Felisha memang sudah melihat milik kakak iparnya itu. Tapi, itu karena pemaksaan yang lelaki itu lakukan terhadapnya. Sekarang, matanya harus kembali ternoda setelah dengan cuek Alan memperlihatkan miliknya kembali di depan gadis yang bukan istrinya. "Siapkan pakaian kerja untukku!" perintah Alan kemudian seraya membasuh tubuhnya untuk terakhir kali. "Pakaian kerja?"Felisha kembali harus dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah ia lakukan. Menyiapkan pakaian untuk seorang pengusaha seperti Alan, apakah ia bisa melakukannya sedangkan selama ini pasti kakaknya lah orang di balik semua itu. Tak mau sampai Alan memerintah untuk kedua kali, dengan langkah ragu Felisha pun keluar untuk menuju walking closet milik kakak iparnya. Lega ia rasakan setelah tidak harus melihat polosnya tubuh Alan di dalam kamar mandi. Tapi, kini ia dibuat terpes
Sepanjang hari itu Felisha lebih banyak berdiam diri. Bahkan, teman satu bangkunya di salah satu kelas —Feby, bisa melihat perbedaan yang terjadi pada diri gadis itu. Hingga dosen yang sejak satu setengah jam lalu memberikan materi tentang ekonomi publik di hadapan para mahasiswa itu keluar kelas, Feby langsung berbisik di dekat Felisha yang tengah membereskan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. "Apakah kamu sedang punya masalah, Feli?""Hah! Tidak. Kenapa begitu?" Ada keterkejutan yang tampak di wajah Felisha ketika sosok perempuan di sebelahnya menanyakan kabarnya. "Aku perhatikan sejak tadi kamu terus melamun sepanjang Pak Zaki berbicara di depan kelas. Aku sampai berdoa semoga beliau tidak menegur kamu seperti yang pernah dilakukannya pada Gea tempo hari."Felisha tersenyum canggung. Tapi, sesaat kemudian ia hanya menggeleng. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku, Feb.""Sungguh, andai kamu mau cerita aku akan dengarkan." Feby kembali bicara. "Terima kasih seka
Alan menatap dengan tatapan datar dan dingin. Sangat kejam, bahkan Felisha seperti tidak mengenal sosok lelaki di depannya sekarang. "Aku akan menuruti semua perintah Kak Alan."Tiba-tiba ada seringai yang muncul di bibir Alan. Lelaki itu sepertinya senang dengan jawaban yang keluar dari mulut Felisha. Setelah itu mereka pun kembali berjalan menuruni tangga. Ada pilu dan nyeri yang Felisha rasakan kala mendengar namanya dipanggil oleh Rafael dari arah belakang. "Tante Feli!" Anak itu memanggil dengan suara lembut dan pelan, membuat Felisha tak bisa tidak untuk menengok dan tersenyum kepada sang keponakan. Seolah mengatakan jika ia akan menggendongnya nanti, Felisha mencoba menggerakkan bibirnya ke arah Rafael juga sang baby sitter. Hanya respon diam yang ditunjukkan Bu Rumi yang berjalan di sebelah perempuan berseragam putih-biru di belakang Felisha tersebut. Gadis itu kembali menatap ke depan. Perasaannya begitu sakit demi menyadari kehidupannya yang berubah sekian derajat paska
Felisha tampak menggigit bibirnya ketika Alan masih menikmati tubuhnya. Meski ada sensasi lain di luar rasa marah karena lagi-lagi ia dilecehkan oleh sang kakak ipar, gadis itu memilih diam sebab ancaman yang masih terngiang di otaknya. 'Diam dan menuruti perintah ku atau keluargamu hancur?'Ancaman itu bukan gertakan semata. Felisha tahu kalau Alan akan melakukan apa yang sudah diucapkannya tersebut. Menghancurkan keluarganya bukanlah sesuatu yang sulit. Sangat mudah ia membuat kedua orang tuanya menderita bahkan sampai terlunta-lunta di jalanan seperti seorang gelandangan. 'Ishh!'Kembali Felisha hanya bisa mendesis pelan. Rasa geli ia rasakan seiring sensasi gila akibat sentuhan lidah Alan di anggota tubuhnya. 'Tuhan! Aku harap ini segera berlalu,' pinta Felisha dalam hati sebab ia seperti tak kuat lagi menahan setiap sentuhan yang Alan lakukan terhadapnya. Lelaki itu tampak menikmati aksinya. Tak peduli dengan gelinjang tubuh sang adik ipar, ia malah menganggap jika gadis yang
Sejenak Felisha bisa melihat tatapan mematikan yang Alan tunjukan padanya juga pengasuh Rafael. Gadis itu tahu, kakak iparnya menuduh dirinya jika sampai rahasia ini terbongkar suatu saat nanti. "Yah ... aku sih terserah kamu saja. Tapi, aku harap kamu mau bersabar menunggu hasilnya. Ini bukan perkara main-main kalau kamu memang serius menganggap hal ini."Terlihat ekspresi Alan yang tak puas dengan ucapan sahabatnya sendiri. Tapi, ia tidak bisa berbuat apapun karena dokter yang duduk di hadapannya saat ini adalah salah satu dokter yang ia percaya sangat ahli di bidangnya. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Kabari aku jika hasilnya sudah keluar. Lebih cepat kamu memberi kabar itu, lebih baik untukku."Alan berkata sembari berdiri dari tempat duduknya. Terlihat Luna yang selalu siap berdiri di belakangnya, menarik bangku yang sebelumnya sang tuan tempati dan menggesernya ke pinggir. "Tentu saja. Aku tidak akan menunda-nunda hasilnya," jawab sang dokter. "Jadi, kamu yakin akan m
"Aku harus kembali ke kampus, Kak."Di tengah perjalanan pulang, Felisha memberi tahu Alan jika ia masih ada kelas di kampusnya. Lelaki itu memang tidak bertanya, tetapi Felisha sengaja memberi tahu sebab ia khawatir jika lelaki itu kembali menaikkan sekat hitam di depan dan berencana melakukan kegiatan yang terjadi tadi. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Alan, tiba-tiba mobil yang Luna lajukan berhenti. "Kalau begitu kamu bisa turun sekarang." Alan menatap Felisha sinis. Felisha tampak cemas. Namun, ia memilih untuk segera turun sembari menarik tas kuliahnya dan menutup pintu mobil setelah menginjakkan kedua kakinya ke tanah. Setelah itu mobil kembali melaju cepat. Meninggalkan Felisha yang berada di satu tempat yang masih jauh dari kampusnya. 'Bukankah ini lebih baik dibanding kamu berada di dalam mobilnya?' tanya Felisha pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ia berniat memesan ojek online demi mengantarnya ke kampus. Tapi, belum
Reflek Felisha menengok dan ia bisa melihat rombongan mahasiswi populer kampus menatap sinis dan emosi padanya. Namun, karena mereka tidak berbuat apa-apa kecuali terus bicara dan menjelekkannya, Felisha pun tidak merespon dan memilih diam dan meneruskan langkahnya menuju parkiran. "Enggak usah didengerin. Mereka cuma iri aja, aku yakin.""Ya, aku juga tahu," jawab Felisha pelan. "Andai mereka tahu kalau si Erik itu yang maksa," lanjutnya. "Enggak akan ngaruh. Mau kamu yang minta dianter atau si Erik yang maksa, bagi mereka perempuan tetap yang salah.""Ehm, ya. Sedihnya jadi perempuan." Felisha menjawab lemah. Pulang kampus kali ini Felisha memilih untuk ikut bareng dengan Gina. Meski sebelumnya ia juga mendapat tawaran dari Erik yang akan dengan senang hati mengantarnya pulang. Tapi dengan pemaksaan yang sama, Felisha berhasil menolak tawaran Erik tersebut. "Aku ikhlas kok, Fel!""Iya, Rik. Ini aja aku udah makasih banget karena kamu enggak bikin aku telat."Gaya Erik bak pembal
Felisha melihat Erik yang sudah turun dari motor bersama seorang perempuan yang ternyata adalah Feby dengan perasaan bingung luar biasa. Belum lagi Gina yang seolah menunggunya menjelaskan tentang apa yang tengah terjadi terhadap mereka saat ini. "Feli! Siapa lelaki ini?" tanya Erik yang berjalan ditemani Feby di sampingnya. Sempat Felisha berkata dalam hati, betapa serasinya Erik dan Feby, tetapi pikiran itu segera berlalu dan tidak dianggapnya penting sekarang. Seketika Felisha melihat ke arah Alan yang tetap terlihat tenang dengan ekspresinya yang tersenyum penuh makna. "Di-dia, eh ... kakak ipar aku." Felisha menjawab jujur. Alan masih tersenyum ketika Felisha mengakui statusnya yang adalah suami dari kakaknya. Tidak marah meski ia telah dikhianati oleh istrinya yang kabur bersama laki-laki lain. Gina mengangguk. Ia mengerti sekarang. Meski hatinya kesal juga karena sang kawan sempat berbohong ketika mengatakan tidak mengenali kakak iparnya tersebut. Tapi, ia berasumsi jika