Reflek Felisha menengok dan ia bisa melihat rombongan mahasiswi populer kampus menatap sinis dan emosi padanya. Namun, karena mereka tidak berbuat apa-apa kecuali terus bicara dan menjelekkannya, Felisha pun tidak merespon dan memilih diam dan meneruskan langkahnya menuju parkiran. "Enggak usah didengerin. Mereka cuma iri aja, aku yakin.""Ya, aku juga tahu," jawab Felisha pelan. "Andai mereka tahu kalau si Erik itu yang maksa," lanjutnya. "Enggak akan ngaruh. Mau kamu yang minta dianter atau si Erik yang maksa, bagi mereka perempuan tetap yang salah.""Ehm, ya. Sedihnya jadi perempuan." Felisha menjawab lemah. Pulang kampus kali ini Felisha memilih untuk ikut bareng dengan Gina. Meski sebelumnya ia juga mendapat tawaran dari Erik yang akan dengan senang hati mengantarnya pulang. Tapi dengan pemaksaan yang sama, Felisha berhasil menolak tawaran Erik tersebut. "Aku ikhlas kok, Fel!""Iya, Rik. Ini aja aku udah makasih banget karena kamu enggak bikin aku telat."Gaya Erik bak pembal
Felisha melihat Erik yang sudah turun dari motor bersama seorang perempuan yang ternyata adalah Feby dengan perasaan bingung luar biasa. Belum lagi Gina yang seolah menunggunya menjelaskan tentang apa yang tengah terjadi terhadap mereka saat ini. "Feli! Siapa lelaki ini?" tanya Erik yang berjalan ditemani Feby di sampingnya. Sempat Felisha berkata dalam hati, betapa serasinya Erik dan Feby, tetapi pikiran itu segera berlalu dan tidak dianggapnya penting sekarang. Seketika Felisha melihat ke arah Alan yang tetap terlihat tenang dengan ekspresinya yang tersenyum penuh makna. "Di-dia, eh ... kakak ipar aku." Felisha menjawab jujur. Alan masih tersenyum ketika Felisha mengakui statusnya yang adalah suami dari kakaknya. Tidak marah meski ia telah dikhianati oleh istrinya yang kabur bersama laki-laki lain. Gina mengangguk. Ia mengerti sekarang. Meski hatinya kesal juga karena sang kawan sempat berbohong ketika mengatakan tidak mengenali kakak iparnya tersebut. Tapi, ia berasumsi jika
Seketika Felisha menengok, menatap heran Gina yang kini malah terlihat cengengesan. "Terbebani gimana?""Iya, enggak iri atau cemburu gitu dengan pencapaian Kak Dina yang bisa punya suami ganteng banget."Felisha menggeleng cepat. "Apanya yang iri? Biasa aja.""Ih, ini anak bener-bener, yah! Enggak normal atau gimana sih!""Enak aja enggak normal!" Felisha melempar tisu ke arah Gina yang berhasil menghindar. "Ya, habisnya. Kok bisa biasa aja punya kakak ipar ganteng gitu.""Ya, terus aku harus gimana? Teriak-teriak gitu di jalan?""Bukan gitu juga konsepnya. Emang kamu enggak tertarik atau terpesona sama wajahnya yang, ehm ... aku yakin semua mahasiswi di kampus kita enggak akan ada yang bisa nolak sama sosoknya."Alan memang tampan, Felisha akui itu. Tapi, apakah ia tertarik atau terpesona terhadap kakak iparnya tersebut? Gadis itu bisa menjawab tegas, tidak!Andai boleh jujur dan ia bisa memberi tahu Gina, saat ini ia malah sangat membenci laki-laki itu. Dengan segala sikap dan ak
Felisha tiba-tiba melepaskan diri dari cengkeraman Alan. Ciuman yang lelaki itu lakukan terpaksa terhenti ketika Felisha menjauhkan kepalanya, lalu bergerak mundur. "Jangan, Kak Alan. Aku mohon. Aku tidak ingin menjadi apa yang Kaka bilang tadi," ucap Felisha dengan derai air mata yang mulai jatuh. "Tidak ada yang meminta pendapatmu di sini, Felisha," balas Alan dengan bibir menyeringai. Tangannya menyapu lembut bibirnya sendiri yang baru saja melahap penuh nafsu bibir gadis di depannya itu. "Aku akan carikan perempuan yang mungkin cocok dengan kemauan Kaka. Aku yakin ada banyak teman mahasiswi yang mau dan tertarik dengan Kaka.""Jadi, kamu sendiri tidak tertarik begitu?" tanya Alan yang kini perlahan mulai mendekat. Felisha menggeleng. "Aku tidak bisa karena mau bagaimana pun Kak Alan adalah kaka iparku."Alan berhenti tepat setelah Felisha tak bisa lagi mundur sebab dinding kamar menjadi ujung gerakannya. "Jadi, apakah aku perlu membuat status baru untuk kita supaya kamu mau m
Udara hangat mulai menyapa hingga membuat Felisha membuka mata. Perlahan ia melihat ruangan yang sudah mulai sedikit terang meski gorden yang menutupi jendela masih tertutup rapat.Gadis itu masih belum bergerak. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya membuatnya malas bangun. Bayangan akan kejadian semalam langsung terekam dengan jelas. Mengingatkan Felisha bahwa sekarang ia sudah bukan lagi gadis perawan. Kesuciannya telah terenggut paksa oleh sang kakak ipar. Alan yang melakukannya dengan sadar, seperti seorang penjahat yang tak peduli akan kelemahan mangsanya. Sontak air mata kembali mengalir ke kedua pipi Felisha. Sedih ia rasakan karena kesalahan sang kakak membuatnya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga di hidupnya. Gadis itu semakin takut sekarang. Ia takut bila bertatap muka lagi dengan lelaki itu sebab khawatir jika kejadian semalam kembali terulang. Trauma ia rasakan atas aksi keji yang Alan lakukan kepadanya. Karena itulah Felisha enggan bergerak. Ia takut jika Alan mas
"Menunggu bukan hobiku. Jadi, jangan sampai terlambat."Alan langsung menutup panggilannya secara sepihak. Tidak menunggu respon dari Felisha karena tidak penting menurutnya. Felisha mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Wanita paruh baya yang masih berdiri di depannya itu kini meminta ia untuk segera mengambil pakaian dan mengenakannya. "Sepertinya Non Feli harus mulai membiasakan diri mengikuti ritme tuan," ucap Bu Rumi. "Mengikuti ritme apa, Bu?" Felisha bertanya bingung. "Iya, mungkin saja Non Feli akan selalu dihubungi oleh tuan pada saat sedang melakukan kegiatan apapun."Tak bisa Felisha bayangkan bila kata-kata Bu Rumi menjadi kenyataan. Hidup perempuan muda itu sepertinya akan benar-benar berubah. Tidak hanya sebagai seseorang yang dijadikan jaminan atas sebuah kesalahan, tapi ia juga harus mau menjadi budak dari seorang laki-laki yang haus akan belaian. Felisha hanya bisa berdiam, mematung. Pikirannya seperti tertarik pada pusara bayangan yang bahkan belum terjadi. "
"Kamu telat dua menit!"Felisha dibuat terkejut dengan keberadaan Alan di depannya, tepat saat perempuan itu tengah menunggu lift yang akan mengantarnya ke lantai atas gedung. Sosok sang kakak ipar tiba-tiba berdiri bersama asisten pribadinya di samping. Tampak wajahnya begitu kesal ketika Felisha tak sengaja memandang ke depan, ke arahnya. "Maaf, Kak," ucap Felisha yang sekarang merasa semakin takut bertatap muka dengan kakak iparnya itu. Tak peduli dengan sikap Felisha yang gelisah, Alan lantas melewati dan mengajak perempuan itu pergi. "Silakan, Nona." Alvaro memberi jalan bagi Felisha untuk berjalan mengikuti Alan. Tetapi, Felisha menggeleng dan mempersilakan lelaki bertubuh tegap itu untuk berjalan lebih dulu. "Saya di belakang saja."Jawaban Felisha justru ditanggapi dingin oleh Alan. "Berdiri di sampingku!" ucapnya membuat Felisha gugup. Akhirnya perempuan itu pun mengejar langkah kaki Alan yang sudah berjalan jauh di depannya. Ketika Felisha tidak fokus dengan sekitar,
"Ayah!" Felisha terkejut saat melihat sosok Herman Sumitra ada di dalam ruangan kamar hotel yang sebelumnya Alan masuki. Di sana, lelaki itu tengah duduk di sebelah seorang lelaki paruh baya lainnya yang terlihat seperti seorang pemuka agama. Menatap putrinya dengan tatapan pilu. Felisha yang masuk diantar oleh Luna langsung diam tak bergeming. Ia langsung tahu rencana apa yang tengah Alan buat. Saat ini, di mana ada empat orang lelaki dewasa yang duduk bersama Alan tengah menunggu sesuatu. Yang Felisha yakin akan ada acara sakral yang akan melibatkan dirinya. "Kita langsung mulai saja, Pak." Tiba-tiba Alan bicara. Kemudian ia menyuruh Luna untuk membawa Felisha duduk di sebelahnya. "Kak, ada apa ini?" tanya Felisha setelah ia duduk di sebelah Alan. Meski ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut kakak iparnya itu. "Aku sudah menceraikan Dina. Dan sekarang, aku mau kita menikah.""Apa? Enggak, Kak!" Felisha berseru kaget. Ia jelas me
Alan sampai di sebuah rumah sakit bersama Alvaro dan Luna. Ia berlari menuju area UGD untuk mencari keberadaan Felisha. "Siapa namanya, Pak?" tanya seorang perawat penjaga ketika Alan bertanya begitu heboh. "Felisha Putri.""Sebentar saya lihat dulu." Perawat lelaki itu kemudian mengecek nama Felisha di komputer. Beberapa saat kemudian ia kembali melihat Alan. "Maaf, Pak. Tidak ada nama pasien bernama Ibu Felisha di sini.""Jangan bohong, Mas. Dengan jelas teman saya melihat kalau istri majikan saya ke rumah sakit ini." Alvaro mencoba menjelaskan. "Saya tidak tahu itu. Kalau melihat data yang saya lihat, nama Felisha Putri memang tidak ada di sini."Alan menatap Alvaro kesal. "Kamu tahu kabar itu dari siapa?""Dari Fery, Tuan. Dia tadi mau pulang dan tidak sengaja melihat Nona Felisha dibawa kesini.""Dia melihat di sini atau di mana? Coba kamu hubungi dia lagi sekarang!""Baik, Tuan. Sebentar saya hubungi Fery."Di saat Alvaro mencoba menghubungi salah seorang temannya, Alan meng
Semua orang menatap tak percaya. Bu Rumi yang tadi tengah membantu Felisha di kamar, terperangah demi mendengar kalimat Alan barusan. "Apakah Kaka pikir keluargaku hanya mereka saja?" Felisha terlihat tertawa. Alan menatap tajam dengan mulut membisu. "Jadi, terakhir aku tanya, Kaka mau apa? Mau menghukum aku seperti dulu? Atau mau aku pergi dari sini?""Kau tak akan berani." Alan berkata dingin. Lagi-lagi Felisha tertawa mengejek. "Apakah Kaka sedang menantang aku?"Alan diam tidak menjawab, membuat Felisha kemudian masuk ke kamar untuk mengambil satu-satunya barang miliknya, yaitu tas ransel berukuran kecil yang hanya berisi beberapa benda penting, yang ia miliki sebelum dinikahi Alan. Alan masih diam ketika perempuan itu berdiri di depannya. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, satu yang pasti aku tak akan pernah terima dengan tuduhan Kaka kepadaku. Termasuk tindakan Kaka yang memaksaku tadi."Setelah berkata demikian Felisha pergi meninggalkan Alan dan orang-orang yang hanya bi
Keesokan paginya Alan sudah bersama Alvaro di sebuah tempat di mana tampak sesosok perempuan yang duduk dalam keadaan terikat di atas sebuah kursi kayu yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu tertawa menatap Alan yang melihatnya marah. "Kenapa, Alan? Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanpa ada rasa takut sedikit pun, perempuan itu kembali tertawa. "Apakah kamu tidak menyesal sama sekali, Dina?" Pertanyaan yang Alan lontarkan disambut tawa riang yang menggema di seluruh sudut ruangan. "Menyesal katamu? Menyesal untuk apa?""Kau sudah tertangkap, Dina. Semua bukti tentang rencana penculikan yang kau lakukan bersama kekasihmu itu sudah aku pegang. Aku hanya tinggal membawamu ke kantor polisi dan membiarkanmu membusuk di dalam penjara.""Hahaha. Kamu pikir aku takut, Alan?"Tidak menatap wajah pengusaha itu, Dina justru menatap lampu serta langit-langit ruangan yang tinggi. Entah di mana ia berada sekarang, hanya kegelapan yang tampak di matanya. "Kau benar-benar sudah ti
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
Gani tertawa mendengar pertanyaan yang Felisha ajukan. Menurutnya Felisha tak perlu tahu apa yang terjadi atas hubungannya dengan Dina, kakak sepupunya itu. "Dina bosan. Pengusaha itu terlalu monoton. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk bersenang-senang.""Monoton? Apa maksudmu?" tanya Felisha tak mengerti. Tawa Gani semakin kencang seolah Felisha telah melakukan sesuatu yang lucu di depannya. "Apalagi, Feli? Menurutmu apa yang monoton kalau bukan urusan ranjang?" sahut Gani tertawa. "Seks," lanjutnya berkata pelan. Seketika Felisha paham. Sejenak ia membayangkan apa yang Gani katakan. 'Monoton? Apakah Kak Dina seseorang yang hyper? Bagaimana bisa ia menilai kalau Kak Alan seorang yang monoton?' benak Felisha bertanya. Sejauh yang Felisha rasakan selama melayani Alan, lelaki itu sama sekali tidak monoton. Alan sangat aktif dan penuh gaya. Namun, entahlah. Mungkin bagi seorang Felisha yang selama ini tak pernah melakukan hubungan intim dengan orang lain kecuali dengan
Saat ini hanya tinggal Felisha dan Gani saja di dalam ruangan. Dina sudah pergi bersama orang-orang bayarannya sebab tak ingin melihat aksi yang Gani lakukan terhadap Felisha. "Tak ingin melihat wanita ini mati tersiksa?" tanya Gani sesaat sebelum Dina pergi meninggalkannya. "Kau gila kalau berpikir aku mau melihat kalian bersenang-senang," balas Dina waktu itu. Yang kemudian mendapat respon tawa mengerikan dari mulut Gani. Sekarang giliran Felisha yang ketakutan karena membayangkan hal apa yang hendak lelaki itu lakukan kepadanya. 'Sampai membuat calon bayi di dalam kandunganku mati, itu berarti ada dua kemungkinan. Tapi, apakah ia akan setega itu padaku?' batin Felisha demi membayangkan hal mengerikan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kamu tahu, aku serius ketika mengatakan bahwa wajahmu sangat mempesona. Jadi, aura wanita yang sedang hamil memang tak bisa dipungkiri begitu menggoda." Perkataan Gani tentang Felisha yang sempat membuat Dina cemburu, kembali lelaki it
Felisha merasakan suasana yang dingin dan lembab. Ia tak tahu ada di mana sekarang. Karena selain kedua matanya yang tertutup, suasana hening di tempat tersebut semakin membuat keberadaannya tak bisa dibayangkan. Wanita itu hanya ingat mobil yang Pak Zaky kendarai dihadang oleh rombongan mobil lain ketika ia sudah hampir sampai rumah. Beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pakaian para anak buah Alan, turun dari dalam mobil tersebut lalu menghampiri dan menarik paksa dirinya keluar. Felisha tak diam saja, termasuk Luna dan dua pengawal yang Alan tugaskan untuk menjaganya. Mereka melawan sampai akhirnya terjatuh dan tak berdaya sebab jumlah yang tidak sebanding. Bahkan, Felisha harus pingsan ketika salah seorang dari mereka memukul tengkuknya dengan kencang. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Berapa lama ia tak sadarkan diri hingga kemudian terbangun di sebuah tempat yang saat ini ia rasakan terasa mencekam. Bagian yang terlewati tak ada dalam memorinya. Lama Fe
Alan memutuskan untuk segera menyusul Felisha yang sudah pulang lebih dulu setelah tak ada hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua di kantor selain bertengkar. Alan yang baru saja mendapat pencerahan atas kelalaiannya terhadap sang istri, kini menyesali apa yang sudah terjadi. Alvaro, lelaki yang mendadak menjadi seorang penasihat perkawinan, rela menghabiskan waktunya di kantor setelah sebelumnya habis dimarahi oleh sang tuan. Dianggap tak becus memberi nasihat serta saran, yang nyatanya justru Alan sendiri yang salah menanggapi saran tersebut. "Aku akan pulang dengan pengawal. Kamu selesaikan saja laporan kegagalan proyek tahun lalu, lalu kirimkan hasilnya ke email-ku. Aku harus meminta maaf pada istriku karena kebodohan yang sudah aku buat."Alvaro senang mendengarnya. Itulah mengapa ia dengan penuh kerelaan lembur hari itu sebab tugas yang tak main-main Alan berikan. 'Semoga saja Nona Feli mau memaafkan Anda, Tuan. Sebab setahuku, wanita hamil akan sulit dibujuk apalagi un
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap