"Menunggu bukan hobiku. Jadi, jangan sampai terlambat."Alan langsung menutup panggilannya secara sepihak. Tidak menunggu respon dari Felisha karena tidak penting menurutnya. Felisha mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Wanita paruh baya yang masih berdiri di depannya itu kini meminta ia untuk segera mengambil pakaian dan mengenakannya. "Sepertinya Non Feli harus mulai membiasakan diri mengikuti ritme tuan," ucap Bu Rumi. "Mengikuti ritme apa, Bu?" Felisha bertanya bingung. "Iya, mungkin saja Non Feli akan selalu dihubungi oleh tuan pada saat sedang melakukan kegiatan apapun."Tak bisa Felisha bayangkan bila kata-kata Bu Rumi menjadi kenyataan. Hidup perempuan muda itu sepertinya akan benar-benar berubah. Tidak hanya sebagai seseorang yang dijadikan jaminan atas sebuah kesalahan, tapi ia juga harus mau menjadi budak dari seorang laki-laki yang haus akan belaian. Felisha hanya bisa berdiam, mematung. Pikirannya seperti tertarik pada pusara bayangan yang bahkan belum terjadi. "
"Kamu telat dua menit!"Felisha dibuat terkejut dengan keberadaan Alan di depannya, tepat saat perempuan itu tengah menunggu lift yang akan mengantarnya ke lantai atas gedung. Sosok sang kakak ipar tiba-tiba berdiri bersama asisten pribadinya di samping. Tampak wajahnya begitu kesal ketika Felisha tak sengaja memandang ke depan, ke arahnya. "Maaf, Kak," ucap Felisha yang sekarang merasa semakin takut bertatap muka dengan kakak iparnya itu. Tak peduli dengan sikap Felisha yang gelisah, Alan lantas melewati dan mengajak perempuan itu pergi. "Silakan, Nona." Alvaro memberi jalan bagi Felisha untuk berjalan mengikuti Alan. Tetapi, Felisha menggeleng dan mempersilakan lelaki bertubuh tegap itu untuk berjalan lebih dulu. "Saya di belakang saja."Jawaban Felisha justru ditanggapi dingin oleh Alan. "Berdiri di sampingku!" ucapnya membuat Felisha gugup. Akhirnya perempuan itu pun mengejar langkah kaki Alan yang sudah berjalan jauh di depannya. Ketika Felisha tidak fokus dengan sekitar,
"Ayah!" Felisha terkejut saat melihat sosok Herman Sumitra ada di dalam ruangan kamar hotel yang sebelumnya Alan masuki. Di sana, lelaki itu tengah duduk di sebelah seorang lelaki paruh baya lainnya yang terlihat seperti seorang pemuka agama. Menatap putrinya dengan tatapan pilu. Felisha yang masuk diantar oleh Luna langsung diam tak bergeming. Ia langsung tahu rencana apa yang tengah Alan buat. Saat ini, di mana ada empat orang lelaki dewasa yang duduk bersama Alan tengah menunggu sesuatu. Yang Felisha yakin akan ada acara sakral yang akan melibatkan dirinya. "Kita langsung mulai saja, Pak." Tiba-tiba Alan bicara. Kemudian ia menyuruh Luna untuk membawa Felisha duduk di sebelahnya. "Kak, ada apa ini?" tanya Felisha setelah ia duduk di sebelah Alan. Meski ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut kakak iparnya itu. "Aku sudah menceraikan Dina. Dan sekarang, aku mau kita menikah.""Apa? Enggak, Kak!" Felisha berseru kaget. Ia jelas me
Felisha hanya bisa menangis di kesendiriannya di salah satu kamar hotel yang berbeda dengan tempat di mana terselenggaranya akad nikah yang Alan lakukan. Luna telah kembali ke kantor menemui sang tuan. Meninggalkan Felisha sendiri tanpa khawatir apakah perempuan itu akan kabur atau tidak. Sebab dua orang penjaga telah disiapkan oleh asisten Alan tersebut di depan kamar yang kini ditempati oleh sang nyonya baru. "Kalian tahu akibatnya jika Nona Felisha sampai kabur atau pergi dari kamar ini," ucap Luna tanpa bermaksud mengancam para pengawal yang ditugaskan menjaga. Dua laki-laki bertubuh besar itu mengangguk, mengerti. "Tidak perlu kamu katakan, Luna. Kami tahu apa tugas kami saat ini.""Ya, aku hanya mengingatkan. Jangan sampai peristiwa kaburnya Nyonya Dina terulang lagi."Entah Luna bermaksud menyindir atau menakut-nakuti, tetapi saat insiden kaburnya Dina dari kediaman Tanujaya, kedua pengawal itu jugalah yang sedang bertugas di rumah mewah tersebut. "Jangan menyindir kami,"
"Halo, Feli! Kamu lagi sama siapa?" Suara Erik terdengar samar ketika ponsel Felisha terjatuh ke atas ranjang. Perempuan cantik itu spontan melirik ke arah ponsel. Sesaat kemudian ia melihat wajah kakak iparnya yang tersenyum sembari sesekali melihat ke arah di mana terdengar suara seorang lelaki yang mungkin ia kenal."Apakah kamu sedang berbicara dengan seseorang?" tanya Alan seraya melangkah maju dan mendekati Felisha. "Eh, i-iya. Aku sedang berbicara dengan salah satu teman.""Ah, kamu punya teman rupanya." Alan terdengar sekali menyindir. "Punya, walau tidak banyak." Felisha menjawab seolah ingin memuaskan ejekan lelaki di depannya itu. Sekarang Alan sudah berdiri, tepat di depannya. Sembari melepas jas hitam, ia juga kemudian melepas dasi dari ikatan di lehernya. "Sepertinya kamu masih belum mengerti posisi kamu sekarang." Alan bersuara lembut. Saking lembutnya, Felisha justru merasa aneh. Perempuan itu tiba-tiba bergidik sebab suasana aneh yang terjadi. Bagaimana Alan ber
Setelah cukup waktu bagi Alan menormalkan kondisinya setelah mendapatkan pelepasan, ia lalu beranjak bangun menuju kamar mandi dan meninggalkan Felisha yang tampak lesu. "Kaka masih mencintainya bukan?" Tiba-tiba Felisha bertanya. Alan menoleh demi mendengar pertanyaan yang istrinya itu ajukan. Melihat penampilan Felisha yang polos dengan kain selimut yang menutup tubuhnya, Alan hampir mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri dan berpikir untuk melanjutkan ronde berikutnya. "Apa yang kamu katakan?" Alan bertanya tak mengerti. Felisha membalas tatapan Alan. Tersenyum perempuan itu saat sang suami menatapnya bingung. "Nama Kak Dina telah terlontar dari mulut Kak Alan. Itu artinya Kak Alan masih mencintainya. Sosoknya masih ada di hati Kaka.""Kapan aku menyebut nama perempuan jal4ng itu?""Apakah Kak Alan lupa? Tadi setiap Kak Alan menikmati permainan yang Kaka buat sendiri, saat itu nama Kak Dina meluncur indah dari mulut Kaka.""Jangan sok tahu kamu!" Alan berseru kesal. "Ke
Alan tiba di rumah sakit tempat papanya dirawat dengan disambut oleh Sandi, asisten pribadi sang papa. Ia yang datang bersama Felisha, langsung menghampiri lelaki paruh baya yang berdiri di depan ruang ICU. "Bagaimana papa, Om?" tanya Alan dengan wajah penuh kecemasan. "Tenang, Alan. Papamu sudah sadar sekarang. Tapi, Om masih harus menunggu dokter keluar. Mereka sedang memeriksa apakah ada hal vital dari sadarnya papamu di dalam."Kabar yang Sandi sampaikan dengan suara yang tenang, menular hingga masuk ke seluruh syaraf Alan. Ketegangan yang ia rasakan saat mendapat kabar dari Alvaro, kini berangsur membaik dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Semoga papa benar-benar sembuh sekarang," harap Alan dengan wajah yang terlihat sekali bahagia. Setelahnya ia mendekat Felisha yang sebelumnya sempat ia abaikan. Pengusaha muda itu meminta istri barunya itu menyalami Sandi, orang kepercayaan keluarga Tanujaya yang sudah dianggap seperti saudara. "Om, Felisha." Alan berkata seraya
"Aku sudah menikah dengan Felisha."Alan langsung mengenalkan status barunya dengan Felisha kepada sang papa. Lelaki itu tampak percaya diri meski ia berpikir bahwa papanya tak akan setuju. "Bagaimana dengan mamanya Rafael?" Tuan Adi tidak menyebut nama Dina secara langsung.Hal itu membuat Felisha canggung. Sebab ia tahu bagaimana dulu Tuan Adi memperlakukan kakaknya, Dina. Sangat baik dan perhatian. Tapi, saat ini ia melihat sikap berbeda yang lelaki tua di depannya tunjukkan. "Aku enggan membahas perempuan itu sekarang, Pah. Papa baru pulih, lebih baik kita bahas tentang kondisi Papa saja.""Kondisi Papa kamu sudah tau, Alan. Papa yakin Farhan sudah menjelaskan semuanya secara detail. Benar begitu bukan?"Alan mengangguk. Sangat mudah ditebak jika dua lelaki yang sudah lama bersahabat itu tahu caranya menenangkan satu sama lain. Termasuk memberikan perhatian lebih kepada siapapun orang terdekat mereka. "Ya sudah, apa lagi yang mau kita bahas kalo gitu?" Tuan Adi menatap putrany