Alan tiba di rumah sakit tempat papanya dirawat dengan disambut oleh Sandi, asisten pribadi sang papa. Ia yang datang bersama Felisha, langsung menghampiri lelaki paruh baya yang berdiri di depan ruang ICU. "Bagaimana papa, Om?" tanya Alan dengan wajah penuh kecemasan. "Tenang, Alan. Papamu sudah sadar sekarang. Tapi, Om masih harus menunggu dokter keluar. Mereka sedang memeriksa apakah ada hal vital dari sadarnya papamu di dalam."Kabar yang Sandi sampaikan dengan suara yang tenang, menular hingga masuk ke seluruh syaraf Alan. Ketegangan yang ia rasakan saat mendapat kabar dari Alvaro, kini berangsur membaik dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Semoga papa benar-benar sembuh sekarang," harap Alan dengan wajah yang terlihat sekali bahagia. Setelahnya ia mendekat Felisha yang sebelumnya sempat ia abaikan. Pengusaha muda itu meminta istri barunya itu menyalami Sandi, orang kepercayaan keluarga Tanujaya yang sudah dianggap seperti saudara. "Om, Felisha." Alan berkata seraya
"Aku sudah menikah dengan Felisha."Alan langsung mengenalkan status barunya dengan Felisha kepada sang papa. Lelaki itu tampak percaya diri meski ia berpikir bahwa papanya tak akan setuju. "Bagaimana dengan mamanya Rafael?" Tuan Adi tidak menyebut nama Dina secara langsung.Hal itu membuat Felisha canggung. Sebab ia tahu bagaimana dulu Tuan Adi memperlakukan kakaknya, Dina. Sangat baik dan perhatian. Tapi, saat ini ia melihat sikap berbeda yang lelaki tua di depannya tunjukkan. "Aku enggan membahas perempuan itu sekarang, Pah. Papa baru pulih, lebih baik kita bahas tentang kondisi Papa saja.""Kondisi Papa kamu sudah tau, Alan. Papa yakin Farhan sudah menjelaskan semuanya secara detail. Benar begitu bukan?"Alan mengangguk. Sangat mudah ditebak jika dua lelaki yang sudah lama bersahabat itu tahu caranya menenangkan satu sama lain. Termasuk memberikan perhatian lebih kepada siapapun orang terdekat mereka. "Ya sudah, apa lagi yang mau kita bahas kalo gitu?" Tuan Adi menatap putrany
Alan benar-benar tak mau menghilangkan kesempatan terbaiknya sebagai pasangan pengantin baru. Melihat Felisha yang tak lagi menolak aksi darinya, seperti tak mau membuang kesempatan selama ia ingin dan belum merasa puas. Setelah panggilan dari Erik harus berakhir dengan keintiman mereka di dalam mobil, kini Alan meminta adik ipar yang sudah sah menjadi istri keduanya itu untuk istirahat. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi bersama para pengawal dan asisten setianya. "Apakah tak boleh aku mengajak teman untuk menemani aku selama di sini?" tanya Felisha sesaat sebelum Alan pergi. "Aku memintamu untuk istirahat karena aku akan kembali meminta jatahku. Jadi, jangan meminta sesuatu yang tidak akan mungkin aku kabulkan di waktu-waktu seperti sekarang ini."Tidak perlu menjelaskan, Felisha sangat mengerti maksud ucapan Alan barusan. "Apakah kamu berpikir bahwa saat ini kamu sedang liburan, begitu?""Tidak," jawab Felisha seraya menggeleng. Ia cukup tahu diri posisinya saat ini."Jad
Alan terlihat memicingkan matanya ketika melihat penampilan Felisha setibanya ia di kamar hotel. Hal itu membuat Felisha takut dan cemas sebab aura negatif yang tiba-tiba saja hadir. "Apakah cuma baju ini yang Luna siapkan?" Alan bertanya memastikan pekerjaan anak buahnya. Pertanyaan yang sebetulnya biasa, entah mengapa membuat Felisha semakin ketakutan. "Tidak, Kak. Banyak pakaian di lemari yang sudah Luna siapkan.""Lalu, kenapa baju ini yang kamu pakai?" Perlahan Alan mendekati Felisha. Ia kemudian berhenti melangkah setelah berdiri tepat di depan sang istri. "Apakah menurut Kak Alan baju ini jelek?" Felisha bertanya tanpa berani menatap lelaki di depannya itu. "Ya. Untuk malam ini baju yang kamu kenakan sekarang terlihat sangat buruk. Mataku bahkan sakit saat melihatnya."Felisha mencoba memindai tubuhnya sendiri. Ia bisa memastikan jika semua pakaian yang ada di dalam lemari tak ada satu pun yang buruk. Semua cantik dan bagus. Bahkan untuk pakaian Alan sendiri meski didomina
Alan mencoba memikirkan permintaan Felisha. Satu minggu pergi kuliah dengan status baru sebagai pengantin baru? Meski Alan tak ada di siang hari karena masih harus bekerja, tetapi ia seperti belum rela mengizinkan istri barunya itu untuk kembali menjalani rutinitas hariannya. Namun, dilihatnya wajah wanita itu yang memandangnya penuh harap, pikiran Alan pun mulai goyah. "Puaskan aku malam ini, baru aku akan pikirkan permintaanmu itu."Pada akhirnya Alan akan menuruti apa yang Felisha minta, tapi ia seperti sengaja ingin mengerjai istrinya untuk mau melakukan sesuatu yang seru malam itu. Kedua mata Felisha mengerjap berkali-kali, seolah tak mengerti maksud yang Alan katakan. "Aku tidak akan berlaku kasar malam ini. Sebagai gantinya, layani aku sesuai kemampuanmu. Jadikan malam pertama kita sebagai sebuah memori yang pantas untuk dikenang," ucap Alan sembari menyeringai. Seketika debaran di hati Felisha mulai bereaksi. Ia terkejut sebab permintaan Alan yang ingin mendapatkan pelaya
Alan masih mencoba bertahan. Ia masih mendiamkan Felisha dengan segala aksinya. Tak ada penolakan atau keengganan yang lelaki itu berikan. Justru sikap diamnya membuat Felisha leluasa bergerak dan melayani. Satu erangan lolos ketika Alan masih menikmati usaha sang istri. Aksi amatir tapi Alan nilai lumayan sebab pengalamannya yang nol. Felisha sendiri terlihat kaku ketika melakukan semuanya. Tak ada persiapan atau pemikiran jika yang ia lakukan saat ini adalah sebuah penilaian yang akan Alan berikan sebagai bahan pertimbangan atas permintaannya. Bagi Felisha ia hanya berharap supaya Alan bersikap baik padanya setelah ini. "Segini saja? Apa tak ada kelanjutannya?" tanya Alan saat melihat Felisha beranjak bangun dan memandang ke arahnya. Tampak istrinya itu mengusap bibirnya yang basah. Sesuatu yang menempel di sana, membuat Alan tanpa sadar menggeram. "A-aku hanya terlalu takut."Jawaban yang aneh menurut Alan karena sejak Felisha memulai, tak ada reaksi marah atau kekesalan yang
Felisha sedang melihat berbagai macam kue ulang tahun ketika ada seseorang yang memanggilnya. "Feli!" panggil suara seorang lelaki yang cukup dekat dengan posisi Felisha berdiri. Wanita itu menengok, mencari asal suara. "Erik!" Felisha tersenyum menatap teman kuliahnya itu. Tapi, sedetik kemudian ia terdiam ketika melihat Luna sudah berdiri di belakang sang kawan. Namun, Luna tidak berkata apa-apa. Gadis itu hanya menatap dan mengawasi dalam diam. Satu sikap yang membuat Felisha menjadi salah tingkah. "Kamu mau beli kue?"Pertanyaan Erik membuyarkan konsentrasi Felisha. "E-eh, iya. Kamu juga?""Iya, si Feby nitip. Katanya buat dosen pembimbing.""Oh." Felisha tidak menanggapi terlalu banyak. Setelahnya ia kembali melihat deretan kue ulang tahun berukuran mini yang tampak lucu dan cantik di depannya. Sedikit membungkuk demi melihat keseluruhan kue yang terpajang. "Memang siapa yang ulang tahun?" Tiba-tiba Erik sudah berdiri dan ikut membungkuk di sebelahnya. Lalu, mengamati kue
Di kampus, Felisha tidak melihat Gina. Padahal kemarin temannya itu bilang akan masuk di hari pertama ujian. "Terima kasih ucapannya, Feli. Maafkan aku juga karena tidak masuk hari ini. Ibuku masuk rumah sakit waktu aku mau berangkat."Jawaban atas pesan yang Felisha kirimkan, langsung dibalas oleh Gina. "Semoga ibumu cepat membaik. Jangan pikirkan kuliah, fokuslah pada ibumu."Felisha turut prihatin atas apa yang terjadi pada Gina. Tapi, ia tetap salut dengan kegigihan kawannya itu. Berasal dari kampung yang memiliki cita-cita tinggi ingin mendapat gelar pendidikan terbaik, Gina rela kuliah sambil bekerja part time di salah satu kafe. Bahkan, tak jarang ia akan bekerja freelance di setiap event-event tertentu. Menjadi seorang SPG suatu produk yang dengan mudah Gina dapatkan sebab memiliki penampilan yang baik juga wajah yang manis.'Haruskah aku seperti Gina, yakni bekerja untuk mendapatkan uang,' batin Felisha yang tiba-tiba ingat dengan jumlah uang di dompetnya ketika tadi hendak