"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
"Perempuan jalang kurang ajar! Tak tahu diuntung dan terima kasih!"Sebuah kalimat kasar terdengar dari arah kamar Alan. Seorang pengusaha yang sudah menikah dan memiliki anak itu, seperti tengah mengamuk sebab alasan tertentu. Beberapa orang pembantu rumah tersebut bisa mendengar dengan jelas karena pintu kamar yang tidak ditutup. Mereka tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain.Alan baru pulang dari kantor beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian, suara membahana itu langsung menghiasi seluruh sudut ruangan di lantai tiga tersebut. Di tengah Alan yang masih marah, juga para pembantu yang masih bersiaga di depan pintu kamar, tiba-tiba sosok perempuan muda muncul di anak tangga terakhir. Ia yang muncul dari bawah, tampak heran dan bingung ketika melihat empat orang pembantu berdiri di depan kamar kakaknya dengan kepala menunduk. "Ada apa?" tanya perempuan muda itu setelah mendekat dan menghampiri salah satu pembantu. Namun, belum sempat pembantu di depannya membuka
Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata Felisha. Ia sudah bisa membayangkan maksud dari pelayanan yang Alan katakan. Bagaimana mungkin gadis itu melakukan hal tersebut. Ia adalah adik ipar Alan. Sosok kakaknya masih ada meski entah di mana keberadaannya sekarang. Bagaimana mungkin ia mengkhianati Dina dengan melayani kakak iparnya sendiri. Selain ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Alan, perasaan enggan di hatinya membuatnya tak mau menyetujui permintaan Alan barusan. "Kalau kamu tidak mau, biar aku yang melakukannya!" seru Alan seraya menarik paksa pakaian Felisha keluar dari tubuhnya. "Tidak, Kak. Jangan seperti ini. Ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Pasti terjadi kesalahpahaman di sini." Felisha mencoba menghentikan aksi Alan di tengah kondisi tubuhnya yang kini menyisakan dua pakaian dalam yang masih melekat. Namun, Alan tetap bergeming. Ia seperti enggan mendengar perkataan Felisha. Kedua tangannya sudah akan melepas kain terakhir pada tubuh adik iparnya ketika ia
"Kau akan jadi budakku selamanya!""Selamanya!""Selamanya!""Selamanya!"Suara itu terus berdengung di kepala Felisha. "Tidak!"Gadis itu menjerit ketakutan. Terbangun dari pingsan yang terjadi hampir dua jam lamanya. Dilihatnya ruangan kamar yang sudah satu tahun ia tinggali. Kamar ber-design lembut, dengan cat cream yang mendominasi, adalah tempat ternyaman gadis itu selama tinggal di kediaman Alan Tanujaya, kakak iparnya. Suami Dina, kakak perempuan satu-satunya. Yang menurut kabar yang didapat, kabur meninggalkan suami dan anaknya dengan seorang lelaki yang ternyata adalah mantan kekasihnya dulu. Yang ternyata tak pernah putus meski Dina menikah dengan Alan, tiga tahun lalu. Ya, Felisha baru tahu setelah mendengar info dari salah seorang asisten rumah yang sudah lama bekerja di kediaman keluarga kaya raya tersebut. Felisha yang akhirnya bisa keluar dari kamar Alan, setelah lelaki itu berbuat tak senonoh padanya, mendapat kabar tersebut saat akan kabur dari rumah. Rupanya Alan
Tak ada sahutan dari mulut Bu Rumi. Itu tandanya jika tebakan Felisha tidaklah keliru atau mungkin perempuan itu memang tidak tahu apapun. 'Kaak, aku mohon kembali. Aku tidak mau menjadi korban atas kepergian kamu.' Sembari menunduk, batin Felisha menangis. 'Tak rindukah kamu pada Rafael? Anak itu masih butuh dirimu sebagai ibunya. Setidaknya bawalah Rafael serta dan tidak membuat anak itu sendirian di sini yang pasti akan mencari dirimu nanti.'Di saat Felisha tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, di tempat lain Alan terlihat gelisah di depan ruangan ICU rumah sakit di mana sang papa tengah ditangani di dalamnya. Lelaki itu duduk di sebuah bangku panjang. Bersama seorang lelaki paruh baya yang adalah asisten papanya, ia berdoa pada Tuhan supaya papanya bisa melewati masa kritis yang sudah lebih dari dua jam berjalan dan masih belum ada hasil. 'Tuhan! Andai bisa, tukarlah tubuhku ini dengan tubuh papa yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana,' batin Alan berdoa dalam
Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya. Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka. Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bic
"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji