Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata Felisha. Ia sudah bisa membayangkan maksud dari pelayanan yang Alan katakan.
Bagaimana mungkin gadis itu melakukan hal tersebut. Ia adalah adik ipar Alan. Sosok kakaknya masih ada meski entah di mana keberadaannya sekarang. Bagaimana mungkin ia mengkhianati Dina dengan melayani kakak iparnya sendiri. Selain ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Alan, perasaan enggan di hatinya membuatnya tak mau menyetujui permintaan Alan barusan."Kalau kamu tidak mau, biar aku yang melakukannya!" seru Alan seraya menarik paksa pakaian Felisha keluar dari tubuhnya."Tidak, Kak. Jangan seperti ini. Ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Pasti terjadi kesalahpahaman di sini." Felisha mencoba menghentikan aksi Alan di tengah kondisi tubuhnya yang kini menyisakan dua pakaian dalam yang masih melekat.Namun, Alan tetap bergeming. Ia seperti enggan mendengar perkataan Felisha. Kedua tangannya sudah akan melepas kain terakhir pada tubuh adik iparnya ketika ia mendadak terdiam. Pengusaha itu terpesona dengan tubuh indah yang adik iparnya miliki.Melihat Alan terdiam, perlahan Felisha menarik tangan untuk menutupi bagian sensitif tubuhnya yang masih tertutup. Tapi seolah tersadar, dengan cepat Alan kembali menarik dua tangan Felisha, lalu menguncinya di atas kepala."Kaak," ucap Felisha dengan suara lirih dan bergetar. Ia sangat ketakutan. Tak pernah ia berada dalam situasi semacam sekarang.Felisha adalah seorang gadis baik-baik. Tutur katanya santun dan ramah. Meski jarang berinteraksi dengan Alan sebab kesibukan masing-masing, tetapi tak pernah sekali pun keduanya terlibat dalam satu masalah.Sekarang Felisha malah dihadapkan dalam situasi yang rumit dan menakutkan menurutnya. Mendapati kemarahan Alan sebab ulah kakaknya yang masih belum ia tahu kebenarannya, membuat seorang gadis seperti Felisha harus menghadapi hal tak mengenakan yang belum pernah ia bayangkan akan terjadi padanya.Alan sudah kembali mendekatkan kepalanya. Tahu akan ke mana arah lelaki itu selanjutnya, Felisha cepat memalingkan muka ke arah lain. Tapi, hal itu sama sekali tak berguna. Alan justru mengambil kesempatan itu dengan mencium pipi Felisha yang merah karena tamparannya tadi, lalu mencumbu leher jenjang gadis itu."Tolong lepasin aku, Kak!" pinta Felisha saat sengatan listrik memenuhi raganya sebab sentuhan bibir yang Alan lakukan di kulit lehernya."Lepaskan katamu? Kamu pikir aku bisa kalian permainkan untuk kedua kalinya? Jangan mimpi!" seru Alan di dekat telinga Felisha, yang kemudian mengigit anggota tubuh itu sedikit kasar."Argh! Sakit," ucap Felisha nelangsa."Aku mohon, Kak. Jangan seperti ini. Aku akan bantu jika Kak Alan mau Kak Dina kembali."Segala cara akan Felisha lakukan supaya Alan melepaskannya. Termasuk berbohong dengan mengatakan hal yang mungkin tak bisa ia lakukan."Kembali? Tidak. Aku sudah tidak menginginkan perempuan jalang itu lagi. Dia sudah mengatakan bahwa akan pergi bersama kekasihnya. Apa kamu pikir aku laki-laki bodoh yang mau menerima perempuan yang sudah membohongiku selama ini?"Ya, Alan benar. Felisha akui itu. Jika benar Dina pergi dengan laki-laki lain seperti yang dikatakannya, sebagai seorang suami, Alan tak akan mungkin mau menerima istrinya itu kembali. Tapi, mengganti dirinya di atas ranjang yang sudah mereka tinggali selama tiga tahun, bukan sebuah ide terbaik menurut Felisha."Kak Alan bisa mencari wanita lain yang lebih cantik dan baik dari Kak Dina. Atau kalau Kak Alan mau aku bisa kenalkan dengan teman-temanku. Banyak mahasiswi yang cantik dan muda di kampus."Felisha akan melakukan hal apapun saat ini. Termasuk 'mengorbankan' teman-teman kuliahnya yang selama ini memiliki ketertarikan kepada Alan yang pernah ia kenalkan saat acara di kampus."Apakah kamu pikir aku tidak punya teman wanita yang kamu maksud barusan? Bahkan mereka lebih dari Dina. Cantik, muda, berbakat, dan kaya raya.""Kalau begitu, biar salah satu dari mereka saja yang menggantikan Kak Dina di sini."Namun, sepertinya bukan itu maksud dan tujuan Alan sekarang. Ia bisa saja mencari wanita pengganti seperti saran yang Felisha berikan. Tapi, kemarahan akan perginya Dina, menyisakan dendam pada sosok Alan Tanujaya."Perempuan itu sudah menyakitiku. Aku ingin ia merasakan hal yang sama dengan melihat adik kesayangannya hancur di tanganku," ucap Alan penuh penekanan.Tatapan mata yang tajam dan masih merah, membuat Felisha tercekat. Ia seperti tak bisa lagi berkata-kata selain menelan saliva sebab ketakutan yang melanda.Perlahan Alan kembali menurunkan kepalanya seiring seringai yang sempat hadir untuk Felisha. Membuat gadis itu ketar ketir, membayangkan apa yang akan lelaki itu lakukan selanjutnya.Satu sentuhan kembali lelaki itu lakukan tepat setelah kain terakhir yang menutupi dada Felisha terhempas. Suara desah hampir saja lolos keluar dari mulut Felisha andai ia tidak sadar bahwa saat ini dirinya sedang dilecehkan.Air mata sudah mulai mengaliri kedua pipinya saat gelenyar aneh tiba-tiba hadir seiring aksi yang tengah Alan lakukan pada tubuhnya. Hanya liukan tubuh —respon dari pemberontakan yang bisa Felisha lakukan saat ini yang Alan tanggapi lain.Ruangan itu bising oleh permohonan dan penolakan dari Felisha. Tapi, tak ada suara apapun yang terdengar di seluruh penjuru rumah. Sehingga tak satu pun orang di dalam rumah besar itu tahu jika tengah terjadi pelecehan yang majikan mereka lakukan terhadap seorang gadis di kamarnya.Suara decit ranjang yang menjadi latar suara sebab gerakan nafsu Alan yang beradu dengan gerakan penolakan yang Felisha tunjukkan, membuat penolakan gadis itu beradu seirama.Beberapa menit kemudian setelah Felisha jatuh kepayahan, Alan selesai dengan aksinya. Warna merah dan keunguan sudah menghiasi dada adik iparnya yang sebelumnya putih mulus. Kepalan yang masih mengunci kedua tangan di atas kepala gadis itu, perlahan berpindah posisi ke sisi kepala. Lelehan air mata bisa Alan lihat membasahi wajah cantik Felisha. Namun, tampaknya hal itu tidak membuatnya iba atau kasihan. Lelaki itu malah akan menyibak kain terakhir di pangkal paha ketika tiba-tiba ketukan pintu memenuhi ruang kamar.Tadinya Alan tak mau ambil peduli. Ia sudah menarik kain berwarna pink itu dari tempatnya dan terlempar entah ke mana. Ketika dirinya tengah mengamati dan terpesona untuk kedua kalinya akan keindahan yang terlihat di bawah tubuh adik iparnya, ketukan di pintu semakin kencang terdengar."Sial!" umpat Alan seraya beranjak bangun. Lalu, meninggalkan Felisha yang serta merta menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang polos. Masih terisak, gadis itu segera bangun dan berdiri untuk mengambil pakaian yang tercecer di lantai.Sayup terdengar di telinganya ketika Alan memaki seseorang di luar sana."Ada apa?""Ma-aaf, Tuan. Ada kabar dari asisten pribadi papa Anda.""Kabar apa?""Eh, itu, Tuan Adi masuk ICU."***"Kau akan jadi budakku selamanya!""Selamanya!""Selamanya!""Selamanya!"Suara itu terus berdengung di kepala Felisha. "Tidak!"Gadis itu menjerit ketakutan. Terbangun dari pingsan yang terjadi hampir dua jam lamanya. Dilihatnya ruangan kamar yang sudah satu tahun ia tinggali. Kamar ber-design lembut, dengan cat cream yang mendominasi, adalah tempat ternyaman gadis itu selama tinggal di kediaman Alan Tanujaya, kakak iparnya. Suami Dina, kakak perempuan satu-satunya. Yang menurut kabar yang didapat, kabur meninggalkan suami dan anaknya dengan seorang lelaki yang ternyata adalah mantan kekasihnya dulu. Yang ternyata tak pernah putus meski Dina menikah dengan Alan, tiga tahun lalu. Ya, Felisha baru tahu setelah mendengar info dari salah seorang asisten rumah yang sudah lama bekerja di kediaman keluarga kaya raya tersebut. Felisha yang akhirnya bisa keluar dari kamar Alan, setelah lelaki itu berbuat tak senonoh padanya, mendapat kabar tersebut saat akan kabur dari rumah. Rupanya Alan
Tak ada sahutan dari mulut Bu Rumi. Itu tandanya jika tebakan Felisha tidaklah keliru atau mungkin perempuan itu memang tidak tahu apapun. 'Kaak, aku mohon kembali. Aku tidak mau menjadi korban atas kepergian kamu.' Sembari menunduk, batin Felisha menangis. 'Tak rindukah kamu pada Rafael? Anak itu masih butuh dirimu sebagai ibunya. Setidaknya bawalah Rafael serta dan tidak membuat anak itu sendirian di sini yang pasti akan mencari dirimu nanti.'Di saat Felisha tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, di tempat lain Alan terlihat gelisah di depan ruangan ICU rumah sakit di mana sang papa tengah ditangani di dalamnya. Lelaki itu duduk di sebuah bangku panjang. Bersama seorang lelaki paruh baya yang adalah asisten papanya, ia berdoa pada Tuhan supaya papanya bisa melewati masa kritis yang sudah lebih dari dua jam berjalan dan masih belum ada hasil. 'Tuhan! Andai bisa, tukarlah tubuhku ini dengan tubuh papa yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana,' batin Alan berdoa dalam
Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya. Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka. Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bic
"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia