"Perempuan jalang kurang ajar! Tak tahu diuntung dan terima kasih!"
Sebuah kalimat kasar terdengar dari arah kamar Alan. Seorang pengusaha yang sudah menikah dan memiliki anak itu, seperti tengah mengamuk sebab alasan tertentu.Beberapa orang pembantu rumah tersebut bisa mendengar dengan jelas karena pintu kamar yang tidak ditutup. Mereka tampak ketakutan dan saling memandang satu sama lain.Alan baru pulang dari kantor beberapa menit yang lalu. Tak lama kemudian, suara membahana itu langsung menghiasi seluruh sudut ruangan di lantai tiga tersebut.Di tengah Alan yang masih marah, juga para pembantu yang masih bersiaga di depan pintu kamar, tiba-tiba sosok perempuan muda muncul di anak tangga terakhir. Ia yang muncul dari bawah, tampak heran dan bingung ketika melihat empat orang pembantu berdiri di depan kamar kakaknya dengan kepala menunduk."Ada apa?" tanya perempuan muda itu setelah mendekat dan menghampiri salah satu pembantu.Namun, belum sempat pembantu di depannya membuka mulut untuk menjawab, sosok Alan muncul dan sudah berdiri di ambang pintu dengan kedua matanya yang merah menatap ke arah perempuan muda tadi."Kamu? Masuk!" seru Alan tiba-tiba, meminta sosok perempuan muda itu masuk ke kamarnya."A-aku, Kak?" tanya perempuan itu sedikit terbata. Ia pasti kaget mendengar permintaan -lebih tepatnya perintah, yang Alan katakan."Apakah kamu melihatku memandang orang lain?"Perempuan itu menggeleng. Tapi, masuk ke kamar pribadi milik kakak dan iparnya, itu bukan sesuatu yang baik menurutnya. Terlebih ia belum melihat keberadaan kakak perempuannya sekarang.Felisha Putri, nama perempuan muda itu. Sudah setahun yang lalu tinggal di rumah besar tersebut. Kuliah dengan dibiayai Alan, yang tiga tahun lalu menikahi Dina -kakak semata wayangnya, sembari ikut menjaga Rafael, bocah dua tahun yang adalah buah hati pasangan suami istri tersebut.Ya, Alan adalah kakak iparnya. Pengusaha kaya, tampan, dan baik hati. Lelaki yang menikahi kakaknya sebab hutang yang dimiliki oleh kedua orang tuanya kepada banyak orang, termasuk keluarga Tanujaya.Entah apa yang tengah terjadi sekarang. Felisha yang baru pulang kuliah, dikejutkan dengan penampakan para asisten rumah yang berdiri ketakutan di depan kamar kakaknya. Yang anehnya tidak ia lihat sejak dirinya masuk ke rumah. Padahal biasanya, ia akan melihat wanita itu di ruang makan, mengawasi para pelayan menyiapkan makan malam."Apakah kamu tuli?"Kembali pada kondisi yang terlihat sedikit mencekam saat ini, Felisha akhirnya bergerak maju, perlahan masuk ke kamar kakaknya setelah mendengar bentakan Alan.Sebelum pintu ditutup, Felisha bisa mendengar lelaki itu berkata sesuatu pada para asisten di depan."Kembali ke tempat kalian masing-masing!"Setelah itu, pintu berdebam kencang. Felisha sampai berjengit kaget sebab suara yang begitu kencang menyapa gendang telinganya.Posisinya masih menatap ke arah Alan yang kini berbalik menatapnya. Tampak bingung sebab tatapan lelaki itu yang menurutnya terlihat lain dari biasanya, membuat Felisha kini merasa ketakutan.Lelaki itu berjalan, mendekat ke arah Felisha sembari menanggalkan jas serta menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Lalu,Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Felisha. Sontak perempuan itu meringis kesakitan sebab Alan melakukannya dengan kekuatan yang begitu nyata. Bahkan, Felisha hampir terjungkal kalau saja tidak ada meja di belakangnya berdiri."A-ada apa ini, Kak? Kenapa Kak Alan nampar aku?" Masih meringis, perempuan itu berusaha bertanya. Ekspresinya kaget sebab tiba-tiba kakak iparnya berlaku kasar.Tapi, bukannya menjawab Alan malah mendorong tubuh Felisha sampai tersudut ke dinding kamar, lalu mendekatkan kepalanya dan mencium gadis itu dengan beringas.Felisha tampak tak siap. Ia kaget bukan main ketika Alan menciumnya penuh nafsu. Bahkan, ia tak bisa berdiri dengan tegak ketika Alan juga membawa tubuhnya dalam pelukan.'Apa ini? Apa yang terjadi sebenarnya?' batin Felisha menjerit. Ia jelas tak terima dengan aksi Alan padanya.Mencium adik ipar di saat tak ada istrinya, itu adalah sebuah pelanggaran dan sangat salah. Bahkan Felisha merasa telah menjadi seorang pengkhianat bagi kakaknya, Dina.Alhasil, Felisha pun mencoba mendorong tubuh Alan, juga berusaha menarik diri dari pelukan lelaki itu pada tubuhnya. Ingin sekali ciuman itu terlepas, tetapi anehnya begitu sulit dilakukan di tengah emosi yang sepertinya tengah menyelimuti jiwa dan raga Alan."Kak ... lepaskan ...!"Perkataan Felisha bahkan tak ubahnya sebuah gumaman yang meluncur dari mulut yang bibirnya Alan kunci."Kak!" Usaha terakhir kali, Felisha berhasil melepaskan pagutan di bibirnya.'Ciuman pertamaku,' batin Felisha menangis, tapi lega.Namun, hal itu tidak berlangsung lama. Tiga detik kemudian, Alan kembali melakukan aksi yang sama seperti tadi, bahkan lebih.Lelaki itu menarik adik iparnya, sambil menempelkan bibirnya ia lalu mendorong tubuh tinggi semampai Felisha ke atas ranjang berukuran besar miliknya."Arh!" pekik Felisha kaget bercampur khawatir. Ekspresinya jelas takut saat melihat kedua mata Alan yang masih merah dan tajam menatapnya."K-Kak Alan. Ada apa ini?" Gemetar suara Felisha. Ia takut bukan main dengan aksi yang kakak iparnya lakukan."Ada apa? Seharusnya kamu tanyakan pada kakakmu itu!" seru Alan dengan kedua tangan yang mengungkung tubuh Felisha."Kak Dina? Ada apa dengan Kak Dina?" Sembari menangkup dadanya dengan tangan, gadis itu menatap iparnya tak mengerti."Kamu tak tahu atau pura-pura tak tahu? Bukankah kalian sangat dekat. Apakah kakakmu tidak pernah bercerita sebelumnya mengenai rencana perginya ia dari rumah ini?""Ap-apa? Kak Dina pergi?" ucap Felisha kaget."Cih! Entah siapa yang sedang memainkan drama di sini. Apakah aku yang bodoh dengan mempercayai kakak beradik seperti kalian tinggal di sini? Atau kamu yang memang sengaja tinggal untuk menutupi kebusukan perempuan jalang itu!"Ada gemetar kemarahan yang Felisha rasakan ketika sang kakak mendapat julukan baru dari iparnya itu."Jangan mengatakan hal buruk tentang Kak Dina!"Di mata Felisha, Dina adalah seorang kakak yang sangat baik. Sebagai seorang wanita, Dina juga berhasil menjadi seorang istri yang baik, taat, dan berbakti kepada Alan, suaminyaTampak Alan tertawa mencemooh. Mendengar pembelaan dari seorang adik terhadap kakaknya. Sungguh membuat Alan seperti tergelitik, merasa lucu."Lalu, menurutmu panggilan apa yang cocok aku berikan pada kakakmu itu setelah ia memberiku berita bahwa saat ini ia pergi dari rumah sebab ingin tinggal bersama dengan kekasih yang selama ini disembunyikan dariku? Apa?"Bak disambar petir di siang bolong meski senja perlahan mulai gelap, Felisha terkejut mendengarnya."Tak mungkin," ucap Felisha lirih. "Tidak mungkin Kak Dina seperti itu."Felisha tampak tidak terima dengan kabar yang baru saja Alan sampaikan. Tidak mungkin kakaknya berbuat hal jahat seperti itu.Alan tertawa. Lelaki itu, meski berusaha tampak ceria, tetapi bisa Felisha lihat ada kesedihan yang tengah ia coba sembunyikan.Tak menunggu sampai gadis muda di bawah kungkungannya percaya akan berita yang ia sampaikan, Alan segera bergerak dan beraksi. Ia seolah ingin melampiaskan kemarahan yang saat ini menggerogoti jiwanya sebab ulah sang istri yang tak tahu diuntung."Sekarang tak ada lagi sosok penghangat ranjang ini setelah perempuan jalang itu pergi. Mau tak mau, aku yang sudah mengeluarkan banyak uang untuk kuliah, tempat tinggal dan semua hal yang aku keluarkan untuk kamu dan kakakmu itu selama tinggal di sini, harus kamu bayarkan lunas.""Ap-apa maksud, Kak Alan?" Felisha mulai panik. Ia takut dengan kalimat terakhir yang lelaki di atasnya itu katakan."Layani aku. Layani aku seperti sebelumnya Dina melayaniku selama tiga tahun masa pernikahan kami.""Ap-apa! Tidak!" pekik Felisha takut.***Air mata sudah mulai menggenang di pelupuk mata Felisha. Ia sudah bisa membayangkan maksud dari pelayanan yang Alan katakan. Bagaimana mungkin gadis itu melakukan hal tersebut. Ia adalah adik ipar Alan. Sosok kakaknya masih ada meski entah di mana keberadaannya sekarang. Bagaimana mungkin ia mengkhianati Dina dengan melayani kakak iparnya sendiri. Selain ia tidak memiliki perasaan cinta kepada Alan, perasaan enggan di hatinya membuatnya tak mau menyetujui permintaan Alan barusan. "Kalau kamu tidak mau, biar aku yang melakukannya!" seru Alan seraya menarik paksa pakaian Felisha keluar dari tubuhnya. "Tidak, Kak. Jangan seperti ini. Ki-kita bisa bicarakan baik-baik. Pasti terjadi kesalahpahaman di sini." Felisha mencoba menghentikan aksi Alan di tengah kondisi tubuhnya yang kini menyisakan dua pakaian dalam yang masih melekat. Namun, Alan tetap bergeming. Ia seperti enggan mendengar perkataan Felisha. Kedua tangannya sudah akan melepas kain terakhir pada tubuh adik iparnya ketika ia
"Kau akan jadi budakku selamanya!""Selamanya!""Selamanya!""Selamanya!"Suara itu terus berdengung di kepala Felisha. "Tidak!"Gadis itu menjerit ketakutan. Terbangun dari pingsan yang terjadi hampir dua jam lamanya. Dilihatnya ruangan kamar yang sudah satu tahun ia tinggali. Kamar ber-design lembut, dengan cat cream yang mendominasi, adalah tempat ternyaman gadis itu selama tinggal di kediaman Alan Tanujaya, kakak iparnya. Suami Dina, kakak perempuan satu-satunya. Yang menurut kabar yang didapat, kabur meninggalkan suami dan anaknya dengan seorang lelaki yang ternyata adalah mantan kekasihnya dulu. Yang ternyata tak pernah putus meski Dina menikah dengan Alan, tiga tahun lalu. Ya, Felisha baru tahu setelah mendengar info dari salah seorang asisten rumah yang sudah lama bekerja di kediaman keluarga kaya raya tersebut. Felisha yang akhirnya bisa keluar dari kamar Alan, setelah lelaki itu berbuat tak senonoh padanya, mendapat kabar tersebut saat akan kabur dari rumah. Rupanya Alan
Tak ada sahutan dari mulut Bu Rumi. Itu tandanya jika tebakan Felisha tidaklah keliru atau mungkin perempuan itu memang tidak tahu apapun. 'Kaak, aku mohon kembali. Aku tidak mau menjadi korban atas kepergian kamu.' Sembari menunduk, batin Felisha menangis. 'Tak rindukah kamu pada Rafael? Anak itu masih butuh dirimu sebagai ibunya. Setidaknya bawalah Rafael serta dan tidak membuat anak itu sendirian di sini yang pasti akan mencari dirimu nanti.'Di saat Felisha tengah berkecamuk dengan pikirannya sendiri, di tempat lain Alan terlihat gelisah di depan ruangan ICU rumah sakit di mana sang papa tengah ditangani di dalamnya. Lelaki itu duduk di sebuah bangku panjang. Bersama seorang lelaki paruh baya yang adalah asisten papanya, ia berdoa pada Tuhan supaya papanya bisa melewati masa kritis yang sudah lebih dari dua jam berjalan dan masih belum ada hasil. 'Tuhan! Andai bisa, tukarlah tubuhku ini dengan tubuh papa yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana,' batin Alan berdoa dalam
Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya. Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka. Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bic
"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka