Sofa tunggal berwarna abu-abu adalah tempat yang Alan duduki saat ini. Menghadap dua orang tua yang duduk di depannya dengan sikap yang terlihat cemas, panik, juga takut, begitu terlihat sebab bokong mereka yang hanya menempel di ujung sofa. Sedangkan Felisha, gadis itu hanya berdiri di belakang di mana kedua orang tuanya duduk. Kepalanya terus menunduk sebab perasaan takut yang menggelayuti jiwanya setelah beberapa waktu lalu lelaki di depannya itu hampir merenggut kesuciannya.
Dua orang tua dengan pakaian tidur yang melekat di tubuh, tampak mengkerut atas kedatangan Alan di kediaman mereka, di jam dua malam. Meski sudah tahu ada peristiwa apa, tetap saja mereka kaget dengan kedatangan Alan yang mereka pikir terlalu cepat. Terlebih sosok Felisha juga dihadirkan di sana dengan ekspresi yang sama takutnya dengan mereka.Tak ada yang bersuara sejak sepuluh menit lalu Alan datang dan membangunkan semua penghuni rumah. Semua tampak diam membisu hingga lelaki itu sendiri yang memulai bicara."Kalian sudah tahu apa yang terjadi bukan?" tanya Alan membuka suara.Herman Sumitra, ayah Felisha terlihat menengok ke arah istrinya. Dengan perasaan takut, ia sendiri ragu untuk menjawab."Aku bertanya pada kalian, bukan pada angin malam yang hanya menyuarakan hening!""Ka-kami tahu, Na-Nak Alan."Entah apakah Herman masih pantas memanggil menantunya dengan panggilan demikian setelah apa yang putri sulungnya lakukan. Ia hanya spontan dan kaget karena bentakan yang selama ini tak pernah sekali pun Alan lakukan terhadap mereka.Lirikan mata pengusaha itu seolah menjawab kekhawatiran yang Herman rasakan.'Ia sudah tidak menganggap kami mertuanya lagi,' batin Herman gugup."Tapi, sungguh! Kami tidak tahu menahu akan hal itu. Dina tidak pernah mengatakan apapun selama ini. Kami juga tidak tahu kalau ia masih berhubungan dengan kekasihnya. Andai kami tahu, tentu kami akan marah dan memintanya memutuskan hubungan dengan lelaki itu," ucap Herman cepat.Bahkan, lelaki itu sampai menggelosor ke lantai seperti ingin meminta ampunan atas pembelaan yang ia lontarkan.Ini bukan salahnya atau salah sang istri. Dina benar-benar rapat menyimpan semuanya selama tiga tahun. Ketika ia sampai memiliki anak dari pernikahannya dengan Alan, siapa yang akan menyangka bahwa ia bermain api di belakang. Termasuk mereka.Namun, sepertinya penjelasan yang Herman sampaikan juga aksinya yang sedikit berlebihan, sama sekali tidak membuat Alan percaya atau tersentuh. Bagi lelaki itu, semua yang terjadi saat ini ada peran dari kedua orang tuanya yang tak becus mendidik sang putri."Tak perlu banyak bicara. Kedatanganku ke sini karena ada hal yang harus aku sampaikan. Ada kompensasi yang harus kalian berikan sebab ulah putri sulung kalian."Herman mengangkat wajahnya sedikit. Lalu, diliriknya sang istri yang melihat ke arahnya dengan ekspresi panik. Juga Felisha, yang sejak awal kedatangannya lebih banyak diam dan menunduk."Layani aku!" ucap Alan membuat ketiga orang di depannya mendongak, menatap kaget.Namun, kebingungan mereka akhirnya terjawab ketika mendapati tatapan Alan yang lurus melihat ke arah Felisha."Ap-apa maksud, Kak Alan?" Terbata Felisha menjawab. Ia tahu jika dirinya yang lelaki itu maksud.Semua terlihat diam. Hening menjadi latar mereka di ruang tamu keluarga Sumitra. Dua orang anak buah Alan yang berdiri di belakang tuannya, juga diam menyaksikan semua adegan di depan mereka."Seperti apa yang aku katakan padamu tadi, kamu harus jadi pengganti kakakmu di atas ranjang yang sudah ia tinggalkan."Kalimat vulgar dan sensitif yang seharusnya menjadi ranah privasi, tapi justru Alan ucapkan lantang tanpa sungkan atau malu."Pengganti apa, Kak?" Felisha menatap ngeri. Terbayang di otaknya, pelayanan apa yang harus ia berikan kepada Alan, yang notabene adalah kakak iparnya sendiri.Meski tak dipungkiri jika Alan adalah seorang laki-laki yang sangat tampan dan kaya raya, tetapi di mata Felisha lelaki itu adalah kakak iparnya. Tetap seseorang yang harus ia hormati sebagai laki-laki yang masih sah menjadi suami dari kakaknya."Pengganti wanita jalang itu ketika aku membutuhkan kehangatan di atas tempat tidur, apalagi menurutmu?"Dua orang tua yang sudah duduk lesehan tampak kaget ketika panggilan sayang untuk Dina dari Alan dahulu, berubah menjadi sebutan yang begitu hina dan menjijikan. Sebegitu cepat lelaki itu mengubah panggilan kepada istrinya karena ulah perempuan itu sendiri yang juga sudah membuat kedua orang tuanya marah dan malu.Felisha terlihat menggeleng. Ia jelas tak mau menjadi pengganti yang Alan maksud.Tak terbayangkan bagaimana ia harus menemani dan melayani Alan di atas ranjang dan berhubungan intim dengan lelaki yang sama sekali tidak pernah ia bayangkan akan melakukan hal tersebut. Tidak seperti teman-temannya yang langsung tertarik pada Alan sejak pertama bertemu. Bahkan berani membayangkan lelaki itu menjadi obyek pasangan di pikiran kotor mereka."Aku tidak mau!" Felisha berteriak kencang.Air mata tiba-tiba mengalir di pipinya yang kemerahan. Sungguh jika bunuh diri dibolehkan oleh Tuhan, ia memilih menenggelamkan dirinya saja ke dasar laut yang dalam.Namun, Felisha tidak berani melakukan hal yang dilarang oleh Tuhan. Bunuh diri bukan solusi. Ia jelas berharap ada solusi lain sehingga dirinya bisa terbebas dari jerat permintaan Alan yang tidak masuk akal."Ayah, Ibu! Bicaralah! Bela dan bantu aku, Yah, Bu!" Pada akhirnya Felisha bersimpuh di depan kaki ayah dan ibunya. Menatap dua orang yang sangat ia sayangi, yang selama ini selalu mendukung semua hal yang ia sukai.Felisha sampai banjir air mata, berharap kedua orang tuanya membela dan menyuarakan penolakan atas kompensasi yang Alan minta. Semua yang ia lakukan juga diawasi oleh kedua mata Alan dari posisinya. Ada senyum sinis yang tampak di wajahnya saat melihat itu semua."Kalian tahu apa yang harus kalian lakukan. Semua aset kalian akan aku ambil jika kalian menolak apa yang aku minta. Juga semua uang yang sudah aku berikan selama tiga tahun ini, aku akan minta kembali sebab aku anggap hutang.""Tidak bisa begitu, Nak Alan." Kali ini ibu mertuanya yang bicara. Mereka jelas membayangkan bagaimana kehidupan mereka nanti jika Alan benar-benar melakukan apa yang dikatakannya."Nak Alan sudah memberikannya sebagai hadiah. Mana ada hadiah yang diambil lagi.""Lalu, apa menurut kalian ulah yang putri kalian sudah lakukan terhadapku tidak merugikanku? Semua hutang kalian sudah aku lunasi. Bahkan, aku sampai ragu apakah Rafael adalah anakku atau bukan.""Jangan berkata seperti itu. Kami yakin Rafael adalah anak kamu dan Dina.""Setelah tiga tahun perempuan itu masih berhubungan dengan kekasihnya, apa kalian yakin cuma benihku saja yang masuk ke dalam rahimnya?" Alan menyahut dan menatap kedua mertuanya tajam.Alhasil, mereka pun diam menunduk. Perkataan Alan benar. Siapa yang tahu anak siapa yang Dina lahirkan? Apakah benar anak Alan atau anak selingkuhannya itu?Felisha kesal melihat sikap kedua orang tuanya yang langsung diam ketika mendapat sangkalan dari mulut Alan."Aku yakin Rafael adalah anak Kak Alan dan Kak Dina. Muka Rafael sangat mirip dengan Kakak. Matanya dan bibirnya persis dengan punya Kakak." Felisha berusaha sekali supaya Alan tidak menolak kehadiran Rafael. Bocah dua tahun yang selama ini ia sayangi, jangan sampai dibuang sebab emosi atas kepergian ibunya."Sok tahu sekali kamu! Tak ada yang tahu, benar atau tidak anak itu adalah anakku setelah apa yang ia lakukan terhadap pernikahan kami." Alan menatap Felisha geram."Tapi ....""Sudah cukup!" Alan memotong ucapan Felisha cepat."Bukan itu topik yang sedang kita bicarakan. Urusan anak itu sudah aku putuskan. Ia akan tinggal di sini sampai aku mengetahui kebenaran statusnya.""Apa? Kak Alan jangan lakukan itu, kasihan Rafael," pinta Felisha penuh harap.Namun, Alan seolah tuli dan tak peduli."Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan TIDAK!"***"Aku akan membawa anak itu kembali ke rumah jika benar-benar dia adalah darah daging ku. Sekarang, kembali ke topik semula. Kamu akan tinggal di kediaman ku sampai semua kemarahan hilang dan mereda. Selama aku masih teringat akan sosok perempuan itu, selama itu kamu masih harus tinggal dan melayaniku.""Aku katakan tidak!"Alan tampak menengok kedua mertuanya. Ia seperti meminta jawaban dari permintaannya barusan. "Beri kami waktu sepuluh menit untuk membicarakannya dengan Felisha," ucap Herman akhirnya. Alan menarik napas panjang, lalu melepasnya perlahan. "Baiklah, aku beri kalian waktu lima menit, tak lebih. Aku tidak memiliki banyak waktu untuk mengurusi masalah ini. Iya atau tidak, katakan padaku di luar!" seru Alan yang kemudian beranjak berdiri, lalu meninggalkan tiga orang di depannya diikuti kedua anak buahnya. Ketika ia melewati Felisha yang duduk bersimpuh di depan ayah dan ibunya, Alan menyempatkan berbicara. "Kalau kamu menolak maka aku akan hancurkan keluargamu!" uca
Air mata masih terus mengalir meski Felisha sudah terbaring di kamarnya kembali, di kediaman Alan. Waktu sudah semakin menjelang pagi ketika ia sampai di rumah mewah tersebut. Masih terbayang di pikirannya, hal yang Alan paksa lakukan kepadanya ketika berada di dalam mobil di sepanjang jalan pulang dari kediaman orang tuanya. Felisha menggeleng. Ngeri dan jijik bercampur jadi satu. Membayangkan ketika ia harus bermain di area paling sensitif tubuh Alan dengan mulutnya, menari-nari di pelupuk mata. Hal yang belum pernah ia lakukan di sepanjang hidupnya, bahkan untuk membayangkannya saja tidak kepikiran sama sekali, justru ia lakukan terhadap kakak iparnya. Gadis itu merasa kotor. Terlebih ketika ingatannya terekam dengan jelas suara desah dan lenguhan yang keluar dari mulut Alan saat kepalanya ditekan dan dipaksa bermain, sungguh pengalaman yang sangat sulit ia lupakan meski ia ingin. Bahkan, mulutnya seolah masih merasa penuh sebab anggota tubuh Alan yang tadi. Berlendir dan menjiji
"K-kak Alan, mau apa lagi?" Terbata Felisha bicara.Level takutnya kepada lelaki itu semakin bertambah saja dari waktu ke waktu. Ia yang tak lagi melihat kebaikan sosok Alan Tanujaya, berusaha selalu menghindar dan menjauh. Pun seperti yang saat ini ia lakukan. Melihat kakak iparnya yang tiba-tiba sudah ada di dalam kamarnya -meski sebelumnya sudah ia kunci, Felisha bergerak mundur dan mencoba menjauh dari jangkauan Alan. Lelaki itu tampak berdiri. Usahanya yang tidak mau membangunkan gadis itu gagal. Seraya mengangkat dan mencium telapak tangannya yang beberapa detik lalu menyentuh sesuatu yang lembut, Alan perlahan mendekat. "Kamu sudah membuatku tak bisa tidur. Jadi, mau tak mau kamu harus membuatku lelah sehingga aku bisa istirahat walau sebentar sebelum pagi nanti aku harus kembali bekerja."Felisha menatap bingung. Apa salahnya sehingga Alan tidak bisa tidur? "Ap-apa yang harus aku lakukan? Bukankah tadi Kak Alan sudah memintaku melakukan hal yang ...." Felisha tidak mampu me
Meratap dalam tangis sebab pelepasan yang berhasil Alan dapatkan beberapa waktu lalu, membuat jiwa Felisha sedikit terguncang. Benda itu seolah masih bisa ia rasakan saat ini di dalam mulutnya meski sudah berulang kali menggosok gigi. Sungguh jorok dan menjijikan. Ia sama sekali tidak pernah membayangkan akan mengalami hal mengerikan seperti itu dalam hidupnya. Bahkan meskipun lelaki itu sudah tidak ada lagi di kamarnya, tetapi tetap bisa Felisha cium aroma tubuhnya yang membuat ia trauma.'Ya Tuhan, apa salahku sehingga Engkau memberiku hukuman seperti ini?' gumam Felisha yang masih menangis sesenggukan. Lenguhan panjang yang keluar dari mulut Alan masih terngiang di telinganya. Lebih kencang dari yang lelaki itu suarakan ketika di dalam mobil tadi malam. Bahkan, Felisha masih ingat ketika kakak iparnya itu memuji aksinya."Aku tidak menduga kau sepandai itu, Feli. Kau bahkan jauh lebih hebat dari yang Dina pernah lakukan."Gadis itu tidak bisa membayangkan bahwa pujian yang Alan ka
Pelayan perempuan itu akhirnya berbalik. Ia kembali melangkah dan menghampiri Felisha. "Saya, Non."Gadis itu dengan posisi berdiri yang terlihat masih lelah, menunggu pelayan itu mendekat. "Maaf, Non, pagi-pagi saya mengganggu. Tapi, saya diperintahkan oleh Bu Rumi untuk membangunkan Non Feli.""Bu Rumi? Ada apa?" tanya Felisha bingung. Tak tahukah wanita paruh baya itu jika dirinya baru tidur di jam empat tadi. Semua karena ulah majikannya yang sudah membuat ia tersakiti -dalam artian lain. "Saya tidak tahu, Non. Mungkin Non Feli bisa tanya langsung ke Bu Rumi. Beliau ada di ruang makan sedang membantu pelayan menyiapkan sarapan pagi.""Ehm, baiklah. Beri tahu Bu Rumi saya akan segera ke bawah."Pelayan itu tampak mengangguk. Setelahnya, ia pun pamit pergi meninggalkan Felisha yang terlihat menguap. 'Ada apa? Kenapa tumben sekali,' gumam Felisha yang kembali masuk ke kamarnya guna membersihkan diri sebelum menemui sang pelayan senior. Waktu terus berlalu, sepuluh menit kemudia
Kamar mandi di mana Felisha berada saat ini sama luasnya dengan ruang tidurnya. Tak terlihat seperti kamar mandi sebab ruangannya yang bersih dan mengkilap, tak ubahnya dengan ruang keluarga kalau tidak gadis itu melihat ornamen-ornamen yang membedakan. Dari cermin berbentuk oval di atas wastafel, bath tub besar yang juga berbentuk oval berwarna putih bersih, juga tirai yang ada di sudut paling dalam di mana Alan berjalan melangkah ke arahnya. Jangan menyebut sabun, sampo, sikat atau pasta gigi, semua lengkap terlihat di salah satu lemari susun tak berpintu. Entah apa yang ada di benak Alan saat ini setelah ia meminta adik iparnya untuk membantunya mandi. Lelaki itu seperti berubah sifat dan sikapnya setelah sang istri kabur dari rumah. "Tidak mungkin aku melakukan itu, Kak. Aku pikir Kak Dina juga tidak melakukan hal tersebut bukan?""Jangan sebut nama perempuan itu lagi di hadapanku! Kamu mau melakukan apa yang aku perintahkan atau kamu tahu resiko atas penolakanmu itu."Tadinya F
"Semalam kamu sudah lihat bukan? Jadi, jangan berlagak sok polos seolah baru pertama kali melihatnya," ucap Alan sinis. Alan tidak salah memang, Felisha memang sudah melihat milik kakak iparnya itu. Tapi, itu karena pemaksaan yang lelaki itu lakukan terhadapnya. Sekarang, matanya harus kembali ternoda setelah dengan cuek Alan memperlihatkan miliknya kembali di depan gadis yang bukan istrinya. "Siapkan pakaian kerja untukku!" perintah Alan kemudian seraya membasuh tubuhnya untuk terakhir kali. "Pakaian kerja?"Felisha kembali harus dihadapkan pada pekerjaan yang belum pernah ia lakukan. Menyiapkan pakaian untuk seorang pengusaha seperti Alan, apakah ia bisa melakukannya sedangkan selama ini pasti kakaknya lah orang di balik semua itu. Tak mau sampai Alan memerintah untuk kedua kali, dengan langkah ragu Felisha pun keluar untuk menuju walking closet milik kakak iparnya. Lega ia rasakan setelah tidak harus melihat polosnya tubuh Alan di dalam kamar mandi. Tapi, kini ia dibuat terpes
Sepanjang hari itu Felisha lebih banyak berdiam diri. Bahkan, teman satu bangkunya di salah satu kelas —Feby, bisa melihat perbedaan yang terjadi pada diri gadis itu. Hingga dosen yang sejak satu setengah jam lalu memberikan materi tentang ekonomi publik di hadapan para mahasiswa itu keluar kelas, Feby langsung berbisik di dekat Felisha yang tengah membereskan buku dan peralatan tulisnya ke dalam tas. "Apakah kamu sedang punya masalah, Feli?""Hah! Tidak. Kenapa begitu?" Ada keterkejutan yang tampak di wajah Felisha ketika sosok perempuan di sebelahnya menanyakan kabarnya. "Aku perhatikan sejak tadi kamu terus melamun sepanjang Pak Zaki berbicara di depan kelas. Aku sampai berdoa semoga beliau tidak menegur kamu seperti yang pernah dilakukannya pada Gea tempo hari."Felisha tersenyum canggung. Tapi, sesaat kemudian ia hanya menggeleng. "Terima kasih karena sudah mengkhawatirkan aku, Feb.""Sungguh, andai kamu mau cerita aku akan dengarkan." Feby kembali bicara. "Terima kasih seka
Alan sampai di sebuah rumah sakit bersama Alvaro dan Luna. Ia berlari menuju area UGD untuk mencari keberadaan Felisha. "Siapa namanya, Pak?" tanya seorang perawat penjaga ketika Alan bertanya begitu heboh. "Felisha Putri.""Sebentar saya lihat dulu." Perawat lelaki itu kemudian mengecek nama Felisha di komputer. Beberapa saat kemudian ia kembali melihat Alan. "Maaf, Pak. Tidak ada nama pasien bernama Ibu Felisha di sini.""Jangan bohong, Mas. Dengan jelas teman saya melihat kalau istri majikan saya ke rumah sakit ini." Alvaro mencoba menjelaskan. "Saya tidak tahu itu. Kalau melihat data yang saya lihat, nama Felisha Putri memang tidak ada di sini."Alan menatap Alvaro kesal. "Kamu tahu kabar itu dari siapa?""Dari Fery, Tuan. Dia tadi mau pulang dan tidak sengaja melihat Nona Felisha dibawa kesini.""Dia melihat di sini atau di mana? Coba kamu hubungi dia lagi sekarang!""Baik, Tuan. Sebentar saya hubungi Fery."Di saat Alvaro mencoba menghubungi salah seorang temannya, Alan meng
Semua orang menatap tak percaya. Bu Rumi yang tadi tengah membantu Felisha di kamar, terperangah demi mendengar kalimat Alan barusan. "Apakah Kaka pikir keluargaku hanya mereka saja?" Felisha terlihat tertawa. Alan menatap tajam dengan mulut membisu. "Jadi, terakhir aku tanya, Kaka mau apa? Mau menghukum aku seperti dulu? Atau mau aku pergi dari sini?""Kau tak akan berani." Alan berkata dingin. Lagi-lagi Felisha tertawa mengejek. "Apakah Kaka sedang menantang aku?"Alan diam tidak menjawab, membuat Felisha kemudian masuk ke kamar untuk mengambil satu-satunya barang miliknya, yaitu tas ransel berukuran kecil yang hanya berisi beberapa benda penting, yang ia miliki sebelum dinikahi Alan. Alan masih diam ketika perempuan itu berdiri di depannya. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, satu yang pasti aku tak akan pernah terima dengan tuduhan Kaka kepadaku. Termasuk tindakan Kaka yang memaksaku tadi."Setelah berkata demikian Felisha pergi meninggalkan Alan dan orang-orang yang hanya bi
Keesokan paginya Alan sudah bersama Alvaro di sebuah tempat di mana tampak sesosok perempuan yang duduk dalam keadaan terikat di atas sebuah kursi kayu yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu tertawa menatap Alan yang melihatnya marah. "Kenapa, Alan? Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanpa ada rasa takut sedikit pun, perempuan itu kembali tertawa. "Apakah kamu tidak menyesal sama sekali, Dina?" Pertanyaan yang Alan lontarkan disambut tawa riang yang menggema di seluruh sudut ruangan. "Menyesal katamu? Menyesal untuk apa?""Kau sudah tertangkap, Dina. Semua bukti tentang rencana penculikan yang kau lakukan bersama kekasihmu itu sudah aku pegang. Aku hanya tinggal membawamu ke kantor polisi dan membiarkanmu membusuk di dalam penjara.""Hahaha. Kamu pikir aku takut, Alan?"Tidak menatap wajah pengusaha itu, Dina justru menatap lampu serta langit-langit ruangan yang tinggi. Entah di mana ia berada sekarang, hanya kegelapan yang tampak di matanya. "Kau benar-benar sudah ti
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
Gani tertawa mendengar pertanyaan yang Felisha ajukan. Menurutnya Felisha tak perlu tahu apa yang terjadi atas hubungannya dengan Dina, kakak sepupunya itu. "Dina bosan. Pengusaha itu terlalu monoton. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk bersenang-senang.""Monoton? Apa maksudmu?" tanya Felisha tak mengerti. Tawa Gani semakin kencang seolah Felisha telah melakukan sesuatu yang lucu di depannya. "Apalagi, Feli? Menurutmu apa yang monoton kalau bukan urusan ranjang?" sahut Gani tertawa. "Seks," lanjutnya berkata pelan. Seketika Felisha paham. Sejenak ia membayangkan apa yang Gani katakan. 'Monoton? Apakah Kak Dina seseorang yang hyper? Bagaimana bisa ia menilai kalau Kak Alan seorang yang monoton?' benak Felisha bertanya. Sejauh yang Felisha rasakan selama melayani Alan, lelaki itu sama sekali tidak monoton. Alan sangat aktif dan penuh gaya. Namun, entahlah. Mungkin bagi seorang Felisha yang selama ini tak pernah melakukan hubungan intim dengan orang lain kecuali dengan
Saat ini hanya tinggal Felisha dan Gani saja di dalam ruangan. Dina sudah pergi bersama orang-orang bayarannya sebab tak ingin melihat aksi yang Gani lakukan terhadap Felisha. "Tak ingin melihat wanita ini mati tersiksa?" tanya Gani sesaat sebelum Dina pergi meninggalkannya. "Kau gila kalau berpikir aku mau melihat kalian bersenang-senang," balas Dina waktu itu. Yang kemudian mendapat respon tawa mengerikan dari mulut Gani. Sekarang giliran Felisha yang ketakutan karena membayangkan hal apa yang hendak lelaki itu lakukan kepadanya. 'Sampai membuat calon bayi di dalam kandunganku mati, itu berarti ada dua kemungkinan. Tapi, apakah ia akan setega itu padaku?' batin Felisha demi membayangkan hal mengerikan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kamu tahu, aku serius ketika mengatakan bahwa wajahmu sangat mempesona. Jadi, aura wanita yang sedang hamil memang tak bisa dipungkiri begitu menggoda." Perkataan Gani tentang Felisha yang sempat membuat Dina cemburu, kembali lelaki it
Felisha merasakan suasana yang dingin dan lembab. Ia tak tahu ada di mana sekarang. Karena selain kedua matanya yang tertutup, suasana hening di tempat tersebut semakin membuat keberadaannya tak bisa dibayangkan. Wanita itu hanya ingat mobil yang Pak Zaky kendarai dihadang oleh rombongan mobil lain ketika ia sudah hampir sampai rumah. Beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pakaian para anak buah Alan, turun dari dalam mobil tersebut lalu menghampiri dan menarik paksa dirinya keluar. Felisha tak diam saja, termasuk Luna dan dua pengawal yang Alan tugaskan untuk menjaganya. Mereka melawan sampai akhirnya terjatuh dan tak berdaya sebab jumlah yang tidak sebanding. Bahkan, Felisha harus pingsan ketika salah seorang dari mereka memukul tengkuknya dengan kencang. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Berapa lama ia tak sadarkan diri hingga kemudian terbangun di sebuah tempat yang saat ini ia rasakan terasa mencekam. Bagian yang terlewati tak ada dalam memorinya. Lama Fe
Alan memutuskan untuk segera menyusul Felisha yang sudah pulang lebih dulu setelah tak ada hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua di kantor selain bertengkar. Alan yang baru saja mendapat pencerahan atas kelalaiannya terhadap sang istri, kini menyesali apa yang sudah terjadi. Alvaro, lelaki yang mendadak menjadi seorang penasihat perkawinan, rela menghabiskan waktunya di kantor setelah sebelumnya habis dimarahi oleh sang tuan. Dianggap tak becus memberi nasihat serta saran, yang nyatanya justru Alan sendiri yang salah menanggapi saran tersebut. "Aku akan pulang dengan pengawal. Kamu selesaikan saja laporan kegagalan proyek tahun lalu, lalu kirimkan hasilnya ke email-ku. Aku harus meminta maaf pada istriku karena kebodohan yang sudah aku buat."Alvaro senang mendengarnya. Itulah mengapa ia dengan penuh kerelaan lembur hari itu sebab tugas yang tak main-main Alan berikan. 'Semoga saja Nona Feli mau memaafkan Anda, Tuan. Sebab setahuku, wanita hamil akan sulit dibujuk apalagi un
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap