"Ayah!" Felisha terkejut saat melihat sosok Herman Sumitra ada di dalam ruangan kamar hotel yang sebelumnya Alan masuki. Di sana, lelaki itu tengah duduk di sebelah seorang lelaki paruh baya lainnya yang terlihat seperti seorang pemuka agama. Menatap putrinya dengan tatapan pilu. Felisha yang masuk diantar oleh Luna langsung diam tak bergeming. Ia langsung tahu rencana apa yang tengah Alan buat. Saat ini, di mana ada empat orang lelaki dewasa yang duduk bersama Alan tengah menunggu sesuatu. Yang Felisha yakin akan ada acara sakral yang akan melibatkan dirinya. "Kita langsung mulai saja, Pak." Tiba-tiba Alan bicara. Kemudian ia menyuruh Luna untuk membawa Felisha duduk di sebelahnya. "Kak, ada apa ini?" tanya Felisha setelah ia duduk di sebelah Alan. Meski ia tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, ia hanya ingin mendengar langsung dari mulut kakak iparnya itu. "Aku sudah menceraikan Dina. Dan sekarang, aku mau kita menikah.""Apa? Enggak, Kak!" Felisha berseru kaget. Ia jelas me
Felisha hanya bisa menangis di kesendiriannya di salah satu kamar hotel yang berbeda dengan tempat di mana terselenggaranya akad nikah yang Alan lakukan. Luna telah kembali ke kantor menemui sang tuan. Meninggalkan Felisha sendiri tanpa khawatir apakah perempuan itu akan kabur atau tidak. Sebab dua orang penjaga telah disiapkan oleh asisten Alan tersebut di depan kamar yang kini ditempati oleh sang nyonya baru. "Kalian tahu akibatnya jika Nona Felisha sampai kabur atau pergi dari kamar ini," ucap Luna tanpa bermaksud mengancam para pengawal yang ditugaskan menjaga. Dua laki-laki bertubuh besar itu mengangguk, mengerti. "Tidak perlu kamu katakan, Luna. Kami tahu apa tugas kami saat ini.""Ya, aku hanya mengingatkan. Jangan sampai peristiwa kaburnya Nyonya Dina terulang lagi."Entah Luna bermaksud menyindir atau menakut-nakuti, tetapi saat insiden kaburnya Dina dari kediaman Tanujaya, kedua pengawal itu jugalah yang sedang bertugas di rumah mewah tersebut. "Jangan menyindir kami,"
"Halo, Feli! Kamu lagi sama siapa?" Suara Erik terdengar samar ketika ponsel Felisha terjatuh ke atas ranjang. Perempuan cantik itu spontan melirik ke arah ponsel. Sesaat kemudian ia melihat wajah kakak iparnya yang tersenyum sembari sesekali melihat ke arah di mana terdengar suara seorang lelaki yang mungkin ia kenal."Apakah kamu sedang berbicara dengan seseorang?" tanya Alan seraya melangkah maju dan mendekati Felisha. "Eh, i-iya. Aku sedang berbicara dengan salah satu teman.""Ah, kamu punya teman rupanya." Alan terdengar sekali menyindir. "Punya, walau tidak banyak." Felisha menjawab seolah ingin memuaskan ejekan lelaki di depannya itu. Sekarang Alan sudah berdiri, tepat di depannya. Sembari melepas jas hitam, ia juga kemudian melepas dasi dari ikatan di lehernya. "Sepertinya kamu masih belum mengerti posisi kamu sekarang." Alan bersuara lembut. Saking lembutnya, Felisha justru merasa aneh. Perempuan itu tiba-tiba bergidik sebab suasana aneh yang terjadi. Bagaimana Alan ber
Setelah cukup waktu bagi Alan menormalkan kondisinya setelah mendapatkan pelepasan, ia lalu beranjak bangun menuju kamar mandi dan meninggalkan Felisha yang tampak lesu. "Kaka masih mencintainya bukan?" Tiba-tiba Felisha bertanya. Alan menoleh demi mendengar pertanyaan yang istrinya itu ajukan. Melihat penampilan Felisha yang polos dengan kain selimut yang menutup tubuhnya, Alan hampir mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri dan berpikir untuk melanjutkan ronde berikutnya. "Apa yang kamu katakan?" Alan bertanya tak mengerti. Felisha membalas tatapan Alan. Tersenyum perempuan itu saat sang suami menatapnya bingung. "Nama Kak Dina telah terlontar dari mulut Kak Alan. Itu artinya Kak Alan masih mencintainya. Sosoknya masih ada di hati Kaka.""Kapan aku menyebut nama perempuan jal4ng itu?""Apakah Kak Alan lupa? Tadi setiap Kak Alan menikmati permainan yang Kaka buat sendiri, saat itu nama Kak Dina meluncur indah dari mulut Kaka.""Jangan sok tahu kamu!" Alan berseru kesal. "Ke
Alan tiba di rumah sakit tempat papanya dirawat dengan disambut oleh Sandi, asisten pribadi sang papa. Ia yang datang bersama Felisha, langsung menghampiri lelaki paruh baya yang berdiri di depan ruang ICU. "Bagaimana papa, Om?" tanya Alan dengan wajah penuh kecemasan. "Tenang, Alan. Papamu sudah sadar sekarang. Tapi, Om masih harus menunggu dokter keluar. Mereka sedang memeriksa apakah ada hal vital dari sadarnya papamu di dalam."Kabar yang Sandi sampaikan dengan suara yang tenang, menular hingga masuk ke seluruh syaraf Alan. Ketegangan yang ia rasakan saat mendapat kabar dari Alvaro, kini berangsur membaik dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Semoga papa benar-benar sembuh sekarang," harap Alan dengan wajah yang terlihat sekali bahagia. Setelahnya ia mendekat Felisha yang sebelumnya sempat ia abaikan. Pengusaha muda itu meminta istri barunya itu menyalami Sandi, orang kepercayaan keluarga Tanujaya yang sudah dianggap seperti saudara. "Om, Felisha." Alan berkata seraya
"Aku sudah menikah dengan Felisha."Alan langsung mengenalkan status barunya dengan Felisha kepada sang papa. Lelaki itu tampak percaya diri meski ia berpikir bahwa papanya tak akan setuju. "Bagaimana dengan mamanya Rafael?" Tuan Adi tidak menyebut nama Dina secara langsung.Hal itu membuat Felisha canggung. Sebab ia tahu bagaimana dulu Tuan Adi memperlakukan kakaknya, Dina. Sangat baik dan perhatian. Tapi, saat ini ia melihat sikap berbeda yang lelaki tua di depannya tunjukkan. "Aku enggan membahas perempuan itu sekarang, Pah. Papa baru pulih, lebih baik kita bahas tentang kondisi Papa saja.""Kondisi Papa kamu sudah tau, Alan. Papa yakin Farhan sudah menjelaskan semuanya secara detail. Benar begitu bukan?"Alan mengangguk. Sangat mudah ditebak jika dua lelaki yang sudah lama bersahabat itu tahu caranya menenangkan satu sama lain. Termasuk memberikan perhatian lebih kepada siapapun orang terdekat mereka. "Ya sudah, apa lagi yang mau kita bahas kalo gitu?" Tuan Adi menatap putrany
Alan benar-benar tak mau menghilangkan kesempatan terbaiknya sebagai pasangan pengantin baru. Melihat Felisha yang tak lagi menolak aksi darinya, seperti tak mau membuang kesempatan selama ia ingin dan belum merasa puas. Setelah panggilan dari Erik harus berakhir dengan keintiman mereka di dalam mobil, kini Alan meminta adik ipar yang sudah sah menjadi istri keduanya itu untuk istirahat. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi bersama para pengawal dan asisten setianya. "Apakah tak boleh aku mengajak teman untuk menemani aku selama di sini?" tanya Felisha sesaat sebelum Alan pergi. "Aku memintamu untuk istirahat karena aku akan kembali meminta jatahku. Jadi, jangan meminta sesuatu yang tidak akan mungkin aku kabulkan di waktu-waktu seperti sekarang ini."Tidak perlu menjelaskan, Felisha sangat mengerti maksud ucapan Alan barusan. "Apakah kamu berpikir bahwa saat ini kamu sedang liburan, begitu?""Tidak," jawab Felisha seraya menggeleng. Ia cukup tahu diri posisinya saat ini."Jad
Alan terlihat memicingkan matanya ketika melihat penampilan Felisha setibanya ia di kamar hotel. Hal itu membuat Felisha takut dan cemas sebab aura negatif yang tiba-tiba saja hadir. "Apakah cuma baju ini yang Luna siapkan?" Alan bertanya memastikan pekerjaan anak buahnya. Pertanyaan yang sebetulnya biasa, entah mengapa membuat Felisha semakin ketakutan. "Tidak, Kak. Banyak pakaian di lemari yang sudah Luna siapkan.""Lalu, kenapa baju ini yang kamu pakai?" Perlahan Alan mendekati Felisha. Ia kemudian berhenti melangkah setelah berdiri tepat di depan sang istri. "Apakah menurut Kak Alan baju ini jelek?" Felisha bertanya tanpa berani menatap lelaki di depannya itu. "Ya. Untuk malam ini baju yang kamu kenakan sekarang terlihat sangat buruk. Mataku bahkan sakit saat melihatnya."Felisha mencoba memindai tubuhnya sendiri. Ia bisa memastikan jika semua pakaian yang ada di dalam lemari tak ada satu pun yang buruk. Semua cantik dan bagus. Bahkan untuk pakaian Alan sendiri meski didomina
Alan sampai di sebuah rumah sakit bersama Alvaro dan Luna. Ia berlari menuju area UGD untuk mencari keberadaan Felisha. "Siapa namanya, Pak?" tanya seorang perawat penjaga ketika Alan bertanya begitu heboh. "Felisha Putri.""Sebentar saya lihat dulu." Perawat lelaki itu kemudian mengecek nama Felisha di komputer. Beberapa saat kemudian ia kembali melihat Alan. "Maaf, Pak. Tidak ada nama pasien bernama Ibu Felisha di sini.""Jangan bohong, Mas. Dengan jelas teman saya melihat kalau istri majikan saya ke rumah sakit ini." Alvaro mencoba menjelaskan. "Saya tidak tahu itu. Kalau melihat data yang saya lihat, nama Felisha Putri memang tidak ada di sini."Alan menatap Alvaro kesal. "Kamu tahu kabar itu dari siapa?""Dari Fery, Tuan. Dia tadi mau pulang dan tidak sengaja melihat Nona Felisha dibawa kesini.""Dia melihat di sini atau di mana? Coba kamu hubungi dia lagi sekarang!""Baik, Tuan. Sebentar saya hubungi Fery."Di saat Alvaro mencoba menghubungi salah seorang temannya, Alan meng
Semua orang menatap tak percaya. Bu Rumi yang tadi tengah membantu Felisha di kamar, terperangah demi mendengar kalimat Alan barusan. "Apakah Kaka pikir keluargaku hanya mereka saja?" Felisha terlihat tertawa. Alan menatap tajam dengan mulut membisu. "Jadi, terakhir aku tanya, Kaka mau apa? Mau menghukum aku seperti dulu? Atau mau aku pergi dari sini?""Kau tak akan berani." Alan berkata dingin. Lagi-lagi Felisha tertawa mengejek. "Apakah Kaka sedang menantang aku?"Alan diam tidak menjawab, membuat Felisha kemudian masuk ke kamar untuk mengambil satu-satunya barang miliknya, yaitu tas ransel berukuran kecil yang hanya berisi beberapa benda penting, yang ia miliki sebelum dinikahi Alan. Alan masih diam ketika perempuan itu berdiri di depannya. "Entah apa yang sebenarnya terjadi, satu yang pasti aku tak akan pernah terima dengan tuduhan Kaka kepadaku. Termasuk tindakan Kaka yang memaksaku tadi."Setelah berkata demikian Felisha pergi meninggalkan Alan dan orang-orang yang hanya bi
Keesokan paginya Alan sudah bersama Alvaro di sebuah tempat di mana tampak sesosok perempuan yang duduk dalam keadaan terikat di atas sebuah kursi kayu yang diletakkan di tengah-tengah ruangan. Perempuan itu tertawa menatap Alan yang melihatnya marah. "Kenapa, Alan? Kenapa wajahmu seperti itu?" Tanpa ada rasa takut sedikit pun, perempuan itu kembali tertawa. "Apakah kamu tidak menyesal sama sekali, Dina?" Pertanyaan yang Alan lontarkan disambut tawa riang yang menggema di seluruh sudut ruangan. "Menyesal katamu? Menyesal untuk apa?""Kau sudah tertangkap, Dina. Semua bukti tentang rencana penculikan yang kau lakukan bersama kekasihmu itu sudah aku pegang. Aku hanya tinggal membawamu ke kantor polisi dan membiarkanmu membusuk di dalam penjara.""Hahaha. Kamu pikir aku takut, Alan?"Tidak menatap wajah pengusaha itu, Dina justru menatap lampu serta langit-langit ruangan yang tinggi. Entah di mana ia berada sekarang, hanya kegelapan yang tampak di matanya. "Kau benar-benar sudah ti
"Katakan, apa ia sudah berhasil melakukannya?"Kata 'melakukan' yang Alan maksud sangat bisa Felisha pahami dengan jelas. Suaminya pasti berpikir bahwa Gani telah berhasil melecehkannya karena kondisi Felisha saat itu yang hampir tak berbusana. "Menurut Kak Alan?" sahut Felisha dingin. "Jangan menantangku, Felisha. Jawab saja pertanyaanku karena cuma kamu satu-satunya yang ada di sana.""Kenapa tidak Kaka tanyakan saja pada lelaki brengsek itu. Berharap saja ia berkata jujur.""Andai ia masih hidup pun aku tak sudi bertanya padanya."Sontak Felisha terkejut. Jadi, benar anggapannya jika suara tembakan itu tertuju pada Gani. "Kenapa? Kamu tidak rela lelaki itu mati?""Apa sebenarnya yang Kak Alan harapkan dari jawabanku?""Aku hanya ingin tahu sejauh apa dia melakukannya padamu.""Lalu, setelah tahu Kaka mau apa?" Felisha menatap Alan marah. Lelaki itu berjalan mendekat, lalu berdiri di sisi ranjang. Tampak tatapannya yang begitu dingin dan penuh amarah. "Kaka mau menceraikan aku,
Gani tertawa mendengar pertanyaan yang Felisha ajukan. Menurutnya Felisha tak perlu tahu apa yang terjadi atas hubungannya dengan Dina, kakak sepupunya itu. "Dina bosan. Pengusaha itu terlalu monoton. Jadi, ia memutuskan untuk pergi sejenak untuk bersenang-senang.""Monoton? Apa maksudmu?" tanya Felisha tak mengerti. Tawa Gani semakin kencang seolah Felisha telah melakukan sesuatu yang lucu di depannya. "Apalagi, Feli? Menurutmu apa yang monoton kalau bukan urusan ranjang?" sahut Gani tertawa. "Seks," lanjutnya berkata pelan. Seketika Felisha paham. Sejenak ia membayangkan apa yang Gani katakan. 'Monoton? Apakah Kak Dina seseorang yang hyper? Bagaimana bisa ia menilai kalau Kak Alan seorang yang monoton?' benak Felisha bertanya. Sejauh yang Felisha rasakan selama melayani Alan, lelaki itu sama sekali tidak monoton. Alan sangat aktif dan penuh gaya. Namun, entahlah. Mungkin bagi seorang Felisha yang selama ini tak pernah melakukan hubungan intim dengan orang lain kecuali dengan
Saat ini hanya tinggal Felisha dan Gani saja di dalam ruangan. Dina sudah pergi bersama orang-orang bayarannya sebab tak ingin melihat aksi yang Gani lakukan terhadap Felisha. "Tak ingin melihat wanita ini mati tersiksa?" tanya Gani sesaat sebelum Dina pergi meninggalkannya. "Kau gila kalau berpikir aku mau melihat kalian bersenang-senang," balas Dina waktu itu. Yang kemudian mendapat respon tawa mengerikan dari mulut Gani. Sekarang giliran Felisha yang ketakutan karena membayangkan hal apa yang hendak lelaki itu lakukan kepadanya. 'Sampai membuat calon bayi di dalam kandunganku mati, itu berarti ada dua kemungkinan. Tapi, apakah ia akan setega itu padaku?' batin Felisha demi membayangkan hal mengerikan tentang kemungkinan buruk yang akan terjadi. "Kamu tahu, aku serius ketika mengatakan bahwa wajahmu sangat mempesona. Jadi, aura wanita yang sedang hamil memang tak bisa dipungkiri begitu menggoda." Perkataan Gani tentang Felisha yang sempat membuat Dina cemburu, kembali lelaki it
Felisha merasakan suasana yang dingin dan lembab. Ia tak tahu ada di mana sekarang. Karena selain kedua matanya yang tertutup, suasana hening di tempat tersebut semakin membuat keberadaannya tak bisa dibayangkan. Wanita itu hanya ingat mobil yang Pak Zaky kendarai dihadang oleh rombongan mobil lain ketika ia sudah hampir sampai rumah. Beberapa orang berpakaian serba hitam, seperti pakaian para anak buah Alan, turun dari dalam mobil tersebut lalu menghampiri dan menarik paksa dirinya keluar. Felisha tak diam saja, termasuk Luna dan dua pengawal yang Alan tugaskan untuk menjaganya. Mereka melawan sampai akhirnya terjatuh dan tak berdaya sebab jumlah yang tidak sebanding. Bahkan, Felisha harus pingsan ketika salah seorang dari mereka memukul tengkuknya dengan kencang. Setelah itu ia tak lagi ingat apa yang terjadi. Berapa lama ia tak sadarkan diri hingga kemudian terbangun di sebuah tempat yang saat ini ia rasakan terasa mencekam. Bagian yang terlewati tak ada dalam memorinya. Lama Fe
Alan memutuskan untuk segera menyusul Felisha yang sudah pulang lebih dulu setelah tak ada hal apapun yang dilakukan oleh mereka berdua di kantor selain bertengkar. Alan yang baru saja mendapat pencerahan atas kelalaiannya terhadap sang istri, kini menyesali apa yang sudah terjadi. Alvaro, lelaki yang mendadak menjadi seorang penasihat perkawinan, rela menghabiskan waktunya di kantor setelah sebelumnya habis dimarahi oleh sang tuan. Dianggap tak becus memberi nasihat serta saran, yang nyatanya justru Alan sendiri yang salah menanggapi saran tersebut. "Aku akan pulang dengan pengawal. Kamu selesaikan saja laporan kegagalan proyek tahun lalu, lalu kirimkan hasilnya ke email-ku. Aku harus meminta maaf pada istriku karena kebodohan yang sudah aku buat."Alvaro senang mendengarnya. Itulah mengapa ia dengan penuh kerelaan lembur hari itu sebab tugas yang tak main-main Alan berikan. 'Semoga saja Nona Feli mau memaafkan Anda, Tuan. Sebab setahuku, wanita hamil akan sulit dibujuk apalagi un
Sekian menit berjalan masih dengan diamnya Alan sebab aksi yang istrinya lakukan. Ciuman yang Felisha lakukan kali ini, entah mengapa membuatnya tidak terbuai. Ia hanya kaget karena istrinya bisa melakukan hal tersebut. Tak jua mendapatkan respon dari Alan, Felisha akhirnya melepaskan ciumannya. Ia menghentikan aksinya karena merasa jika lelaki itu tidak menyukainya. Alan melihat Felisha menunduk. Sedangkan Felisha melakukan hal itu karena tatapan mata Alan yang tajam seolah tengah menunjukkan suasana hatinya saat ini. "Maafkan aku." Felisha merendahkan dirinya dengan meminta maaf terlebih dahulu. Meski hatinya sendiri masih merasa tak rela karena keinginannya tidak dituruti. "Apakah kamu menyadari kesalahanmu?" tanya Alan dengan suara pelan dan berat. "Entah kesalahan mana yang Kaka maksud, tapi aku merasa jika aku harus meminta maaf.""Tidak tahu kesalahanmu, tapi kamu meminta maaf? Apakah itu bukan tindakan bodoh namanya?"Sejenak Felisha memberanikan diri untuk membalas tatap