"Halo, Feli! Kamu lagi sama siapa?" Suara Erik terdengar samar ketika ponsel Felisha terjatuh ke atas ranjang. Perempuan cantik itu spontan melirik ke arah ponsel. Sesaat kemudian ia melihat wajah kakak iparnya yang tersenyum sembari sesekali melihat ke arah di mana terdengar suara seorang lelaki yang mungkin ia kenal."Apakah kamu sedang berbicara dengan seseorang?" tanya Alan seraya melangkah maju dan mendekati Felisha. "Eh, i-iya. Aku sedang berbicara dengan salah satu teman.""Ah, kamu punya teman rupanya." Alan terdengar sekali menyindir. "Punya, walau tidak banyak." Felisha menjawab seolah ingin memuaskan ejekan lelaki di depannya itu. Sekarang Alan sudah berdiri, tepat di depannya. Sembari melepas jas hitam, ia juga kemudian melepas dasi dari ikatan di lehernya. "Sepertinya kamu masih belum mengerti posisi kamu sekarang." Alan bersuara lembut. Saking lembutnya, Felisha justru merasa aneh. Perempuan itu tiba-tiba bergidik sebab suasana aneh yang terjadi. Bagaimana Alan ber
Setelah cukup waktu bagi Alan menormalkan kondisinya setelah mendapatkan pelepasan, ia lalu beranjak bangun menuju kamar mandi dan meninggalkan Felisha yang tampak lesu. "Kaka masih mencintainya bukan?" Tiba-tiba Felisha bertanya. Alan menoleh demi mendengar pertanyaan yang istrinya itu ajukan. Melihat penampilan Felisha yang polos dengan kain selimut yang menutup tubuhnya, Alan hampir mengurungkan niatnya untuk membersihkan diri dan berpikir untuk melanjutkan ronde berikutnya. "Apa yang kamu katakan?" Alan bertanya tak mengerti. Felisha membalas tatapan Alan. Tersenyum perempuan itu saat sang suami menatapnya bingung. "Nama Kak Dina telah terlontar dari mulut Kak Alan. Itu artinya Kak Alan masih mencintainya. Sosoknya masih ada di hati Kaka.""Kapan aku menyebut nama perempuan jal4ng itu?""Apakah Kak Alan lupa? Tadi setiap Kak Alan menikmati permainan yang Kaka buat sendiri, saat itu nama Kak Dina meluncur indah dari mulut Kaka.""Jangan sok tahu kamu!" Alan berseru kesal. "Ke
Alan tiba di rumah sakit tempat papanya dirawat dengan disambut oleh Sandi, asisten pribadi sang papa. Ia yang datang bersama Felisha, langsung menghampiri lelaki paruh baya yang berdiri di depan ruang ICU. "Bagaimana papa, Om?" tanya Alan dengan wajah penuh kecemasan. "Tenang, Alan. Papamu sudah sadar sekarang. Tapi, Om masih harus menunggu dokter keluar. Mereka sedang memeriksa apakah ada hal vital dari sadarnya papamu di dalam."Kabar yang Sandi sampaikan dengan suara yang tenang, menular hingga masuk ke seluruh syaraf Alan. Ketegangan yang ia rasakan saat mendapat kabar dari Alvaro, kini berangsur membaik dengan kelegaan yang terpancar di wajahnya. "Semoga papa benar-benar sembuh sekarang," harap Alan dengan wajah yang terlihat sekali bahagia. Setelahnya ia mendekat Felisha yang sebelumnya sempat ia abaikan. Pengusaha muda itu meminta istri barunya itu menyalami Sandi, orang kepercayaan keluarga Tanujaya yang sudah dianggap seperti saudara. "Om, Felisha." Alan berkata seraya
"Aku sudah menikah dengan Felisha."Alan langsung mengenalkan status barunya dengan Felisha kepada sang papa. Lelaki itu tampak percaya diri meski ia berpikir bahwa papanya tak akan setuju. "Bagaimana dengan mamanya Rafael?" Tuan Adi tidak menyebut nama Dina secara langsung.Hal itu membuat Felisha canggung. Sebab ia tahu bagaimana dulu Tuan Adi memperlakukan kakaknya, Dina. Sangat baik dan perhatian. Tapi, saat ini ia melihat sikap berbeda yang lelaki tua di depannya tunjukkan. "Aku enggan membahas perempuan itu sekarang, Pah. Papa baru pulih, lebih baik kita bahas tentang kondisi Papa saja.""Kondisi Papa kamu sudah tau, Alan. Papa yakin Farhan sudah menjelaskan semuanya secara detail. Benar begitu bukan?"Alan mengangguk. Sangat mudah ditebak jika dua lelaki yang sudah lama bersahabat itu tahu caranya menenangkan satu sama lain. Termasuk memberikan perhatian lebih kepada siapapun orang terdekat mereka. "Ya sudah, apa lagi yang mau kita bahas kalo gitu?" Tuan Adi menatap putrany
Alan benar-benar tak mau menghilangkan kesempatan terbaiknya sebagai pasangan pengantin baru. Melihat Felisha yang tak lagi menolak aksi darinya, seperti tak mau membuang kesempatan selama ia ingin dan belum merasa puas. Setelah panggilan dari Erik harus berakhir dengan keintiman mereka di dalam mobil, kini Alan meminta adik ipar yang sudah sah menjadi istri keduanya itu untuk istirahat. Sedangkan dirinya memutuskan untuk pergi bersama para pengawal dan asisten setianya. "Apakah tak boleh aku mengajak teman untuk menemani aku selama di sini?" tanya Felisha sesaat sebelum Alan pergi. "Aku memintamu untuk istirahat karena aku akan kembali meminta jatahku. Jadi, jangan meminta sesuatu yang tidak akan mungkin aku kabulkan di waktu-waktu seperti sekarang ini."Tidak perlu menjelaskan, Felisha sangat mengerti maksud ucapan Alan barusan. "Apakah kamu berpikir bahwa saat ini kamu sedang liburan, begitu?""Tidak," jawab Felisha seraya menggeleng. Ia cukup tahu diri posisinya saat ini."Jad
Alan terlihat memicingkan matanya ketika melihat penampilan Felisha setibanya ia di kamar hotel. Hal itu membuat Felisha takut dan cemas sebab aura negatif yang tiba-tiba saja hadir. "Apakah cuma baju ini yang Luna siapkan?" Alan bertanya memastikan pekerjaan anak buahnya. Pertanyaan yang sebetulnya biasa, entah mengapa membuat Felisha semakin ketakutan. "Tidak, Kak. Banyak pakaian di lemari yang sudah Luna siapkan.""Lalu, kenapa baju ini yang kamu pakai?" Perlahan Alan mendekati Felisha. Ia kemudian berhenti melangkah setelah berdiri tepat di depan sang istri. "Apakah menurut Kak Alan baju ini jelek?" Felisha bertanya tanpa berani menatap lelaki di depannya itu. "Ya. Untuk malam ini baju yang kamu kenakan sekarang terlihat sangat buruk. Mataku bahkan sakit saat melihatnya."Felisha mencoba memindai tubuhnya sendiri. Ia bisa memastikan jika semua pakaian yang ada di dalam lemari tak ada satu pun yang buruk. Semua cantik dan bagus. Bahkan untuk pakaian Alan sendiri meski didomina
Alan mencoba memikirkan permintaan Felisha. Satu minggu pergi kuliah dengan status baru sebagai pengantin baru? Meski Alan tak ada di siang hari karena masih harus bekerja, tetapi ia seperti belum rela mengizinkan istri barunya itu untuk kembali menjalani rutinitas hariannya. Namun, dilihatnya wajah wanita itu yang memandangnya penuh harap, pikiran Alan pun mulai goyah. "Puaskan aku malam ini, baru aku akan pikirkan permintaanmu itu."Pada akhirnya Alan akan menuruti apa yang Felisha minta, tapi ia seperti sengaja ingin mengerjai istrinya untuk mau melakukan sesuatu yang seru malam itu. Kedua mata Felisha mengerjap berkali-kali, seolah tak mengerti maksud yang Alan katakan. "Aku tidak akan berlaku kasar malam ini. Sebagai gantinya, layani aku sesuai kemampuanmu. Jadikan malam pertama kita sebagai sebuah memori yang pantas untuk dikenang," ucap Alan sembari menyeringai. Seketika debaran di hati Felisha mulai bereaksi. Ia terkejut sebab permintaan Alan yang ingin mendapatkan pelaya
Alan masih mencoba bertahan. Ia masih mendiamkan Felisha dengan segala aksinya. Tak ada penolakan atau keengganan yang lelaki itu berikan. Justru sikap diamnya membuat Felisha leluasa bergerak dan melayani. Satu erangan lolos ketika Alan masih menikmati usaha sang istri. Aksi amatir tapi Alan nilai lumayan sebab pengalamannya yang nol. Felisha sendiri terlihat kaku ketika melakukan semuanya. Tak ada persiapan atau pemikiran jika yang ia lakukan saat ini adalah sebuah penilaian yang akan Alan berikan sebagai bahan pertimbangan atas permintaannya. Bagi Felisha ia hanya berharap supaya Alan bersikap baik padanya setelah ini. "Segini saja? Apa tak ada kelanjutannya?" tanya Alan saat melihat Felisha beranjak bangun dan memandang ke arahnya. Tampak istrinya itu mengusap bibirnya yang basah. Sesuatu yang menempel di sana, membuat Alan tanpa sadar menggeram. "A-aku hanya terlalu takut."Jawaban yang aneh menurut Alan karena sejak Felisha memulai, tak ada reaksi marah atau kekesalan yang