Sejenak Felisha bisa melihat tatapan mematikan yang Alan tunjukan padanya juga pengasuh Rafael. Gadis itu tahu, kakak iparnya menuduh dirinya jika sampai rahasia ini terbongkar suatu saat nanti. "Yah ... aku sih terserah kamu saja. Tapi, aku harap kamu mau bersabar menunggu hasilnya. Ini bukan perkara main-main kalau kamu memang serius menganggap hal ini."Terlihat ekspresi Alan yang tak puas dengan ucapan sahabatnya sendiri. Tapi, ia tidak bisa berbuat apapun karena dokter yang duduk di hadapannya saat ini adalah salah satu dokter yang ia percaya sangat ahli di bidangnya. "Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu. Kabari aku jika hasilnya sudah keluar. Lebih cepat kamu memberi kabar itu, lebih baik untukku."Alan berkata sembari berdiri dari tempat duduknya. Terlihat Luna yang selalu siap berdiri di belakangnya, menarik bangku yang sebelumnya sang tuan tempati dan menggesernya ke pinggir. "Tentu saja. Aku tidak akan menunda-nunda hasilnya," jawab sang dokter. "Jadi, kamu yakin akan m
"Aku harus kembali ke kampus, Kak."Di tengah perjalanan pulang, Felisha memberi tahu Alan jika ia masih ada kelas di kampusnya. Lelaki itu memang tidak bertanya, tetapi Felisha sengaja memberi tahu sebab ia khawatir jika lelaki itu kembali menaikkan sekat hitam di depan dan berencana melakukan kegiatan yang terjadi tadi. Tak ada jawaban apapun yang keluar dari mulut Alan, tiba-tiba mobil yang Luna lajukan berhenti. "Kalau begitu kamu bisa turun sekarang." Alan menatap Felisha sinis. Felisha tampak cemas. Namun, ia memilih untuk segera turun sembari menarik tas kuliahnya dan menutup pintu mobil setelah menginjakkan kedua kakinya ke tanah. Setelah itu mobil kembali melaju cepat. Meninggalkan Felisha yang berada di satu tempat yang masih jauh dari kampusnya. 'Bukankah ini lebih baik dibanding kamu berada di dalam mobilnya?' tanya Felisha pada dirinya sendiri. Gadis itu lalu mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ia berniat memesan ojek online demi mengantarnya ke kampus. Tapi, belum
Reflek Felisha menengok dan ia bisa melihat rombongan mahasiswi populer kampus menatap sinis dan emosi padanya. Namun, karena mereka tidak berbuat apa-apa kecuali terus bicara dan menjelekkannya, Felisha pun tidak merespon dan memilih diam dan meneruskan langkahnya menuju parkiran. "Enggak usah didengerin. Mereka cuma iri aja, aku yakin.""Ya, aku juga tahu," jawab Felisha pelan. "Andai mereka tahu kalau si Erik itu yang maksa," lanjutnya. "Enggak akan ngaruh. Mau kamu yang minta dianter atau si Erik yang maksa, bagi mereka perempuan tetap yang salah.""Ehm, ya. Sedihnya jadi perempuan." Felisha menjawab lemah. Pulang kampus kali ini Felisha memilih untuk ikut bareng dengan Gina. Meski sebelumnya ia juga mendapat tawaran dari Erik yang akan dengan senang hati mengantarnya pulang. Tapi dengan pemaksaan yang sama, Felisha berhasil menolak tawaran Erik tersebut. "Aku ikhlas kok, Fel!""Iya, Rik. Ini aja aku udah makasih banget karena kamu enggak bikin aku telat."Gaya Erik bak pembal
Felisha melihat Erik yang sudah turun dari motor bersama seorang perempuan yang ternyata adalah Feby dengan perasaan bingung luar biasa. Belum lagi Gina yang seolah menunggunya menjelaskan tentang apa yang tengah terjadi terhadap mereka saat ini. "Feli! Siapa lelaki ini?" tanya Erik yang berjalan ditemani Feby di sampingnya. Sempat Felisha berkata dalam hati, betapa serasinya Erik dan Feby, tetapi pikiran itu segera berlalu dan tidak dianggapnya penting sekarang. Seketika Felisha melihat ke arah Alan yang tetap terlihat tenang dengan ekspresinya yang tersenyum penuh makna. "Di-dia, eh ... kakak ipar aku." Felisha menjawab jujur. Alan masih tersenyum ketika Felisha mengakui statusnya yang adalah suami dari kakaknya. Tidak marah meski ia telah dikhianati oleh istrinya yang kabur bersama laki-laki lain. Gina mengangguk. Ia mengerti sekarang. Meski hatinya kesal juga karena sang kawan sempat berbohong ketika mengatakan tidak mengenali kakak iparnya tersebut. Tapi, ia berasumsi jika
Seketika Felisha menengok, menatap heran Gina yang kini malah terlihat cengengesan. "Terbebani gimana?""Iya, enggak iri atau cemburu gitu dengan pencapaian Kak Dina yang bisa punya suami ganteng banget."Felisha menggeleng cepat. "Apanya yang iri? Biasa aja.""Ih, ini anak bener-bener, yah! Enggak normal atau gimana sih!""Enak aja enggak normal!" Felisha melempar tisu ke arah Gina yang berhasil menghindar. "Ya, habisnya. Kok bisa biasa aja punya kakak ipar ganteng gitu.""Ya, terus aku harus gimana? Teriak-teriak gitu di jalan?""Bukan gitu juga konsepnya. Emang kamu enggak tertarik atau terpesona sama wajahnya yang, ehm ... aku yakin semua mahasiswi di kampus kita enggak akan ada yang bisa nolak sama sosoknya."Alan memang tampan, Felisha akui itu. Tapi, apakah ia tertarik atau terpesona terhadap kakak iparnya tersebut? Gadis itu bisa menjawab tegas, tidak!Andai boleh jujur dan ia bisa memberi tahu Gina, saat ini ia malah sangat membenci laki-laki itu. Dengan segala sikap dan ak
Felisha tiba-tiba melepaskan diri dari cengkeraman Alan. Ciuman yang lelaki itu lakukan terpaksa terhenti ketika Felisha menjauhkan kepalanya, lalu bergerak mundur. "Jangan, Kak Alan. Aku mohon. Aku tidak ingin menjadi apa yang Kaka bilang tadi," ucap Felisha dengan derai air mata yang mulai jatuh. "Tidak ada yang meminta pendapatmu di sini, Felisha," balas Alan dengan bibir menyeringai. Tangannya menyapu lembut bibirnya sendiri yang baru saja melahap penuh nafsu bibir gadis di depannya itu. "Aku akan carikan perempuan yang mungkin cocok dengan kemauan Kaka. Aku yakin ada banyak teman mahasiswi yang mau dan tertarik dengan Kaka.""Jadi, kamu sendiri tidak tertarik begitu?" tanya Alan yang kini perlahan mulai mendekat. Felisha menggeleng. "Aku tidak bisa karena mau bagaimana pun Kak Alan adalah kaka iparku."Alan berhenti tepat setelah Felisha tak bisa lagi mundur sebab dinding kamar menjadi ujung gerakannya. "Jadi, apakah aku perlu membuat status baru untuk kita supaya kamu mau m
Udara hangat mulai menyapa hingga membuat Felisha membuka mata. Perlahan ia melihat ruangan yang sudah mulai sedikit terang meski gorden yang menutupi jendela masih tertutup rapat.Gadis itu masih belum bergerak. Rasa nyeri di sekujur tubuhnya membuatnya malas bangun. Bayangan akan kejadian semalam langsung terekam dengan jelas. Mengingatkan Felisha bahwa sekarang ia sudah bukan lagi gadis perawan. Kesuciannya telah terenggut paksa oleh sang kakak ipar. Alan yang melakukannya dengan sadar, seperti seorang penjahat yang tak peduli akan kelemahan mangsanya. Sontak air mata kembali mengalir ke kedua pipi Felisha. Sedih ia rasakan karena kesalahan sang kakak membuatnya harus kehilangan sesuatu yang paling berharga di hidupnya. Gadis itu semakin takut sekarang. Ia takut bila bertatap muka lagi dengan lelaki itu sebab khawatir jika kejadian semalam kembali terulang. Trauma ia rasakan atas aksi keji yang Alan lakukan kepadanya. Karena itulah Felisha enggan bergerak. Ia takut jika Alan mas
"Menunggu bukan hobiku. Jadi, jangan sampai terlambat."Alan langsung menutup panggilannya secara sepihak. Tidak menunggu respon dari Felisha karena tidak penting menurutnya. Felisha mengembalikan ponsel kepada pemiliknya. Wanita paruh baya yang masih berdiri di depannya itu kini meminta ia untuk segera mengambil pakaian dan mengenakannya. "Sepertinya Non Feli harus mulai membiasakan diri mengikuti ritme tuan," ucap Bu Rumi. "Mengikuti ritme apa, Bu?" Felisha bertanya bingung. "Iya, mungkin saja Non Feli akan selalu dihubungi oleh tuan pada saat sedang melakukan kegiatan apapun."Tak bisa Felisha bayangkan bila kata-kata Bu Rumi menjadi kenyataan. Hidup perempuan muda itu sepertinya akan benar-benar berubah. Tidak hanya sebagai seseorang yang dijadikan jaminan atas sebuah kesalahan, tapi ia juga harus mau menjadi budak dari seorang laki-laki yang haus akan belaian. Felisha hanya bisa berdiam, mematung. Pikirannya seperti tertarik pada pusara bayangan yang bahkan belum terjadi. "