Sebagai orang tua, kita memang diberikan pilihan untuk melahirkan anak yang kita kandung, atau menggugurkannya. Namun bagi orang yang sudah lama tidak memiliki keturunan sepertiku, tentu saja memiliki anak adalah sebuah anugerah yang luar biasa.
Setelah 10 tahun pernikahan kami, hal yang paling membahagiakan adalah saat Sairah istriku, dinyatakan hamil oleh dokter. Ternyata program kehamilan yang selama hampir dua tahun kami jalani membuahkan hasil juga. Alhamdulillah selama kehamilan istriku juga tidak mengalami ngidam yang aneh-aneh. Semuanya berjalan lancar hingga hari kelahiran buah hati kami. Seperti sebuah mimpi ternyata istriku melahirkan anak kembar laki-laki yang kemudian aku beri nama Bagas dan Bagus. Aku merasa kehidupan ku nyaris sempurna dengan kehadiran dua malaikat kecil kami. Hari-hari kami yang biasanya sepi pun menjadi ramai. Karena memiliki anak kembar aku meminta Ira untuk resign dari tempat kerja untuk mengurus buah hati kami. Toh aku merasa kondisi ekonomi keluarga kami juga sudah lumayan mapan jadi tidak masalah jika Ira tidak bekerja lagi. Kehidupan keluarga kami berjalan normal seperti keluarga lainnya. Anak-anak kami tumbuh normal sama seperti anak-anak lainnya. Hingga suatu hari Bagus mengalami sakit yang aneh setelah berwisata di sebuah kebun bintang. Awalnya Bagus hanya demam biasa. Besoknya aku dan Ira membawanya ke rumah sakit. Namun bukannya sembuh, panas Bagus tak kunjung turun. Dia malah suka kejang tengah. Ia juga sering menjerit-jerit tidak jelas seperti orang ketakutan saat tengah malam. Bagus seperti melihat sesuatu yang tidak bisa kami lihat seraya menunjuk-nunjuk ke atas plafon rumah. Ia selalu bilang ada hantu sambil menunjuk ke atas. Kejadian ini berlangsung cukup lama. Aku dan ira sudah berusaha mengobati Bagus ke orang pintar karena ada yang bilang jika anakku di ganggu makhluk tak kasat mata. Namun tetap saja kondisi Bagus tak kunjung membaik meskipun sudah beberapa dukun kami datangi. Setiap malam kami harus begadang karena Bagus selalu ketakutan dan susah tidur. Karena kurang tidur Bagus menderita penyakit aneh. Badanya kurus kering, muka pucat dan kantong mata yang menghitam seperti orang yang kelelahan. Padahal usianya baru sepuluh tahun namun ia sudah terlihat seperti anak yang berusia 13 tahun karena kondisi tubuhnya. Seluruh tubuhnya kini juga dipenuhi bisul yang bernanah. Meskipun tak kunjung membaik, kami tetap berikhtiar demi kesembuhan Bagus. Berapa pun biayanya, sampai kami rela menjual semua harta benda yang kami miliki termasuk rumah yang kami huni. Bukan hanya itu saja, aku juga sampai berhutang kanan kiri demi biaya pengobatan putra kami. Kadang aku ingin menyerah dengan keadaan ini, namun entah kenapa Nurani ku tak tega saat membiarkan putraku sakit tanpa berbuat apa-apa. Sampai-sampai aku memilih tidak makan demi membeli obat untuk Bagus. Apalagi mengingat bagaimana perjuangan kami berdua untuk bisa mendapatkan buah hati kami yang begitu sulit. Tentu saja kami harus terus berusaha untuk menjaga amanah yang diberikan Tuhan ini dengan sepenuh hati meskipun kami harus kehilangan harta benda. Sudah puluhan dokter dan rumah sakit kami datangi, namun semuanya sama, tak ada diagnosis yang spesifik untuk penyakit Bagus. Bahkan kondisinya semakin memburuk. Jika memang tak ada harapan untuk sembuh maka mudahkanlah kematiannya, jangan biarkan ia terlalu lama tersiksa oleh penyakitnya. Itulah sepenggal doaku, yang selalu ku panjatkan berharap semuanya berakhir indah. Pagi itu dua orang Pria bertubuh tegap mendatangi kediaman kami. Awalnya aku kira mereka dermawan yang ingin memberikan bantuan untuk biaya pengobatan putra kami karena aku sempat membuka open donasi di media sosial, untuk biaya pengobatan Bagus. Namun dugaanku salah, mereka adalah Debt kolektor dari salah satu aplikasi pinjaman online. Aku memang menunggak cukup lama hingga mereka pun mengirimkan Debt kolektor untuk menagih hutang kami. Karena tak mendapatkan hasil dan aku juga tak punya barang yang bisa dijadikan sebagai jaminan, maka mereka pun menjadikan aku sebagai sasaran kemarahannya. Hari itu aku babak belur dipukuli oleh mereka. Aku hanya pasrah dan tak bisa melawan. Rasa sakit membuat aku benar-benar down, rasanya aku sudah tidak kuat lagi menahan semua penderitaan ini. Apalagi saat melihat istri dan anak-anakku yang hanya bisa makan nasi dengan garam saja. Seketika air mataku langsung mengalir melihat mereka. Karena sudah buntu akupun memutuskan untuk ikut Pesugihan. Aku pikir hanya itulah harapanku untuk merubah segalanya. Salah seorang yang bisa membantu ku dalam hal ini adalah Kukuh. Dia adalah sahabatku di kampung. Bisa dikatakan dia adalah satu-satunya orang yang begitu dekat dengan klenik atau hal-hal gaib, jadi aku yakin dia pasti akan membantuku untuk mewujudkan keinginan ku. Tekadku sudah bukat untuk mengikuti pesugihan menjual anak untuk melunasi semua hutang-hutang keluarga ku. Aku tidak mau istri dan anakku menderita karena kekurangan. Bukankah lebih baik mengorbankan Bagus menjadi tumbal pesugihan daripada ia menderita berkepanjangan. Mungkin Bagus juga berpikir sama denganku yaitu lebih baik mati daripada hidup sakit-sakitan. Toh percuma saja dia hidup dengan kondisi sakit-sakitan, dimana dokter saja sudah angkat tangan dan harapannya untuk sembuh hanya 10 persen. Jadi lebih baik mati bukan, dari pada terus menerus tersiksa oleh penyakit aneh yang membuat keluarganya ikut menderita. Pagi-pagi buta setelah selesai sholat subuh aku putuskan untuk pergi menemui Kukuh. "Kamu yakin mau ikut Pesugihan Jual anak?" tanya Kukuh ragu-ragu "Tentu saja, Lagipula sudah tidak harapan lagi untuk Bagus. Tolong aku Kuh, aku sudah buntu. Nanti kalau berhasil kamu pasti aku bagi. Aku juga sudah siap menanggung segala resikonya," ucapku mantap Mendengar jawaban ku, Kukuh langsung mengajakku ke sebuah pemakaman. Ia bilang ingin mengajak ku melakukan ritual memperkuat diri sebelum kami menemui dukun pesugihan. Akupun hanya menurut saja saat toh aku sudah percayakan semua padanya. Malam itu Kukuh mengajakku ke sebuah pemakaman. Ia menyuruhku duduk di sebuah makam yang terlihat masih baru. Tidak lupa Kukuh meletakkan sesaji lengkap dengan gelas kosong yang diletakkan di depan batu Nisan. Suara burung kokok beluk terdengar bersahutan membuat bulu kudukku berdiri. Saat Kukuh mulai membaca mantera, tiba-tiba angin kencang berhembus membuat tubuh kami berdua terhempas ke samping makam. *Wusshh!! *Buughh!! Tubuhku membeku saat tanganku tidak sengaja menyentuh sebuah tengkorak manusia. Aku berteriak histeris saat itu hingga membuat Kukuh langsung membungkam mulut ku. "Jangan berisik!" ujarnya lirih Aku langsung mengangguk dan menyeka keringat dingin yang mulai membasahi wajahku. Aku kembali duduk di samping Kukuh dan melanjutkan ritual dengan wajah pucat pasi. Kali ini ku dengar suara seseorang sedang menuangkan air ke dalam gelas. Aku menoleh ke kanan dan Kiri namun tak ada siapapun. Saat pandanganku kembali kedepan, ku lihat gelas Kosong didepnku sudah terisi penuh dengan darah. *Glekk!! Aku hanya bisa menelan ludah menahan kengerian yang mulai menggerayangi tubuhku. Tidak lama Kukuh berhenti membaca mantera dan mengambil gelas yang ia letakan di samping batu nisan. Teguh memintaku untuk meminum darah itu. "Habiskan dan jangan ada sisa, karena kalau masih ada sisa berarti kamu gagal!" *Deg!"Habiskan dan jangan ada sisa, karena kalau masih ada sisa berarti kamu gagal!" ucap Kukuh menyodorkan gelas berisikan darah padaku *Deg! Ku ulurkan tanganku untuk menerima gelas darinya. Meskipun aku merasa jijik namun tak ada pilihan lain selain menghabiskannya. Hanya ini satu-satunya jalan untuk ku bisa keluar dari semua kesulitan hidup yang aku alami semua ini. Bau anyir darah menyeruak memenuhi indra penciuman ku. Berkali-kali aku bersendawa karena tak kuat dengan bau yang membuat perut ku begitu mual dan rasanya ingin muntah. "Cepat habiskan Guh, atau kamu mau di gebukin warga!" Suara Kukuh membuat ku segera menghabiskan darah tersebut. *Gleekk!! Rasa lengket yang menempel di lidah dan bau amis mulai keluar dari nafasku membuatku nyaris mengeluarkannya kembali. "Jangan di muntahkan Im!" seru Kukuh berusaha memperingatkan aku Aku segera menutup mulutku rapat-rapat agar tidak muntah. Ia kemudian menggali makam tersebut dan memintaku untuk mengambil tali poc
"Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci. "Siap Mbah!" jawabku tanpa ragu Mbah Kamari langsung merapal mantra saat mendengar persetujuan ku. Tidak lama ia pun mencelupkan boneka itu kedalam panci berisi air mendidih. *Byuurrr!! "Aarrggh!" Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras seorang anak kecil. "Sakit bapak...bapak jangan ....tolong bapak...adek sakit!" Seketika netraku membelalak saat mendengar suara jeritan anak kecil yang begitu familiar ditelinga ku. "Bagas??" Seketika aku teringat dengan anak bungsuku Bagas. "Apa Bagas yang jadi tumbal?, tapi tidak mungkin karena aku ingin Bagus yang jadi tumbal, tapi bukankah aku belum mengatakannya kepada Mbah Kamari??" Aku pun segera menepis pikiran negatif itu. "Bapak tolong, adek sakit!" Kembali ku dengar suara teriakan anak kecil mirip suara Bagas. Semakin lama sua
"Tumben kamu masak banyak banget Ra, emang dapat duit dari mana?" tanyaku penasaran "Oh itu, Alhamdulillah Mas, semalem ada orang baik yang memberi ku uang banyak banget. Tak tanggung-tanggung ia memberikan uang satu koper kepada ku!" ucap Ira tampak sumringah "Uang satu koper??" *Deg! "Satu koper?, yang benar saja, mana ada orang yang mau memberikan uang sebanyak itu tanpa cuma-cuma kepada kita," sanggah ku "Beneran Mas, kalau Mas gak percaya silakan cek saja," tantang Ira Ia mengajakku masuk ke kamar untuk melihat uang itu. Karena penasaran aku pun buru-buru menuju ke kamar untuk mengecek uang tersebut. Ku lihat sebuah koper berwarna hitam di dalam kamar. Saat ku buka ternyata benar isi tas itu adalah uang. Bahkan karena saking penasarannya aku mengecek keaslian uang dalam koper tersebut. Dan semuanya asli. "Asli kan, aku gak bohong?" ucap Ira Aku mengangguk dengan wajah yang tak percaya. Kalau itu adalah uang pesugihan, aku yakin sekarang pasti sudah menghilang
Melihat semua makanan berubah seketika selera makanku menghilang dan segera ku sudahi makan siang ku. Rasa mual membuat ku buru-buru berlari menuju kemar mandi untuk memuntahkan semua makanan di perutku. Namun sialnya makanan tersebut tidak mau keluar. Akupun tak bisa memaksakan diri untuk memuntahkan semuanya. Aku hanya bisa mengumpat, karena tak bisa mengeluarkan mereka dari perut ku. "Kamu kenapa Mas muntah-muntah begitu, pasti masuk angin ya, telat makan, atau mabuk kendaraan!" tanya Ira saat aku kembali ke meja makan. "Bukan masuk angin dek, aku mual karena aku baru sadar jika makanan yang kita makan ini bukan makanan manusia," Seketika Ira langsung berhenti mengunyah dan melotot kearah ku. "Maksudnya?" tanya Ira merasa kesal Sementara itu Bagas tampak memperhatikan kami sambil menikmati makanannya. Akupun berusaha memberitahu Ira tentang makanan yang sedang ia makan. Meskipun aku sudah berkali-kali aku menjelaskan jika makanan yang ada di meja makan adalah bangkai n
"Tolong!!" Semakin aku berteriak kencang cengkraman tangan Ira benar-benar membuat ku kehabisan nafas hingga semua terasa gelap.Aku kembali tersadar saat Ira kembali mencekik ku. Kali ini aku merasa nafasku seperti terputus. Aku tidak boleh kalah oleh makhluk biadab yang merasuki Ira. Aku harus kuat untuk menyelamatkan keluargaku."Arrghh!" Aku berusaha melepaskan tangan Ira dengan sisa tenaga yang ku punya. "Sadar Ira, aku suamimu!" Aku berusaha menyadarkan istriku, tapi sepertinya susah. Bahkan sampai aku coba membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an tetap saja ia masih berusaha untuk membunuhku. "Tolong!" Kali ini aku benar-benar kehabisan nafas. Saat semuanya berubah gelap. Tiba-tiba seseorang menarik rambutku hingga membuatku seketika terjaga. "Ayah bangun, ayah, ayah bangun!" Kudengar suara Bagas memanggilku sembari mengguncang tubuhku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat wajah panik Bagas. "Ayah Mas Bagus ayah!" serunya dengan wajah panik "Kenapa dengan Bagus?" tanyaku pen
"Ira, bangun Ra, Ira!" seruku berusaha untuk menyadarkannyaCukup lama Ira tak sadarkan diri sampai aku dan Bagas harus meminta tolong seorang ustadz untuk membantu menyadarkannya. Setelah sadar Ira tampak seperti orang linglung. Ustadz Hendra sampai memberikan air doa untuk membuatnya sadar. Setelah tenang, Ira mulai bercerita jika ia bertemu dengan sosok wanita yang berusaha mengajak Bagas pergi. Tentu saja melihat orang asing yang hendak membawa pergi anaknya membuat Ira langsung mencegahnya. Namun dengan ketus wanita itu justru menghardiknya, " Minggato kabeh!" "Setelah mendengar ucapan tersebut aku tiba-tiba hilang kesadaran," tutur Ira saat menceritakan kejadian yang dialaminya *Deg! Aku langsung menunduk setelah mendengar cerita Ira. Aku belum berani menceritakan kepadanya tentang pesugihan yang diam-diam aku jalani sebelumnya. "Sepertinya Ira memang diganggu oleh sosok tak kasat mata. Mungkin ini terjadi karena ia sedang depresi pasca kepergian Bagus, jadi saran saya s
Tak seperti saat kematian Bagus, kali ini hanya sedikit orang yang menghadiri acara tahlil untuk mendoakan almarhum Ira. Mungkin karena mereka mengira jika aku melakukan Pesugihan atau ilmu hitam jadi sebagian dari mereka enggan datang.Meskipun begitu aku tetap bersyukur karena masih ada yang mau datang dan ikut mendoakan almarhum istri dan anakku.Acara tahlil berjalan lancar dan khusuk meskipun tidak banyak yang hadir. Selesai cara tahlil Kukuh membantuku membereskan perkakas. Beberapa orang masih berbincang di beranda rumah, bahkan Ustadz Hendra masih mengobrol dengan mereka. Suara tangisan Bagas tiba-tiba membuat ku terhenyak. Aku langsung berlari ke kamarnya, aku takut sesuatu terjadi lagi dengannya.Ku lihat dia sedang merintih kesakitan. Wajahnya memucat dan tubuhnya begitu dingin."Apa yang terjadi!" tanyaku penasaranBagas tak menjawab, ia hanya meringis kesakitan. Aku semakin panik saat melihat matanya tiba-tiba berubah memutih semua. Seketika aku langsung mundur, aku
*DegAku benar-benar tak percaya saat melihat sosok Mbah Kamari yang tergantung dengan bola mata nyaris keluar di ruang tamu."Bagaimana bisa ia bunuh diri di saat aku begitu membutuhkan bantuannya??" Keringat dingin mulai membanjiri wajahku seolah memberitahu betapa paniknya aku saat itu. Bukan hanya panik, aku bahkan berpikir giliran aku atau Bagas setelah ini.Ya, sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk jadi tumbal berikutnya, atau putraku Bagas?.Aku berusaha kuat meskipun tubuhku terasa lemas.Tiba-tiba angin berdesir kencang membuat ku terhempas ke lantai. Kukuh buru-buru menghampiri ku dan mengajakku pergi dari kediaman Mbah Kamari."Kita harus segera pergi dari sini!" tuturnya sambil menarik lenganku"Memangnya ada apa?" tanyaku penasaran"Firasatku mengatakan akan bahaya jika kita berlama-lama di tempat ini!" sahutnyaSuara deru motor Kukuh seolah menjadi penanda jerat Pesugihan dimulai.Tak ada yang aneh sepulang dari kediaman Mbah Kamari. Hanya badanku yang terasa l
Teguh menerawang menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia beristigfar untuk menghilangkan rasa takutnya. Malam itu Teguh tak bisa tidur hingga pagi hari. Setelah adzan subuh Teguh mulai merasa ngantuk. Ia pun kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Tidak lama terdengar suara gaduh membuat Teguh terbangun. Ia buru-buru bangun dan keluar dari kamar kosannya. Ia melihat banyak orang berkerumun di depan pagar kosan. "Ada apa ini???" Ia segera keluar untuk menghampiri kerumunan tersebut. Teguh pun menanyakan apa yang terjadi kepada seorang warga. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang warga "Istri Pak RT, dia diguna-guna orang," Teguh begitu terkejut mendengarnya. "Lalu kenapa orang-orang itu berkumpul di sini?" tanya Teguh "Mereka ingin menangkap si pengirim guna-guna itu yang katanya tinggal di sini," jawab seorang warga "Oh begitu, lalu bagaimana dengan keadaan ibu RT?" "Kondisinya
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kamu bisa terjatuh di kamar mandi?" "Itu karena aku ... aku... aku melihat iblis itu?" "Iblis yang membantumu mendapatkan harta dengan tumbal," sahut Pak Dhe terlihat sinis Aku mengangguk pelan. "Kamu ini ada-ada saja, mustahil dia berani datang ke rumah ku, atau dia memang cari mati," jawab Pak Dhe "Aku tidak tahu Pak Dhe, yang jelas semenjak melihat arwah anak dan istri Pak Dhe aku jadi bertemu lagi dengan iblis itu. Padahal aku sudah lama tak di ganggu olehnya," "Kalau begitu sebaiknya kamu ikut bersih-bersih saja di Pondok, aku tahu iblis itu tidak akan berani menganggu mu di sana," tandas Pak Dhe Slamet Aku menurut saja dan mengikuti Pak Dhe menuju ke Pondok. Pagi itu Pak Dhe sengaja membuka pondok untuk membersihkan tempat itu. Ia sengaja mengajak beberapa santri untuk membantu membersihkannya. Akupun ikut serta untuk membantu mereka membersihkan tempat itu. Semua orang bekerjasama membersihkan tempat itu dari debu dan k
"Ikuti kata hatimu, apapun yang terjadi ikuti kata hatimu," ucap lelaki itu kemudian menghilang "Bangun Teguh, Teguh ....bangun!" Perlahan aku membuka mataku saat merasakan seseorang mengguncang tubuhku. "Pak Dhe??" Aku tak mengira ternyata pak dhe yang mengguncang tubuhku. "Sebaiknya kamu pulang saja, daripada tidur di sini!" celetuk Pak Dhe Sepertinya ia sangat marah padaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tertidur di ruang kerja Pak Dhe. Padahal sebenarnya Pak Dhe mengajakku k sini untuk membicarakan sesuatu, tapi aku malah ketiduran. "Maafkan aku Pak Dhe," ucapku mencoba memperbaiki kesalahan ku "Sudahlah mungkin lain kali saja kita bicara, sebaiknya kamu cepat pulang," pungkasnya Aku pun tak bisa memaksa Pak Dhe, aku hanya bisa pergi meninggalkannya. Saat hendak meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba netraku terus tertuju pada gambar foto pria yang tergantung di ruangan itu. Ia adalah pria yang tadi berbincang denganku. Faisal, aku ingat namanya dan dia juga
"Dimana mereka?" tanyanya dengan wajah tegang "Mereka sudah pergi," jawabku singkat Ada gurat kekecewaan dalam diri Pak Dhe Slamet, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Bawa mereka kembali, aku ingin bicara dengan mereka!" ucap Pak Dhe "Tidak mungkin Pak Dhe, mereka itu sudah mati, jadi aku tidak bisa membawa mereka kembali," "Mereka itu Jin jadi kamu bisa membawa mereka kembali!" ucap Pak Dhe Pak Dhe menepuk pundak ku dan menatap tajam kearah ku. Sepertinya ia tak percaya dengan ucapan ku hingga menatapku seperti itu. "Kamu punya kekuatan yang bisa memanggil orang mati. Kita bisa bertanya kepada mereka siapa yang melakukan semua ini," ucapnya penuh harap Aku tahu Pak Dhe pasti ingin mengetahui siapa pelakunya. Orang yang sudah membuat kekacauan hingga menewaskan puluhan santri dan ustadz. Bukan hanya itu, bahkan istri dan anaknya ikut menjadi korban. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Pak Dhe. Namun aku bisa apa, aku tidak bisa membantunya. Jangankan mengundang