Share

Bab. 2 Mengikuti Kata Hati

"Habiskan dan jangan ada sisa, karena kalau masih ada sisa berarti kamu gagal!" ucap Kukuh menyodorkan gelas berisikan darah padaku

  *Deg!

  Ku ulurkan tanganku untuk menerima gelas darinya.

  Meskipun aku merasa jijik namun tak ada pilihan lain selain menghabiskannya.

  Hanya ini satu-satunya jalan untuk ku bisa keluar dari semua kesulitan hidup yang aku alami semua ini.

  Bau anyir darah menyeruak memenuhi indra penciuman ku. Berkali-kali aku bersendawa karena tak kuat dengan bau yang membuat perut ku begitu mual dan rasanya ingin muntah.

  "Cepat habiskan Guh, atau kamu mau di gebukin warga!"

  Suara Kukuh membuat ku segera menghabiskan darah tersebut.

  *Gleekk!!

  Rasa lengket yang menempel di lidah dan bau amis mulai keluar dari nafasku membuatku nyaris mengeluarkannya kembali.

  "Jangan di muntahkan Im!" seru Kukuh berusaha memperingatkan aku

  Aku segera menutup mulutku rapat-rapat agar tidak muntah.

  Ia kemudian menggali makam tersebut dan memintaku untuk mengambil tali pocong mayat.

  "Cepat ambil, waktu kita tidak banyak!" ucapnya sambil celingukan mengecek kondisi sekitar.

  Aku mengangguk dan segera turun ke bawah. Ku palingkan wajahku saat melihat sosok mayat seorang wanita yang membuatku merinding. Buru-buru ku buka tali pocongnya dan segera. ku ambil.

  Setelah berhasil mendapatkan tali pocong tersebut, kami langsung menutup kembali makam tersebut.

  "Simpan tali pocong ini dan jangan sampai hilang, aku yakin suatu hari benda ini akan berguna untuk mu!" ucap Kukuh

  Setelah ritual selesai kami pun bersiap-siap pergi ke rumah dukun Pesugihan. Namun entah kenapa tiba-tiba ada yang aneh saat kami hendak meninggalkan area pemakaman.

  Tiba-tiba saja aku melihat beberapa makhluk halus muncul di tempat itu dan mengerubungi kami seolah menahan kami untuk tidak pergi.

  "Kuh!"

  Aku benar-benar ketakutan dan langsung menggandeng erat lengan Kukuh.

  Kukuh hanya menghela nafas sambil menoleh kearah ku.

  "Jangan takut, mereka tidak akan mencelakai kita!" jawab kukuh dengan entengnya dan berlalu pergi tanpa menghiraukan kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata tersebut.

  Akupun segera berlari menyusulnya tanpa menghiraukan para lelembut yang terus menatap ku.

  Aku merasa lega karena akhirnya harus meninggalkan area pemakaman yang dipenuhi lelembut.

  "Fiuh!" ku seka keringat yang membasahi wajahku

  "Cepat naik!" seru Kukuh segera menyalakan motor

  Aku segera naik dan duduk di belakangnya.

  Namun entah kenapa aku merasa sesak saat berboncengan dengan Kukuh menuju ke rumah sang dukun.

  Padahal kami hanya berdua tapi kenapa aku merasa engap seperti berboncengan lebih dari satu orang. Karena penasaran aku pun menoleh ke belakang.

  *Deg!

  "Arrghhh!!"

  Jantungku nyaris copot saat melihat ada seorang perempuan duduk dibelakang ku. Tentu saja aku reflek langsung melompat turun dari motor hingga Kukuh hilang keseimbangan dan motornya terjatuh ke bahu jalan.

  *Bruugghh!

  Aku buru-buru berlari kearah Kukuh yang terhimpit motor untuk membantunya.

  Dengan wajah kesal ia segera bangun dan mengguncang tubuh ku dengan keras.

  "Bisa gak sih gak bikin orang panik. Gara-gara kamu aku nyaris mati tahu!" hardiknya menatapku tajam

  "Maaf Kuh, tapi aku reflek karena takut," jawabku menunduk

  Kukuh kemudian menoleh kearah hantu wanita yang mengikuti kami.

  "Gak usah norak deh, lama-lama kamu juga terbiasa melihat hantu model begituan. Sekali lagi aku tegasin sama kamu, gak usah takut sama mereka, karena mereka cuma menakut-nakuti aja. Semakin kamu takut maka mereka akan semakin menakut-nakuti mu!" seru Kukuh kemudian mengangkat motornya

  "Tapi kenapa dia ngikutin aku mulu Kuh?"

  "Karena lo penakut!" seru Kukuh

  Aku hanya diam tak bergeming mendengarkan makian Kukuh.

  "Sekali lagi aku tegaskan kalau hantu itu tidak mungkin menyakiti manusia kecuali ada yang mengendalikan, jadi jangan takut!" ucap Kukuh kemudian menyalakan sepeda motornya

  Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Kukuh. Mulai sekarang aku juga harus mulai terbiasa dengan makhluk gaib karena suka atau tidak aku bisa melihat mereka karena mata batinku sudah terbuka. Darah itu sudah membuka mata batinku.

  Aku buru-buru naik kembali keatas motor dan mengacuhkan hantu wanita yang terus mengikuti kami.

  Perjalanan menuju ke rumah dukun perantara pesugihan lumayan jauh.

  Saat adzan subuh berkumandang Kukuh menghentikan sepeda motornya dan memilih beristirahat di sebuah surau kecil. Seorang lelaki tua keluar dari surau dan menyapa kami. Ia terlihat begitu ramah dan sopan. Lelaki itu bahkan menyuruh kami untuk beristirahat di rumahnya daripada di mushola.

  "Kalau Masnya mau silakan beristirahat di gubug saya saja, sekalian bisa ngopi biar bisa semangat melanjutkan perjalanan, daripada di sini gak nyaman," ucapnya

  "Makasih Pak De, maaf kami gak mau merepotkan," jawab Kukuh

  "Memangnya Mas nya ini mau kemana toh, kali aja saya bisa kasih tahu jalan alternatif yang lebih dekat. Soalnya kalau ngikutin jalan utama ini rawan begal Mas?" imbuhnya

  "Mau ke desa T Pak De," jawab Kukuh

  "Kalau mau ke desa T lebih baik lewat Desa S saja lebih aman dan cepat," jawab pria itu

  "Oh begitu, kalau begitu terimakasih Pak De, kami mau lanjut jalan lagi," pungkas Kukuh kemudian segera bangun dan berpamitan

  Sebelum melanjutkan perjalanan kami mampir dulu di sebuah kedai makanan untuk mengisi perut. Setelah kenyang kamipun melanjutkan perjalanan menuju desa T.

  Setelah dua jam perjalanan kami pun tiba di sebuah desa yang cukup terpencil, dimana rumah-rumah di sana masih terbuat dari papan bahkan dari bambu. Lantai rumah pun masih tanah tanpa keramik. Selain itu jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya tampak berjauhan membuat desa itu terlihat seperti desa mati karena penghuninya yang begitu sedikit.

  Di desa itu hanya ada 20 rumah termasuk rumah sang dukun dan kepala dusun. Sisanya ditumbuhi pohon-pohon besar yang membuat desa itu tampak seram. Sebenarnya yang membuat suasana desa ini lebih seram adalah bau kemenyan yang begitu menyeruak saat memasuki desa itu. Setiap melewati rumah warga aku selalu melihat sesaji yang di pasang di depan pintu rumah. Entah apa maksudnya tapi sepertinya itu menjadi semacam tradisi warga desa tersebut.

  Setibanya di rumah Mbah Kamari tak ada sambutan hangat dari pemilik rumah. Ia bahkan membiarkan kami menunggu hingga magrib menjelang tanpa menemui kami.

  Awalnya aku mengira dia menolak kedatangan kami dan meminta Kukuh untuk pulang saja. Namun lagi-lagi Kukuh menguatkanku.

  "Emang begini ritualnya jadi ikutin saja aturan mainnya," jawab Kukuh dengan entengnya

  Bukan hanya mbah Kamari yang aneh di desa ini, yang lebih aneh adalah di desa ini tak terdengar suara adzan berkumandang. Padahal ku lihat ada sebuah surau kecil di desa itu.

  Tak mau berpikir terlalu jauh akupun mengusir rasa penasaran ku.

  Pukul 18.30 atau setelah waktu magrib Mbah Kamari keluar menemui kami. Setelah mengetahui maksud kedatangan kami beliau mengajakku pergi ke sebuah Sendang yang tak jauh dari kediamannya.

  Ia menyuruh ku untuk mandi di sendang itu. Selesai melakukan ritual di sendang iapun mengajakku masuk ke rumahnya.

  Ia menyuruhku masuk ke sebuah ruangan kecil yang tidak terlalu terang karena hanya diterangi oleh lampu uplik kecil.

  Aku di suruh duduk di sebuah bangku dimana sudah disiapkan sesaji lengkap dengan sebuah panci yang diisi air mendidih.

  Mbah Kamari kemudian mengeluarkan sebuah boneka yang terbuat dari akar dan diikat dengan benang.

  Sebelum ritual di mulai ia sempat bertanya lebih dulu kepada ku apa aku benar-benar yakin akan melakukan Pesugihan Jual Anak atau tidak. Tentu saja dengan mantap aku menjawab iya tanpa menyebutkan nama anak yang ingin ku tumbalkan.

  Setelah mendengar jawaban ku Mbah Kamari pun mulai melakukan ritualnya.

  "Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci.

  Aku langsung mengangguk pelan.

  "Siap Mbah?"

  Mbah Kamari langsung memasukkan boneka itu kedalam air yang mendidih tanpa ragu.

  Tidak lama terdengar suara jeritan anak kecil yang membuat mataku seketika melotot setelah mendengarnya. Bagaimana tidak, aku mendengar suara Bagas menjerit kesakitan hingga membuat ku jadi panik. Karena ingin memastikan sendiri siapa anak yang menjadi tumbal pesugihan, maka aku pun buru-buru melongok ke arah Panci tersebut. Dalam panci itu Aku melihat dengan jelas bagaimana Bagas tengah menjerit kesakitan membuat ku langsung memasukkan tanganku kedalam panci untuk menyelamatkannya.

  .

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status