"Habiskan dan jangan ada sisa, karena kalau masih ada sisa berarti kamu gagal!" ucap Kukuh menyodorkan gelas berisikan darah padaku
*Deg! Ku ulurkan tanganku untuk menerima gelas darinya. Meskipun aku merasa jijik namun tak ada pilihan lain selain menghabiskannya. Hanya ini satu-satunya jalan untuk ku bisa keluar dari semua kesulitan hidup yang aku alami semua ini. Bau anyir darah menyeruak memenuhi indra penciuman ku. Berkali-kali aku bersendawa karena tak kuat dengan bau yang membuat perut ku begitu mual dan rasanya ingin muntah. "Cepat habiskan Guh, atau kamu mau di gebukin warga!" Suara Kukuh membuat ku segera menghabiskan darah tersebut. *Gleekk!! Rasa lengket yang menempel di lidah dan bau amis mulai keluar dari nafasku membuatku nyaris mengeluarkannya kembali. "Jangan di muntahkan Im!" seru Kukuh berusaha memperingatkan aku Aku segera menutup mulutku rapat-rapat agar tidak muntah. Ia kemudian menggali makam tersebut dan memintaku untuk mengambil tali pocong mayat. "Cepat ambil, waktu kita tidak banyak!" ucapnya sambil celingukan mengecek kondisi sekitar. Aku mengangguk dan segera turun ke bawah. Ku palingkan wajahku saat melihat sosok mayat seorang wanita yang membuatku merinding. Buru-buru ku buka tali pocongnya dan segera. ku ambil. Setelah berhasil mendapatkan tali pocong tersebut, kami langsung menutup kembali makam tersebut. "Simpan tali pocong ini dan jangan sampai hilang, aku yakin suatu hari benda ini akan berguna untuk mu!" ucap Kukuh Setelah ritual selesai kami pun bersiap-siap pergi ke rumah dukun Pesugihan. Namun entah kenapa tiba-tiba ada yang aneh saat kami hendak meninggalkan area pemakaman. Tiba-tiba saja aku melihat beberapa makhluk halus muncul di tempat itu dan mengerubungi kami seolah menahan kami untuk tidak pergi. "Kuh!" Aku benar-benar ketakutan dan langsung menggandeng erat lengan Kukuh. Kukuh hanya menghela nafas sambil menoleh kearah ku. "Jangan takut, mereka tidak akan mencelakai kita!" jawab kukuh dengan entengnya dan berlalu pergi tanpa menghiraukan kehadiran makhluk-makhluk tak kasat mata tersebut. Akupun segera berlari menyusulnya tanpa menghiraukan para lelembut yang terus menatap ku. Aku merasa lega karena akhirnya harus meninggalkan area pemakaman yang dipenuhi lelembut. "Fiuh!" ku seka keringat yang membasahi wajahku "Cepat naik!" seru Kukuh segera menyalakan motor Aku segera naik dan duduk di belakangnya. Namun entah kenapa aku merasa sesak saat berboncengan dengan Kukuh menuju ke rumah sang dukun. Padahal kami hanya berdua tapi kenapa aku merasa engap seperti berboncengan lebih dari satu orang. Karena penasaran aku pun menoleh ke belakang. *Deg! "Arrghhh!!" Jantungku nyaris copot saat melihat ada seorang perempuan duduk dibelakang ku. Tentu saja aku reflek langsung melompat turun dari motor hingga Kukuh hilang keseimbangan dan motornya terjatuh ke bahu jalan. *Bruugghh! Aku buru-buru berlari kearah Kukuh yang terhimpit motor untuk membantunya. Dengan wajah kesal ia segera bangun dan mengguncang tubuh ku dengan keras. "Bisa gak sih gak bikin orang panik. Gara-gara kamu aku nyaris mati tahu!" hardiknya menatapku tajam "Maaf Kuh, tapi aku reflek karena takut," jawabku menunduk Kukuh kemudian menoleh kearah hantu wanita yang mengikuti kami. "Gak usah norak deh, lama-lama kamu juga terbiasa melihat hantu model begituan. Sekali lagi aku tegasin sama kamu, gak usah takut sama mereka, karena mereka cuma menakut-nakuti aja. Semakin kamu takut maka mereka akan semakin menakut-nakuti mu!" seru Kukuh kemudian mengangkat motornya "Tapi kenapa dia ngikutin aku mulu Kuh?" "Karena lo penakut!" seru Kukuh Aku hanya diam tak bergeming mendengarkan makian Kukuh. "Sekali lagi aku tegaskan kalau hantu itu tidak mungkin menyakiti manusia kecuali ada yang mengendalikan, jadi jangan takut!" ucap Kukuh kemudian menyalakan sepeda motornya Aku hanya mengangguk mengiyakan ucapan Kukuh. Mulai sekarang aku juga harus mulai terbiasa dengan makhluk gaib karena suka atau tidak aku bisa melihat mereka karena mata batinku sudah terbuka. Darah itu sudah membuka mata batinku. Aku buru-buru naik kembali keatas motor dan mengacuhkan hantu wanita yang terus mengikuti kami. Perjalanan menuju ke rumah dukun perantara pesugihan lumayan jauh. Saat adzan subuh berkumandang Kukuh menghentikan sepeda motornya dan memilih beristirahat di sebuah surau kecil. Seorang lelaki tua keluar dari surau dan menyapa kami. Ia terlihat begitu ramah dan sopan. Lelaki itu bahkan menyuruh kami untuk beristirahat di rumahnya daripada di mushola. "Kalau Masnya mau silakan beristirahat di gubug saya saja, sekalian bisa ngopi biar bisa semangat melanjutkan perjalanan, daripada di sini gak nyaman," ucapnya "Makasih Pak De, maaf kami gak mau merepotkan," jawab Kukuh "Memangnya Mas nya ini mau kemana toh, kali aja saya bisa kasih tahu jalan alternatif yang lebih dekat. Soalnya kalau ngikutin jalan utama ini rawan begal Mas?" imbuhnya "Mau ke desa T Pak De," jawab Kukuh "Kalau mau ke desa T lebih baik lewat Desa S saja lebih aman dan cepat," jawab pria itu "Oh begitu, kalau begitu terimakasih Pak De, kami mau lanjut jalan lagi," pungkas Kukuh kemudian segera bangun dan berpamitan Sebelum melanjutkan perjalanan kami mampir dulu di sebuah kedai makanan untuk mengisi perut. Setelah kenyang kamipun melanjutkan perjalanan menuju desa T. Setelah dua jam perjalanan kami pun tiba di sebuah desa yang cukup terpencil, dimana rumah-rumah di sana masih terbuat dari papan bahkan dari bambu. Lantai rumah pun masih tanah tanpa keramik. Selain itu jarak antara rumah satu dengan rumah lainnya tampak berjauhan membuat desa itu terlihat seperti desa mati karena penghuninya yang begitu sedikit. Di desa itu hanya ada 20 rumah termasuk rumah sang dukun dan kepala dusun. Sisanya ditumbuhi pohon-pohon besar yang membuat desa itu tampak seram. Sebenarnya yang membuat suasana desa ini lebih seram adalah bau kemenyan yang begitu menyeruak saat memasuki desa itu. Setiap melewati rumah warga aku selalu melihat sesaji yang di pasang di depan pintu rumah. Entah apa maksudnya tapi sepertinya itu menjadi semacam tradisi warga desa tersebut. Setibanya di rumah Mbah Kamari tak ada sambutan hangat dari pemilik rumah. Ia bahkan membiarkan kami menunggu hingga magrib menjelang tanpa menemui kami. Awalnya aku mengira dia menolak kedatangan kami dan meminta Kukuh untuk pulang saja. Namun lagi-lagi Kukuh menguatkanku. "Emang begini ritualnya jadi ikutin saja aturan mainnya," jawab Kukuh dengan entengnya Bukan hanya mbah Kamari yang aneh di desa ini, yang lebih aneh adalah di desa ini tak terdengar suara adzan berkumandang. Padahal ku lihat ada sebuah surau kecil di desa itu. Tak mau berpikir terlalu jauh akupun mengusir rasa penasaran ku. Pukul 18.30 atau setelah waktu magrib Mbah Kamari keluar menemui kami. Setelah mengetahui maksud kedatangan kami beliau mengajakku pergi ke sebuah Sendang yang tak jauh dari kediamannya. Ia menyuruh ku untuk mandi di sendang itu. Selesai melakukan ritual di sendang iapun mengajakku masuk ke rumahnya. Ia menyuruhku masuk ke sebuah ruangan kecil yang tidak terlalu terang karena hanya diterangi oleh lampu uplik kecil. Aku di suruh duduk di sebuah bangku dimana sudah disiapkan sesaji lengkap dengan sebuah panci yang diisi air mendidih. Mbah Kamari kemudian mengeluarkan sebuah boneka yang terbuat dari akar dan diikat dengan benang. Sebelum ritual di mulai ia sempat bertanya lebih dulu kepada ku apa aku benar-benar yakin akan melakukan Pesugihan Jual Anak atau tidak. Tentu saja dengan mantap aku menjawab iya tanpa menyebutkan nama anak yang ingin ku tumbalkan. Setelah mendengar jawaban ku Mbah Kamari pun mulai melakukan ritualnya. "Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci. Aku langsung mengangguk pelan. "Siap Mbah?" Mbah Kamari langsung memasukkan boneka itu kedalam air yang mendidih tanpa ragu. Tidak lama terdengar suara jeritan anak kecil yang membuat mataku seketika melotot setelah mendengarnya. Bagaimana tidak, aku mendengar suara Bagas menjerit kesakitan hingga membuat ku jadi panik. Karena ingin memastikan sendiri siapa anak yang menjadi tumbal pesugihan, maka aku pun buru-buru melongok ke arah Panci tersebut. Dalam panci itu Aku melihat dengan jelas bagaimana Bagas tengah menjerit kesakitan membuat ku langsung memasukkan tanganku kedalam panci untuk menyelamatkannya. ."Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci. "Siap Mbah!" jawabku tanpa ragu Mbah Kamari langsung merapal mantra saat mendengar persetujuan ku. Tidak lama ia pun mencelupkan boneka itu kedalam panci berisi air mendidih. *Byuurrr!! "Aarrggh!" Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras seorang anak kecil. "Sakit bapak...bapak jangan ....tolong bapak...adek sakit!" Seketika netraku membelalak saat mendengar suara jeritan anak kecil yang begitu familiar ditelinga ku. "Bagas??" Seketika aku teringat dengan anak bungsuku Bagas. "Apa Bagas yang jadi tumbal?, tapi tidak mungkin karena aku ingin Bagus yang jadi tumbal, tapi bukankah aku belum mengatakannya kepada Mbah Kamari??" Aku pun segera menepis pikiran negatif itu. "Bapak tolong, adek sakit!" Kembali ku dengar suara teriakan anak kecil mirip suara Bagas. Semakin lama sua
"Tumben kamu masak banyak banget Ra, emang dapat duit dari mana?" tanyaku penasaran "Oh itu, Alhamdulillah Mas, semalem ada orang baik yang memberi ku uang banyak banget. Tak tanggung-tanggung ia memberikan uang satu koper kepada ku!" ucap Ira tampak sumringah "Uang satu koper??" *Deg! "Satu koper?, yang benar saja, mana ada orang yang mau memberikan uang sebanyak itu tanpa cuma-cuma kepada kita," sanggah ku "Beneran Mas, kalau Mas gak percaya silakan cek saja," tantang Ira Ia mengajakku masuk ke kamar untuk melihat uang itu. Karena penasaran aku pun buru-buru menuju ke kamar untuk mengecek uang tersebut. Ku lihat sebuah koper berwarna hitam di dalam kamar. Saat ku buka ternyata benar isi tas itu adalah uang. Bahkan karena saking penasarannya aku mengecek keaslian uang dalam koper tersebut. Dan semuanya asli. "Asli kan, aku gak bohong?" ucap Ira Aku mengangguk dengan wajah yang tak percaya. Kalau itu adalah uang pesugihan, aku yakin sekarang pasti sudah menghilang
Melihat semua makanan berubah seketika selera makanku menghilang dan segera ku sudahi makan siang ku. Rasa mual membuat ku buru-buru berlari menuju kemar mandi untuk memuntahkan semua makanan di perutku. Namun sialnya makanan tersebut tidak mau keluar. Akupun tak bisa memaksakan diri untuk memuntahkan semuanya. Aku hanya bisa mengumpat, karena tak bisa mengeluarkan mereka dari perut ku. "Kamu kenapa Mas muntah-muntah begitu, pasti masuk angin ya, telat makan, atau mabuk kendaraan!" tanya Ira saat aku kembali ke meja makan. "Bukan masuk angin dek, aku mual karena aku baru sadar jika makanan yang kita makan ini bukan makanan manusia," Seketika Ira langsung berhenti mengunyah dan melotot kearah ku. "Maksudnya?" tanya Ira merasa kesal Sementara itu Bagas tampak memperhatikan kami sambil menikmati makanannya. Akupun berusaha memberitahu Ira tentang makanan yang sedang ia makan. Meskipun aku sudah berkali-kali aku menjelaskan jika makanan yang ada di meja makan adalah bangkai n
"Tolong!!" Semakin aku berteriak kencang cengkraman tangan Ira benar-benar membuat ku kehabisan nafas hingga semua terasa gelap.Aku kembali tersadar saat Ira kembali mencekik ku. Kali ini aku merasa nafasku seperti terputus. Aku tidak boleh kalah oleh makhluk biadab yang merasuki Ira. Aku harus kuat untuk menyelamatkan keluargaku."Arrghh!" Aku berusaha melepaskan tangan Ira dengan sisa tenaga yang ku punya. "Sadar Ira, aku suamimu!" Aku berusaha menyadarkan istriku, tapi sepertinya susah. Bahkan sampai aku coba membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an tetap saja ia masih berusaha untuk membunuhku. "Tolong!" Kali ini aku benar-benar kehabisan nafas. Saat semuanya berubah gelap. Tiba-tiba seseorang menarik rambutku hingga membuatku seketika terjaga. "Ayah bangun, ayah, ayah bangun!" Kudengar suara Bagas memanggilku sembari mengguncang tubuhku. Perlahan ku buka mataku dan ku lihat wajah panik Bagas. "Ayah Mas Bagus ayah!" serunya dengan wajah panik "Kenapa dengan Bagus?" tanyaku pen
"Ira, bangun Ra, Ira!" seruku berusaha untuk menyadarkannyaCukup lama Ira tak sadarkan diri sampai aku dan Bagas harus meminta tolong seorang ustadz untuk membantu menyadarkannya. Setelah sadar Ira tampak seperti orang linglung. Ustadz Hendra sampai memberikan air doa untuk membuatnya sadar. Setelah tenang, Ira mulai bercerita jika ia bertemu dengan sosok wanita yang berusaha mengajak Bagas pergi. Tentu saja melihat orang asing yang hendak membawa pergi anaknya membuat Ira langsung mencegahnya. Namun dengan ketus wanita itu justru menghardiknya, " Minggato kabeh!" "Setelah mendengar ucapan tersebut aku tiba-tiba hilang kesadaran," tutur Ira saat menceritakan kejadian yang dialaminya *Deg! Aku langsung menunduk setelah mendengar cerita Ira. Aku belum berani menceritakan kepadanya tentang pesugihan yang diam-diam aku jalani sebelumnya. "Sepertinya Ira memang diganggu oleh sosok tak kasat mata. Mungkin ini terjadi karena ia sedang depresi pasca kepergian Bagus, jadi saran saya s
Tak seperti saat kematian Bagus, kali ini hanya sedikit orang yang menghadiri acara tahlil untuk mendoakan almarhum Ira. Mungkin karena mereka mengira jika aku melakukan Pesugihan atau ilmu hitam jadi sebagian dari mereka enggan datang.Meskipun begitu aku tetap bersyukur karena masih ada yang mau datang dan ikut mendoakan almarhum istri dan anakku.Acara tahlil berjalan lancar dan khusuk meskipun tidak banyak yang hadir. Selesai cara tahlil Kukuh membantuku membereskan perkakas. Beberapa orang masih berbincang di beranda rumah, bahkan Ustadz Hendra masih mengobrol dengan mereka. Suara tangisan Bagas tiba-tiba membuat ku terhenyak. Aku langsung berlari ke kamarnya, aku takut sesuatu terjadi lagi dengannya.Ku lihat dia sedang merintih kesakitan. Wajahnya memucat dan tubuhnya begitu dingin."Apa yang terjadi!" tanyaku penasaranBagas tak menjawab, ia hanya meringis kesakitan. Aku semakin panik saat melihat matanya tiba-tiba berubah memutih semua. Seketika aku langsung mundur, aku
*DegAku benar-benar tak percaya saat melihat sosok Mbah Kamari yang tergantung dengan bola mata nyaris keluar di ruang tamu."Bagaimana bisa ia bunuh diri di saat aku begitu membutuhkan bantuannya??" Keringat dingin mulai membanjiri wajahku seolah memberitahu betapa paniknya aku saat itu. Bukan hanya panik, aku bahkan berpikir giliran aku atau Bagas setelah ini.Ya, sepertinya aku harus mempersiapkan diri untuk jadi tumbal berikutnya, atau putraku Bagas?.Aku berusaha kuat meskipun tubuhku terasa lemas.Tiba-tiba angin berdesir kencang membuat ku terhempas ke lantai. Kukuh buru-buru menghampiri ku dan mengajakku pergi dari kediaman Mbah Kamari."Kita harus segera pergi dari sini!" tuturnya sambil menarik lenganku"Memangnya ada apa?" tanyaku penasaran"Firasatku mengatakan akan bahaya jika kita berlama-lama di tempat ini!" sahutnyaSuara deru motor Kukuh seolah menjadi penanda jerat Pesugihan dimulai.Tak ada yang aneh sepulang dari kediaman Mbah Kamari. Hanya badanku yang terasa l
"Kalau Bagas kangen sama Ibu, jangan lupa doakan ibu biar ibu bahagia di sana," ucapku berusaha menasihatinya "Aku mau ikut ibu," ucap Bagas tiba-tiba mengagetkan aku *Deg! Ah kenapa aku begitu risau saat mendengar ucapan Bagas. Apa ini sebuah firasat, atau hanya perasaanku saja yang berpikir sempit. "Aku mau ikut ibu??" ucap Bagas kembali menyadarkan aku Ku lihat ia memeluk nisan Ira begitu erat membuat ku ikut merasakan kesedihannya. Betapa tercabik-cabik hatiku saat melihat bagaimana pilunya Bagas yang merindukan sang ibu. Akupun tak kuasa menahan kesedihan yang membuat dadaku terasa sesak. Tangisan kamipun pecah di sana. "Sudah jangan di tangisi lagi, jangan membuat langkahnya semakin berat," ucap Kukuh memperingatkan kami Aku langsung mengusap air mataku dan berusaha menenangkan Bagas. "Sudah ya dek, ikhlaskan ibumu, biarkan dia bahagia di sana bersama Mas Bagus. Kamu gak mau kan melihat ibu sedih?" tanyaku berusaha menyentuh hatinya. Bagas pun mengangguk pelan
Teguh menerawang menatap langit-langit kamarnya. Beberapa kali ia beristigfar untuk menghilangkan rasa takutnya. Malam itu Teguh tak bisa tidur hingga pagi hari. Setelah adzan subuh Teguh mulai merasa ngantuk. Ia pun kemudian membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Dengkuran halus mulai terdengar dari bibirnya. Tidak lama terdengar suara gaduh membuat Teguh terbangun. Ia buru-buru bangun dan keluar dari kamar kosannya. Ia melihat banyak orang berkerumun di depan pagar kosan. "Ada apa ini???" Ia segera keluar untuk menghampiri kerumunan tersebut. Teguh pun menanyakan apa yang terjadi kepada seorang warga. "Sebenarnya apa yang terjadi?" tanyanya pada seorang warga "Istri Pak RT, dia diguna-guna orang," Teguh begitu terkejut mendengarnya. "Lalu kenapa orang-orang itu berkumpul di sini?" tanya Teguh "Mereka ingin menangkap si pengirim guna-guna itu yang katanya tinggal di sini," jawab seorang warga "Oh begitu, lalu bagaimana dengan keadaan ibu RT?" "Kondisinya
Teguh menghentikan sepeda motornya di depan sebuah warung kopi. Alih-alih mengisi perutnya yang mulai kelaparan, Teguh juga ingin mencari informasi tentang kos-kosan. Setelah berbincang dengan pemilik warung ia pun mendapatkan alamat sebuah kosan. Tanpa pikir panjang Teguh mendatangi kosan tersebut. Beruntung ada sebuah kamar kosong dan ia bisa langsung menempatinya malam itu juga. Gelap malam membuat Teguh merebahkan tubuhnya diatas matras kecil. Kali ini ia harus tidur disebuah kamar kecil, sumpek dan juga panas. Maklum saja kosan yang dihuninya hanya seharga lima ratus ribu perbulan . jadi wajar saja jika fasilitas yang ia dapatkan hanya sebuah matras. Bahkan kipas angin pun tidak ada. Teguh sengaja membuka jendela kamarnya agar udara bisa masuk. setidaknya angin bisa masuk dan ia tidak merasa kegerahan sepanjang malam. rasa lelah membuat rasa kantuknya segera datang. Tak lama Teguh pun terlelap. Hening malam membuat suasana kosan menjadi lebih tenang. Tidak seperti kos
Teguh masih termangu menatap kepergian lelaki itu. Tatapan penuh tanda tanya mengapa lelaki itu berkata seperti itu padanya. Hampir mirip dengan ucapan Kukuh. Teguh kemudian beranjak dari duduknya. Ia kemudian berjalan meninggalkan surau itu. Langkahnya terasa berat saat ia melewati sebuah pohon besar yang ada di halaman surau. Ia menoleh kearah pohon itu, semilir angin seolah membuai wajahnya membuatnya terkesiap. "Ada yang bilang jangan suka bengong kalau di tempat wingit le," ucap Seorang wanita paruh baya menegurnya "Oh ...." jawab Teguh seketika gagap Wanita itu tersenyum kemudian pergi. "Apa surau itu juga tempat wingit?" tanya Teguh kemudian menyusul wanita itu "Bagi orang-orang awam memang begitu, tapi kalau untuk orang-orang seperti mu ya tidak juga. Toh mereka juga tidak menganggu kecuali kamu menganggunya lebih dulu," jawab wanita itu Ia kemudian masuk ke sebuah warung kopi dan Kukuhpun mengikutinya. "Kamu darimana?" tanya wanita itu "Dari kampung sebelah," jawa
Pagi itu Teguh memilih untuk pergi meninggalkan kampung halamannya. Tekadnya sudah bulat untuk merantau. Ia ingin melupakan semua kenangan buruk tentang keluarganya dengan merantau. Ia sengaja ingin mengabdikan hidupnya untuk membantu masyarakat untuk menebus dosa-dosanya. Ia pun bergegas menuju ke terminal Bus. Kali ini tujuannya adalah Jakarta. Ia ingin mengadu nasib di kota metropolitan tersebut. Perjalanan menuju Jakarta lumayan jauh membuatnya tertidur sepanjang perjalanan. Tepat saat adzan magrib berkumandang ia pun tiba di stasiun bus Pulau Gadung. Teguh memilih untuk melakukan sholat magrib. Sebuah surau kecil terlihat penuh dengan orang-orang yang hendak melakukan sholat. Teguh sempat menunggu sampai orang-orang selesai melakukan sholat berjamaah. Senyumannya mengembang saat melihat masih banyak orang-orang yang bersemangat melaksanakan sholat berjamaah. "Allahu Akbar," Teguh melipat kedua tangannya dan mulai khusuk membaca takbiratul ihram. "Aamiin," Tiba-tiba ter
"Bangun Le, kamu harus melawan rasa sakit itu, kamu tidak boleh mati. Kamu harus berjuang jika kau ingin menebus semua dosaku sama di masa lalu," Seketika aku terbangun setelah mendengar ucapan pria itu. Sesosok makhluk menjijikkan berusaha menjilati tubuhku. Namun ia seketika terbakar saat menyentuh selendang itu. Pak Dhe Slamet tampak terkejut saat melihat kejadian itu. Ia juga tak percaya saat melihat ku terbangun. "Bagaimana kamu bisa lolos darinya??" ucapnya tak percaya "Lepaskan aku Pak Dhe," ucapku "Kau terlalu banyak ikut campur Teguh, andai saja kau tidak ikut campur aku pasti akan menurunkan semua kekuatan ku kepadamu. Sayang sekali, padahal kita memiliki banyak kesamaan dan aku yakin hanya kamu yang bisa menuruni semua kekuatan ku," jawab Pak Dhe Kali ini ia kembali mengikatku di sebuah kursi. Ia tahu aku akan lari jika dia tak mengikatku. Setelah mengikatku di kursi Pak Dhe kemudian menggorok seekor ayam cemani dan menadahi darahnya pada sebuah gelas bambu. I
Ku dengar suara Pak Dhe membaca mantera. Mantera itu sama persis dengan mantera yang dibaca oleh Mbah Kamari. Mantera itu juga yang dibaca istriku saat ia kesurupan. "Jadi benar Pak Dhe pelakunya!" Angin kencang berhembus membuat ku terjungkal dari tempat persembunyian ku. Tubuhku terguling-guling terbawa angin. Aku berusaha bangun untuk melihat apa yang terjadi selanjutnya, namun sial ku rasakan kepalaku terasa pusing saat sebuah benda tumpul menghantam kepala ku. Tiba-tiba semua berubah gelap. Tak lama terdengar suara teriakan membuat ku reflek membuka mata. Saat aku hendak bangun, aku merasa kepalaku sangat pusing hingga nyaris jatuh. Dengan langkah sempoyongan aku berusaha keluar dari pondok ini. Berbahaya jika aku tetap di sini. Aku harus pergi secepatnya sebelum Pak Dhe kembali. Aku harus hidup, aku harus menyelamatkan semua warga. Betapa terkejutnya aku saat melihat Pak Dhe Slamet tiba-tiba berdiri di depan ku. "Apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya kemudian
"Sebenarnya apa yang terjadi padamu, kenapa kamu bisa terjatuh di kamar mandi?" "Itu karena aku ... aku... aku melihat iblis itu?" "Iblis yang membantumu mendapatkan harta dengan tumbal," sahut Pak Dhe terlihat sinis Aku mengangguk pelan. "Kamu ini ada-ada saja, mustahil dia berani datang ke rumah ku, atau dia memang cari mati," jawab Pak Dhe "Aku tidak tahu Pak Dhe, yang jelas semenjak melihat arwah anak dan istri Pak Dhe aku jadi bertemu lagi dengan iblis itu. Padahal aku sudah lama tak di ganggu olehnya," "Kalau begitu sebaiknya kamu ikut bersih-bersih saja di Pondok, aku tahu iblis itu tidak akan berani menganggu mu di sana," tandas Pak Dhe Slamet Aku menurut saja dan mengikuti Pak Dhe menuju ke Pondok. Pagi itu Pak Dhe sengaja membuka pondok untuk membersihkan tempat itu. Ia sengaja mengajak beberapa santri untuk membantu membersihkannya. Akupun ikut serta untuk membantu mereka membersihkan tempat itu. Semua orang bekerjasama membersihkan tempat itu dari debu dan k
"Ikuti kata hatimu, apapun yang terjadi ikuti kata hatimu," ucap lelaki itu kemudian menghilang "Bangun Teguh, Teguh ....bangun!" Perlahan aku membuka mataku saat merasakan seseorang mengguncang tubuhku. "Pak Dhe??" Aku tak mengira ternyata pak dhe yang mengguncang tubuhku. "Sebaiknya kamu pulang saja, daripada tidur di sini!" celetuk Pak Dhe Sepertinya ia sangat marah padaku. Aku sendiri heran kenapa aku bisa tertidur di ruang kerja Pak Dhe. Padahal sebenarnya Pak Dhe mengajakku k sini untuk membicarakan sesuatu, tapi aku malah ketiduran. "Maafkan aku Pak Dhe," ucapku mencoba memperbaiki kesalahan ku "Sudahlah mungkin lain kali saja kita bicara, sebaiknya kamu cepat pulang," pungkasnya Aku pun tak bisa memaksa Pak Dhe, aku hanya bisa pergi meninggalkannya. Saat hendak meninggalkan ruangan itu, tiba-tiba netraku terus tertuju pada gambar foto pria yang tergantung di ruangan itu. Ia adalah pria yang tadi berbincang denganku. Faisal, aku ingat namanya dan dia juga
"Dimana mereka?" tanyanya dengan wajah tegang "Mereka sudah pergi," jawabku singkat Ada gurat kekecewaan dalam diri Pak Dhe Slamet, namun ia berusaha menyembunyikannya. "Bawa mereka kembali, aku ingin bicara dengan mereka!" ucap Pak Dhe "Tidak mungkin Pak Dhe, mereka itu sudah mati, jadi aku tidak bisa membawa mereka kembali," "Mereka itu Jin jadi kamu bisa membawa mereka kembali!" ucap Pak Dhe Pak Dhe menepuk pundak ku dan menatap tajam kearah ku. Sepertinya ia tak percaya dengan ucapan ku hingga menatapku seperti itu. "Kamu punya kekuatan yang bisa memanggil orang mati. Kita bisa bertanya kepada mereka siapa yang melakukan semua ini," ucapnya penuh harap Aku tahu Pak Dhe pasti ingin mengetahui siapa pelakunya. Orang yang sudah membuat kekacauan hingga menewaskan puluhan santri dan ustadz. Bukan hanya itu, bahkan istri dan anaknya ikut menjadi korban. Aku tahu benar apa yang dirasakan oleh Pak Dhe. Namun aku bisa apa, aku tidak bisa membantunya. Jangankan mengundang