Share

Bab 3. Uang Satu Koper

  "Ketika boneka ini masuk kedalam air yang mendidih ini maka kau akan kehilangan salah satu anakmu, apa kamu siap?" tanya Mbah Kamari lagi sebelum memasukkan boneka tersebut kedalam panci.

  "Siap Mbah!" jawabku tanpa ragu

  Mbah Kamari langsung merapal mantra saat mendengar persetujuan ku. Tidak lama ia pun mencelupkan boneka itu kedalam panci berisi air mendidih.

  *Byuurrr!!

  "Aarrggh!"

  Tiba-tiba terdengar suara jeritan keras seorang anak kecil.

  "Sakit bapak...bapak jangan ....tolong bapak...adek sakit!"

  Seketika netraku membelalak saat mendengar suara jeritan anak kecil yang begitu familiar ditelinga ku.

  "Bagas??"

  Seketika aku teringat dengan anak bungsuku Bagas.

  "Apa Bagas yang jadi tumbal?, tapi tidak mungkin karena aku ingin Bagus yang jadi tumbal, tapi bukankah aku belum mengatakannya kepada Mbah Kamari??"

  Aku pun segera menepis pikiran negatif itu.

  "Bapak tolong, adek sakit!"

  Kembali ku dengar suara teriakan anak kecil mirip suara Bagas.

  Semakin lama suara jeritan itu semakin keras, dan tak salah lagi itu bukan suara Bagus tapi Bagas. Meskipun mereka adalah anak kembar tapi aku hapal benar suara mereka satu persatu. Karena pikiran yang berkecamuk dan rasa penasaran yang tinggi aku pun berinisiatif untuk melihat siapa yang dijadikan tumbal pesugihan ini.

  Aku yakin aku bisa melihat wajah anak yang dijadikan tumbal dalam panci itu.

  Benar saja, saat aku melongok kedalam panci seketika aku melihat wajah Bagas yang sedang meringis kesakitan menahan sakit.

  Seketika darahku mendidih melihat putra kesayangan ku merintih kesakitan. Jiwa kebapakan ku langsung bergejolak. Buru-buru ku masukan tanganku ke dalam panci berisi air panas untuk mengambil boneka itu. Aku yakin Bagas kesakitan karena boneka itu. Aku tak menghiraukan rasa panas yang membuat tabganku melepeluh demi menyelamatkan Bagas.

  "Apa yang kamu lakukan!" hardik Mbah Kamari dengan nada tinggi

  Lelaki tua itu tampak melotot melihat kearah ku.

  "Itu suara anak terakhir saya Mbah. Kenapa dia yang jadi tumbal. Aku ingin menumbalkan anak pertama saya yang sakit-sakitan bukan anak kedua ku," jawabku gugup

  "Lah wong kamu gak bilang kok, ya mana aku tahu. Toh dari awal aku gak tahu anak mana yang ingin kamu tumbalin. Biasanya para demit milih anak yang paling disayang untuk jadi tumbal, jadi jangan salahkan aku," jawab Mbah Kamari

  "Sekarang kita harus menyelesaikan ritual ini, jadi cepat masukan kembali boneka itu!" seru Mbah Kamari

  "Tidak bisa mbah, aku tidak bisa melanjutkan ritual ini kecuali tumbalnya di ganti!" ucapku berusaha bernegosiasi

  "Tidak bisa le, apa yang sudah diucapkan dalam akad tidak bisa ditarik lagi kecuali kau ingin mendapatkan malapetaka dalam hidupmu!" ancam Mbah Kamari

  Tentu saja aku sangat marah mendengar ucapan Mbah Kamari. Aku pikir karena Mbah Kamari orang pintar maka tanpa bertanya pun ia pasti sudah tahu siapa yang akan aku tumbalkan. Toh saat mengucapkan keinginan ku untuk mengikuti ritual pesugihan ini aku sudah berkali-kali menyebut nama Bagus masa sih dia gak tahu. Aku yang sudah kesal dan gondok memutuskan untuk pergi meninggalkan tempat itu. Ku bawa boneka itu dan terus berlari meninggalkan tempat itu, meskipun Kukuh berkali-kali berusaha memanggilku.

  Aku terus berlari meninggalkan Kukuh di rumah Mbah Kamari. Aku yakin dia pasti akan menahan ku pergi dan berusaha meyakinkan aku untuk melanjutkan ritual tersebut. Jadi untuk apalagi mendengarkannya, percuma.

  Jarak antara kediaman Mbah Kamari lumayan jauh dari jalan raya hingga membuat nafasku tersengal-sengal saat tiba di jalan utama.

  Aku menunggu cukup lama di jalan raya, berharap ada kendaraan yang lewat. Akan tetapi meski sudah menunggu sampai satu jam lebih tak ada satupun kendaraan yang lewat. Mungkin karena hari sudah mulai malam, jadi wajar saja kalau jarang kendaraan yang melintas. Apalagi mengingat jalan raya ada di tengah-tengah hutan.

  Ku lihat sebuah lampu kendaraan mulai mengarah kepada ku. Sebuah Sepeda motor berhenti tepat di depanku membesarkan harapanku.

  "Syukurlah masih ada harapan untuk menyelamatkan Bagas," ucapku dalam hati aku buru-buru menghampiri sepeda motor itu. Sayangnya aku harus kecewa saat tahu pengemudi sepeda motor tersebut adalah Kukuh.

  "Kenapa kamu pergi?" tanyanya dengan nada penasaran

  "Aku tidak mau menumbalkan putra bungsuku. Dari awal kau pun tahu kalau aku melakukan Pesugihan ini untuk mengakhiri penderitaan Bagus. Itulah alasannya kenapa aku memilih menumbalkan dia. Andai saja dia tidak sakit-sakitan mungkin aku tidak perlu melakukan ritual laknat ini meskipun kami harus hidup kesusahan,"

  Ku lihat Kukuh turun dari sepeda motornya dan menepuk pundak ku.

  "Ini ujian Guh, kamu harus kuat!" ucapnya mencoba menguatkan aku

  "Tapi aku tidak tega melihat dia selalu kesakitan setiap hari Kuh,"

  "Kalau begitu lanjutkan ritualnya. Aku yakin semuanya akan membaik jika kau melanjutkan ritual ini," jawab Kukuh

  "Tapi aku tidak mau menumbalkan Bagas. Susah payah aku mendapatkannya, mana mungkin aku membunuh darah daging yang sudah aku idamkan dari sejak lama!"

  "Kalau begitu kenapa kau ingin menumbalkan Bagus?. Bukankah kau juga mendapatkannya dengan susah payah?" tanya Kukuh seolah mengintimidasi ku.

  "Karena dia sakit-sakitan Kukuh, harus berapa kali aku katakan padamu kalau aku melakukan semua ini demi kebaikannya!"

  "Dengan cara membunuhnya?, lalu kenapa tidak kau bunuh sendiri saja, kenapa harus menggunakan praktik pesugihan yang berisiko tinggi. Karena bukan hanya kamu yang akan celaka jika kau tidak melanjutkan ritual ini, tapi juga semua keluarga mu akan mati!" hardik Kukuh dengan berapi-api

  Selama ini aku belum pernah melihat Kukuh semarah ini padaku. Sebagi seorang sahabat yang berteman sejak kecil aku tahu benar bagaimana karakter Kukuh. Dia adalah pribadi yang lembut dan santun. Meskipun terkesan dingin namun ia selalu hangat padaku.

  "Kalau begitu bantu aku, bantu aku menyelamatkan keluarga ku!" seruku

  Kukuh menghela nafas berat. Aku bisa merasakan ia seperti memendam beban yang berat saat mendengar ucapan ku.

  "Kalau kau tidak bisa ya tidak apa-apa, aku akan menanggung semuanya. Toh ini adalah kesalahan ku, jadi kau tidak perlu ikut bertanggung jawab. Sekarang kamu cukup antar aku pulang itu saja," jawabku

  Kukuh pun mengangguk. Ia kemudian menyalakan sepeda motornya dan melesat meninggalkan desa T.

  Perjalanan pulang menuju tempat tinggal Kukuh lumayan jauh. Setidaknya kami harus berkendara selama 5 jam.

  Setibanya di kediaman Kukuh aku menolak menginap karena aku masih memikirkan keadaan Bagas. Aku takut ia kenapa-kenapa makanya aku putuskan untuk segera kembali ke kampung halaman ku.

  Pagi itu juga, Kukuh mengantar ku ke terminal Bus yang memang tak jauh dari kediamannya.

  "Kalau ada apa-apa hubungi aku," ucap Teguh menepuk pundak ku

  "Tentu. Ngomong-ngomong terimakasih banyak karena kamu sudah banyak membantuku walaupun aku harus mengecewakan mu. Aku juga minta maaf karena sudah banyak merepotkan mu,"

  "Ya elah kaya sama siapa aja. Sebaiknya mulai saat ini banyak-banyak berdoa dan dekatkan dirimu pada Gusti Allah, hanya itu cara terbaik untuk menangkal hal-hal negatif yang mungkin akan muncul," tandasnya

  Aku segera naik melamjwddska Ng

  Hanya tiga jam perjalanan dari desa tempat tinggal Kukuh hingga ke tempat tinggal ku. Setibanya di rumah aku merasa lega saat melihat Bagas tampak bermain dengan teman-temannya.

  "Syukurlah kalau dia baik-baik saja?" ucapku lega

  Saat memasuki pintu rumah Ira menyambut ku dengan senyuman lebar. Tak seperti biasa hari ini ia tampak sumringah menyambut kedatanganku. Padahal biasanya ia selalu murung karena memikirkan kondisi Bagus.

  "Alhamdulillah akhirnya kamu pulang juga Mas, kamu pasti capek ya, sekarang ayo kita makan siang dulu. Kebetulan aku sudah masak makanan kesukaan kamu," tandasnya kemudian menarik lenganku.

  "Gas ayo makan dulu nanti main lagi kalau sudah makan ya!" serunya mengajak putra bungsu kami

  "Hore makan!" seru Bagas tampak kegirangan dan menghampiri kami.

  Alhamdulillah aku merasa lega saat melihat kondisi keluarga ku baik-baik saja. Namun aku merasa kaget saat melihat aneka menu makanan di meja makan.

  Ira dapat uang dari mana untuk membeli makanan itu??.

  "Tumben kamu masak banyak banget Ra, emang dapat duit dari mana?" tanyaku penasaran

  "Oh itu, Alhamdulillah Mas, semalem ada orang baik yang memberi ku uang banyak banget. Tak tanggung-tanggung ia memberikan uang satu koper kepada ku!" ucap Ira tampak sumringah

  Uang satu koper??

  *Deg!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status