Share

Bab. 5 Teror dimulai

Melihat semua makanan berubah seketika selera makanku menghilang dan segera ku sudahi makan siang ku. Rasa mual membuat ku buru-buru berlari menuju kemar mandi untuk memuntahkan semua makanan di perutku. Namun sialnya makanan tersebut tidak mau keluar.

  Akupun tak bisa memaksakan diri untuk memuntahkan semuanya. Aku hanya bisa mengumpat, karena tak bisa mengeluarkan mereka dari perut ku.

  "Kamu kenapa Mas muntah-muntah begitu, pasti masuk angin ya, telat makan, atau mabuk kendaraan!" tanya Ira saat aku kembali ke meja makan.

  "Bukan masuk angin dek, aku mual karena aku baru sadar jika makanan yang kita makan ini bukan makanan manusia,"

  Seketika Ira langsung berhenti mengunyah dan melotot kearah ku.

  "Maksudnya?" tanya Ira merasa kesal

   Sementara itu Bagas tampak memperhatikan kami sambil menikmati makanannya. Akupun berusaha memberitahu Ira tentang makanan yang sedang ia makan. Meskipun aku sudah berkali-kali aku menjelaskan jika makanan yang ada di meja makan adalah bangkai namun Ira tetap tak percaya. Tentu saja hal itu membuat aku kesal padanya

  "Apa kamu tidak bisa melihat kalau makanan yang ada di hadapanmu itu adalah bangkai dan belatung!"

  Tiba-tiba Ira menggebrak meja dan melotot menatapku.

  "Kalau Mas gak mau makan ya sudah gak usah ngomong sembarangan. Aku tahu harga diri Mas tinggi makanya Mas gak terima kan kalau ada seseorang yang memberi uang kepada kita. Mas bukan gak suka makanan ini, tapi Mas gak mau makan karena harga diri Mas merasa terinjak-injak karena makan hasil pemberian orang lain!" cerocos Ira dengan nada tinggi

  Baru kali ini aku lihat Ira benar-benar marah padaku. Aku pun mulai merendahkan nada bicara ku, dan kembali memberikan penjelasan padanya.

  "Bukan begitu dek, kamu salah paham. Aku hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Kalau kau tak percaya tanyakan saja pada Bagus. Kau tahu kan kalau Bagus bisa melihat apa yang tidak bisa kita lihat. Dia tak mungkin bohong Dek, kalau dia memang melihat makanan di meja ini sudah pasti dia yang paling lahap di antara kita," aku berusaha memberikan penjelasan yang lebih masuk akal kepada istriku

  Tapi tetap saja Ira masih saja tak percaya dengan ucapan ku. Ia pikir aku berbohong untuk menakut-nakutinya. Tentu saja hal itu membuat aku kembali kesal dengan sikap Ira yang tidak mempercayai ucapan ku. Padahal Bagus juga sudah membenarkan ucapanku.

  Tak mau melihat pertengkaranku di meja makana, Bagus memilih masuk ke kamarnya. Putra sulungku ini memang sensitif, dan tak suka dengan keributan.

  Namun entah kenapa aku melihat Bagas makan begitu lahap hari itu. Padahal sebelumnya ia adalah anak kami yang susah makan. Bukan karena lauknya tapi emang dia susah makan. Aku mengamatinya dengan seksama.

  *Deg!

  Ada yang berbeda dengannya. Aku seolah melihat sosok lain dalam dirinya. Wajahnya menyeringai menatapku membuatku langsung mengedipkan mata, dan sosok itu segera menghilang.

  "Astaghfirullah," aku berusaha beristighfar semoga apa yang ku lihat tadi tidaklah nyata.

  Karena Ira dan Bagas tak mau mendengarkan aku, maka aku lebih memilih menghampiri Bagus di kamarnya.

  Ku lihat ia sedang menggambar seperti biasanya. Namun ada yang aneh dengan hasil gambarnya. Dia bukan menggambar, ia menggambar sosok yang mengerikan yang membuat ku bergidik ngeri.

  "Apa yang sedang kamu gambar nak?"

  Ia seketika menoleh kearah ku dengan tatapan tidak suka. Tentu saja aku merasa tidak nyaman saat putra sulungku melihatku seperti itu.

  "Ya sudah lanjutkan ya," ucapku berusaha memperbaiki suasana canggung diantara kami. Sejenak ku perhatikan kamar Bagus.

  "Kenapa kamar ini berantakan sekali, padahal aku tahu Ira paling rajin membersihkan tempat itu. Lalu siapa yang mengacak-acak kamar ini??"

  "Dia!" seru Bagus membuat ku terkejut

  Bagaimana tidak, ia menunjuk sosok yang digambarnya yang sudah mengacak-acak kamarnya.

  Merasa ada yang tidak beres dengan Bagus akupun kembali menghampirinya.

  "Apa yang kamu ucapkan itu benar Nak?"

  Bagus langsung mengangguk.

  "Memangnya kenapa dia mengacak-acak kamarmu?" tanyaku lagi

  "Dia bilang tak suka dengan ku, makanya dia memilih Bagas," jawabnya dengan nada sedih

  *Deg!

  Seketika aku teringat dengan jeritan Bagas. Buru-buru aku kembali ke meja makan untuk melihat Bagas.

  Denyut jantungnya seketika berdegup kencang saat tak melihat Bagas di sana.

  "Dimana Bagas?" tanyaku begitu panik

  "Lagi main sama temannya emangnya kenapa?" jawab Ira dengan santainya

  Tanpa menghiraukan jawaban Ira aku langsung berlari menuju ke halaman rumah.

  Hatiku sedikit lega saat melihat putra bungsuku sedang bermain bersama teman-temannya.

  "Syukurlah dia baik-baik saja," ucapku lirih

  Aku kembali masuk ke dalam rumah untuk beristirahat. Rasanya penat sekali setelah melakukan perjalanan jauh tanpa istirahat. Ku baringkan tubuhku diatas dipan. Ku lihat Ira sedang membereskan rumah. Angin semilir berhembus membuat rasa kantuk seketika datang menyerang.

  Sayup-sayup ku dengar suara teriakan Ira, membuatku langsung terbangun dan berlari mencarinya.

  "Ira!" seruku sambil mencarinya di dapur

  Suara jeritannya semakin terdengar jelas, membuat ku mulai berpikir jika hal buruk akan menimpa istriku. Aku rasa semua ini terjadi karena mereka memamakan bangkai tadi siang. Aku sudah mencarinya kemana-mana namun aku tidak menemukannya. Hanya kamar tidur yang tersisa. Alhamdulillah, aku bisa bernafas lega saat melihat Ira sedang menjalankan sholat Magrib.

  "Syukurlah dia baik-baik saja, setidaknya apa yang aku khawatirkan selama ini tidak terjadi. Aku yakin semuanya akan baik-baik saja," ucapku lega

  "Assalamualaikum warahmatullah,"

  Ku lihat Ira sudah selesai sholat. Alhamdulillah meskipun kami hidup dalam kesusahan namun Ira tidak pernah meninggalkan kewajibannya untuk melaksanakan sholat lima waktu. Itulah yang selalu membuat ku bangga padanya.

  Namun entah kenapa aku merasa ada yang aneh dengan salam ira kali ini. Bila biasanya Salam dimulai dengan menoleh kearah kanan, kenapa Ira menoleh ke kiri lebih dulu. Namun aku mengira mungkin ia lupa, jadi gak masalah kan. Karena seharian belum mandi, aku memutuskan untuk mandi. Ku dengar suara Ira berdzikir begitu keras dari kamar mandi. Tidak seperti biasanya, hari ini ia bahkan berdzikir begitu lama.

  Bahkan sampai aku selesai mandi, ku dengar ia masih khusuk berdzikir. Namun semakin lama aku dengar suara dzikir Ira semakin aneh. Suaranya hampir mirip dengan mantera yang dibacakan oleh Mbah Kamari si dukun perantara pesugihan.

  *Deg!

  Sengaja ku pasang telingaku lebar-lebar untuk memastikan Ira berdzikir atau membaca mantera pesugihan.

  "Stsststststststststs!"

  "Tidak salah lagi, aku benar-benar mendengar Ira membaca mantera yang sama dengan mantera Mbah Kamari??"

  Aku segera berlari menghampirinya. Saat aku hendak menepuk bahunya, tiba-tiba ku lihat ia memutar kepalanya dan menoleh kearah ku membuat ku langsung melotot melihatnya.

  Tubuhku seketika membeku saat ku sadari sosok di depanku bukan istriku.

  Ia menyeringai menatapku dengan bola matanya yang memutih.

  Saat aku berjalan mundur Ira langsung mencekik ku membuat ku kehabisan nafas.

  "Tolong!!"

  Semakin aku berteriak semakin kencang cengkraman tangan Ira hingga membuat benar-benar kehabisan nafas hingga semua terasa gelap.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status