Bram bingung ingin mengatakan apa namun memang sebagian adalah kasusnya Sandra, ia juga tidak memungkiri hal tersebut akan terjadi. Bram menelan salivanya sendiri, di dalam kepalanya ia tengah memilah kata-kata yang tepat.Suasana berubah hening, seketika tepat pada saat itu telepon masuk berdering. Bram mengambil handphonenya, ia melihat bahwa Grace yang meneleponnya. Bram mendiamkan ia tahu bahwa usahanya yang dari nol hampir saja sia-sia. “Erick, bawa mereka keluar,” perintahnya.“Baik, bos,” jawab Erick.Melihat hal yang terjadi membuat Erick meminta waktu kepada mereka berdua untuk bisa menenangkan Bram dalam sekejap. Mereka yang sudah mengetahuinya mengajak dengan baik-baik untuk membicarakan hal yang berhubungan dengan Indy.Kevin yang melihatnya mau tidak mau harus duduk di ruangan yang penuh dengan sekat untuk mendengarkan penjelasan Erick. “Berikan aku kopi,” kesal Kevin.“Kau mau kopi apa?” tanya Erick yang berusaha untuk menenangkan pemuda tersebut yang terlihat sangat gus
Keheningan terjadi semua terdiam mendengarnya dan dalam seketika terdengar bunyi telepon di matikan. “Sialan,” umpat Bram. Satu per satu mulai melampiaskan emosi mereka. “Kumpulkan semua bukti jangan sampai usaha kita sia-sia,” peringat Bram.Fitri mengigit bibir bawahnya, ia sendiri bahkan tidak memungkiri. “Kepala harimau? Menurut dia bahwa kita di pimpin untuk mengarahkan semua bukti kepada Indy? Aneh,” kata Fitri dengan hati-hati kepada dirinya sendiri.Sementara itu Fitri membuka file yang lain, ia mempelajari bahkan menganalisanya, ia juga mengambarnya di kertas sementara yang lain memikirkan strategi untuk bisa menangkap Indy. Di satu sisi, Bram mengusap wajahnya, ia pening dengan kejadian yang terjadi secara beruntun dan acak seakan tidak ada ujungnya.Bram tak percaya bahwa ia sendiri pun hampir menyerah dengan setiap kondisi yang terjadi pada dirinya. “Aku menyerah, kepalaku pusing,” sembur Bram yang sudah pusing dengan setiap“Kenapa? Kau ingin menyerah begitu saja?” tanya
Kevin dengan segera mengambil dompet dan beberapa benda yang ia bawa. Dia keluar dari ruang meeting sembari berlari untuk mencegat taksi menuju rumah sakit, ia akhirnya harus mau tidak berhadapan dengan adiknya jika ia tidak mengambil keputusan secepat kilat.Di depan pintu ia pas melihat taksi yang sedang terpakir, ia membuka pintu taksi tersebut. Supir taksi yang melihatnya terkejut. “Ma-maaf taksinya sudah di pesan,” cakap sang supir yang memberitahu Kevin.“Tolonglah, pak, saya bayar lebih. Saya harus ke rumah sakit,” ngotot Kevin.Supir taksi tersebut berdecak kesal terhadap tingkah Kevin. “Walaupun Anda membayar lebih tapi tetap saja tak bisa. Wanita yang akan keluar dari resto tersebut sudah booking terlebih dahulu. Mohon maaf,”Kevin berdecak kesal, ia yang sedang menunggu kendaraan malah harus terkena sial. “Wanita yang mana?”“Wanita berpakaian pink dengan celana jeans biru,” kata sang supir yang memberitahu.“Kau tunggu aku akan ke sana,” kesal Kevin.“Eeeh, maksudmu -.” S
Felix sudah menduganya bahunya lemas begitu pun dengan Lia dan Kevin. Di hadapan mereka terlihat Dr. Frederick yang gagah dengan pakaian dokternya tersebut. Dia berusaha melihat tanda vital Sandra. “Tolong, hentikan,” ucap Kevin. “Aku tak akan membiarkan tangan paman yang kotor memegang tubuhnya,” tantang Kevin. Dr. Frederick mengentikan aksinya, ia melihat siapa lawan bicaranya. “Ke-Kevin?” cakapnya sementara ia melihat bergantian kepada Lia. “Li-Lia?” “Ya, benar. Lama tak berjumpa,” sahut Lia dengan dingin. “Ka-kalian mengenalnya?” tanya Frederick. “Dia calon istriku,” jawab mantap Kevin. “Jadi jangan sentuh dirinya,” “Aku dokter. Aku bisa menanganinya,” ujar Frederick. “Dokter?” tanya Kevin yang mempertanyakan lisensinya yang telah diaktifkan kembali. “Kalau kau memang benar seorang dokter. Harusnya paman malu telah melakukan malpraktik!” teriak Kevin marah. Beberapa suster yang ada di tempat tersebut mulai berbisik-bisik, mereka yang awalnya tidak tahu menjadi tahu bahwa me
Kevin yang melihat Tania juga terkejut apalagi kehadirannya juga di ikut sertakan dengan Linda yang mengintil di belakang mereka semuanya. Kedua mata Kevin menatap nanar kepada Linda ia tahu bahwa dalangnya adalah Linda. Linda tak percaya bahwa semua memandang kepada dirinya, ia menaikkan bahunya. “Kenapa kalian semua memandang kepadaku seperti itu? Memangnya aku salah apa?” cecar Linda. Kevin maju satu langkah untuk menghadap kepada Linda. “Bukankah kau yang menelepon mereka?” tanyanya sembari menolak pinggang. “Siapa?” tanya balik Linda. Tania dan Vanda bingung dengan kehadira Linda. Bram sudah tidak bisa berkutik di hadapan anak perempuannya. “Vanda, siapa yang meneleponmu?” “Entahlah aku juga kurang tahu, ayah,” cakap Vanda yang memberitahu. Bram mengernyitkan dahinya, ia juga ikut bingung dengan kehadiran dua orang yang ada di hadapan mereka di tambah dengan Heru yang juga ikut hadir. Heru sendiri juga tidak tahu harus mengatakan apapun. Di satu sisi semua mata yang awalnya
Dari balik pintu Aditya bisa melihat ada seseorang yang tengah adu pendapat, ia tidak tahu bahwa yang datang tersebut, Kevin, anaknya sendiri. Aditya mengerutkan keningnya seorang laki-laki muda yang masih dalam keadaan terkantuk bangkit dari tempat tidurnya.Laki-laki muda tersebut hendak menuju kamar mandi. Aditya yang tidak tahu menghentikan aksi laki-laki tersebut. “Permisi, jangan di buka pintunya,” cakap Aditya yang memberitahunya.“Hmm.” Laki-laki tersebut berdeham. “Aku ingin ke kamar mandi,” ujarnya yang memberitahu.“Tolong, untuk sementara waktu jangan dulu,”“Dasar aneh,” umpat laki-laki tersebut dengan langkah gontai laki-laki itu meringsek maju ke depan.Cklek!Suara pintu terbuka Kevin terperanjat bahkan ia dan Linda jatuh berduaan ke lantai yang di saksikan oleh ayahnya sendiri. “Kevin!” pekik Aditya.Linda dan Kevin sama-sama ketakutan mereka harus menjelaskannya sementara mata Aditya membulat seketika itu melihat Kevin berduaan dengan wanita lain yang tak bukan adala
Bram bersama dengan yang lainnya keluar dari ruang perawatan Aditya. “Kalian berhati-hatilah,” usul Felix. “Untuk kesehatan ayahmu jangan kau hiraukan, dia pasti akan sembuh sedia kala,” lanjut Felix.Kevin menepuk pundak sahabatnya tersebut. “Tolong jaga ayahku dan calon istriku. Aku akan menemui kakekku,”“Kau juga, jaga dirimu,” kekeh Felix.“Kami pamit,” kata Bram kepada Felix.“Kalau begitu aku juga,” sahut Miranti. “Felix, kau juga, nak.” Felix tak menjawab ia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju ia juga tidak ingin banyak bicara ketika akhirnya mereka mengetahui bahwa sang kakek ada di belakang mereka semua.Selama keluar dari rumah sakit semuanya membisu tidak ada yang berbicara satu sama lain, mereka juga tidak memungkiri bahwa setidaknya mereka masih harus memiliki satu tugas yang lain.Bram dengan segera menghubungi Erick dan Mike yang berada di pusat. “Mike, aku punya tugas untuk kalian,” sapa Bram di ujung telepon. “Tolong pastikan alamat Villa ‘De Mouse,” sambung B
Bram menelan salivanya. “Karena kau di sini kepalanya, menurutmu siapa yang harus aku tangkap terlebih dahulu?” Semua terdiam sejenak tidak ada yang bicara satu sama lain, ia berusaha mendapatkan jawaban yang tepat.Rudy memandang kepada Bram dengan tatapan penuh percaya diri. “Kau sudah tahu jawabannya, lalu, mengapa menanyakan hal tersebut?” tanya balik Rudy.“Kita tidak punya bukti cukup untuk menangkap wanita tersebut,” cakap Bram yang memberitahunya.“Mungkin tapi kita sudah memiliki bukti. Seluruh bukti illegal, sudah menjadi legal,” kata Rudy yang memperjelas posisi mereka.Bram terdiam sejenak memikirkan perkataan Rudy. “Kalau begitu kami harus pamit.” Bram bangkit dari tempat duduknya, ia juga melirik kepada Hendra.Kevin yang mendengarnya terkejut, jam di ruang tengah menunjukkan pukul 00.30. “Hei! Kau gila?! Kau tidak melihat jam di sana?” tandas Kevin yang tak suka dengan sikap Bram. “Kita baru sampai belum lama, seketika itu juga kau ingin kita pergi dari sini lagi?”Bram