Felix sudah menduganya bahunya lemas begitu pun dengan Lia dan Kevin. Di hadapan mereka terlihat Dr. Frederick yang gagah dengan pakaian dokternya tersebut. Dia berusaha melihat tanda vital Sandra. “Tolong, hentikan,” ucap Kevin. “Aku tak akan membiarkan tangan paman yang kotor memegang tubuhnya,” tantang Kevin. Dr. Frederick mengentikan aksinya, ia melihat siapa lawan bicaranya. “Ke-Kevin?” cakapnya sementara ia melihat bergantian kepada Lia. “Li-Lia?” “Ya, benar. Lama tak berjumpa,” sahut Lia dengan dingin. “Ka-kalian mengenalnya?” tanya Frederick. “Dia calon istriku,” jawab mantap Kevin. “Jadi jangan sentuh dirinya,” “Aku dokter. Aku bisa menanganinya,” ujar Frederick. “Dokter?” tanya Kevin yang mempertanyakan lisensinya yang telah diaktifkan kembali. “Kalau kau memang benar seorang dokter. Harusnya paman malu telah melakukan malpraktik!” teriak Kevin marah. Beberapa suster yang ada di tempat tersebut mulai berbisik-bisik, mereka yang awalnya tidak tahu menjadi tahu bahwa me
Kevin yang melihat Tania juga terkejut apalagi kehadirannya juga di ikut sertakan dengan Linda yang mengintil di belakang mereka semuanya. Kedua mata Kevin menatap nanar kepada Linda ia tahu bahwa dalangnya adalah Linda. Linda tak percaya bahwa semua memandang kepada dirinya, ia menaikkan bahunya. “Kenapa kalian semua memandang kepadaku seperti itu? Memangnya aku salah apa?” cecar Linda. Kevin maju satu langkah untuk menghadap kepada Linda. “Bukankah kau yang menelepon mereka?” tanyanya sembari menolak pinggang. “Siapa?” tanya balik Linda. Tania dan Vanda bingung dengan kehadira Linda. Bram sudah tidak bisa berkutik di hadapan anak perempuannya. “Vanda, siapa yang meneleponmu?” “Entahlah aku juga kurang tahu, ayah,” cakap Vanda yang memberitahu. Bram mengernyitkan dahinya, ia juga ikut bingung dengan kehadiran dua orang yang ada di hadapan mereka di tambah dengan Heru yang juga ikut hadir. Heru sendiri juga tidak tahu harus mengatakan apapun. Di satu sisi semua mata yang awalnya
Dari balik pintu Aditya bisa melihat ada seseorang yang tengah adu pendapat, ia tidak tahu bahwa yang datang tersebut, Kevin, anaknya sendiri. Aditya mengerutkan keningnya seorang laki-laki muda yang masih dalam keadaan terkantuk bangkit dari tempat tidurnya.Laki-laki muda tersebut hendak menuju kamar mandi. Aditya yang tidak tahu menghentikan aksi laki-laki tersebut. “Permisi, jangan di buka pintunya,” cakap Aditya yang memberitahunya.“Hmm.” Laki-laki tersebut berdeham. “Aku ingin ke kamar mandi,” ujarnya yang memberitahu.“Tolong, untuk sementara waktu jangan dulu,”“Dasar aneh,” umpat laki-laki tersebut dengan langkah gontai laki-laki itu meringsek maju ke depan.Cklek!Suara pintu terbuka Kevin terperanjat bahkan ia dan Linda jatuh berduaan ke lantai yang di saksikan oleh ayahnya sendiri. “Kevin!” pekik Aditya.Linda dan Kevin sama-sama ketakutan mereka harus menjelaskannya sementara mata Aditya membulat seketika itu melihat Kevin berduaan dengan wanita lain yang tak bukan adala
Bram bersama dengan yang lainnya keluar dari ruang perawatan Aditya. “Kalian berhati-hatilah,” usul Felix. “Untuk kesehatan ayahmu jangan kau hiraukan, dia pasti akan sembuh sedia kala,” lanjut Felix.Kevin menepuk pundak sahabatnya tersebut. “Tolong jaga ayahku dan calon istriku. Aku akan menemui kakekku,”“Kau juga, jaga dirimu,” kekeh Felix.“Kami pamit,” kata Bram kepada Felix.“Kalau begitu aku juga,” sahut Miranti. “Felix, kau juga, nak.” Felix tak menjawab ia hanya menganggukkan kepalanya tanda setuju ia juga tidak ingin banyak bicara ketika akhirnya mereka mengetahui bahwa sang kakek ada di belakang mereka semua.Selama keluar dari rumah sakit semuanya membisu tidak ada yang berbicara satu sama lain, mereka juga tidak memungkiri bahwa setidaknya mereka masih harus memiliki satu tugas yang lain.Bram dengan segera menghubungi Erick dan Mike yang berada di pusat. “Mike, aku punya tugas untuk kalian,” sapa Bram di ujung telepon. “Tolong pastikan alamat Villa ‘De Mouse,” sambung B
Bram menelan salivanya. “Karena kau di sini kepalanya, menurutmu siapa yang harus aku tangkap terlebih dahulu?” Semua terdiam sejenak tidak ada yang bicara satu sama lain, ia berusaha mendapatkan jawaban yang tepat.Rudy memandang kepada Bram dengan tatapan penuh percaya diri. “Kau sudah tahu jawabannya, lalu, mengapa menanyakan hal tersebut?” tanya balik Rudy.“Kita tidak punya bukti cukup untuk menangkap wanita tersebut,” cakap Bram yang memberitahunya.“Mungkin tapi kita sudah memiliki bukti. Seluruh bukti illegal, sudah menjadi legal,” kata Rudy yang memperjelas posisi mereka.Bram terdiam sejenak memikirkan perkataan Rudy. “Kalau begitu kami harus pamit.” Bram bangkit dari tempat duduknya, ia juga melirik kepada Hendra.Kevin yang mendengarnya terkejut, jam di ruang tengah menunjukkan pukul 00.30. “Hei! Kau gila?! Kau tidak melihat jam di sana?” tandas Kevin yang tak suka dengan sikap Bram. “Kita baru sampai belum lama, seketika itu juga kau ingin kita pergi dari sini lagi?”Bram
Bram kembali menuju ruang kerjanya, ia yang awalnya stress bukan kepalang menjadi sedikit lega ketika mereka berhasil mendapatkan surat penangkapan. Bram melempar tubuhnya ke atas sofa hingga dirinya tertidur lelap hingga pagi hari.Bram yang terbangun melihat ke sisi sofanya. “Astaga. Kau mengejutkan saja,” kejut Bram yang sembari menghapus kotoran matanya sendiri, ia duduk di sofanya sembari menyadarkan dirinya sendiri.Kevin menghela napasnya sembari mengigit camilan. “Kenapa kau membiarkan mobilmu menyala? Kau mau aki mobilmu habis hanya karena membiarkan Air Conditioner menyala seharian begitu saja,” oceh Kevin yang sudah melihat Bram terbangun.“Aku tak tega melihatmu. Aku juga punya anak, jadi aku paham,” ceramahnya balik.“Ini.” Kevin mengembalikan kunci mobil yang sudah ia matikan tiga jam yang lalu sementara itu ia bangkit dan keluar dari ruangan Bram menuju ruang kerja anak buahnya. “Kau masih mau di sini?” ejek Kevin.“Keluarlah! Aku tak ingin melihatmu, lebih baik kau ma
Grace yang sudah kepalang basah akhirnya hanya bisa mengambil pilihan yang di berikan Agustinus kepada dirinya. Dia dengan berat hati menuju ruang Agustinus yang sudah menunggunya.Langkah kaki Grace menuju ruangan, ia mengetuk pintunya. “Masuk,” jawab Agustinus dari dalam ruangannya.Klik.Suara pintu terdengar Grace masuk ke dalam ruangan tersebut. Agustinus mendongak melihat kepada Grace. “Kau sudah membuat keputusan?”“Ya.” Grace menyerahkan surat pengunduran dirinya. “Ini surat pengunduran diriku. Tolong, proses kapan saja.”“Tentu. Kau seorang polisi tapi mengaku membela orang yang salah bahkan menggunakan tindakan yang tidak harus di lakukan, bahkan menggunakan tindakan koersif di depan publik. Tentu saja, kau harus mengundurkan diri.”“Maafkan aku.”“Dasar brengsek, kenapa kau melakukan itu? Aku sudah bertahun-tahun mengenal dirimu. Aku tahu kau bukan orang yang seperti itu. Kau tidak menerima suap atau perlakuan khusus. Apa alasannya?” cecar Agustinus yang hendak berusaha men
Bram menatap bukti baru tersebut. “Apa yang terjadi antara dirimu dengan Indy?” tanyanya yang berusaha menguak kebenaran. Grace terhenyak mendengar pertanyaan tersebut, ia sebenarnya tidak ada hubungannya dengan Indy.“Aku dan Indy tidak terjadi apa-apa namun itu terjadi begitu saja,” akunya.“Lalu, apa yang membuat dirimu membantu dirinya?”“10 tahun yang lalu aku sedang menunggu Indy. Aku menunggu di atas atap kepolisian, katanya ia ingin mengatakan sesuatu kepadaku. Akhirnya aku ke atas atap dan menunggu, di saat yang bersamaan seseorang menelepon diriku mereka berusaha menangkap penjahat tapi kekurangan personil.”“Hingga akhirnya aku meninggalkan lokasi dan membantu mereka, ketika sampai di tempat perkara aku berhasil menembakkannya. Ternyata pelaku tersebut Bandar narkoba, Danny, orang yang sama yang kau tangkap tapi dia lari dari kami. Hingga akhirnya ia menyerahkan dirinya kepadamu, bukan?”“Tepat. Danny tiba-tiba menyerahkan dirinya. Lalu, kelanjutannya?” imbuh Bram.“Setelah